MATERI MUATAN UNDANG UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

54

BAB III MATERI MUATAN UNDANG UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH

Secara ringkas materi muatan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencakup 22 isu strategis sebagai berikut: 1 Masalah Pembentukan dan Penataan Daerah Otonom 2 Masalah Pembagian Urusan Pemerintahan 3 Masalah Daerah Berciri Kepulauan 4 Masalah Pemilihan Kepala Daerah 5 Masalah Peran Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat 6 Masalah Muspida 7 Masalah Perangkat Daerah 8 Masalah Kecamatan 9 Masalah Aparatur Daerah 10 Masalah Peraturan Daerah Perda 11 Masalah Pembangunan Daerah 12 Masalah Keuangan Daerah 13 Masalah Pelayanan Publik 14 Masalah Partisipasi Masyarakat 15 Masalah Kawasan Perkotaan 16 Masalah Kawasan Khusus 17 Masalah Kerjasama Antar Daerah 18 Masalah Desa 19 Masalah Pembinaan dan Pengawasan 20 Masalah Tindakan Hukum Terhadap Aparatur Pemerintah Daerah 21 Masalah Inovasi daerah 22 Masalah DPOD Secara ringkas isu-isu strategis tersebut sebagaimana terurai berikut ini: 1 Pembentukan dan Penataan Daerah Isu penataan daerah telah menjadi perhatian para pemangku kepentingan karena ekses negatif dari pemekaran daerah yang sangat masif selama lima tahun terakhir, utamanya terkait dengan konflik sosial, penurunan kualitas pelayanan, 55 dan fragmentasi spasial yang sangat tinggi dari pemerintahan daerah. Pembentukan daerah otonom baru DOB yang tidak terkendali dikawatirkan akan membuat penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak efisien dan efektif. Isu sentral terkait dengan pembentukan DOB yang tidak terkendali adalah masalah pendanaannya. Kalau dicermati kompisisi APBD khususnya kabupatenkota sekarang ini menunjukkan hampir 90 tergantung dari dana perimbangan, hanya sekitar 8 yang berasal dari pendapatan asli daerah. Fakta lainnya dari dana perimbangan adalah sekitar 70 berbentuk DAU. Ini berarti setiap pembentukan DOB akan memposisikan DOB tersebut sebagai pembagi dalam formula DAU yang berlaku sekarang ini. Kecepatan pertambahan DOB melampaui kecepatan tambahan penerimaan DAU. Akibatnya kalau tidak dicermati secara hati-hati, maka pertambahan DOB akan mengurangi jumlah DAU yang selama ini diterima oleh daerah-daerah yang sudah ada. Upaya untuk mengendalikan pembentukan DOB telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 mengatur tentang prosedur dan persyaratan pembentukan DOB sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 mengatur tentang evaluasi kinerja daerah otonom dan implikasinya terhadap penggabungan daerah. Namun, peraturan pemerintah tersebut sering kurang efektif untuk digunakan mengendalikan pembentukan DOB karena perbedaan intepretasi tentang kewenangan pembentukan DOB yang 56 muncul dari intepretasi terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangan. Pembentukan DOB melalui undang-undang dapat ditafsirkan bahwa DPR memiliki kewenangan untuk melakukan inisiatif dalam pembentukan DOB. Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 akan mengatur mekanisme pembentukan DOB agar pembentukan tersebut jangan membebani daerah yang sudah ada. 2 Pembagian Urusan Pemerintahan Pembagian urusan pemerintahan menjadi isu yang strategis karena implikasi dari ketidakjelasan dalam pembagian urusan sangat luas, tidak hanya menyangkut hubungan antar susunan pemerintahan tetapi juga antara kementerianlembaga dengan pemerintahan daerah. Ketidakjelasan pembagian urusan sering memicu konflik antar susunan pemerintahan karena menimbulkan perebutan kewenangan diantara mereka. Lebih dari itu, ketidakjelasan pembagian urusan juga mendorong terjadi tumpang tindih dan duplikasi urusan pemerintahan sehingga menimbulkan masalah efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk mengatasi hal tersebut Pemerintah Pusat telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 yang berusaha merinci urusan desentralisasi kedalam urusan Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupatenkota. Namun, peraturan pemerintah tersebut masih menyisakan persoalan terkait dengan ketidakjelasan konsep skala provinsi dan skala kabupatenkota yang dipergunakan untuk mendefinisikan urusan provinsi dan kabupatenkota. Dalam praktek 57 pembagian urusan dengan memakai skala menyebabkan tidak jelasnya batas-batas urusan khususnya yang menyangkut kewenangan provinsi dan kabupatenkota atas urusan tersebut. Pada sisi lain kelambatan untuk menerbitkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria NSPK dari kementerianlembaga di pusat untuk dijadikan pedoman bagi daerah untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah ikut menambah keruwetan pelaksanaan urusan tersebut. 3 Masalah Daerah Berciri Kepulauan Isu daerah berciri kepulauan berkaitan erat dengan tingginya biaya penyelenggaraan pemerintahan daerah di daerah kepulauan tersebut. Ciri utama dari daerah kepulauan adalah ketika luas laut jauh melampaui luas daratan yang menjadi wilayah daerah tersebut. Untuk percepatan pembangunan daerah berciri kelautan tersebut maka perlu pemberian penugasan untuk pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadui kewenangan Pemerintah Pusat kepada daerah melalui mekanisme tugas pembantuan. Disamping itu perlu dipertimbangkan dalam perumusan formula dana perimbangan untuk daerah-daerah berciri kepulauan tersebut. 4 Masalah Pemilihan Kepala Daerah Walaupun isu pemilihan kepala daerah akan diatur dalam undang-undang tersendiri, namun rambu-rambu dasar pengaturannya tetap diatur dalam undang-undang tentang pemerintahan daerah. Permasalahan utama dalam pemilihan kepala daerah adalah biayanya yang sangat mahal dan terjadinya ketidakharmonisan antara kepala daerah dengan 58 wakilnya yang bermuara kepada terkotak-kotaknya PNS yang bekerja di daerah. Revisi undang-undang ini mengatur bagaimana masalah tersebut dapat diatasi. Secara detail pengaturan pemilihan kepala daerah dari pencalonan sampai penetapan pemenang akan diatur dalam undang-undang tentang pemilihan kepala daerah. 5 Peran Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat Masalah utama dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah lemahnya supervisi, monitoring, evaluasi dan fasilitasi terhadap daerah. Adalah sangat sulit untuk melakukan kegiatan pembinaan dan pengawasan binwas dengan hanya mengandalkan Pemerintah Pusat. Oleh karena itu khusus untuk kegiatan pembinaan dan pengawasan serta fasilitasi terhadap kabupatenkota akan diatur melalui peningkatan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Sedikitnya akan ada tiga dimensi yang akan diperankan oleh gubernur sebagai wakil pusat yaitu dalam aspek kebijakan, kepegawaian dan keuangan dari kabupatenkota yang ada dalam wilayah kerjanya untuk menciptakan sinergi antar tingkatan dan susunan pemerintahan. 6 Masalah Musyawarah Pimpinan Daerah Muspida Isu Muspida adalah suatu forum yang secara de facto ada namun dari sisi landasan hukum tidak dasar pengaturannya. Dimasa lalu dasar hukum Muspida diatur dalam peraturan yang berpedoman pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974. Namun ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 isu muspida tidak diatur lagi dan juga tidak diatur dalam 59 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Dalam tataran realitas, eksistensi muspida masih ada sebagai forum komunikasi antar pimpinan daerah yang umumnya terdiri dari unsur pemerintahan daerah, unsur TNI, unsur Polri dan unsur Kejaksaan. Permasalahan muncul ketika menyangkut aspek pembiayaan. Tidak adanya payung hukum yang mengatur Muspida telah menyebabkan setiap pengeluaran biaya untuk menunjang kegiatan Muspida akan menjadi temuan dari aparat pemeriksa. Mengingat keberadaan Muspida masih dianggap perlu untuk menggalang soliditas dari penyelenggaraan pemerintahan di daerah, maka sudah seyogyanya realitas keberadaan Muspida ada payung hukumnya. Revisi undang- undang ini akan mengatur payung hukum yang realistis dan obyektif untuk menunjang keberadaan Muspida yang secara de facto ada dan masih sangat diperlukan dalam mendukung jalannya roda pemerintahan daerah. 7 Masalah Kepegawaian Daerah Pelaksanaan otonomi daerah telah menimbulkan berbagai ekses negatif yang belum sepenuhnya dapat diselesaikan perangkat perundangan yang ada. Fragmentasi spasial dalam kepegawaian yang semakin tinggi dan rigid, politisasi birokrasi, dan menguatnya unsur-unsur subyektivitas dalam manajemen kepegawaian berbasis pada etnis, agama, dan putra daerah telah menimbulkan gangguan pada pengembangan aparatur yang profesional. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 dan peraturan pemerintah yang ada belum mampu menjawab secara efektif berbagai masalah 60 tersebut dan pengaturan yang jelas dan tegas diperlukan untuk mendorong daerah membentuk aparatur yang profesional. 8 Masalah Perangkat Daerah Pembaharuan pengaturan tentang perangkat dan aparatur daerah perlu diperlukan untuk memperkuat profesionalisme dan kinerja Satuan Kerja Perangkat Daerah SKPD. Pembengkakan perangkat daerah telah menimbulkan beban yang sangat besar pada APBD sehingga sekitar 70-80 tersedot untuk pembiyaan birokrasi dan aparatur daerah. Isu penting lainnya dalam perangkat daerah adalah kedudukan kecamatan dan hubungannya dengan SKPD lainnya yang berbasis pada sektor. Sebagai SKPD yang berbasis kewilayahan, Kecamatan belum memiliki fungsi yang jelas. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 belum mengatur tentang fungsi pelayanan publik yang dapat dilimpahkan kepada kecamatan. 9 Masalah Kecamatan Masalah kecamatan berpangkal dari berubahnya posisi camat dari kepala wilayah dimasa sebelum reformasi menjadi perangkat daerah kabupatenkota setelah reformasi. Selama ini Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 hanya mengatur kewenangan yang bersifat atributif dari camat, sedangkan kewenangan delegatif dari bupatiwalikota sifatnya fakultatif. Revisi ini akan menegaskan adanya kewenangan delegatif kepada camat oleh bupatiwalikota dengan memperhatikan karakter dari kecamatan tersebut apakah berciri perkotaan, pedesaan, pedalaman, pesisir atau bahkan kepulauan. 61 Dengan demikian camat akan mempunyai kewenangan yang jelas sebagai satuan kerja perangkat daerah. Kewenangan yang jelas akan terlaksana dengan dukungan pendanaan yang jelas juga melalui prinsip ”money follow function”. 10 Masalah Peraturan Daerah Perda Banyaknya Perda dan rancangan Perda yang bermasalah sering menimbulkan reaksi publik yang luas. Ketidakpuasan warga dan pemangku kepentingan terhadap Perda sudah jamak terjadi dan memperlukan pengaturan yang jelas dan efektif. Dalam bidang keuangan daerah, tahun 2008 Kementerian Keuangan membatalkan lebih dari 2000 Perda dari sekitar 7200 Perda tentang pajak dan retribusi, karena dinilai bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dalam bidang lainnya, muncul banyak perda yang bias gender dan mengancam wawasan kebangsaan. Dalam konteks desentralisasi sekarang ini, polemik muncul tentang siapa yang memiliki kewenangan melakukan review terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, pemerintahan yang lebih tinggi executive review atau lembaga peradilan judicial review? Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 telah mengatur dengan jelas tentang proses pembentukan Perda, termasuk keharusan adanya partisipasi masyarakat dalam pembentukan Perda. Namun, aturan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 belum secara efektif mampu menangkal munculnya Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum danatau peraturan yang lebih tinggi. Terbukti dengan munculnya banyak Perda bermasalah. Pembatalan Perda bermasalah melalui peraturan 62 Presiden juga dinilai tidak sesuai mengingat besaran jumlah Perda yang harus ditinjau ulang sangat besar. Penguatan pengaturan tentang pembentukan peraturan daerah perlu dilakukan dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun hendaknya pengaturan baru tersebut tidak bertentangan dan mengulang hal yang sudah diatur dalam dan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. 11 Masalah Pembangunan Daerah Persoalan yang mendasar dalam perencanaan pembangunan daerah adalah inkonsistensi antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dalam mendefinisikan dokumen dan basis legalitas dari dokumen perencanaan daerah. Perbedaan tersebut sering menyulitkan daerah dalam menyelenggarakan kegiatan perencanaan daerah. Isu lainnya adalah tentang instrumen yang dapat digunakan untuk menjaga konsistensi antara perencanaan pembangunan daerah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RJPN dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang. Untuk mengatasi kesulitan ini maka duplikasi dan inkonsistensi antara Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dengan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu dihilangkan. Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2004 perlu diarahkan untuk mengatur mengenai proses dan dokumen perencanaan daerah sedangkan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mengatur tentang kelembagaan dan manajemen dari perencanaan daerah. Terkait dengan manajemen perencanaan daerah adalah perlunya mengatur kewajiban daerah mengumpulkan, memperbaharui, dan mengelola data 63 dan informasi yang diperlukan dalam perencanaan daerah. Tidak tersedianya data membuat kualitas perencanaan daerah cenderung buruk. Masalah yang perlu diatasi dalam masalah pembangunan adalah belum adanya sinergi antara perencanaan pembangunan antara pusat, provinsi dan kabupatenkota. Masing-masing cenderung jalan sendiri- sendiri sesuai visi dan misi dari kepala daerah terpilih yang kalau tidak dicarikan solusinya malah akan menciptakan tumpang tindih atau bahkan tabrakan kegiatan pembangunan karena perbedaan kepentingan dari daerah- daerah yang bersangkutan. Revisi ini akan mengatur sinergi pembangunan antara pusat dan daerah dan antara provinsi dengan kabupatenkota dalam wilayah provinsi tersebut melalui mekanisme pemetaan urusan, kelembagaan dan pendanaannya. Dengan sinergi tersebut diharapkan akan tercapai target-target nasional yang selama ini sulit untuk terealisir karena kepentingan yang berbeda antar tingkatan dan susunan pemerintahan. 12 Masalah Keuangan Daerah Terbatasnya anggaran yang tersedia untuk pelayanan publik menjadi salah isu yang penting dan perlu memperoleh pengaturan yang jelas. Manfaat desentralisasi hanya dapat dirasakan oleh masyarakat ketika desentralisasi membuat daerah mampu mengalokasikan anggaran lebih banyak untuk pelayanan publik. Namun, data menunjukkan bahwa 70-80 anggaran daerah dihabiskan untuk belanja pegawai dan operasional birokrasi pemerintah daerah. 64 Besarnya pengeluaran untuk belanja pegawai yang menjadi salah satu variabel penting untuk menentukan alokasi dasar dari DAU menjadi salah satu faktor yang mendorong pembengkakan pegawai di daerah. Pengeluaran belanja pegawai yang sangat besar membuat masyarakat di daerah tidak dapat menikmati manfaat dari pelaksanaan otonomi daerah. Isu lainnya adalah perlunya penguatan peran gubernur sebagai budget optimizer dalam alokasi DAK. Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat menjadi intermediaries pencapaian tujuan Pemerintah Pusat dengan meningkatkan relevansi program-program pemerintah di daerah. Sayangnya, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003, dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 belum mengatur dengan jelas peran gubernur sebagai budget optimizer. Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu mengatur peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat untuk menjadi budget optimizer dalam alokasi DAK. 13 Pelayanan Publik Pelayanan publik menjadi isu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, sayangnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum mengatur sama sekali tentang penyelengaraan pelayanan publik di daerah. Beberapa masalah dalam penyelenggaraan pelayanan publik seperti: belum diterapkannya standar pelayanan minimal untuk pelayanan dasar, belum adanya standar penyelenggaraan pelayanan yang mengatur hak dan kewajiban pengguna dan penyelenggara, mekanisme penyampaian keluhan dan penyelesaian sengketa, penting untuk diatur dalam revisi 65 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dengan membuat pengaturan yang jelas tentang penyelenggaraan pelayanan publik di daerah diharapkan pelaksanaan desentralisasi dapat mempercepat tercapainya perbaikan kualitas pelayanan publik. Namun, pengaturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik oleh daerah harus disinkronkan dengan undang-undang pelayanan publik sehingga tidak terjadi tumpang-tindih dan inkonsistensi dalam pengaturan tentang pelayanan publik di daerah. 14 Partisipasi Masyarakat Partisipasi masyarakat menjadi salah satu isu strategis karena partisipasi menjadi salah satu kondisi yang perlu agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat berhasil dengan baik. Keberhasilan desentralisasi menuntut adanya keterlibatan masyarakat di daerah dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan seperti dalam proses pembentukan peraturan daerah, penyusunan perencanaan daerah, perumusan APBD, dan penyelenggaraan pelayanan publik. Dengan keterlibatan masyarakat yang semakin tinggi maka berbagai kebijakan pembangunan daerah tersebut akan dapat merepresentasikan kepentingan masyarakat luas. Partisipasi masyarakat juga diperlukan agar mereka dapat ikut mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah. Namun, sayangnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Masyarakat, dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik belum mengatur dengan jelas mekanisme, cara, dan hak-hak warga dan pemangku kepentingan dalam proses kebijakan di 66 daerah. Oleh karena itu revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu mengatur berbagai hal di atas dengan jelas. 15 Kawasan Perkotaan Belum adanya pengaturan yang memadai tentang kawasan perkotaan, membuat pertumbuhan kawasan perkotaan yang sangat pesat kurang dapat dioptimalkan untuk kepentingan masyarakat luas dan pemerintah daerah. Munculnya kawasan perkotaan baru yang berdampingan dengan kawasan perdesaan, sebagai akibat dari maraknya industri perumahan, menimbulkan masalah sosial, ekonomi, dan pemerintahan yang perlu diselesaikan oleh pemerintah daerah. Tidak adanya undang-undang yang mengatur tentang perkotaan dan kelembagaan yang mengurus kawasan tersebut sering membuat pemerintah daerah gagal mengelola kawasan perkotaan untuk kepentingan publik. Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang belum mengatur tentang kelembagaan dan pengelolaan kawasan perkotaan. Kelembagaan dan pengelolaan kawasan perkotaan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009. Namun, peraturan pemerintah tersebut belum mengatur tipologi kota yang sangat bervariasi, utamanya dilihat dari jumlah penduduknya, dan implikasinya terhadap bentuk kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan. Beberapa pengaturan yang relevan dalam peraturan pemerintah tersebut dan implikasinya terhadap kelembagaan pengelolaan kawasan perkotaan perlu dimasukan dalam revisi Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004. 67 16 Kawasan Khusus Pengembangan kawasan khusus untuk mengelola fungsi- fungsi khusus tertentu dalam rangka kepentingan nasional strategik belum diatur secara memadai dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kebutuhan pengaturan kawasan khusus sekarang ini sangat mendesak terkait dengan kebutuhan adanya kawasan ekonomi khusus, kawasan perbatasan, kawasan purbakala, kawasan latihan perang, kawasan taman laut, kawasan hutan lindung dan kawasan-kawasan khusus lainnya. Undang-undang sektoral dan peraturan pemerintah yang mengatur tentang hal ini seperti Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun1999 tentang Konservasi Hutan, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 dan Perpu Nomor 1 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas mengatur hubungan kelembagaan antara kawasan khusus dengan pemerintah daerah. Konflik yang sering terjadi terkait dengan pengelolaan kawasan khsusus disebabkan karena pengaturan tentang hubungan lembaga pengelola kawasan khusus dengan daerah kurang diatur dengan jelas. Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu mengatur tentang pengelolaan kawasan khusus dan hubungannya dengan pemerintahan daerah. 17 Masalah Kerjasama antar Daerah Salah satu tujuan otonomi daerah adalah menciptakan kesejahteraan di tingkat lokal yang nantinya secara agregat akan menyumbang kepada kesejahteraan nasional. Kesejahteraan masyarakat sangat terkait dengan kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dinikmati masyarakat. 68 Dalam penyediaan pelayanan publik untuk masyarakat sangat terkait dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan suatu daerah. Sering pelayanan publik yang disediakan oleh suatu daerah menciptakan dampak kepada daerah tetangganya. Untuk mencapai efisiensi dalam pelayanan publik tersebut, maka kerjasama antar daerah sangat mutlak diperlukan untuk menciptakan sinergi dan efisiensi dalam penyediaan pelayanan publik tersebut. Dalam tataran praktek sering daerah-daerah yang kegiatannya menciptakan ekternalitas ke daerah lainnya tidak mau bekerjasama dan bahkan ada kemungkinan saling membuat kebijakan yang sering menciptakan kerugian bagi daerah lainnya. Untuk itu diperlukan adanya mekanisme yang memaksa daerah tersebut untuk bekerjasama demi menciptakan pemerintahan daerah yang berdaya guna dan berhasil guna. Revisi undang-undang ini akan mengatur adanya kewajiban bagi daerah-daerah tersebut untuk bekerjasama dengan pendekatan pemberian insentif bagi yang melakukan dan dis-insentif bagi daerah-daerah yang menolak kerjasama tersebut. 18 Masalah Desa Salah satu keputusan politik yang diambil oleh Pemerintah Pusat dan DPR adalah mengatur desa dalam undang-undang tersendiri. Namun demikian undang-undang tentang pemerintahan daerah akan tetap mengatur rambu-rambu atau kisi-kisi tentang pengaturan desa dan kemudian secara teknis diatur lebih lanjut dalam undang-undang tentang desa. 69 Salah satu rambu yang sangat penting dalam konteks pengaturan desa adalah kewenangan desa atas urusan pemerintahan. Mengacu kepada ketentuan Pasal 18 B UUD 1945 secara eksplisit diatur bahwa desa diakui keberadaannya dan berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan yang terkait dengan adat istiadat dan tradisi sepanjang masih hidup dan sesuai dengan sistem pemerintahan yang ada. Pada sisi lain ketentuan Pasal 18 UUD 1945 secara jelas telah mengatur bahwa otonomi daerah hanya terdapat pada tingkat provinsi dan kabupatenkota. Implikasinya terhadap pengaturan desa adalah bahwa desa tersebut masuk dalam kategori ”community self government” atau pemerintahan yang berbasis komunitas mengerjakan hal-hal yang terkait dengan adat istiadat dan tradisi dan bukan ”local self government” sebagaimana layaknya tingkatan provinsi dan kabupatenkota. Setiap urusan pemerintahan daerah yang masuk domain otonomi daerah provinsi maupun kabupatenkota yang dikerjakan oleh desa dilaksanakan melalui mekanisme pelimpahan atau pendelegasian dengan pembiayaan yang jelas dan petunjuk pelaksanaan yang jelas dari tingkatan pemerintahan yang menugaskan. Mengingat undang-undang tentang Desa akan diatur tersendiri, maka dalam revisi UU 322004 hanya mengatur introduksinya saja dan selebihnya secara detail akan diatur dalam undang-undang tentang Desa. 19 Masalah Pembinaan dan Pengawasan Binwas Salah satu masalah mendasar yang menghambat efektifitas pemerintahan daerah adalah kurang jelasnya mekanisme pembinaan dan pengawasan Binwas. Dalam koridor 70 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak terdapat mekanisme yang jelas dan tegas mengenai Binwas terhadap daerah kementerian dan lembaga pusat juga tidak mempunyai pegangan hukum yang jelas dalam melakukan pembinaan terhadap daerah. Daerah merasa bahwa kalau sudah otonomi, maka Pemerintah Pusat tidak punya hak lagi melakukan Binwas ke daerah. Aparat pusat sering juga berargumen bahwa suatu urusan yang telah diotonomikan tidak memungkinkan lagi instansi pusat melakukan pengawasan ke daerah. Tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada ditangan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana bunyi Pasal 4 ayat 1 UUD 1945. Mengingat Presiden memegang tanggung jawab akhir maka sudah seyogyanya Presiden mempunyai kewenangan untuk melakukan Binwas kepada daerah yang bertanggung jawab melaksanakan sebagian kekuasaan Presiden yang diotonomikan tersebut. Presiden dibantu oleh menteri- menteri yang bertanggung jawab atas satu urusan pemerintahan. Berdasarkan ketentuan tersebut sangat logis kalau menteri mempunyai kewenangan untuk melakukan binwas kepada daerah. Revisi undang-undang ini akan mengatur pembagian tugas Binwas antara Menteri Dalam Negeri dengan menteri teknis dalam melakukan binwas terhadap daerah. Termasuk didalamnya kejelasan mengenai peran gubernur selaku wakil pusat untuk melakukan binwas terhadap kabupatenkota yang ada di wilayahnya. 71 20 Masalah Tindakan Hukum terhadap Aparatur Daerah Aparat daerah sering merasa ragu-ragu untuk bertindak karena takut melanggar ketentuan yang ada. Keraguan bertindak tersebut akan merugikan masyarakat ketika aparat daerah enggan untuk melaksanakan proyek-proyek terkait dengan penyediaan barang dan jasa untuk keperluan penyediaan pelayanan publik karena ketakutan akan tersangkut pelanggaran hukum. Inilah satu penyebab dari rendahnya penyerapan anggaran yang pada gilirannya akan menyebabkan membengkaknya Sisa Lebih Perhitungan Anggaran SILPA daerah. Kondisi tersebut jelas tidak menguntungkan perekonomian daerah yang akan berimbas kepada perekonomian nasional ditengah persaingan akibat globalisasi yang semakin menuntut kecepatan bertindak. Revisi undang-undang ini akan mengatur melalui mekanisme aparat pengawas internal pemerintah yang dalam hal ini adalah Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan BPKP untuk berperan sebagai ”clearing house” untuk menentukan apakah suatu pelanggaran yang disangkakan terhadap aparat daerah tersebut masuk dalam ranah administrasi non yustisia atau ranah pidana pro yustisia. Pengaturan tersebut akan memberi kepastian hukum bagi aparat daerah untuk tidak ragu-ragu bertindak sepanjang koridor hukum positif yang berlaku. 21 Masalah Inovasi Daerah Tidak adanya pengaturan yang jelas tentang diskresi dan inovasi yang dilakukan oleh pejabat publik di daerah sering membuat mereka tidak berani melakukan tindakan yang inovatif, yang diperlukan untuk memenuhi kepentingan 72 umum dan mempercepat pencapaian kesejahteraan rakyat. Untuk itu revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 perlu menambahkan pengaturan tentang inovasi daerah yang dapat dilakukan oleh pejabat publik sejauh tindakan mereka tidak menimbulkan kerugian negara, tidak mengandung konflik kepentingan, dan bertujuan untuk memenuhi kepentingan umum. Perlu adanya pengaturan secara spesifik diskresi yang diambil pejabat pemerintahan dalam melakukan inovasi dalam pelayanan publik, terutama di daerah. Desentralisasi pemerintahan telah menuntut pejabat pemerintahan daerah melakukan inovasi dan karena pengaturan tentang inovasi di daerah perlu dimasukan dalam undang-undang pemerintahan daerah. 22 Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah DPOD Keberadaan DPOD selama ini banyak dipersoalkan karena fungsinya yang tidak jelas. Sebagai salah satu lembaga yang bertugas memberi rekomendasi kepada Presiden terkait dengan kebijakan otonomi daerah, DPOD dinilai kurang efektif dalam menjalankan perannya karena gagal mencegah munculnya kebijakan sektoral yang dinilai tidak konsisten dengan undnag-undang pemerintahan daerah. DPOD juga dinilai kurang mampu berperan dalam pengendalian pembentukan DOB. Ketidakoptimalan peran DPOD disebabkan oleh ketidakjelasan pemisahan peran DPOD sebagai advisory body dan clearing house untuk perumusan kebijakan otonomi daerah. Sebagai lembaga yang bertugas melakukan kajian terhadap proposal pembentukan DOB dan melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan otonomi daerah, 73 DPOD tidak didukung oleh sebuah think tank yang memadai. Akibatnya, DPOD sering mengalami kesulitan untuk memberi rekomendasi yang jelas kepada Presiden ketika dihadapkan pada pilihan kebijakan yang kompleks dan dilematis. Disamping dari sisi otoritas akan sulit bagi Menteri Dalam Negeri untuk mengkordinir kementerian-kementerian lainnya yang menjadi anggota DPOD. Untuk itu maka DPOD perlu dipimpin oleh pejabat publik dengan otoritas diatas menteri yang mempunyai kewenangan untuk memutuskan ketika terjadi masalah-masalah yang terkait dengan konflik antara kementerian dengan daerah otonom. 74

BAB IV DASAR PEMIKIRAN, PERMASALAHAN, ANALISIS,