Analisis Implikasi Pilkada dan Hubungan Kepala Daerah dengan DPRD

133

4.4.1.3 Analisis

Salah satu pilar yang mendukung efektifitas pemerintahan daerah dalam mensejahterakan masyarakat daerah adalah terpilihnya kepala daerah yang cakap capable mempunyai integritas dan dapat diterima acceptable with integrity. Untuk itu maka perlu dipikirkan mekanisme agar kepala daerah yang capable dan accepable dapat terealisir. Pada sisi lain pemilihan kepala daerah dan wakilnya secara berpasangan sering menimbulkan masalah setelah terpilih menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Untuk itu perlu kiranya dipikirkan adanya mekanisme pemilihan hanya untuk kepala daerah saja sedangkan wakilnya ditunjuk oleh kepala daerah terpilih. Dengan cara demikian akan terhindar potensi konflik antara kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 18 UUD 1945 juga menyatakan secara eksplisit bahwa pemilihan gubernur, bupati dan walikota dilakukan secara demokratis. Tidak ada satu katapun yang secara eksplisit mengisyaratkan adanya jabatan wakil kepala daerah. Berbeda sekali dengan keberadaan Wakil Presiden yang secara eksplisit dinyatakan dalam konstitusi. Keberadaan wakil kepala daerah dalam undang-undang pemerintahan daerah lebih merupakan kompromi politik antara pihak pemerintah dengan DPR sebagai institusi pembuat undang-undang. Namun ketika dalam praktek banyak konflik yang muncul antara kepala daerah dengan wakilnya, maka perlu diadakan pengakajian ulang mengenai keberadaan wakil kepala daerah yang jelas-jelas tidak diatur keberadaannya dalam konstitusi. Apabila kita kembali pada hakekat pemerintahan, maka keberadaan pemerintah harus didukung oleh kombinasi dari dua 134 unsur yaitu politik dan administrasi. Kombinasi tersebut yang selama ini telah melahirkan adagium “when politic ends, administration begins”. Ini berarti kekuatan politik harus didukung oleh kapasitas administrasi yang memadai untuk menjalankan kekuasaan politik tersebut. Untuk itulah maka apabila posisi wakil kepala daerah secara politis ingin tetap dipertahankan, maka adalah kurang cocok kalau orang politik yang berperan sebagai kepala daerah didukung juga oleh orang politik sebagai wakil kepala daerah. Dalam kondisi transisi demokrasi seperti sekarang ini adalah akan lebih efektip kalau kepala daerah yang politis dimbangi oleh wakil kepala daerah yang profesional. Keberadaan politik adalah justifikasi legitimasi kepala daerah sedangkan keberadaan profesionalisme dalam diri wakil kepala daerah akan mendukung kekuatan politik yang legitimate untuk menciptakan kesejahteraan melalui keberadaan wakil kepala daerah yang profesional. Ketika menentukan pilihan profesional sebagai pendamping kepala daerah, maka opsi yang ada adalah apakah direkrut dari kelompok PNS atau bebas. Pilihan PNS akan mengurangi waktu penyesuaian bagi wakil kepala daerah karena pengalaman PNS yang lama dalam bidang pemerintahan dibandingkan non PNS. PNS khususnya yang ada di loingkungan pemda sudah mempunyai pengalaman yang banyak dalam pengelolaan daerah. Keberadaan PNS sebagai wakil kepala daerah akan membantu menyeimbangkan pencapaian tujuan politis dan tujuan administratif dari kebijakan desentralisasi. Pada sisi lain mengikat jumlah penduduk daerah yang sangat variatif, maka untuk daerah-daerah yang berpenduduk sedikit tidak diperlukan adanya wakil kepala daerah karena keberadaan kepala daerah saja sudah cukup untuk memimpin 135 penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sebaliknya untuk daerah- daerah yang berpenduduk banyak dimana keberadaan wakil kepala daerah diperlukan, maka jumlah kepala daerah yang ada dapat bervariasi atau lebih dari satu orang sesuai dengan beban tugas yang diemban oleh kepala daerah yang dapat dialihkan kepada wakil kepala daerah. Untuk menghindari munculnya masalah etika dan moral dalam pilkada maka perlu adanya pengaturan mengenai persyaratan kepala daerah. Calon kepala daerah yang sudah jelas terbukti secara hukum cacat terkait masalah moral dilarang untuk ikut mencalonkan diri. Demikian juga terkait masalah etika, perlu diatur bahwa calon kepala daerah yang sudah dua kali menjabat kepala daerah tidak diperbolehkan mencalonkan diri sebagai wakil kepala daerah. Dengan adanya pengaturan tersebut akan menjadi aturan tertulis dan hukum positif yang mengikat. Untuk menekan biaya yang timbul dalam Pilkada, perlu dipikirkan bahwa Pilkada provinsi cukup dilakukan melalui pemilihan oleh DPRD. Ada beberapa pemikiran yang melandasinya yaitu: 1. Dari sisi pelayanan publik yang diberikan oleh provinsi. Ternyata sedikit sekali pelayanan publik langsung yang diberikan provinsi kepada masyarakat. Ini berarti intensitas pertemuan antara gubernur dan masyarakat provinsi yang bersangkutan tidaklah tinggi. Rendahnya intensitas hubungan antara gubernur dan masyarakat tidaklah menuntut akuntabilitas yang tinggi dari gubernur kepada masyarakat. Dari sini lahir argumen kenapa gubernur cukup dipilih oleh DPRD saja sebagai wakil rakyat. Berbeda dengan pemilihan bupatiwalikota. Sebagian terbesar pelayanan publik langsung 136 diberikan oleh pemerintahan daerah kabupatenkota. Untuk itu intensitas pertemuan bupatiwalikota dengan warganya akan tinggi sekali. Konsekuensinya rakyat menuntut akuntabilitas yang tinggi dari bupatiwalikota. Untuk itu maka pemilihan bupatiwalikota sebaiknya tetap langsung oleh rakyat. 2. Dari sisi legal; konstitusi dalam Pasal 18 menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Demokratis bisa berkonotasi dua yaitu bisa dipilih langsung oleh rakyat dan bisa dipilih oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Dalam sejarah pemerintahan daerah, hubungan kepala daerah dan DPRD dapat dikatakan belum pernah mencapai titik yang ideal, terutama juga dilihat kacamata negara demokratis, yang menganut adanya pemisahan dan penyebaran kekuasaan. Pelimpahan kekuasaan pemerintahan daerah kepada kepala daerah dan DPRD sebenarnya dilakukan dalam rangka pembagian kekuasaan antara kedua unsur penyelenggara pemerintahan daerah sehingga terjadi mekanisme check and balance dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Mekanisme check and balance penting diperkuat efektivitasnya agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh salah satu dari keduanya dan agar kepala daerah dan DPRD dapat bekerjasama dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Untuk dapat mewujudkan adanya check and balance maka kapasitas DPRD mesti harus ditingkatkan karena berbagai temuan menunjukan bahwa kemampuan DPRD dalam menjalankan 137 fungsinya sangat rendah. 10 Kapasitas DPRD jauh lebih rendah dibandingkan dengan kepala daerah dan perangkatnya. Akibatnya, peran DPRD untuk merepresentasikan kepentingan warganya dalam proses pembentukan peraturan daerah dan proses penyusunan APBD sering tidak dapat dilakukan secara efektif. Kedua kegiatan tersebut sering menjadi arena dominasi kepentingan elit politik dan birokrasi elite captures. Hal ini membuat kepercayaan warga terhadap DPRD menjadi semakin terkikis dan ketidakpuasan mereka terhadap kinerja DPRD semakin rendah. Ada beberapa penjelasan mengenai mengapa DPRD belum mampu merepresentasikan kepentingan warganya. Pertama, kapasitas kelembagaan DPRD yang masih terbatas dalam memberi dukungan kepada para anggotanya. Sebagai sebuah institusi sekretariat DPRD mestinya dapat memberi dukungan kepada para anggota DPRD dalam menjalankan kewajiban sebagai wakil rakyat di daerah, terutama dalam pembentukan peraturan daerah, penyusunan APBD, dan dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan daerah. Karena itu sekretariat DPRD harus dilengkapi dengan tenaga profesional yang memiliki kemampuan teknis untuk mendukung kegiatan dari para anggota DPRD. Kedua, DPRD pada umumnya belum memiliki sekretaris DPRD yang profesional dan mampu membangun kapasitas organisasi untuk memberi dukungan kepada anggota DPRD. Posisi sekretaris DPRD masih dianggap sebagai posisi buangan dan marginal bukan posisi strategis dalam konteks pengembangan karir di birokrasi daerah. Persepsi yang seperti ini membuat daerah sering tidak menempatkan calon yang terbaik untuk posisi 10 Lihat temuan GDS 2002 dan GAS 2006 dalam Dwiyanto, Agus, dkk, 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, PSKK UGM: Yogyakarta dan Dwiyanto, Agus, dkk, 2007. Kinerja Tata Pemerintahan di Daerah, PSKK UGM: Yogyakarta. 138 sekretaris daerah. Apalagi kenyataan bahwa sekretaris DPRD sering mengalami posisi yang sulit ketika terjadi konflik antara kepala daerah dengan DPRD, membuat mereka yang memiliki kemampuan yang baik tidak tertarik menjadi sekretaris DPRD. Semua hal diatas membuat sekretaris dewan pada umum belum mampu memberi dukungan yang optimal kepada DPRD. Ketiga, kemampuan anggota DPRD pada umumnya secara individu masih rendah sehingga tidak dapat secara optimal menjalankan peran mereka sebagai wakil rakyat. Pendidikan dan pengalaman mereka dalam kegiatan pemerintahan yang terbatas sering membuat kemampuan mereka untuk menjalankan peran sebagai anggota DPRD tidak optimal. Keterbatasan kemampuan mereka menjalankan peran sebagai anggota DPRD ikut mendorong munculnya ketidakpuasan masyarakat terhadap anggota DPRD dan DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat. Keempat, ketidakjelasan kedudukan anggota DPRD sebagai wakil rakyat. Proses rekrutmen anggota DPRD yang sekarang terjadi lebih menempatkan mereka sebagai wakil partai politik daripada sebagai wakil rakyat. Intervensi partai politik terhadap para anggota DPRD-nya yang sangat kuat membuat para anggota DPRD tidak dapat memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya, manakala kepentingan rakyat yang diwakili berbeda dengan kepentingan politik partainya. Kelima, keterbatasan anggaran yang tersedia bagi anggota DPRD untuk menyerap, menggali, dan memperjuangkan kepentingan warga dan konstituen. DPRD juga memiliki keterbatasan anggaran dan sumber daya yang tidak memungkinkan mereka menjalankan fungsi check and balance. Akibatnya, kemampuan DPRD untuk dapat menjalankan fungsi 139 pengawasan terhadap kinerja kepala daerah masih sangat terbatas. Dengan memahami berbagai faktor diatas, maka pemberdayaan DPRD hanya akan efektif kalau dapat menyelesaikan berbagai masalah diatas. Pemberdayaan DPRD setidaknya harus mampu meningkatkan antara lain: kapasitas sekretariat DPRD dan pejabatnya, kemampuan anggota DPRD dalam menjalankan perannya sebagai wakil rakyat, ketersediaan sumber daya untuk memberi dukungan kepada DPRD dalam menjalankan seluruh fungsinya, dan kualitas hubungan antara anggota DPRD dengan konstituennya.

4.4.1.4 Usulan Penyempurnaan