195
wajib menindaklanjuti
keluhan yang
disampaikan warga
penggunanya. Untuk
mengawasi praktik
penyelenggaraan pelayanan di daerah kabupatenkota, gubernur sebagai wakil
pusat melakukan supervisi atas pelayanan publik di wilayahnya. Mengingat terbatasnya resources yang tersedia bagi daerah
untuk penyelenggaraan pelayanan publik maka daerah perlu didorong untuk mengutamakan pelayanan dasar. Untuk itu, perlu
ada definisi yang jelas tentang pelayanan dasar. Agar pemerataan akses terhadap pelayanan dasar dapat dijaga maka perlu ada
pengaturan tentang standar pelayanan minimum untuk pelayanan yang
termasuk dalam
kategori pelayanan
dasar. Penetapan
standar pelayanan minimum tidak berarti membatasi ruang bagi daerah
untuk menyelenggarakan
pelayanan sesuai
dengan aspirasi dan kapasitas daerah.
Daerah yang memiliki kapasitas lebih
dapat menyelenggarakan
pelayanan diatas
standar pelayanan minimum.
4.11.2 Identifikasi Permasalahan
Penyelenggaraan pelayanan publik di daerah menunjukan kinerja yang bervariasi.
26
Beberapa daerah berhasil mengembangkan inovasi
dalam manajemen
pelayanan publik
dengan mengembangkan
berbagai teladan
best practices.
Misalnya, beberapa kotakabupaten berhasil mengembangkan manajemen
pelayanan yang partisipatif dengan mengadopsi kontrak pelayanan seperti yang dilakukan di Kota Yogyakarta dan Blitar. Sementara
Kabupaten Jembrana berhasil memberikan pelayanan pendidikan dan kesehatan secara gratis dan beberapa kabupaten seperti
Sragen, Sidoarjo,
dan banyak
kabupatenkota berhasil
mengembangkan pelayanan satu pintu OSS. Namun, pada saat
26
Roy V Solomo, Pelayanan Publik Revisi UU 322004, paper tidak diterbitkan.
196
yang sama banyak kabupatenkota yang gagal mewujudkan kinerja pelayanan yang lebih baik. Otonomi daerah ternyata
memiliki dampak yang berbeda dalam praktik penyelenggaraan pelayanan di daerah.
Salah satu masalah yang penting dalam penyelenggaraan pelayanan adalah semakin menguatnya unsur-unsur subyektivitas
dalam penyelenggaraan
pelayanan. Hal
ini ditandai
dengan semakin maraknya diskriminasi dalam pelayanan berbasis pada
unsur-unsur subyektivitas
seperti pertemanan,
etnis, afiliasi
politik, kesamaan profesi sesama PNS, dan agama.
27
Disamping diskriminasi
pelayanan publik,
masalah lain
dalam penyelenggaraan pelayanan publik adalah rendahnya aksesibilitas
pelayanan, yang ditandai dengan masih besarnya angka pengguna biro
jasa intermediaries
dalam penyelenggaraan
pelayanan. Besarnya angka pengguna biro jasa dalam mengakses pelayanan
publik sangat bervariasi, berkisar antara 50-80 tergantung pada jenis pelayanan.
28
Besarnya angka pengguna jasa ini menunjukan ketidaksanggupan warga untuk berhubungan langsung dengan
penyelenggara pelayanan.
Hal ini
menjelaskan besarnya
opportunity cost yang dihadapi oleh masyarakat dalam mengakses pelayanan publik.
Kecenderungan prosedur
pelayanan hanya
mengatur kewajiban dan mengabaikan hak-hak pengguna pelayanan publik
menjadi salah satu sebab mengapa penyelenggaraan pelayanan publik sering menjadi sumber ketidakpuasan warga terhadap
pemerintah. Penyelenggara pelayanan cenderung menempatkan
27
Diskusi lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca di Dwiyanto, dkk, 2003 dan Dwiyanto, 2007. Ibid
28
Survei kepuasan warga pengguna terhadap pelayanan perizinan di Kota Yogyakarta pada tahun 2005 yang dilakukan oleh PSKK UGM menunjukan bahwa angka pengguna
yang menggunakan perantara atau calo pelayanan dalam pengurusan izin sangat besar dan bervariasi antar jenis perizinan.
197
dirinya sebagai penguasa, yang memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pengguna dan
dapat berbuat seenaknya dalam mengelola pelayanan publik. Akibatnya, penyelenggara pelayanan
publik sering menjadi arena konflik antara pemerintah dengan warganya.
4.11.3 Analisis