158
kegiatan politik dan melindungi mereka dari campur tangan kekuatan dan kekuasaan politik yang ada di daerah.
Untuk dapat
meningkatkan profesionalisme
maka rekrutmen PNS dan penempatan mereka dalam jabatan harus
dilakukan berdasarkan meritokrasi dan berbasis kompetensi, terbuka,
dan kompetitif.
Untuk dapat
mewujudkan prinsip
meritokrasi dan melakukan rekrutmen dan promosi berbasis pada kompetensi maka pemerintah perlu mengembangkan ukuran dan
standar kompetensi untuk jabatan di lingkungan pemerintahan daerah. Pemerintah dapat memulainya dari jabatan yang dinilai
strategis. Promosi jabatan publik secara terbuka dapat dilakukan
dengan memberi
peluang yang
sama kepada
semua yang
memenuhi persyaratan
kompetensi untuk
bersaing memperebutkan jabatan publik yang tersedia. Persaingan yang
terbuka perlu didorong agar dapat menjadi insentif bagi PNS untuk meningkatkan kapasitas dirinya sesuai dengan aspirasi
karir yang dimilikinya. Rekrutmen dan promosi harus berbasis pada jabatan. Analisis jabatan perlu dilakukan secara periodik
untuk menentukan kebutuhan aparatur secara pas baik jumlah ataupun
klasisifikasinya. Untuk
mempercepat pengembangan
profesionalisme maka sistem penggajian harus dikembangkan berdasarkan atas kinerja. Besaran gaji dan insentif yang diberikan
harus sebanding
dengan beban
kerja, tanggungjawab,
dan pencapaian kinerja.
4.7.2 Identifikasi Permasalahan
Rendahnya profesionalisme aparatur daerah menjadi persoalan utama dalam manajemen kepegawaian daerah.
Tidak adanya standar kompetensi untuk jabatan struktural dan fungsional
159
mempersulit penerapan prinsip meritokrasi dalam rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah. Kepala daerah memiliki ruang
yang sangat besar untuk menempatkan pejabat publik sesuai dengan selera dan kepentingannya. Dalam suasana politisasi yang
sangat kuat sekarang ini, sebagai akibat dari eforia Pilkada, ruang yang tersedia bagi kepala daerah sering dimanfaatkan untuk
menempatkan pejabat
daerah berdasarkan
ukuran-ukuran subyektif
seperti loyalitas,
afiliasi politik,
dan kemampuan
membayar untuk menduduki jabatan tersebut.
13
Fenomena seperti
ini tentu
mempersulit upaya
pengembangan profesionalisme aparatur daerah.
Pelaksanaan Pilkada yang membutuhkan sumber daya yang besar dan mobilisasi masa yang sangat banyak telah memberi
peluang bagi para calon kepala daerah untuk menarik para pejabat karir dalam struktur pemerintah di daerah untuk terlibat terlalu
jauh dalam kegiatan Pilkada, sebagai bagian dari tim sukses, menjadi pasangan calon kepala atau wakil kepala daerah, dan
pendukung pencalonan mereka sebagai kepala daerah. Bagi para pejabat birokrasi, Pilkada juga menjadi peluang bagi mereka untuk
dapat membangun
akses terhadap
kekuasaan politik
yang diharapkannya nanti dapat mempercepat promosi mereka kedalam
jabatan birokrasi yang lebih strategis. Banyak pejabat birokrasi
yang kemudian secara langsung atau tidak langsung terlibat dalam proses Pilkada dan menjadi bagian dari upaya pemenangan calon
kepala daerah yang didukungnya. Fenomena seperti ini lazim terjadi di daerah dan membuat
politisasi birokrasi
di daerah
menjadi sangat
intens dan
mengganggu upaya untuk mewujudkan aparatur yang profesional
13
GDS, 2002 dan GAS 2006 yang diselenggarakan oleh PSKK UGM menunjukan adanya penguatan
subyektifitas dalam
rekrutmen dan
promosi pejabat
publik pasca
pelaksanaan otonomi daerah.
160
tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu. Sedangkan tanpa
aparatur yang
profesional amat
sulit membayangkan
pelaksanaan otonomi daerah akan dapat mendorong terjadinya kemajuan daerah.
Masalah lain yang perlu diselesaikan dalam kepegawaian di daerah adalah rendahnya mobilitas aparat birokrasi di daerah.
Setelah pelaksanaan otonomi daerah, mobilitas pegawai antar
daerah menjadi sangat rendah. Rendahnya mobilitas pegawai antar daerah dikawatirkan membuat wawasan nasional dari para pejabat
birokrasi daerah menjadi sangat kurang. Hal ini tentu sangat merugikan
dilihat dari
kepentingan untuk
mempertahankan integrasi nasional dan juga dari
pengembangan profesionalisme aparatur daerah. Profesionalisme birokrasi menuntut aparatur
memiliki pengalaman penugasan yang berbeda dalam bidang dan di wilayah
yang berbeda.
Pengaturan perlu
dilakukan untuk
mendorong adanya mobilitas pegawai antar daerah. Rendahnya mobilitas pegawai antar daerah sering terkait
dengan sistem rekrutmen yang tertutup dan berbau Korupsi Kolusi dan Nepotisme KKN. Rekrutmen yang tertutup membuat
jabatan yang tersedia di satu daerah tidak dapat diakses oleh daerah lainnya. Kondisi seperti ini sering menutup kesempatan
bagi PNS yang memiliki pengalaman dan kompeten di daerah lain untuk dapat bersaing secara wajar menduduki jabatan tersebut.
Meluasnya praktik KKN melalui rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah sering mendorong daerah menjadi semakin
tertutup dalam melakukan rekrutmen dan promosi pejabat publik di daerah.
Sisi lain dari masalah kepegawaian adalah tidak adanya kejelasan jumlah pegawai yang dibutuhkan daerah. Akibatnya
161
daerah mengalami suatu situasi kelebihan dan kekurangan pegawai dalam waktu yang bersamaan. Pemerintahan daerah
kelebihan pegawai
yang tidak
mempunyai kompetensi
yang memadai
untuk melakukan
pekerjaan yang
membutuhkan kompetensi
tertentu. Sebaliknya
pemerintahan daerah
juga kelebihan pegawai yang tidak jelas kompetensinya sehingga
mereka menjadi beban bagi keuangan pemerintahan daerah dan membengkakkan overhead cost pemerintah daerah.
Masalah lain yang menyebabkan PNS sulit untuk menjadi netral adalah diberikan kewenangan Pembina kepegawaian kepada
kepala daerah. Kepala daerah adalah pejabat politis yang berbasis spoil
system. Ada
kecenderungan kepala
daerah mengelola
kepegawaian dengan
pendekatan spoil
system dan
bukan berdasarkan
pendekatan meritokrasi.
Akibatnya terjadi
kecenderungan politisasi
PNS di
daerah untuk
melakukan pemihakan khususnya dalam pilkada. Kondisi tersebut akan
berdampak pada
menurunnya profesionalisme
dan mengedapannya aliansi politis dalam menajemen kepegawaian.
Pada gilirannya pelayanan publik yang menjadi korban karena penempatan pejabat bukan atas dasar profesionalisme tapi atas
pertimbangan politis.
4.7.3 Analisis