120
Forum komunikasi antar instansi dalam ranah eksekutif tersebut
yang dimasa
orde baru
disebut dengan
istilah musyawarah
pimpinan daerah
muspida. Dasar
hukumnya bersumber
dari UU
5 tahun
1974 tentang
Pokok Pokok
Pemerintahan di Daerah. Namun dengan digantinya UU 51974 dengan UU 221999 dan kemudian diganti pula dengan UU
322004 maka sebenarnya dasar hokum yang emayungi forum muspida tersebut sudah tidak ada lagi, namun keberadaan
muspida masih dirasakan penting oleh pimpinan pemerintahan daerah untuk mendukung sinerji dan harmonisasi kegiatan antar
instansi pemerintah yang ada di daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
4.3.3.2. Identifikasi Masalah
Dalam masa transisi demokrasi dewasa ini diperlukan pengaturan urusan pemerintahan umum yang ada di daerah.
Dalam era Orde Baru urusan tersebut dilakukan oleh Kepala
Daerah yaitu Gubernur, Bupati dan Walikota dalam kapasitasnya juga
sebagai Kepala
Wilayah sebagai
representasi wakil
pemerintah pusat di daerah yang memegang kendali atas Urusan pemerintahan umum tersebut. Bahkan pada masa Orde
Baru, camat juga diposisikan sebagai wakil pusat di wilayah kecamatan yang bertugas melaksanakan urusan pemerintahan
umum di toingkat kecamatan. Urusan pemerintahan umum adalah
urusan pemerintahan
yang menjadi
kewenangan pemerintah pusat dan secara hirarkhis dilimpahkan kepada
Gubernur, BupatiWalikota dan Camat pada waktu itu. Dalam era reformasi dewasa ini urusan pemerintahan
umum tersebut tidak ada secara jelas dan tegas diatur dalam UU
121
322004. Hanya Gubernur yang berperan sebagai wakil pusat di daerah. Itupun dimaksudkan hanya sebagai perpanjangan tangan
pemerintah pusat untuk melakukan binwas dan fasilitasi terhadap penyelenggaraan
pemerintahan yang
dilaksanakan oleh
kabupatenkota. Tidak diatur secara jelas dan tegas tugas- tugasnya dalam pelaksanaan urusan pemeruintahan umum.
Terlebih di tingkat kabupatenkota, dengan dihapuskannya posisi BupatiWalikota sebagai wakil pemerintah pusat di daerah dan
juga difungsikannya camat hanya sebagai perangkat daerah, telah menyebabkan
tidak adanya
institusi pemerintahan
yang melaksanakan urusan pemerintahan umum tersebut.
Kondisi ini yang kemudian menyebabkan tidak adanya pelaksana urusan pemerintahan umum di daerah. Akibatnya
banyak terjadi
kegiatan-kegiatan ekstrim
yang bersifat
primordialisme yang tidak ada yang menanganinya di daerah. Hanya aparat keamanan saja yang
sibuk manakala terjadi kerusuhan tanpa adanya suatu institusi yang secara fungsional
dan structural
melakukan kegiatan-kegiatan
pencegahan munculnya kerusuhan tersebut. Pemerintah daerah tidak ada
yang melakukan tindakan-tindakan atau program kerja yang bersifat preventif untuk mencegah munculnya kegiatan-kegiatan
yang membahayakan
keutuhan bangsa
dan Negara, karena
memang tugas tersebut tidak masuk dalam ranah otonomi daerah. Dari sisi keberadaan muspida, selama ini keberadaannya
berdasarkan hasil wawancara dengan para kepala daerah baik kepada
gubernur atau
bupatiwalikota, mereka
menyatakan bahwa
forum muspida
tersebut masih
diperlukan untuk
menunjang kelancaran
jalannya roda
pemerintahan daerah.
Keberadaan forum tersebut dirasa urgensinya terkait dengan upaya menyamakan persepsi dari pemerintah daerah ketika
122
menyikapi urusan-urusan
yang terkait
dengan keamanan,
kerusuhan akibat SARA, bencana, dan penegakan hokum yang terkait dengan kewenangan daerah seperti penertiban KTP, ijin
bangunan, kaki lima dan gangguan-gangguan kemasayarakatan lainnya.
Hubungan yang
kurang harmonis
antar instansi
pemerintah akan
menunjukkan ketidak
kompakan aparat
pemerintah termasuk
pemerintah daerah
dalam menyikapi
berbagai urusan yang bersifat “cross cutting” yaitu kombinasi antara urusan yang menjadi kewenangan daerah dan kewenangan
yang bukan masuk ranah otonomi daerah seperti kerukunan SARA, masalah keamanan dan ketertiban, penegakan hukum
antar hukum
yang berlandaskan
perda dan
hukum yang
berdasarkan undang-undang yang menjadi kewenangan pihak kepolisian atau kejaksanaan dan banyak lagi contoh-contoh
lainnya. Tidak adanya dasar hokum yang tegas dari keberadaan
muspida akan
menyebabkan kesulitan
dalam pertanggung
jawaban aspek keuangan. Dalam menunjang kegiatan forum muspida tersebut, pemerintah daerah sering terbebani dalam
pendanaannya. Hal ini akan menjadi temuan manakala ada pemeriksaan keuangan oleh BPK. Pada satu sisi kegiatan tersebut
memang harus dibiayai, namun pada sisis yang lain dasar hokum untuk membiayainya tidak ada. Posisi dilematis ini yang kemudian
menyebabkan pemerintah daerah dalam posisi serba salah. Pemda memerlukan bantuan aparat pemerintah seperti TNI dan Polri tapi
dasar hukum
pembiayaannya tidak
ada. Hal-hal
ini yang
memerlukan pemecahan dalam revisi UU 322004. Kalau hal-hal ini tidak ada dasar pengaturannya maka sulit menciptakan bagi
pemda untuk
memperoleh dukungan
dari pihak-pihak
non
123
pemerintah daerah ketika pemda dihadapkan pada kegiatan- kegiatan yang bersifat “cross cutting” yang melibatkan kewenangan
pemda dan kewenagan instansi-instansi diluar pemda.
4.3.3.3. Analisis