2012 07 05 06 21 07 A Naskah Akademik Rancangan Undang undang tentang Pemerintahan Daerah

(1)

NASKAH AKADEMIK

RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

KEMENTERIAN DALAM NEGERI

REPUBLIK INDONESIA


(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Desentralisasi adalah istilah dengan konotasi yang luas. Setiap penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat dapat tercakup dari pengertian tersebut. Konsep desentralisasi selalu berkaitan dengan kewenangan untuk mengatur dan mengurus kekuasaan yang menjadi domain Pemerintah Pusat yang diserahkan ke daerah. Dalam konteks Indonesia, desentralisasi selalu dikaitkan pembentukan daerah otonom atau pemerintahan daerah dan penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat kepada pemerintahan daerah sehingga pemerintahan daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tersebut.

Tiada satupun pemerintah dari suatu Negara dengan wilayah yang luas dapat melaksanakan kebijaksanaan dan program-programnya secara efektip dan efisien melalui sistem sentralisasi (Bowman & Hampton, 1983). Dari pandangan ini kita dapat melihat urgensi dari kebutuhan akan pelimpahan ataupun penyerahan sebagian kewenangan Pemerintah Pusat baik dalam konotasi politis maupun administratif kepada organisasi atau unit diluar Pemerintah Pusat itu sendiri. Apakah pelimpahan ini akan lebih menitik beratkan pada pilihan devolusi, dekonsentrasi, delegasi ataupun bahkan privatisasi, hal tersebut tergantung dari para pengambil keputusan politik di negara yang bersangkutan. Di banyak negara di dunia keempat bentuk tersebut diterapkan oleh Pemerintah Pusat, walaupun salah satu bentuk mungkin


(3)

mendapatkan prioritas dibandingkan bentuk-bentuk lainnya (Rondinelli & Cheema, 1983).

Secara teoritik terdapat elemen-elemen dasar yang bersifat generik dalam institusi pemerintahan daerah. Agar pemerintah daerah mampu melaksanakan otonominya secara optimal yaitu sebagai instrumen menciptakan proses demokratisasi dan instrumen menciptakan kesejahteraan di tingkat lokal, maka kita harus memahami secara filosofis elemen-elemen dasar yang membentuk pemerintahan daerah sebagai suatu entitas pemerintahan. Sedikitnya ada 7 elemen dasar yang membangun entitas pemerintahan daerah yaitu:

(1) Urusan Pemerintahan

Elemen dasar pertama dari pemerintahan daerah adalah "urusan pemerintahan" yaitu kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah. Desentralisasi pada hakekatnya membagi urusan pemerintahan antar tingkatan pemerintahan; pusat mengerjakan apa dan daerah mengerjakan apa.

(2) Kelembagaan

Elemen dasar yang kedua dari pemerintahan daerah adalah kelembagaan daerah. Kewenangan daerah tidak mungkin dapat dilaksanakan kalau tidak diakomodasikan dalam kelembagaan daerah. Untuk konteks Indonesia, ada dua kelembagaan penting yang membentuk pemerintahan daerah yaitu: kelembagaan untuk pejabat politik yaitu kelembagaan kepala daerah dan DPRD; dan kelembagaan untuk pejabat karir yang terdiri dari perangkat daerah (dinas, badan, kantor, sekretariat, kecamatan, kelurahan dll).


(4)

(3) Personil

Elemen dasar yang ketiga yang membentuk pemerintahan daerah adalah adanya personil yang menggerakkan kelembagaan daerah untuk menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi domain daerah. Personil daerah (PNS Daerah) tersebut yang pada gilirannya menjalankan kebijakan publik strategis yang dihasilkan oleh pejabat politik (DPRD dan kepala daerah) untuk menghasilkan barang dan jasa (goods and services) sebagai hasil akhir (end product) dari pemerintahan daerah.

(4) Keuangan Daerah

Elemen dasar yang keempat yang membentuk pemerintahan daerah adalah keuangan daerah. Keuangan daerah adalah sebagai konsekuensi dari adanya urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah. Hal tersebut sesuai dengan prinsip "money follows function". Daerah harus diberikan sumber-sumber keuangan baik yang bersumber-sumber pada pajak dan retribusi daerah (desentralisasi fiskal) maupun bersumber dari dana perimbangan (subsidi dan bagi hasil) yang diberikan ke daerah. Adanya sumber keuangan yang memadai akan memungkinkan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah.

(5) Perwakilan Daerah

Elemen dasar yang kelima yang membentuk pemerintahan daerah adalah perwakilan daerah. Secara filosofis, rakyat yang mempunyai otonomi daerah tersebut. Namun secara praktis adalah tidak mungkin masyarakat untuk memerintah bersama. Untuk itu maka dilakukan pemilihan wakil-wakil rakyat untuk menjalankan mandat rakyat dan mendapatkan legitimasi untuk


(5)

bertindak untuk dan atas nama rakyat daerah. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia, ada dua jenis institusi yang mewakili rakyat. Pertama yaitu DPRD yang dipilih melalui pemilihan umum untuk menjalankan fungsi legislatif daerah. Kedua adalah kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah yang dilakukan secara langsung oleh rakyat daerah yang bersangkutan untuk menjalankan fungsi eksekutif daerah. Dengan demikian kepala daerah dan DPRD adalah pejabat yang dipilih oleh rakyat melalui proses pemilihan, yang mendapat mandat untuk mengatur dan mengurus rakyat dalam koridor kewenangan yang dimiliki daerah yang bersangkutan. Dalam elemen perwakilan tersebut mengandung berbagai

dimensi didalamnya yang bersinggungan dengan hak-hak dan kewajiban masyarakat. Termasuk dalam dimensi tersebut adalah bagaimana hubungan DPRD dengan kepala daerah; bagaimana hubungan keduanya dengan masyarakat yang memberikan mandat kepada mereka dalam upaya artikulasi dan agregasi kepentingan masyarakat; pengakomodasian pluralisme lokal kedalam kebijakan-kebijakan daerah; penguatan civil society dan isu-isu lainnya yang terkait dengan proses demokratisasi di tingkat lokal.

(6) Pelayanan Publik

Elemen dasar yang keenam yang membentuk pemerintahan daerah adalah "pelayanan publik". Hasil akhir dari pemerintahan daerah adalah tersedianya "goods and services" yang dibutuhkan masyarakat. Secara lebih detail goods and services tersebut dapat dibagi dalam dua klasifikasi sesuai dengan hasil akhir (end products) yang dihasilkan pemerintahan daerah. Pertama, pemerintahan daerah menghasilkan public


(6)

goods yaitu barang-barang (goods) untuk kepentingan masyarakat lokal seperti jalan, jembatan, irigasi, gedung sekolah, pasar, terminal, rumah sakit dan sebagainya yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, pemerintahan daerah menghasilkan pelayanan yang bersifat pengaturan publik (public regulations) seperti menerbitkan Akte Kelahiran, Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, Izin Mendirikan Bangunan, dan sebagainya. Pada dasarnya pengaturan publik dimaksudkan untuk menciptakan ketentraman dan ketertiban (law and order) dalam masyarakat.

Isu yang paling dominan dalam konteks pelayanan publik tersebut adalah bagaimana kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang dihasilkan pemerintahan daerah dalam rangka mensejahterakan masyarakat lokal. Prinsip-prinsip standar pelayanan minimal dan pengembangan pelayanan prima (better, cheaper, faster and simpler) serta akuntabilitas akan menjadi isu utama dalam pelayanan publik tersebut.

(7) Pengawasan

Elemen dasar ketujuh yang membentuk pemerintahan daerah adalah "pengawasan”. Argumen dari pengawasan adalah adanya kecenderungan penyalah-gunaan kekuasaan sebagaimana adagium dari Lord Acton yang menyatakan bahwa "power tends to corrupt and absolute power will corrupt absolutely". Untuk mencegah hal tersebut maka elemen pengawasan mempunyai posisi strategis untuk menghasilkan pemerintahan yang bersih. Berbagai isu pengawasan akan menjadi agenda penting seperti sinergi lembaga pengawasan internal, efektifitas pengawasan


(7)

eksternal, pengawasan sosial, pengawasan legislatif dan juga pengawasan melekat (built in control).

Ketujuh elemen dasar diatas merupakan elemen "generik" yang membentuk pemerintahan daerah. Penataan terhadap sistem pemerintahan sedikitnya harus menata ketujuh elemen dasar tersebut. Penataan harus bersifat sistemik dan tidak bisa partial. Dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pendekatan sistemik ini juga yang akan mendasari strategi perubahannya.

Dalam konteks Indonesia, untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan rakyat dan memperkuat integrasi nasional, para pendiri bangsa sejak awal sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi yaitu Undang Undang Dasar 1945 mencita-citakan Indonesia sebagai negara kesatuan yang desentralistis dan demokratis. Para pendiri bangsa (the founding fathers) menyadari bahwa variabilitas yang tinggi antar daerah, dan kondisi geografis yang terdiri dari beribu-ribu pulau, adalah tidak realistik kalau negara Indonesia dikelola secara sentralistis. Desentralisasi menjadi pilihan selain karena keinginan mewujudkan pemerintahan yang responsif terhadap dinamika yang terjadi di daerah, juga karena pemerintahan yang desentralistis lebih kondusif bagi percepatan pengembangan demokrasi di Indonesia. Dengan menyerahkan sebagian urusan pemerintahan ke daerah, maka rakyat di daerah akan menjadi semakin mudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mereka juga akan dapat lebih mudah mengawasi jalannya penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Namun, dalam perjalanan sejarah pemerintahan di Indonesia, pelaksanaan desentralisasi mengalami pasang-surut sesuai dengan dinamika politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi


(8)

di masa itu. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia mengalami perkembangan yang berarti sejak dilaksanakannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang menganut otonomi luas. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tersebut membatasi urusan pemerintahan di tingkat pusat dan provinsi melalui Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 dan mengalihkan sisanya kepada kabupaten/ kota melalui mekanisme pengakuan.

Mekanisme pembagian urusan pemerintahan tersebut mengikuti konsep urusan sisa (residual functions) yang diserahkan ke tingkat kabupaten/kota sedangkan urusan pemerintahan di tingkat pusat dan di tingkat provinsi ditentukan secara jelas dan specifik yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000. Mengingat scope urusan sisa yang diserahkan ke kabupaten/kota sangat luas, maka menimbulkan kesan bahwa di kabupaten/kota mengacu kepada prinsip otonomi luas atau general competence sedangkan otonomi terbatasnya (ultra vires) ada di tingkat provinsi. Undang-Undang ini juga menjadikan DPRD sebagai lembaga parlemen daerah yang memiliki kewenangan yang luas termasuk melakukan pemilihan dan pemakzulan kepala daerah ketika Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) Kepala Daerah kepada kepala daerah dua kali ditolak secara berurutan. Namun LPJ Kepala Daerah mungkin akan diterima apabila dalam waktu sebulan terjadi perbaikan kinerja. Ini merupakan pengaturan yang sulit diterima nalar. Bagaimana kinerja kepala daerah dalam setahun dapat diperbaiki dalam sebulan. Dalam praktek, celah ini dijadikan alat tawar menawar antara pihak eksekutif daerah dengan pihak DPRD.

Pada awal otonomi daerah di era reformasi, pelaksanaan desentralisasi yang dilakukan secara radikal dengan mengalihkan urusan yang seluas-luasnya ke daerah ternyata menimbulkan


(9)

berbagai masalah, seperti ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan, dan tidak jelasnya hubungan interelasi dan interdepensi antar tingkatan dan dan susunan pemerintahan khususnya antara pemerintahan daerah dengan Pemerintah Pusat dan antara pemerintahan daerah provinsi dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Penempatan DPRD sebagai parlemen daerah dengan kewenangan untuk memilih dan memakzulkan kepala daerah menghasilkan destabilisasi pemerintahan daerah. Konflik yang terjadi antar kepala daerah dan DPRD cenderung meluas di banyak daerah dan mengganggu kelancaran jalannya pemerintahan daerah. Semua hal di atas mendorong Pemerintah Pusat untuk merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 untuk menata kembali pelaksanaan desentralisasi sehingga percepatan pembangunan daerah dapat dilakukan.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba memperjelas pembagian urusan pemerintahan dan tetap dalam koridor otonomi luas (general competence) yang ada di tingkat daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mencoba melakukan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota. Ada 31 urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dalam konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945.

Ada tiga kriteria yang dipakai sebagai pedoman dalam pembagian urusan pemerintahan tersebut. Kriteria tersebut adalah kriteria eksternalitas, akuntabilitas dan efisiensi. Mengacu kepada ketiga kriteria tersebut, pembagian urusan pemerintahan menjadi sebagai berikut:


(10)

1. Pemerintah Pusat; mempunyai kewenangan untuk membuat pengaturan dalam bentuk Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah tersebut; berwenang melakukan monitoring, evaluasi dan supervisi terhadap pemerintahan daerah, dan berwenang untuk melakukan urusan pemerintahan yang berskala nasional (lintas provinsi) atau internasional (lintas negara).

2. Pemerintahan daerah provinsi mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala provinsi (lintas kabupaten/kota) berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

3. Pemerintahan daerah kabupaten/kota berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang berskala kabupaten/kota berdasarkan NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Selain itu Pemerintah Pusat diwajibkan menyelesaikan penetapan NSPK tersebut dalam waktu dua tahun dan apabila dalam waktu dua tahun Pemerintah Pusat belum juga menetapkan NSPK untuk dijadikan acuan bagi pemerintahan daerah untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah, maka pemerintahan daerah dapat menetapkan peraturan daerah (perda) untuk melaksanakan urusan yang menjadi kewenangannya. Fungsi lainnya dari NSPK adalah mengatur hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan yaitu antara pusat dan daerah dan antar pemerintahan daerah dalam pelaksanaan suatu urusan


(11)

pemerintahan sehingga urusan pemerintahan tersebut dapat terselenggara secara sistemik dan sinergik.

Urusan pemerintahan diklasifikasikan kedalam dua kategori yaitu ”urusan wajib” yang terkait dengan pelayanan dasar dan urusan pilihan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan yang potensial tumbuh dan berkembang di daerah tersebut. Pendekatan tersebut ditujukan untuk mendorong pemerintahan daerah melaksanakan urusan pemerintahan yang benar-benar sesuai dengan karakter daerah dan kebutuhan masyarakat daerah tersebut untuk mendukung terciptanya kesejahteraan masyarakat daerah.

Ada 31 urusan pemerintahan yang di desentralisasikan ke daerah provinsi dan kabupaten/kota. Urusan pemerintahan tersebut yaitu:

1) Sosial

2) Lingkungan Hidup 3) Perdagangan

4) Kelautan dan Perikanan 5) Kehutanan

6) Pendidikan dan Kebudayaan 7) Kesehatan

8) Usaha Kecil dan Menengah 9) Tenaga Kerja dan Transmigrasi 10) Pertanian dan Perkebunan

11) Pertambangan Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 12) Perhubungan

13) Penanaman Modal

14) Pariwisata dan Ekonomi Kreatif 15) Kependudukan

16) Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak 17) Keluarga Berencana dan Keluarga Sejahtera

18) Perindustrian 19) Pekerjaan Umum 20) Penataan Ruang

21) Pemuda dan Olah Raga 22) Komunikasi dan Informasi 23) Perumahan


(12)

24) Arsip

25) Pertanahan

26) Kesatuan Bangsa dan Politik 27) Statistik

28) Pemerintahan Umum

29) Pemberdayaan Masyarakat Desa 30) Kepegawaian

31) Perpustakaan

Kalau Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memakai prinsip ”residual function” untuk kabupaten/kota yaitu semua urusan pemerintahan yang tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 sebagai kewenangan Pemerintah Pusat dan provinsi akan menjadi kewenangan kabupaten/kota. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pembagian urusan pemerintahan mempergunakan prinsip ”concurrence function” artinya diterapkannya prinsip konkurensi dari setiap urusan pemerintahan. Apa yang dikerjakan di Pemerintah Pusat, menjadi juga kewenangan provinsi dan kewenangan kabupaten/kota, hanya skalanya yang berbeda. Kalau Pemerintah Pusat mempunyai kewenangan yang berskala nasional atau lintas provinsi, maka provinsi akan mempunyai kewenangan dengan skala provinsi atau lintas kabupaten/kota sedangkan kabupaten/kota mempunyai kewenangan skala kabupaten/kota atas 31 urusan pemerintahan yang di desentralisasikan. Pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota dituangkan dalam matriks pembagian urusan yang dipayungi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Pemerintah Pusat kemudian menetapkan Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) yang dijadikan pedoman atau acuan bagi pemerintahan daerah provinsi dan


(13)

kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 juga mengubah kedudukan DPRD dan pola hubungan antara DPRD dengan kepala daerah. Kepala daerah tidak lagi dipilih oleh DPRD tetapi dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana para anggota DPRD. Kepala daerah karena itu memiliki basis legitimasi yang kuat dan tidak lagi tergantung pada DPRD. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 kedudukan DPRD dikembalikan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. DPRD yang sebelumnya memiliki kewenangan untuk melakukan pemakzulan terhadap kepala daerah apabila Laporan Pertanggung Jawabannya (LPJ) ditolak oleh DPRD, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 mereka memiliki kedudukan yang setara dan menjadi mitra dari kepala daerah. Karena kepala daerah dipilih oleh rakyat, maka kepala daerah menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggung Jawaban (LKPJ) dan bukan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) kepada DPRD.

Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah berhasil menyelesaikan beberapa masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, namun ternyata dalam pelaksanaannya muncul beberapa masalah baru yang perlu memperoleh perhatian Pemerintah Pusat dan semua pemangku kepentingan. Ketidakjelasan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sering menimbulkan intepretasi yang berbeda dari berbagai kelompok kepentingan dan menjadi salah satu sumber konflik antar susunan pemerintahan dan aparatnya. Misalnya, dalam pembagian urusan, ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan masih merupakan masalah yang secara persisten dihadapi oleh Indonesia dalam pelaksanaan


(14)

desentralisasi. Konflik dan tumpang tindih kewenangan antar susunan pemerintahan dan antar daerah tetap terjadi dan memerlukan pengaturan yang lebih jelas dan efektif. Urusan pemerintahan yang berbasis ekologis. Khususnya yang terkait dengan urusan kehutanan dan kelautan masih tetap sulit untuk dibagi antar tingkatan pemerintahan karena batas wilayah administrasi pemerintahan sering kurang sesuai dengan externalitas yang ditimbulkan dari urusan pemerintahan yang berbasis ekologis.

Otonomi luas yang diwujudkan dalam bentuk 31 urusan yang diserahkan ke daerah sering menimbulkan masalah dalam pembiayaannya. Urusan yang sangat banyak ditambah dengan sumber pendanaan yang terbatas, telah menyebabkan banyak daerah mengalami kesulitan dalam pembiayaan urusan tersebut. Keadaan tersebut diperparah dengan adanya kecenderungan daerah untuk membuat struktur organisasi yang gemuk akibat tekanan birokrasi akan tambahan jabatan akan memicu meningkatnya kebutuhan akan pegawai yang pada gilirannya akan menyebabkan bengkaknya biaya aparatur atau overhead cost. Otonomi luas dalam bentuk banyaknya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah dapat menjadi justifikasi bagi daerah untuk menambah struktur organisasi perangkat daerah. Kondisi tersebut diperparah dengan adanya perintah dari peraturan perundang-undangan atau kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian (LPNK) yang mewajibkan daerah untuk membentuk suatu organisasi untuk mewadahi suatu urusan yang tidak ada relevansi atau urgensinya di daerah tersebut.

Meningkatnya overhead cost akan mengurangi alokasi anggaran untuk pelayanan publik sebagai dasar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Munculnya


(15)

gejala patronasi dan kooptasi birokrasi secara politis akan memberikan tekanan bagi elit politik lokal untuk mengembangkan struktur organisasi. Pemberian otonomi luas akan menjadi alasan utama bagi daerah untuk mengembangkan organisasi untuk mewadahi urusan pemerintahan tersebut, walaupun secara empirik banyak dari urusan tersebut tidak sesuai dengan prioritas untuk mensejahterakan rakyat. Otonomi daerah yang luas belum disikapi sebagai ”open menu” bagi elit daerah. Pengertian open menu mengarah pada kondisi dimana daerah tidak harus memprioritaskan urusan-urusan pemerintahan yang relevansinya kurang kuat terkait dengan upaya daerah mensejahterakan masyarakatnya.

Seyogyanya mereka memprioritaskan urusan-urusan pemerintahan yang sesuai dengan urusan wajib yang terkait prioritas pelayanan dasar dan urusan pilihan yang menjadi prioritas untuk dikembangkan sesuai dengan unggulan daerah. Otonomi luas bukan berarti semua urusan harus dilembagakan tapi fungsinya tetap menjadi domain kewenangan daerah namun tidak harus dilembagakan tersendiri karena akan memicu bengkaknya overhead cost. Diperlukan pemikiran untuk menerapkan kelembagaan yang ”right sizing” yang bercirikan ramping struktur namun kaya fungsi.

Disamping itu, dinamika pelaksanaan desentralisasi selama dekade terakhir ini juga menunjukan perlu adanya penambahan pengaturan baru tentang pelayanan publik dan partisipasi masyarakat. Pengaturan tentang pelayanan publik sangat penting dalam undang-undang pemerintahan daerah karena tidak adanya pengaturan tentang pelayanan publik sering membuat daerah kurang peduli dengan penyelenggaraan pelayanan publik. Sedangkan, salah satu pertimbangan utama dari pelaksanaan


(16)

desentralisasi agar daerah dapat menyelenggarakan pelayanan publik yang berkualitas, sesuai dengan kebutuhan warganya, dan dapat dijangkau oleh warganya dengan mudah. Pengaturan tentang penyelenggaraan pelayanan publik perlu dimasukan dalam undang-undang pemerintahan daerah agar daerah memiliki pedoman dan standar yang jelas dalam menyelenggarakan pelayanan yang berkualitas.

Pengaturan yang sama juga dilakukan mengenai partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat menjadi salah satu kunci sukses dari penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah. Salah satu tujuan dari desentralisasi adalah agar masyarakat dan pemangku kepentingan dapat lebih mudah berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah. Namun, karena pengaturan tentang partisipasi masyarakat tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 banyak daerah yang masih mengabaikan perlunya mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah. Amat jarang daerah yang mengakui bahwa partisipasi adalah hak dari setiap warga yang harus dilindungi oleh negara. Penambahan pengaturan tentang partisipasi yang mengatur hak-hak warga untuk terlibat dalam proses kebijakan dan kewajiban daerah untuk memberi ruang kepada warganya untuk terlibat dalam proses kebijakan amat penting untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah benar-benar mengabdi pada kepentingan warga.

Atas dasar pertimbangan-pertimbangan di atas maka revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diperlukan. Revisi dilakukan disamping untuk melakukan perubahan terhadap pengaturan yang ada agar lebih mampu menjawab berbagai masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, juga untuk melengkapi berbagai kekurangan yang ada dalam Undang-Undang


(17)

Nomor 32 Tahun 2004. Dengan adanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 maka diharapkan penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia benar-benar dapat mendorong kemajuan daerah dan meningkatkan kemakmuran bagi warga di daerah. Dengan demikian, desentralisasi diharapkan juga dapat menjadi perangkat kebijakan untuk memperkuat integrasi nasional dan memperkokoh keberadaan NKRI.

1.2 Maksud dan Tujuan

Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki berbagai kelemahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 terkait dengan konsep kebijakan desentralisasi dalam negara kesatuan, ketidakjelasan pengaturan dalam berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah, dan hubungan antara pemerintah dengan warga dan kelompok madani. Praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 belum sepenuhnya menjamin terwujudnya NKRI yang desentralistis dan mampu menjamin adanya hubungan yang harmonis dan sinergik antar tingkatan dan susunan pemerintahan. Dalam pembagian urusan misalnya, konsep negara kesatuan yang desentralistis belum sepenuhnya tergambar dalam pengaturan dan norma-norma yang ada sehingga seringkali masih dijumpai ketidakharmonisan hubungan antar kementrian dan lembaga dengan daerah, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar daerah.

Ketidakjelasan pengaturan sering membuat kerjasama antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupaten/kota dan antar daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah belum dapat dilakukan secara optimal. Disamping itu tidak jelasnya hubungan


(18)

antara Pemerintah Pusat dan pemerintahan daerah telah menyebabkan sulitnya menciptakan sinergi antara pembangunan pusat dengan daerah dan antara provinsi dengan kabupaten/kota dalam wilayah provinsi tersebut. Akibatnya adalah sulitnya pencapaian target-terget nasional yang telah ditetapkan Pemerintah Pusat karena masing-masing tingkatan pemerintahan mempunyai target dan prioritasnya sendiri-sendiri. Pada gilirannya penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam konstruksi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sering belum mampu mempercepat perbaikan kesejahteraan rakyat di daerah yang akibat lanjutannya adalah rendahnya peningkatan kesejahteraan masyarakat secara nasional.

Disamping memperjelas konsep desentralisasi dalam kerangka NKRI, revisi juga dilakukan untuk memperjelas berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan daerah yang selama ini belum diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Misalnya, dalam pembentukan daerah otonom baru. Pengaturan yang ada selama ini dinilai belum jelas dan memadai sehingga pembentukan daerah otonom baru cenderung dilakukan secara masif dan lebih didorong oleh pertimbangan kepentingan elit dan sempit dari berbagai kelompok kepentingan yang ada di daerah. Berbagai pengaturan tentang kawasan perkotaan, kawasan khusus, daerah perbatasan, pengelolaan aset dan sumber daya di daerah selama ini dinilai belum jelas sehingga cenderung tidak efektif dan tidak mampu menjawab dinamika daerah yang sangat cepat dan kompleks.

Revisi juga dilakukan untuk menambahkan beberapa pengaturan baru yang selama ini belum tercakup dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, namun sangat penting untuk mempercepat keberhasilan desentralisasi mewujudkan


(19)

pemerintahan daerah yang bersih, demokratis, dan mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Beberapa pengaturan terkait dengan hubungan antara pemerintah daerah dengan warganya seperti pengaturan tentang hak-hak warga untuk berpartisipasi dalam proses kebijakan di daerah, kewajiban daerah untuk menjamin hak-hak warga berpartisipasi, dan hak-hak warga menyampaikan keluhan serta mekanisme penyelesaian sengketa antara warga dan penyelenggara pelayanan publik belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Sedangkan berbagai hal tersebut sangat strategis dalam menjamin terwujudnya pemerintahan daerah yang bersih, responsif, dan akuntabel.

Disamping itu terdapat juga kebutuhan untuk mendorong inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh sejauhmana kreativitas bangsa yang bersangkutan untuk selalu mencari alternatif dalam peningkatan kualitas hidupnya. Demikian juga halnya dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, kemajuan yang dicapai akan sangat dipengaruhi oleh terobosan-terobosan pemikiran yang harus dilakukan pemerintahan daerah khususnya dalam penyediaan pelayanan publik. Pemerintahan daerah harus didorong untuk memanfaatkan kearifan lokal (local wisdom) yang ada untuk meningkatkan kinerjanya melalui peningkatan kreativitas dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Untuk itu diperlukan payung hukum untuk mendorong dan melindungi pemerintahan daerah yang telah melakukan kegiatan-kegiatan inovatif tanpa dihantui oleh tuntutan hukum. Jangan sampai kegiatan yang inovatif bermuara pada kriminalisasi. Untuk itu diperlukan adanya kriteria yang jelas untuk menentukan bahwa suatu kegiatan masuk dalam rumpun


(20)

inovasi. Tapi sebaliknya juga jangan penyalahgunaan kekuasaan berlindung dibalik kegiatan yang inovatif.

Sisi lain yang memerlukan payung hukum adalah tindakan hukum terhadap pejabat daerah. Adanya ketakutan yang berlebihan terhadap dampak hukum yang terjadi telah menyebabkan aparat pemerintahan daerah enggan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dianggap potensial menyebabkan masalah hukum di kemudian hari. Timbullah budaya kerja mencari selamat. Akibatnya penyerapan anggaran menjadi terkendala dan banyak menimbulkan sisa diakhir tahun anggaran. Pada satu sisi pelayanan publik belum optimal namun pada sisi lain anggaran yang ada belum termanfaatkan secara optimal. Untuk mengatasi masalah tersebut harus ada payung hukum yang mengatur kejelasan atas suatu kesalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Apakah kesalahan tersebut masuk dalam ranah administratif (non yustisia) atau ranah pidana (pro yustisia). Kalau setiap kesalahan dipaksakan masuk ke ranah pro yustisia, akan menyebabkan keengganan pejabat daerah dalam mengurus kegiatan-kegiatan yang berimplikasi hukum padahal kegiatan tersebut sangat diperlukan masyarakat karena terkait pelayanan publik. Suatu kesalahan dalam penyelenggaraan pemerintahan seyogyanya diperiksa dulu oleh aparat pengawas internal pemerintah yang dalam hal ini dilakukan oleh Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasil pemeriksaan yang dilakukan BPKP akan menentukan apakah kesalahan tersebut masuk dalam ranah administrasi atau ranah pidana. Kalau ada indikasi pidana maka sifatnya akan menjadi pro yustisia dan menjadi tugas serta kewenangan aparat penegak hukum untuk menindak lanjutinya.


(21)

Adanya revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini diharapkan dapat memberi kesempatan untuk membangun kerangka hukum penyelenggaraan pemerintahan daerah yang menyeluruh, visioner, dan efektif merespon berbagai masalah yang sekarang dan mungkin terjadi di masa mendatang di dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia.

1.3 Metodologi

Revisi undang-undang ini dirancang sedemikian rupa agar bersifat problem-based, partisipatif, dan berbasis pada pemikiran yang secara akademik dan politik dapat diterima. Bersifat problem-based karena inisiatif dan dasar untuk melakukan revisi adalah masalah yang dihadapi baik oleh Pemerintah Pusat, daerah, para penyelenggara pemerintahan daerah, dan para pemangku kepentingan lainya terkait dengan penyelenggarakan pemerintahan daerah. Berbagai masalah yang dihadapi oleh penyelenggara pemerintahan daerah dan pemangku kepentingan setelah dikaji secara akademik ternyata bersumber dari ketidakjelasan pengaturan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan ketidakharmonisan antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan peraturan perundangan lainnya. Berbagai masalah yang dihadapi oleh banyak pemangku kepentingan ini menjadi dasar dan mendorong upaya untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Dorongan untuk melakukan revisi juga muncul dari masalah yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang mekanisme pengelolaannya belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Misalnya, mengenai penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah. Pelayanan publik adalah hal yang sangat strategis dan menjadi isu


(22)

yang sangat penting karena terkait secara langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mengakomodasi kebutuhan adanya pengaturan yang diperlukan untuk menjawab tantangan yang sekarang dan dimasa mendatang dihadapi oleh pemerintah daerah. Dengan demikian, diharapkan undang-undang yang dihasilkan nanti benar-benar mampu menjawab berbagai masalah yang sekarang dihadapi ataupun tantangan yang mungkin terjadi di masa mendatang dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.

Metode partisipatori digunakan dalam keseluruhan proses revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Didalam menentukan agenda revisi, yaitu menentukan hal apa dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang perlu direvisi, Tim Revisi melakukan serangkaian Focus Group Discussion (FGD) di berbagai daerah dengan multi-stakeholders, diantaranya di Mataram, Semarang, Pangkalpinang, Bali dan lain-lainnya. Tim juga melakukan uji publik dengan kalangan kementerian dan lembaga pemerintah non kementerian, asosiasi pemerintahan daerah seperti Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI), Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI), Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI). Termasuk uji publik dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kalangan akademisi dan pemerhati otonomi daerah. Tim Revisi telah memperoleh berbagai masukan dari berbagai kalangan dan masukan-masukan tersebut sepanjang bermanfaat serta layak dipertimbangkan telah dipergunakan Tim Revisi untuk menyempurnakan konsep yang secara terus menerus dibangun dan disempurnakan. Dengan melibatkan multi-stakeholders di berbagai daerah diharapkan agenda revisi dapat mencakup


(23)

masalah dan kebutuhan yang dirasakan oleh banyak pihak yang mewakili kepentingan yang berbeda-beda.

Proses revisi juga dilakukan secara terbuka dan partisipatif dimana Tim Revisi yang terdiri dari pakar berbagai bidang keilmuan yang relevan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah bersama-sama dengan tim dari berbagai komponen di Kementerian Dalam Negeri mendiskusikan berbagai masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan merumuskan norma yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Dalam membahas berbagai isu, perdebatan yang intens dilakukan bukan hanya dengan tim pakar, pejabat dari berbagai unsur dari Kementerian Dalam Negeri, tetapi juga berbagai pihak diluar tim, seperti: pakar dari universitas dan lembaga lainnya, unsur-unsur dari kementrian dan lembaga Pemerintah Pusat lainnya, wakil dari asosiasi, perwakilan dari berbagai LSM, dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan melibatkan proses yang terbuka dan partisipatif diharapkan pemikiran yang berkembang dalam revisi menggambarkan pemikiran yang terkini, relevan, dan efektif untuk menjawab masalah dan tantangan yang dihadapi dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

Dengan konsultasi publik yang luas dengan berbagai pihak dan pemangku kepentingan diharapkan dapat mendorong terjadi perdebatan yang terbuka tentang berbagai aspek penyelenggaraan pemerintahan yang selama ini menjadi perhatian masyarakat luas. Kementerian Dalam Negeri akan menjadikan masukan dan pemikiran yang berkembang dalam konsultasi publik menjadi informasi dan bahan yang penting untuk menjadikan undang-undang pemerintahan daerah hasil revisi benar-benar menjadi milik masyarakat dan semua pemangku kepentingan.


(24)

Revisi juga dilakukan dengan mengkombinasikan pendekatan keilmuan dan politik. Pendekatan keilmuan dilakukan untuk mencari solusi yang tepat terhadap berbagai masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan melibatkan para pakar dari berbagai universitas dan lembaga penelitian yang berbeda diharapkan revisi dapat menghasilkan pengaturan baru yang secara akademik kuat dan secara politik sesuai. Pengaturan baru tentunya harus memiliki landasan konsepsual yang kuat didukung oleh hasil riset dan pengalaman internasional yang memadai. Untuk itu maka para pakar diminta melakukan kajian tentang berbagai isu yang dianggap penting dan menuliskan hasilnya sehingga dapat menjadi bahan untuk pembuatan naskah akademik dan masukan yang penting dalam revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Namun, pengaturan yang secara akademik sound harus juga dapat diimplementasikan dengan mudah, sederhana, dan efektif. Karena itu, pemikiran dari para pakar dan anggota Tim Revisi dikonsultasikan dengan para pihak yang berkepentingan sehingga pengaturan yang diusulkan bukan hanya tepat secara konsepsual, tetapi juga secara politik sesuai, dan diterima dimata berbagai pemangku kepentingan.

1.4 Struktur Penulisan

Naskah akademik ini terdiri dari 5 Bab yaitu: Bab I Pendahuluan

Menjelaskan tentang pendahuluan yang mencakup latar belakang, tujuan dari revisi, metodologi, dan struktur penulisan.


(25)

Bab II Kerangka Konseptual, Kebijakan Desentralisasi Dalam Negara Kesatuan

Berisi tentang kerangka konsepsual yang menjelaskan konsep desentralisasi dan konstruksi desentralisasi dalam negara kesatuan. Adanya konsep yang jelas tentang desentralisasi dalam negara kesatuan diharapkan dapat membantu para pembentuk undang-undang dan pemangku kepentingan dalam menentukan arah dari revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004.

Bab III Materi Muatan Undang-Undang Pemerintahan Daerah Memuat materi dari revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Semua masalah strategis yang memerlukan perubahan pengaturan dalam undang-undang pemerintahan daerah dan keterkaitannya dengan peraturan perundangan lainnya dijelaskan disini. Disamping memuat masalah yang menuntut perubahan, Bab ini juga mengidentifikasi masalah yang memerlukan pengaturan baru dalam undang-undang hasil revisi, seperti partisipasi masyarakat, pelayanan publik, dan inovasi daerah.

Bab IV Dasar Pemikiran, Permasalahan, Analisis dan Usulan Perubahan

Menjelaskan tentang dasar pemikiran dari setiap topik dan isu yang dibahas dalam revisi, permasalahan yang berkembang dalam topik itu, analisis tentang penyebab munculnya masalah, dan usulan perubahan. Bab ini diharapkan dapat membantu para pihak memahami nilai-nilai dan tujuan yang ingin diwujudkan dari setiap isu kebijakan yang muncul, permasalahan yang berkembang


(26)

dalam setiap isu, analisis tentang penyebab munculnya masalah, dan usulan perubahan kebijakan untuk menjawab masalah yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.


(27)

BAB II

KERANGKA KONSEPTUAL: KEBIJAKAN DESENTRALISASI DALAM

NEGARA KESATUAN

2.1 Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia

Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada dasarnya terdapat 8 (delapan) kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem pemerintahan daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini:

(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

Undang-undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.

Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari


(28)

anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Kepala daerah menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan.

Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah Pusat untuk menerapkan prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figur kepala daerah. Status kepala daerah adalah diangkat dan diambil dari keanggotaan komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah Pusat dan bukan dipilih.

(2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif.

Undang-undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala daerah diangkat oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diusulkan oleh


(29)

DPRD. DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain kepala daerah tetap menjalankan dwifungsi; sebagai Ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pemerintah Pusat, kepala daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai Ketua DPD, kepala daerah bertindak selaku wakil dari daerah yang bersangkutan.

Tidak seperti Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 secara jelas menyatakan urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah (otonomi materiil) seperti prinsip Ultra Vares yang diterapkan pada pemerintah daerah di Inggris. Terdapat 15 jenis urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan kota kecil sebagai pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan pemerintah daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi mengesampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah. Keinginan memberikan otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas.

Dalam realitas, kebanyakan daerah pada masa tersebut masih dibawah kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah sistem federal. Sedangkan wilayah Republik Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya berlaku pada


(30)

wilayah Republik Indonesia, sedangkan daerah-daerah dibawah sistem federal diatur sistem pemerintahan daerahnya menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950.

(3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957

Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 lebih menekankan pada aspek dekonsentrasi, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 pada aspek desentralisasi, maka Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah desentralisasi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah produk dari sistem parlemen liberal hasil dari pemilihan umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat (Suryaningrat, 1980).

Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan otonomi daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada Propinsi. Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan harus dilakukan dengan peraturan pemerintah dan prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama.


(31)

Sistem pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya. Perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terletak pada peranan yang dijalankan oleh kepala daerah. Kepala daerah hanya berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah dan DPD baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III.

Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik tidak diiringi dengan kedewasaan sosial dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat pun diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu; mencabut berlakunya UUDS 1950, membubarkan kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang disebut Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy).

(4) Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959

Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan


(32)

Presiden 6 Tahun 1959 untuk mengatur pemerintahan daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat dia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai eksekutif daerah kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian (BPH) yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik.

Penetapan Presiden 6 Tahun 1959 menandai beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah kearah prinisip dekonsentrasi. Kekuasaan daerah pada dasarnya terletak ditangan kepala daerah, dan Pemerintah Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap kepala daerah yang umumnya direkrut dari Pamong Praja . Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan calon-calon kepala daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong Praja mendominasi jabatan bupati dan walikota. Pada awal tahun 1960-an pada waktu semua jabatan kepala daerah terisi, dari 238 kepala daerah, 150 orang atau 63% berasal dari Pamong Praja (Legge, 1961).

Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 yang menyatakan pemberian otonomi yang


(33)

seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan-Urusan Pusat yang sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada pemerintah daerah. Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-urusan yang dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap dipertahankan. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dikeluarkan untuk mengganti Penetapan Presiden 6 Tahun 1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari dekonsentrasi ke arah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional.

(5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965

Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok Partai Nasionalis, Agama dan Komunis.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, kepala daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap (supplement) saja walaupun diberi embel-embel vital.


(34)

Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem pemerintahan daerah adalah bahwa kepala daerah bukanlan lagi bertindak sebagai Ketua DPRD, dan dia juga diizinkan menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah yang otonom yaitu; Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas-luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957.

Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutif daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat. (6) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir dalam masa Orde Baru sebagai akibat dari peristiwa G30S PKI. Ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah penguatan peran kepala daerah dalam menjalankan dua fungsi utamanya yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dia memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke daerah. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepala daerah disebut sebagai kepala wilayah yang memimpin wilayah administrasi sebagai wilayah kerja wakil Pemerintah Pusat di daerah.


(35)

Sebagai kepala wilayah maka yang bersangkutan berperan sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kepala wilayah juga mempunyai peran sebagai koordinator pemerintahan di daerah yang mengoordinir semua instansi vertikal yang ada di wilayah kerjanya. Kepala wilayah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum di daerah yaitu urusan-urusan terkait dengan koordinasi, pembinaan, ketentraman dan ketertiban umum dan menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang belum di otonomikan atau belum ada instansi vertikal yang menanganinya (urusan sisa).

Ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah kuatnya intervensi Pemerintah Pusat dalam setiap elemen dasar dari pemerintahan daerah. Dari aspek urusan pemerintahan, prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi yang luas, riil dan bertanggung jawab. Dalam kenyataannya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjumlah 7 s/d 9 urusan untuk tingkat kabupaten/kota dan 19 urusan untuk tingkat provinsi. Nuansa sentralisasi juga terasa kuat dalam aspek kepegawaian, keuangan, dan aspek-aspek lainnya dalam hubungan pusat dengan daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertahan selama hampir 25 tahun yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai tindak lanjut dari reformasi.

(7) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menandai terjadinya shifting yang signifikan dari sentralisasi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi pemerintahan daerah yang desentralistik secara ekstrim. Maka banyak


(36)

kalangan mengatakan telah terjadi “big bang” dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia. Dari yang serba terpusat dalam era Orde Baru menjadi serba ke daerah dalam era reformasi.

Dalam era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terjadi penyerahan urusan secara drastis ke daerah khususnya ke daerah kabupaten/kota. Dalam konteks otonomi seluas-luasnya Pemerintah Pusat dan provinsi mempunyai kewenangan yang terbatas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 25 Tahun 2000 sedangkan diluar dari yang ditentukan menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota. Terjadi pergesekan kewenangan antar tingkatan dan susunan pemerintahan terkait dengan kewenangan-kewenangan yang khususnya potensial menghasilkan penerimaan (revenue centers). Sebaliknya terjadi gejala penelantaran urusan-urusan pemerintahan yang bersifat pengeluaran (cost centers). Terjadi pula ketegangan antara kepala daerah dengan DPRD terkait dengan kecenderungan meluas ditolaknya laporan pertanggung jawaban kepala daerah oleh DPRD. Dalam bidang kepegawaian juga muncul kecenderungan kebijakan-kebijakan yang bersifat primordial yang kalau dibiarkan akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta menyuburkan rasa kedaerahan yang sempit. Berbagai persoalan tersebut telah menggiring kearah dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian dikeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penggantinya.

(8) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berusaha mencari keseimbangan antara desentralisasi dengan sentralisasi.


(37)

Pengalaman menunjukkan pendulum kebijakan desentralisasi ataupun sentralisasi yang ekstrim cenderung akan menciptakan instabilitas pemerintahan yang akan bermuara pada konflik yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu selalu terdapat upaya untuk menyeimbangkan antara kebijakan yang desentralistik dengan kebijakan yang sentralistik sebagai suatu continuumkebijakan.

Namun dalam perjalanan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 walaupun urusan pemerintahan sudah dibagi antar tingkatan pemerintahan secara sistematik antara Pemerintah Pusat, provinsi dan kabupaten/kota, namun dalam pelaksanaannya masih belum optimal karena berbagai hal. Pertama, pembagian urusan pemerintahan tidak diikuti dengan pembagian sumber-sumber pendanaan yang seimbang. Hampir 70% dari keuangan negara masih ada ditangan Pemerintah Pusat, dan hanya menyisakan 30% untuk dialokasikan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan. Kedua, urusan pemerintahan yang diserahkan ke provinsi sedikit tapi sumber pendanaannya banyak sehingga menyebabkan kecenderungan provinsi untuk mencampuri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Ketiga,di tingkat kabupaten/kota sebagai lini terdepan penyedia pelayanan publik kurang didukung oleh pendanaan yang memadai. Pendapatan asli daerah hanya berkisar kurang dari 10% sehingga 90% pendanaan tergantung dari dana perimbangan. Pada sisi lain, dana yang sudah terbatas tersebut pemanfaatannya juga kurang proporsional dan hampir 80% dipakai untuk overhead cost.

Pada sisi kelembagaan juga ada kecenderungan membengkaknya kelembagaan daerah untuk mengimbangi tekanan birokrasi akibat terjadinya penambahan pegawai.


(38)

Otonomi luas telah memberikan peluang pemerintah daerah membengkakkan struktur organisasi pemerintahan daerah dan besarnya struktur organisasi akan menuntut adanya tambahan pegawai. Tambahan pegawai akan menyebabkan membengkaknya biaya rutin (biaya tidak langsung) dan akan menyisakan sedikit sekali untuk membiayai pelayanan public (biaya langsung). Buruknya pelayanan publik akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat.

Pada sisi hubungan antara kepala daerah dengan DPRD tidak muncul persoalan sebagaimana dalam era diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun ketegangan muncul antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah. Sebagian besar pasangan kepala daerah dan wakilnya cenderung kurang harmonis dan kondisi tersebut telah mengganggu jalannya roda pemerintahan daerah. Salah satu akibatnya adalah terkotak-kotaknya birokrasi kedalam pro-kontra kepala daerah atau wakil kepala daerah. Pergesekan menjadi semakin keras manakala kepala daerah dan wakilnya masing-masing maju mencalonkan diri dalam pilkada berikutnya.

Berbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebabkan pemerintahan daerah berjalan kurang efektif. Untuk itu diperlukan kebijakan yang bersifat lebih “affirmative” untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan daerah. Bagaimana mengarahkan agar spirit reformasi dan demokrasi mampu menghasilkan kesejahteraan masyarakat. Anomali yang terjadi adalah reformasi yang dilaksanakan secara demokratis belum menghasilkan kesejahteraan yang memadai. Hasil penilaian Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia


(39)

belum menunjukkan data yang menggembirakan. Pada tahun 2008 kita ada di urutan 109 dari 179 negara yang di survei. Namun pada tahun 2009 peringkat Indonesia melorot ke nomor 111 dan terjadi perbaikan di tahun 2010 menjadi peringkat 108. Tapi angka ini masih sangat jauh di bandingkan negara-negara tetangga kita seperti Malaysia di peringkat 63, Thailand di peringkat 86. Terlebih dengan disepakatinya perdagangan bebas ASEAN dan juga dengan China, memerlukan kebijakan desentralisasi yang mampu mendukung daya saing daerah. Besarnya kewenangan yang diberikan ke daerah harus mampu mendorong daerah menjadi bagian dari lokomotif pembangunan.

Dalam konteks meningkatkan efektifitas pemerintahan, telah terjadi kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan DPR untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-undang ini disepakati akan dipecah menjadi tiga undang-undang yaitu undang-undang tentang pemerintahan daerah; undang-undang tentang pemilihan kepala daerah dan undang-undang tentang desa.

Dari pendekatan historis tersebut, isu sentral yang dapat ditarik adalah bagaimana Pemerintah Pusat selalu berusaha memegang kendali/kontrol terhadap daerah. Dalam banyak hal, Pemerintah Pusat berusaha mengontrol daerah melalui figur kepala daerah yang didudukkan sebagai alat pusat dan alat daerah. Untuk memenangkan kesetiaan kepala daerah kepada pusat dalam menjalankan dual roles-nya, Pemerintah Pusat seringkali sangat dominan dalam penentuan/pengangkatan kepala daerah. Kuatnya bargaining position pusat dalam penentuan kepala daerah ini telah mendorong loyalitas kepala daerah yang lebih tinggi kepada Pemerintah Pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek positif dari


(40)

kebijaksanaan ini adalah adanya kepastian bahwa program-program ataupun arahan pusat akan terlaksana secara lancar di daerah.

Pada tahap awal kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang masih sangat rawan pada waktu itu (tujuan integratif). Aspek negatifnya, terutama setelah tujuan integratif tercapai adalah pada diri kepala daerah sendiri, yang akan sering dihadapkan pada suatu dilema manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara kepentingan pusat dan daerah. Ke Pemerintah Pusat dia dituntut akan loyalitas, ke daerah dia dihadapkan pada akuntabilitas.

Kebijakan Pemerintah Pusat untuk melakukan desentralisasi pemerintahan di Indonesia sudah lama dilakukan dan mengalami pasang surut sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Para pendiri bangsa sejak awal telah memutuskan perlunya desentralisasi dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasca reformasi, Pemerintah Pusat melakukan serangkaian kebijakan, antara lain dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mencari format kebijakan desentralisasi yang mampu mempercepat kemajuan daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memperkuat integrasi nasional. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan daerah, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai payung kebijakan desentralisasi masih mengandung banyak kekurangan dan kelemahan yang jika tidak segera diperbaiki dapat mengganggu keberhasilan desentralisasi itu sendiri.


(41)

Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang seharusnya dikembangkan di Indonesia. Apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia terbatas pada desentralisasi wilayah, sebagaimana selama ini dilakukan, atau termasuk juga desentralisasi fungsional (Rondinelli, 2007). Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema (1983) yang mengklasifikasi desentralisasi kedalam berbagai cara, yaitu: dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Apakah desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia tetap mengikuti praktik yang selama ini dilakukan di negara-negara kesatuan, yang melimpahkan kewenangannya sebagian besar pada kabupaten/kota? Atau, pelimpahan kewenangan kepada provinsi perlu diperbesar seperti yang terjadi pada negara-negara yang menganut sistim pemerintahan federal. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting untuk menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia.

Fakta bahwa desentralisasi di banyak negara belum mampu menghasilkan bukti yang solid dan kokoh untuk mendorong kemajuan daerah, partisipasi masyarakat, dan kesejahteraan warga menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya model desentralisasi dan otonomi daerah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi masing-masing negara. Walaupun desentralisasi menjadi strategi pembangunan yang umum dilakukan di banyak negara maju dan berkembang pasca tahun 1980-an, namun cerita keberhasilan desentralisasi sering bersifat unik dan kontekstual (Andrews and Vries, 2007). Keberhasilan desentralisasi dalam memperbaiki kehidupan


(42)

warganya tidak berlaku umum dan tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted.

Beberapa penelitian telah mengingatkan mengenai risiko penggunaan desentralisasi sebagai panacea dalam memecahkan masalah pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang, yang cenderung menyederhanakan masalah (Andersson, Gibson and Lehoucq 2004). Segelintir peneliti mulai mempertanyakan asumsi yang mengklaim bahwa desentralisasi dapat memperbaiki pemberian pelayanan di tingkat lokal (Agrawal and Gibson 1999; Larson 2002; Andersson dkk, 2004; Deininger and Mpuga 2005). Sementara peneliti yang lain seperti Andrews dan Vries (2007) yang membuktikan bahwa pengalaman Brazil, Rusia, Jepang, dan Swedia dalam melaksanakan desentralisasi ternyata menghasilkan pengalaman yang berbeda terkait dengan dampaknya terhadap partisipasi publik. Memang tidak semua negara mengalami kemajuan setelah melaksanakan desentralisasi. Di beberapa negara desentralisasi justru telah membuka kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi (Treisman 2000; Oyono 2004, Tambulasi dan Kayuni, 2007). Keberhasilan desentralisasi memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan besaran kewenangan yang dialihkan ke daerah, dan cara pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah, dukungan kementrian dan lembaga sektoral, dan kekuatan masyarakat sipil di daerah.

Namun, dampak yang berbeda-beda yang dialami banyak negara lain dalam melaksanakan desentralisasi tidak perlu membuat Indonesia menjadi ragu-ragu dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi sudah menjadi pilihan anak-anak bangsa, bukan hanya sekarang ini, tetapi


(43)

bahkan sejak para pendiri bangsa dimasa lalu.1 Kondisi

demografis, sosial budaya, dan geografis yang memiliki variabilitas yang tinggi antar daerah, menjadikan desentralisasi sebagai keniscayaan. Pilihan para pendiri bangsa dimasa lalu terhadap desentralisasi dan otonomi daerah menunjukan kearifan mereka terhadap tingginya pluralitas bangsa. Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terbentang pada begitu banyak pulau yang terpisah satu dengan lainnya, dengan etnisitas, budaya, dan tingkat sosial ekonomi yang berbeda-beda membutuhkan pemerintah daerah yang otonom dan memiliki kapasitas merespon dinamika lokal yang kompleks. Pemerintahan daerah yang seperti ini hanya dapat dikembangkan ketika desentralisasi dilakukan.

Keyakinan bahwa desentralisasi menjadi pilihan yang tepat dapat dijustifikasi dengan melihat pengalaman banyak negara lain yang berhasil menggunakan desentralisasi untuk mendorong pembangunan daerah, demokratisasi, dan kesejahteraan ekonomi (Boone 2003, Kohl 2003, Lam 1996, Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999). Bahkan, dalam New Public Management (NPM), yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel (Osborne & Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998). Bahwa sebagian negara lainnya gagal menjadikan desentralisasi sebagai strategi untuk membangun pemerintahan yang efisien dan efektif hanyalah menunjukan bahwa

1 Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945

tentang otonomi daerah. Fakta bawa Pemerintah Pusat yang baru saja menyatakan kemerdekaannya untuk kali pertama dalam pembentukan undang-undang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukan bahwa para pendiri bangsa melihat desentralisasi sebagai suatu nilai yang penting.


(44)

desentralisasi tidak bisa diperlakukan secara taken for granted, karena keberhasilannya bersifat kontekstual. Desentralisasi tidak terjadi dalam ruang yang vakum, tetapi dalam sebuah konteks historik, budaya, politik, dan kelembagaan tertentu. Sistim desentralisasi yang dikembangkan mesti harus kontekstual dengan memperhatikan berbagai variabel dan kondisi sehingga model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia benar-benar sesuai dengan sistem pemerintahan, politik, budaya, sejarah, dan cita-cita membangun negara bangsa.

Bahwa pelaksanaan desentralisasi mesti harus memperhatikan konteks masing-masing negara sudah lama diingatkan oleh para pemikir desentralisasi sejak lama (Rondinelli, 1980, Cheema and Rondinelli, 1982). Ada banyak kondisi yang diperlukan agar desentralisasi dapat menghasilkan manfaat seperti yang diharapkan, seperti kapasitas lokal, komitmen politik dari pimpinan nasional, konsistensi kebijakan, tersedianya saluran bagi partisipasi politik masyarakat, kualitas kepemimpinan lokal, kesiapan aparatur pusat dan daerah untuk mengubah mindset, tersedianya lembaga lokal yang berjiwa demokratis, dan terbatasnya otoritas fiskal di daerah (Rondinelli 1980, Dillinger 1995; Seabright 1996, Manor 1999; Bardhan and Mookherjee 2000). Sebagian dari variabel diatas dapat menjelaskan mengapa pengalaman banyak daerah di Indonesia melaksanakan desentralisasi juga berbeda-beda, dimana sebagian provinsi dan kabupaten/kota berhasil mempercepat pembangunan daerahnya, sementara sebagian lainnya gagal memanfaatkan otonomi untuk perbaikan kinerja (Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b). Walaupun secara umum desentralisasi dan otonomi daerah mampu mendorong munculnya berbagai inovasi, tetapi


(45)

desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah.

Pelaksanaan desentralisasi yang tidak kontekstual, karena dilaksanakan untuk memenuhi tekanan eksternal lembaga donor yang seringkali mengkaitkan dengan program-programnya, dapat menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme (1997) yang risau tentang kegagalan desentralisasi memenuhi janjinya. Apa yang salah dengan desentralisasi: teori atau prakteknya? Atau gugatan Jeffrey (2008) tentang koherensi dan stabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan secara desentralistis, ketika tingkat pemerintahan yang berbeda dikuasai partai politik yang berbeda-beda. Pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkan kita semua untuk berani secara terbuka dan kritis melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia.

Berbagai keluhan tentang ketidakmampuan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memenuhi harapan dari banyak pemangku kepentingan dapat muncul dari keduanya, ketidaktepatan model desentralisasi yang diterapkan dan karena kesalahan implementasinya, atau bahkan karena interaksi dari keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi. Hal yang sama juga dapat mendorong terjadi penafsiran yang berbeda di kalangan pemangku kepentingan sehinga pelaksanaan desentralisasi tidak sesuai dengan semangat dari peraturan perundangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula. Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi (Dwiyanto, 2003a). Akibatnya, pelaksanaan


(46)

desentralisasi tidak dapat memberi manfaat sebagaimana diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas.

Apa yang terjadi selama ini menunjukan pentingnya membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan tepat karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu dalam rangka memperbaiki pelaksanaan desentralisasi di Indonesia upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dengan melakukan serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang bersifat sistemik ataupun yang kontekstual maka diharapkan Indonesia dapat mewujudkan kebijakan desentralisasi yang mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI.

Pengembangan desentralisasi di Indonesia perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi keberhasilan desentralisasi itu sendiri dan berbagai konteks ke-kini-an yang terjadi di Indonesia. Pertama, desentralisasi yang dikembangkan adalah desentralisasi dalam negara kesatuan. Pilihan negara kesatuan telah jelas termuat dalam konstitusi dan masih menjadi konsensus politik. Walaupun konsep negara kesatuan mengalami dinamika dan penyesuaian sesuai dengan tantangan yang dihadapi, desentralisasi dalam negara kesatuan memiliki ciri yang berbeda dengan desentralisasi dalam negara yang menganut sistem federal. Dalam negara kesatuan umumnya desentralisasi


(47)

hanya terjadi dalam kewenangan eksekutif, bukan dalam kewenangan legislatif dan yudisial. Pemerintahan daerah tidak memiliki kompetensi legislatif dan yudisial.

Didalam negara kesatuan tidak ada shared soverignity. Kedaulatan hanya ada ditangan negara, bukan ada di daerah. Implikasinya, di negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif, yang berkedudukan di pusat. Lembaga perwakilan rakyat di daerah (DPRD) hanya memiliki regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan produk lembaga legislatif (DPR) dan peraturan perundangan yang yang lebih tinggi. Penyelenggara negara dan atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat melakukan review terhadap peraturan daerah dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dengan memilih menjadi negara kesatuan yang desentralistik, Indonesia memiliki konstruksi hubungan pusat dan daerah yang berbeda dengan konstruksi yang ada didalam sistim federal. Dalam negara kesatuan, daerah (bisa provinsi atau kabupaten/kota) umumnya dibentuk oleh negara (pusat) melalui peraturan perundangan tertentu. Karena itu daerah memperoleh kewenangan dari negara, bukan sebaliknya. Negara melalui undang-undang dapat membentuk dan membubarkan daerah, melimpahkan atau menarik kembali kewenangan dan fungsi yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah adalah kewenangan eksekutif yang dimiliki oleh Presiden, bukan kewenangan penyelenggara negara lainnya. UUD 1945 memberi kekuasaan pemerintahan tertinggi pada presiden. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, Presiden harus mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan nasional, termasuk yang dilakukan oleh


(48)

pemerintahan daerah. Karena itu, Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota.

Kedua, sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi (UUD 1945 Pasal 18 dan Pasal 18A), Indonesia menganut sistem pemerintahan dengan susunan ganda (multi-tiers government). Pilihan untuk memiliki multi-tiers government dapat dijustifikasi dari adanya comparative advantages dari keberadaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mengingat tidak semua urusan yang didesentralisasikan dapat dikelola secara efisien dan efektif oleh kabupaten/kota. Sebagian dari urusan yang didesentralisasikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan, kehutanan, sarana dan prasarana, dan pengembangan wilayah, serta urusan pemerintahan yang berbasis ekologis akan lebih efisien dan efektif jika dikelola oleh pemerintahan daerah provinsi. Walaupun desentralisasi pemerintahan di negara-negara kesatuan umumnya lebih banyak diserahkan kepada pemerintahan kabupaten/kota, utamanya untuk penyelenggaraan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar.

Kalau desentralisasi pemerintahan di masa mendatang tetap diberikan sebagian besar kepada kabupaten/kota maka penerapan prinsip subsidiaritas harus menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembagian urusan pemerintahan. Ketika subsidiaritas berbenturan dengan kriteria lainnya, misalnya: efisiensi, maka prinsip subsidiaritas menjadi superior. Pertimbangannya adalah yang paling dekat dengan warga adalah yang paling tahu tentang kebutuhan warganya, mudah dikontrol oleh warga, dan memudahkan warga untuk terlibat dalam penyelenggaraannya. Kriteria dan prinsip dalam pembagian urusan perlu dirumuskan dengan jelas dan dimasukan dlam konstitusi sehingga tidak


(49)

mudah untuk dirubah untuk kepentingan sempit dan jangka pendek. Cara ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya democratic governance pada tingkat lokal.

Di negara kesatuan yang memiliki susunan ganda, walaupun tidak ada hubungan hirarkhis antara provinsi dengan kabupaten/kota, secara fungsional hubungan hirarki antar keduanya sulit dihindari. Dalam manajemen pemerintahan sehari-hari, hubungan interdepensi dan interrelasi antar pemerintahan daerah kabupaten/kota adalah keniscayaan. Secara fungsional keberadaan provinsi diperlukan untuk memfasilitasi managemen pemerintahan antar kabupaten/kota agar terjadi koherensi, sinergi, dan terintegrasi dengan baik. Apalagi ketika provinsi juga diperlakukan sebagai wilayah administratif, dimana kepala daerahnya diberi tugas sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, maka hubungan hirarkhis fungsional antara provinsi dan kabupaten/kota tidak dapat dihindari. Hubungan antar keduanya perlu ditata dengan baik sehingga keberadaan keduanya mampu menciptakan sinergi dan komplementaritas yang menguntungkan warganya.

Sinergi dan komplementaritas antara pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota hanya dapat dilakukan kalau pembagian urusan antar keduanya jelas dan terumuskan dengan baik. Untuk itu, undang-undang ini perlu mengarahkan peran pemerintahan kabupaten/kota sebagai penyelenggara urusan pemenuhan kebutuhan dasar dengan memperhatikan keuntungan komparatifnya dibandingkan dengan pemerintahan provinsi. Sedangkan, provinsi sebagai daerah otonom diarahkan sebagai penyelenggara pelayanan yang memiliki eksternalitas lintas kabupaten/kota dan pembangunan wilayah. Pembagian urusan yang jelas, dalam negara kesatuan yang memiliki multi-tiers


(50)

government, menjadi sangat penting perannya dalam membangun negara kesatuan yang solid dan kokoh. Penguatan peran provinsi perlu diimbangi juga dengan penguatan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Pengalaman sejarah pemerintahan Indonesia menunjukan bahwa penguatan peran provinsi sebagai daerah otonom sering menimbulkan kekhawatiran tentang risiko munculnya gerakan separatisme. Pemberian peran tambahan kepada kepala daerah provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat mengurangi kekhawatiran terhadap munculnya ancaman separatisme.

Penguatan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah juga memiliki rasionalitas lainnya. Untuk memperkuat NKRI, Presiden membutuhkan instrumen yang dapat menjalankan peran sebagai intermediaries, enabling, and synergizing institution untuk penguatan kapasitas dan optimalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penambahan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat menjadi pilihan yang mudah, murah, dan efektif untuk membangun konsistensi dan sinergi penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. Penerapan peran ganda gubernur juga dinilai lebih sesuai dengan semangat desentralisasi daripada menjadikan gubernur sepenuhnya sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Pemikiran untuk menjadikan gubernur sepenuhnya sebagai wakil Pemerintah Pusat dan menjadikan provinsi sebagai wilayah administratif dapat menjadikan NKRI semakin sentralistis dan mempersempit ruang untuk partisipasi publik yang menjadi salah satu nilai yang ingin diwujudkan oleh kebijakan desentralisasi.

Ketiga, walaupun tidak diatur dalam konstitusi realitas yang ada menunjukan bahwa Indonesia menganut desentralisasi teritorial dan fungsional. Selama ini desentralisasi teritorial sangat


(51)

dominan sehingga cederung memonopoli konsep desentralisasi di Indonesia. Pengembangan kawasan khusus dapat menjadi contoh terjadinya desentralisasi fungsional, dimana Pemerintah Pusat membentuk lembaga khusus semi pemerintah di daerah untuk menjalankan fungsi Pemerintah Pusat tertentu. Munculnya masalah-masalah strategis terkait dengan kawasan perbatasan, konservasi, dan unggulan ekonomi mendorong perlunya Indonesia mengembangkan konsep desentralisasi fungsional. Pengembangan kawasan perbatasan yang memiliki aspek geo-politik strategis seringkali tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh satu daerah otonom, sehingga diperlukan satu institusi yang secara khusus dirancang untuk menjalankan fungsi pemerintahan tertentu di kawasan perbatasan.

Keempat, sebagai negara kesatuan Pemerintah Pusat membentuk sistem kepegawaian nasional yang mencakup pegawai nasional, pegawai daerah, dan pegawai profesional lainnya. Pegawai nasional menjadi perangkat Pemerintah Pusat untuk pemberdayaan daerah, pemerataan kemajuan dan kesejahteraan daerah, serta memperkuat integrasi nasional (national-binding forces). Sistem kepegawaian nasional harus mencakup standar kompetensi, proses rekrutmen dan penempatan pegawai yang terbuka, kompetitif, dan menjamin adanya mobilitas pegawai antar daerah secara wajar. Sistem kepegawaian nasional harus dapat memberi ruang kepada daerah untuk mengembangkan kompetensi lokal yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah.

Kelima, berbeda dengan yang terjadi di negara federal dimana daerah memiliki sumber-sumber penerimaan sendiri yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, di negara kesatuan umumnya sumber penerimaan dikontrol oleh


(52)

pusat dan didistribusikan kembali ke daerah untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar daerah. Penggunaan hibah dan transfer dari pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerah memiliki beberapa implikasi. Implikasi pertama, Pemerintah Pusat perlu membuat kebijakan dan standar pelayanan sebagai acuan daerah dalam mengelola pelayanan publik. Kebijakan dan standar penting untuk memastikan daerah mampu menjamin semua warga dimanapun mereka tinggal mampu mengakses volume dan kualitas pelayanan yang sama. Implikasi lainnya, akuntabilitas dari penggunaan dana oleh daerah tidak hanya pada konstituen yang ada di daerah, tetapi juga pada konstituen pada tingkat nasional. Karena sebagian dana yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan daerah bersumber dari pajak dan sumber-sumber lain di tingkat nasional maka pemerintahan daerah harus juga akuntabel pada stakeholders pada tingkat nasional. Daerah memiliki akuntabilitas ganda, stakeholders di daerah dan nasional.

Keenam, keberhasilan desentralisasi membutuhkan adanya konsistensi dalam keseluruhan aspek kebijakan dan implementasinya. Dalam aras kebijakan, konsistensi diperlukan antar peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan dengan peraturan perundangan yang mengatur kegiatan-kegiatan kementrian dan lembaga. Undang-undang tentang pemerintahan daerah harus menjadi arah kebijakan yang menjiwai dan menjadi pedoman bagi pembentukan undang-undang sektoral. Ketidakharmonisan antara undang-undang tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan undang-undang sektoral dapat menciptakan kebingungan aktor-aktor di pusat dan daerah. Sebagaimana pengalaman di negara-negara lainnya, ketidakharmonisan undang-undang bukan hanya


(1)

Diamar, Son. “Pembentukan Daerah dan Kawasan Khusus,” Paper tidak diterbitkan, 2007.

Dillinger, B. "Decentralization, Politics and Publik Sector." In Decentralizing Infrastructure: Advantages and Limitations, edited by A. Estache. Washington D.C.: World Bank Discussion Papers 290, 1995.

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003a. “Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah,”Yogyakarta: PSKK UGM

Dwiyanto, Agus, dkk. 2003b. Teladan dan Pantangan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Yogyakarta: PSKK UGM

Dwiyanto, Agus, 2006. “Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik,” Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Dwiyanto, Agus, dkk. 2007. “Kinerja Tata Pemerintahan Daerah,” Yogyakarta: PSKK UGM

Esman, M.J. 1991. “Management Dimensions of Development: Perspectives and Strategies”. West Hartford, Connecticut: Kumarian Press, Inc.

Ferrazi, Gabe, 2007. “Exploring Reform Options In Functional Assignment”(Draf Report), Jakarta: DSF and GTZ

Fisman, Raymond and Roberta Gatti. "Decentralization and Corruption: Evidence across Countries." Journal of Publik Economics 83, no. 3 (2002): 325-45.

Fleurke, Frederik and Rudie Hulst, “A Contingency Approach to Decentralization”,Publik Organization Rev (2006) 6:37-56 Hamdi, Muchlis “Pembinaan dan Pengawasan Dalam Hubungan

Pusat-Daerah”, paper tidak diterbitkan

Hoessein, Benyamin. “Produk Hukum Penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan”, Paper tidak diterbitkan, 2007.


(2)

Hoessein, Benyamin dan Eko Prasojo, “Konsep Pembagian Kewenangan (Urusan) Antar Tingkat Pemerintahan”, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Indrayana, Denny. Ada Unsur Melecehkan Al Quran dan Hadist. http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/ SUPLEMENGATRA/gatraedisi-vii.pdf

Katorobo, 2007. Decentralization and Local Autonomy for Participatory Democracy, in Publik Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens. New York: United Nations: Economic and Social Affairs.

Kauneckis, D. dan K. Anderson. 2006. Making Decentralization Work: A Cross-National Examination of Local Governments and Natural Resource Governance in Latin America. : Dalam: kauneck@unr.edu.

Keban, Jeremias T. “Perencanaan Pembangunan Daerah”, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Kertapraja, E. Koswara, ”Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat”, Paper tidak diterbitkan,2007.

Kertapraja, E. Koswara. Pokok-Pokok Pikiran Tentang Permasalahan Kedudukan Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat.

Kohl, Benjamin, “Democratizing Decentralization in Bolivia: The Law

of Popular Participation”,

http://jpe.sagepub.com/cgi/content/abstract/23/2/153 KOMPAS. Pejabat di Daerah Harus Kompak, Bupati dan DPR

Jangan Saling

Menjatuhkan.http://www.depdagri.go.id/konten.php?nama =Berita&op=detail_berita&id=524

LAKPESDAM. ”Merebut Anggaran Publik; Jalan Panjang Menuju

Demokratisasi”PenganggaranDaerah.http://www.pbet.o rg/Publikasi/Buku/Merebut_Anggaran_Publik_

Lakpesdam.pdf

Lam,Jermain T.M., “Decentralization in Publik Administration:

Hong Kong’s Experience”,


(3)

Larson, Anne M. "Natural Resources and Decentralization in Nicaragua: Are Local Governments up to the Job?" World Development 30, no. 1 (2002): 17-31.

Manin, Bernard, Adam Przeworski, and Susan Stokes. "Elections and Representation." In Democracy, Accountability, and Representation, edited by Bernard Manin, Adam Przeworski and Susan Stokes. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Manor, James. "The Political Economy of Democratic Decentralization." 145. Washington, D.C.: World Bank, 1999.

Meinzen-Dick, Ruth, Anna Knox, and Monica Di Gregorio. "Collective Action, Property Rights and Devolution of Forest and Protected Area Management." In Collective Action, Property Rights and Devolution of Natural Resource Management, edited by Arun and Elinor Ostrom Agrawal, 1999.

Oates, W.E. “Fiscal Federalism.” New York: Harcourt Brace and Jovanovich, 1972.

Osborne, David and Ted Gaebler, 1993, “Reinventing Government. How the Entrepreneurial Spirit is Transforming the Publik Sector” New York: Plume.

Oyono, Phil Rene. "One Step Forward, Two Steps Back? Paradoxes of Natural Resources Managment Decentralization in Cameroon." Journal of Modern African Studies 42, no. 1 (2004): 91-111.

Peterson, George. Decentralization in Latin America : Learning through Experience. Washington D.C.: World Bank, 1997. Piliang, Indra J., Menggagas Format Ideal Hubungan Antara Kepala

Daerah dan DPRD,” Paper tidak diterbitkan,2007.

Pollit, Ch., J. Birchall, and K.Puttman. 1998. Decentralizing Publik Service Management. London: MacMillan Press, Ltd.

Pratikno, ”Masukan Untuk Revisi UU 32/2004 Terkait Dengan Kerjasama Antar Daerah”, Paper tidak diterbitkan,2007.


(4)

Prasojo, Eko. ”Konsep dan Pengaturan Desentralisasi Fungsional dan Kawasan Khusus Dalam UU Pemerintahan Daerah”, Paper tidak dipublikasikan, 2007.

Raman, G. Venkat, “Development Model for Developing Countries; Decentralization as a Developmental Strategy in China”, http://chr.sagepub.com/cgi/content/abstract/42/4/369. Ribot, Jesse, C. Waiting for Democracy: The Politics of Choice in

Natural Resource Decentralization. Washington D.C. : World Resources Institute, 2004.

Rodden, Jonathan. "Comparative Federalism and Decentralization: On Meaning and Measurement." Comparative Politics 36, no. 4 (2003).

Rodden, Jonathan, and Erik Wibbels. "Beyond the Fiction of Federalism."World Politics 54, no. 4 (2002): 494-531.

Rondinelli, D. A. “Governments Serving People: The changing Role of Publik Administration in Democratic Governance. Dalam Publik Administration and Democratic Governance: Governments Serving Citizens. New York: United Nations: Economic and Social Affairs.

Rondinelli, D.A., “Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and Practice in Developing Countries”, http://ras.sagepub.com/

Rondinelli, D.A., “Government Decentralization in Comparative Perspective: Theory and Practice in Developing Countries High Expectations, varying outcomes :decentralization and participation”, http://ras.sagepub.com/ cgi/content/abstract/73/3/424.

Rondinelli, D.A. “Implementing Decentralization Programs In Asia: Comparative Analysis”, Publik Administration and Development, (1983) Vol. 3 181-207

Rondinelli, D.A., J.S. McCoullough, and R.W. Johnson. "Analyzing Decentralization Policies in Developing Countries: A Political-Economy Framework." Development and Change 20, no. 1 (1989): 5-27.


(5)

Salomo, Roy V, “Pelayanan Publik Revisi UU 32/2004,”Paper tidak diterbitkan, 2007.

Salomo, Roy V, “Pokok-Pokok Pemikiran Untuk Penyempurnaan UU N0.32/2004: Perangkat Daerah”, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Seabright, Paul. "Accountability and Decentralization in Government: An Incomplete Contracts Model." European Economic Review 40 (1996).

Swamandiri; Media Berbagi Visi, Ide dan Gagasan. Pengawasan

Menuju Clean Government.

http://swadaya.wordpress.com/2008/01/23/pengawasan-menuju-clean-government/

Tempo, “Anggota DPRD Ramai-ramai Garap Proyek.” ; www.TempoInteraktif.

Treisman, Daniel. "The Causes of Corruption: A Cross-National Study." Journal of Publik Economics 76, no. 3 (2000): 399-45.

Turner, M. dan D. Hulme. 1997. “Governance, Administration and Development: Making the State Work.” London: MacMillan Press LTD.

Wastiono, Sadu. “Pokok-Pokok Penyempurnaan Kecamatan”, Paper tidak diterbitkan, 2007.

Wibbels, Erik. "Federalism and the Politics of Macroeconomic Policy and Performance." American Political Science Review 44 (2000): 687-702

Yance Arizona , “Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: Suatu

Tinjauan Normatif”,

http://www.legalitas.org/database/artikel/lain/Disparitas Pengujian Perda.pdf


(6)