Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia

26

BAB II KERANGKA KONSEPTUAL: KEBIJAKAN DESENTRALISASI

DALAM NEGARA KESATUAN

2.1 Pasang Surut Otonomi Daerah di Indonesia

Deskripsi sistem pemerintahan daerah di Indonesia ditandai dengan diberlakukannya berbagai perundang-undangan tentang pemerintahan daerah. Setiap undang-undang yang diberlakukan akan menandai terjadinya perubahan dalam sistem pemerintahan daerah dan ini sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Pada dasarnya terdapat 8 delapan kali perubahan yang bersifat pokok terhadap sistem pemerintahan daerah pasca kemerdekaan. Setiap perubahan sistem tersebut dituangkan dalam Undang- Undang tentang Pemerintahan Daerah yang memuat pengaturan yang berbeda satu sama lainnya. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini: 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Undang-undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 Nopember 1945 dan merupakan undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sebuah Komite National Daerah didirikan pada setiap level terkecuali di tingkat provinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggota-anggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari 27 anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan roda pemerintahan daerah. Kepala daerah menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah yang bersangkutan. Sistem ini mencerminkan kehendak Pemerintah Pusat untuk menerapkan prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dalam sistem pemerintahan daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi. Hal tersebut terlihat dari dualisme fungsi yang diberikan kepada figur kepala daerah. Status kepala daerah adalah diangkat dan diambil dari keanggotaan komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah Pusat dan bukan dipilih. 2 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya mengatur mengenai daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom yaitu; Provinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD, dan pemerintahan sehari- hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah DPD. Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD. Kepala daerah diangkat oleh Pemerintah Pusat dari calon-calon yang diusulkan oleh 28 DPRD. DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri. Kondisi tersebut merupakan cerminan dari praktek demokrasi parlementer yang dianut pada masa tersebut. Pada sisi lain kepala daerah tetap menjalankan dwifungsi; sebagai Ketua DPD pada satu sisi dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah pada sisi yang lain. Sebagai alat Pemerintah Pusat, kepala daerah mengawasi DPRD dan DPD, sedangkan sebagai Ketua DPD, kepala daerah bertindak selaku wakil dari daerah yang bersangkutan. Tidak seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1948 secara jelas menyatakan urusan-urusan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah otonomi materiil seperti prinsip Ultra Vares yang diterapkan pada pemerintah daerah di Inggris. Terdapat 15 jenis urusan yang diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa melihat tingkatannya. Bahkan kota kecil sebagai pemerintah Daerah Tingkat III mempunyai urusan yang sama dengan urusan pemerintah daerah tingkat atasnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian otonomi mengesampingkan kemampuan riil dari pemerintah daerah. Keinginan memberikan otonomi lebih didasarkan kepada pertimbangan politis dibandingkan pertimbangan efisiensi dan efektifitas. Dalam realitas, kebanyakan daerah pada masa tersebut masih dibawah kontrol Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda telah merubah daerah-daerah yang didudukinya kembali menjadi negara-negara bagian dibawah sistem federal. Sedangkan wilayah Republik Indonesia hanya terbatas pada Jawa Tengah, sebagian Sumatra, dan Kalimantan. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 hanya berlaku pada 29 wilayah Republik Indonesia, sedangkan daerah-daerah dibawah sistem federal diatur sistem pemerintahan daerahnya menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1950. 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Apabila Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 lebih menekankan pada aspek dekonsentrasi, dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 pada aspek desentralisasi, maka Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah desentralisasi. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah produk dari sistem parlemen liberal hasil dari pemilihan umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan di kalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan- urusan pemerintah pusat di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Residen, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat Suryaningrat, 1980. Meskipun terdapat dorongan yang sangat kuat untuk meluaskan otonomi daerah, pada kenyataannya kewenangan yang dilimpahkan kepada pemerintah daerah tetaplah terbatas. Dari 15 urusan yang telah diserahkan ke daerah sama seperti urusan yang dilimpahkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, sampai dengan tahun 1958 hanya baru 7 urusan yang sebenarnya diserahkan kepada Propinsi. Penyebabnya adalah bahwa pelimpahan urusan harus dilakukan dengan peraturan pemerintah dan prosedur tersebut memakan waktu yang sangat lama. 30 Sistem pemerintahan daerah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 adalah hampir sama dengan pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948. Pemerintah daerah terdiri dari DPRD dan DPD. Anggota DPD dipilih dari DPRD dan bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku Ketua DPD, namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya. Perbedaannya dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terletak pada peranan yang dijalankan oleh kepala daerah. Kepala daerah hanya berperan selaku alat daerah dan tidak bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah dan DPD baik secara sendiri-sendiri maupun secara kolektif bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah dipilih oleh DPRD, namun sebelum diangkat ia harus mendapatkan pengesahan dari Presiden untuk Daerah Tingkat I dan Menteri Dalam Negeri untuk Daerah Tingkat II dan Daerah Tingkat III. Keinginan untuk menciptakan pemerintahan yang demokratik tidak diiringi dengan kedewasaan sosial dan politik. Dalam kekacauan politik tersebut, kabinet dibawah Perdana Menteri Juanda mengundurkan diri dan keadaan darurat pun diumumkan. Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang isinya yaitu; mencabut berlakunya UUDS 1950, membubarkan kabinet, dan kembali kepada UUD 1945. Pada saat tersebut dimulailah apa yang disebut Demokrasi Terpimpin Guided Democracy. 4 Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959 Pada tanggal 16 Nopember 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan 31 Presiden 6 Tahun 1959 untuk mengatur pemerintahan daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Dalam Penpres tersebut diatur bahwa pemerintah daerah terdiri dari kepala daerah dan DPRD. Kepala daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Kepala daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Sebagai eksekutif daerah ia bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak bisa dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat dia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Kepala daerah diusulkan oleh DPRD, tapi diangkat oleh Presiden untuk Daerah Tingkat I, dan oleh Menteri Dalam Negeri untuk Kepala Daerah Tingkat II. Sebagai eksekutif daerah kepala daerah dibantu oleh Badan Pemerintah Harian BPH yang anggota-anggotanya dipilih dari DPRD, namun harus bebas dari partai politik. Penetapan Presiden 6 Tahun 1959 menandai beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah kearah prinisip dekonsentrasi. Kekuasaan daerah pada dasarnya terletak ditangan kepala daerah, dan Pemerintah Pusat mempunyai kontrol yang kuat terhadap kepala daerah yang umumnya direkrut dari Pamong Praja . Meskipun DPRD mempunyai hak untuk mengusulkan calon-calon kepala daerah, Presiden ataupun Menteri Dalam Negeri mempunyai hak untuk menolaknya dan mengangkat calon yang direstui. Golongan Pamong Praja mendominasi jabatan bupati dan walikota. Pada awal tahun 1960-an pada waktu semua jabatan kepala daerah terisi, dari 238 kepala daerah, 150 orang atau 63 berasal dari Pamong Praja Legge, 1961. Arus balik dari peranan Pamong Praja yang dominan tersebut terjadi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPRS Nomor IIMPRS1960 yang menyatakan pemberian otonomi yang 32 seluas-luasnya kepada pemerintah daerah. Sebagai tindak lanjutnya Pemerintah Pusat mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 50 Tahun 1963 tentang Penyerahan Urusan- Urusan Pusat yang sebelumnya dijalankan oleh Pamong Praja kepada pemerintah daerah. Urusan-Urusan yang dijalankan oleh Residen diserahkan kepada Gubernur, dan urusan-urusan yang dijalankan oleh Wedana diserahkan kepada Bupati atau Walikota, sedangkan posisi Asisten Wedana atau Camat tetap dipertahankan. Kemudian Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 dikeluarkan untuk mengganti Penetapan Presiden 6 Tahun 1959. Ini merupakan terjadinya arus balik dari dekonsentrasi ke arah desentralisasi. Hal ini juga merupakan refleksi dari menguatnya peranan partai-partai politik dalam percaturan politik nasional. 5 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Pada pertengahan dekade 1960-an telah timbul tuntutan yang semakin kuat untuk merevisi sistem pemerintahan daerah agar sejalan dengan semangat Demokrasi Terpimpin dan Nasakom yaitu konsep politik yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno untuk mengakomodasikan tiga kekuatan politik terbesar pada waktu itu yaitu kelompok Partai Nasionalis, Agama dan Komunis. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, kepala daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap supplement saja walaupun diberi embel-embel vital. 33 Perubahan-perubahan mendasar yang terjadi dalam sistem pemerintahan daerah adalah bahwa kepala daerah bukanlan lagi bertindak sebagai Ketua DPRD, dan dia juga diizinkan menjadi anggota partai politik. Secara struktural, terdapat tiga tingkatan pemerintah daerah yang otonom yaitu; Propinsi, Kabupaten atau Kotamadya dan Kecamatan. Otonomi yang diberikan kepada daerah adalah otonomi nyata dan seluas- luasnya. Hal ini hampir serupa dengan otonomi dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1957. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 merupakan arus balik dari kecenderungan sentralisasi menuju ke desentralisasi. Hal ini nampak dari kebebasan yang diberikan kepada kepala daerah dan BPH untuk menjadi anggota partai politik tertentu. Dengan demikian kesetiaan atau loyalitas dari para eksekutif daerah tidak lagi semata-mata hanya kepada Pemerintah Pusat. 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 lahir dalam masa Orde Baru sebagai akibat dari peristiwa G30S PKI. Ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah penguatan peran kepala daerah dalam menjalankan dua fungsi utamanya yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Sebagai kepala daerah otonom, dia memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat ke daerah. Sedangkan sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepala daerah disebut sebagai kepala wilayah yang memimpin wilayah administrasi sebagai wilayah kerja wakil Pemerintah Pusat di daerah. 34 Sebagai kepala wilayah maka yang bersangkutan berperan sebagai administrator pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kepala wilayah juga mempunyai peran sebagai koordinator pemerintahan di daerah yang mengoordinir semua instansi vertikal yang ada di wilayah kerjanya. Kepala wilayah juga bertanggung jawab atas penyelenggaraan urusan umum di daerah yaitu urusan-urusan terkait dengan koordinasi, pembinaan, ketentraman dan ketertiban umum dan menyelenggarakan semua urusan pemerintahan yang belum di otonomikan atau belum ada instansi vertikal yang menanganinya urusan sisa. Ciri utama dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 adalah kuatnya intervensi Pemerintah Pusat dalam setiap elemen dasar dari pemerintahan daerah. Dari aspek urusan pemerintahan, prinsip otonomi daerah yang dianut adalah otonomi yang luas, riil dan bertanggung jawab. Dalam kenyataannya urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah berjumlah 7 sd 9 urusan untuk tingkat kabupatenkota dan 19 urusan untuk tingkat provinsi. Nuansa sentralisasi juga terasa kuat dalam aspek kepegawaian, keuangan, dan aspek-aspek lainnya dalam hubungan pusat dengan daerah. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 bertahan selama hampir 25 tahun yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 sebagai tindak lanjut dari reformasi. 7 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menandai terjadinya shifting yang signifikan dari sentralisasi yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 menjadi pemerintahan daerah yang desentralistik secara ekstrim. Maka banyak 35 kalangan mengatakan telah terjadi “big bang” dalam kebijakan desentralisasi di Indonesia. Dari yang serba terpusat dalam era Orde Baru menjadi serba ke daerah dalam era reformasi. Dalam era Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 terjadi penyerahan urusan secara drastis ke daerah khususnya ke daerah kabupatenkota. Dalam konteks otonomi seluas-luasnya Pemerintah Pusat dan provinsi mempunyai kewenangan yang terbatas yang diatur dalam Peraturan Pemerintah 25 Tahun 2000 sedangkan diluar dari yang ditentukan menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupatenkota. Terjadi pergesekan kewenangan antar tingkatan dan susunan pemerintahan terkait dengan kewenangan-kewenangan yang khususnya potensial menghasilkan penerimaan revenue centers. Sebaliknya terjadi gejala penelantaran urusan-urusan pemerintahan yang bersifat pengeluaran cost centers. Terjadi pula ketegangan antara kepala daerah dengan DPRD terkait dengan kecenderungan meluas ditolaknya laporan pertanggung jawaban kepala daerah oleh DPRD. Dalam bidang kepegawaian juga muncul kecenderungan kebijakan-kebijakan yang bersifat primordial yang kalau dibiarkan akan membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta menyuburkan rasa kedaerahan yang sempit. Berbagai persoalan tersebut telah menggiring kearah dilakukannya perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan kemudian dikeluarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penggantinya. 8 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 berusaha mencari keseimbangan antara desentralisasi dengan sentralisasi. 36 Pengalaman menunjukkan pendulum kebijakan desentralisasi ataupun sentralisasi yang ekstrim cenderung akan menciptakan instabilitas pemerintahan yang akan bermuara pada konflik yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu selalu terdapat upaya untuk menyeimbangkan antara kebijakan yang desentralistik dengan kebijakan yang sentralistik sebagai suatu continuum kebijakan. Namun dalam perjalanan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 walaupun urusan pemerintahan sudah dibagi antar tingkatan pemerintahan secara sistematik antara Pemerintah Pusat, provinsi dan kabupatenkota, namun dalam pelaksanaannya masih belum optimal karena berbagai hal. Pertama, pembagian urusan pemerintahan tidak diikuti dengan pembagian sumber-sumber pendanaan yang seimbang. Hampir 70 dari keuangan negara masih ada ditangan Pemerintah Pusat, dan hanya menyisakan 30 untuk dialokasikan ke daerah dalam bentuk dana perimbangan. Kedua, urusan pemerintahan yang diserahkan ke provinsi sedikit tapi sumber pendanaannya banyak sehingga menyebabkan kecenderungan provinsi untuk mencampuri urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupatenkota. Ketiga, di tingkat kabupatenkota sebagai lini terdepan penyedia pelayanan publik kurang didukung oleh pendanaan yang memadai. Pendapatan asli daerah hanya berkisar kurang dari 10 sehingga 90 pendanaan tergantung dari dana perimbangan. Pada sisi lain, dana yang sudah terbatas tersebut pemanfaatannya juga kurang proporsional dan hampir 80 dipakai untuk overhead cost. Pada sisi kelembagaan juga ada kecenderungan membengkaknya kelembagaan daerah untuk mengimbangi tekanan birokrasi akibat terjadinya penambahan pegawai. 37 Otonomi luas telah memberikan peluang pemerintah daerah membengkakkan struktur organisasi pemerintahan daerah dan besarnya struktur organisasi akan menuntut adanya tambahan pegawai. Tambahan pegawai akan menyebabkan membengkaknya biaya rutin biaya tidak langsung dan akan menyisakan sedikit sekali untuk membiayai pelayanan public biaya langsung. Buruknya pelayanan publik akan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan masyarakat. Pada sisi hubungan antara kepala daerah dengan DPRD tidak muncul persoalan sebagaimana dalam era diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, namun ketegangan muncul antara kepala daerah dengan wakil kepala daerah. Sebagian besar pasangan kepala daerah dan wakilnya cenderung kurang harmonis dan kondisi tersebut telah mengganggu jalannya roda pemerintahan daerah. Salah satu akibatnya adalah terkotak-kotaknya birokrasi kedalam pro- kontra kepala daerah atau wakil kepala daerah. Pergesekan menjadi semakin keras manakala kepala daerah dan wakilnya masing-masing maju mencalonkan diri dalam pilkada berikutnya. Berbagai permasalahan yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyebabkan pemerintahan daerah berjalan kurang efektif. Untuk itu diperlukan kebijakan yang bersifat lebih “affirmative” untuk meningkatkan efektifitas pemerintahan daerah. Bagaimana mengarahkan agar spirit reformasi dan demokrasi mampu menghasilkan kesejahteraan masyarakat. Anomali yang terjadi adalah reformasi yang dilaksanakan secara demokratis belum menghasilkan kesejahteraan yang memadai. Hasil penilaian Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia 38 belum menunjukkan data yang menggembirakan. Pada tahun 2008 kita ada di urutan 109 dari 179 negara yang di survei. Namun pada tahun 2009 peringkat Indonesia melorot ke nomor 111 dan terjadi perbaikan di tahun 2010 menjadi peringkat 108. Tapi angka ini masih sangat jauh di bandingkan negara-negara tetangga kita seperti Malaysia di peringkat 63, Thailand di peringkat 86. Terlebih dengan disepakatinya perdagangan bebas ASEAN dan juga dengan China, memerlukan kebijakan desentralisasi yang mampu mendukung daya saing daerah. Besarnya kewenangan yang diberikan ke daerah harus mampu mendorong daerah menjadi bagian dari lokomotif pembangunan. Dalam konteks meningkatkan efektifitas pemerintahan, telah terjadi kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan DPR untuk melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Undang-undang ini disepakati akan dipecah menjadi tiga undang-undang yaitu undang-undang tentang pemerintahan daerah; undang-undang tentang pemilihan kepala daerah dan undang-undang tentang desa. Dari pendekatan historis tersebut, isu sentral yang dapat ditarik adalah bagaimana Pemerintah Pusat selalu berusaha memegang kendalikontrol terhadap daerah. Dalam banyak hal, Pemerintah Pusat berusaha mengontrol daerah melalui figur kepala daerah yang didudukkan sebagai alat pusat dan alat daerah. Untuk memenangkan kesetiaan kepala daerah kepada pusat dalam menjalankan dual roles-nya, Pemerintah Pusat seringkali sangat dominan dalam penentuanpengangkatan kepala daerah. Kuatnya bargaining position pusat dalam penentuan kepala daerah ini telah mendorong loyalitas kepala daerah yang lebih tinggi kepada Pemerintah Pusat dibandingkan kepada daerah. Aspek positif dari 39 kebijaksanaan ini adalah adanya kepastian bahwa program-program ataupun arahan pusat akan terlaksana secara lancar di daerah. Pada tahap awal kemerdekaan pendekatan ini sangat berguna untuk menggalang persatuan dan kesatuan bangsa yang masih sangat rawan pada waktu itu tujuan integratif. Aspek negatifnya, terutama setelah tujuan integratif tercapai adalah pada diri kepala daerah sendiri, yang akan sering dihadapkan pada suatu dilema manakala dihadapkan pada situasi harus memilih antara kepentingan pusat dan daerah. Ke Pemerintah Pusat dia dituntut akan loyalitas, ke daerah dia dihadapkan pada akuntabilitas. Kebijakan Pemerintah Pusat untuk melakukan desentralisasi pemerintahan di Indonesia sudah lama dilakukan dan mengalami pasang surut sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat. Para pendiri bangsa sejak awal telah memutuskan perlunya desentralisasi dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Pasca reformasi, Pemerintah Pusat melakukan serangkaian kebijakan, antara lain dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 untuk mencari format kebijakan desentralisasi yang mampu mempercepat kemajuan daerah, meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan sekaligus memperkuat integrasi nasional. Walaupun berbagai upaya telah dilakukan untuk mengantisipasi dinamika politik, sosial, dan ekonomi yang berpengaruh terhadap sistem pemerintahan daerah, namun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai payung kebijakan desentralisasi masih mengandung banyak kekurangan dan kelemahan yang jika tidak segera diperbaiki dapat mengganggu keberhasilan desentralisasi itu sendiri. 40 Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang seharusnya dikembangkan di Indonesia. Apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia terbatas pada desentralisasi wilayah, sebagaimana selama ini dilakukan, atau termasuk juga desentralisasi fungsional Rondinelli, 2007. Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema 1983 yang mengklasifikasi desentralisasi kedalam berbagai cara, yaitu: dekonsentrasi, delegasi dan devolusi. Apakah desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia tetap mengikuti praktik yang selama ini dilakukan di negara-negara kesatuan, yang melimpahkan kewenangannya sebagian besar pada kabupatenkota? Atau, pelimpahan kewenangan kepada provinsi perlu diperbesar seperti yang terjadi pada negara-negara yang menganut sistim pemerintahan federal. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting untuk menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Fakta bahwa desentralisasi di banyak negara belum mampu menghasilkan bukti yang solid dan kokoh untuk mendorong kemajuan daerah, partisipasi masyarakat, dan kesejahteraan warga menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya model desentralisasi dan otonomi daerah disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi masing-masing negara. Walaupun desentralisasi menjadi strategi pembangunan yang umum dilakukan di banyak negara maju dan berkembang pasca tahun 1980-an, namun cerita keberhasilan desentralisasi sering bersifat unik dan kontekstual Andrews and Vries, 2007. Keberhasilan desentralisasi dalam memperbaiki kehidupan 41 warganya tidak berlaku umum dan tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang taken for granted. Beberapa penelitian telah mengingatkan mengenai risiko penggunaan desentralisasi sebagai panacea dalam memecahkan masalah pembangunan dan pelayanan publik di negara sedang berkembang, yang cenderung menyederhanakan masalah Andersson, Gibson and Lehoucq 2004. Segelintir peneliti mulai mempertanyakan asumsi yang mengklaim bahwa desentralisasi dapat memperbaiki pemberian pelayanan di tingkat lokal Agrawal and Gibson 1999; Larson 2002; Andersson dkk, 2004; Deininger and Mpuga 2005. Sementara peneliti yang lain seperti Andrews dan Vries 2007 yang membuktikan bahwa pengalaman Brazil, Rusia, Jepang, dan Swedia dalam melaksanakan desentralisasi ternyata menghasilkan pengalaman yang berbeda terkait dengan dampaknya terhadap partisipasi publik. Memang tidak semua negara mengalami kemajuan setelah melaksanakan desentralisasi. Di beberapa negara desentralisasi justru telah membuka kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi Treisman 2000; Oyono 2004, Tambulasi dan Kayuni, 2007. Keberhasilan desentralisasi memperbaiki kesejahteraan rakyat di daerah sangat tergantung pada kesesuaian bentuk, cakupan dan besaran kewenangan yang dialihkan ke daerah, dan cara pelaksanaan desentralisasi dengan kapasitas pemerintah daerah, dukungan kementrian dan lembaga sektoral, dan kekuatan masyarakat sipil di daerah. Namun, dampak yang berbeda-beda yang dialami banyak negara lain dalam melaksanakan desentralisasi tidak perlu membuat Indonesia menjadi ragu-ragu dalam melaksanakan desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi sudah menjadi pilihan anak-anak bangsa, bukan hanya sekarang ini, tetapi 42 bahkan sejak para pendiri bangsa dimasa lalu. 1 Kondisi demografis, sosial budaya, dan geografis yang memiliki variabilitas yang tinggi antar daerah, menjadikan desentralisasi sebagai keniscayaan. Pilihan para pendiri bangsa dimasa lalu terhadap desentralisasi dan otonomi daerah menunjukan kearifan mereka terhadap tingginya pluralitas bangsa. Indonesia yang memiliki wilayah yang sangat luas dan terbentang pada begitu banyak pulau yang terpisah satu dengan lainnya, dengan etnisitas, budaya, dan tingkat sosial ekonomi yang berbeda-beda membutuhkan pemerintah daerah yang otonom dan memiliki kapasitas merespon dinamika lokal yang kompleks. Pemerintahan daerah yang seperti ini hanya dapat dikembangkan ketika desentralisasi dilakukan. Keyakinan bahwa desentralisasi menjadi pilihan yang tepat dapat dijustifikasi dengan melihat pengalaman banyak negara lain yang berhasil menggunakan desentralisasi untuk mendorong pembangunan daerah, demokratisasi, dan kesejahteraan ekonomi Boone 2003, Kohl 2003, Lam 1996, Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999. Bahkan, dalam New Public Management NPM, yang sekarang ini menjadi gerakan pembaharuan administrasi publik di negara maju dan berkembang, desentralisasi telah menjadi satu nilai penting dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang efisien, efektif, responsif, dan akuntabel Osborne Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998. Bahwa sebagian negara lainnya gagal menjadikan desentralisasi sebagai strategi untuk membangun pemerintahan yang efisien dan efektif hanyalah menunjukan bahwa 1 Hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tentang otonomi daerah. Fakta bawa Pemerintah Pusat yang baru saja menyatakan kemerdekaannya untuk kali pertama dalam pembentukan undang-undang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah menunjukan bahwa para pendiri bangsa melihat desentralisasi sebagai suatu nilai yang penting. 43 desentralisasi tidak bisa diperlakukan secara taken for granted, karena keberhasilannya bersifat kontekstual. Desentralisasi tidak terjadi dalam ruang yang vakum, tetapi dalam sebuah konteks historik, budaya, politik, dan kelembagaan tertentu. Sistim desentralisasi yang dikembangkan mesti harus kontekstual dengan memperhatikan berbagai variabel dan kondisi sehingga model desentralisasi yang dikembangkan di Indonesia benar-benar sesuai dengan sistem pemerintahan, politik, budaya, sejarah, dan cita-cita membangun negara bangsa. Bahwa pelaksanaan desentralisasi mesti harus memperhatikan konteks masing-masing negara sudah lama diingatkan oleh para pemikir desentralisasi sejak lama Rondinelli, 1980, Cheema and Rondinelli, 1982. Ada banyak kondisi yang diperlukan agar desentralisasi dapat menghasilkan manfaat seperti yang diharapkan, seperti kapasitas lokal, komitmen politik dari pimpinan nasional, konsistensi kebijakan, tersedianya saluran bagi partisipasi politik masyarakat, kualitas kepemimpinan lokal, kesiapan aparatur pusat dan daerah untuk mengubah mindset, tersedianya lembaga lokal yang berjiwa demokratis, dan terbatasnya otoritas fiskal di daerah Rondinelli 1980, Dillinger 1995; Seabright 1996, Manor 1999; Bardhan and Mookherjee 2000. Sebagian dari variabel diatas dapat menjelaskan mengapa pengalaman banyak daerah di Indonesia melaksanakan desentralisasi juga berbeda-beda, dimana sebagian provinsi dan kabupatenkota berhasil mempercepat pembangunan daerahnya, sementara sebagian lainnya gagal memanfaatkan otonomi untuk perbaikan kinerja Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b. Walaupun secara umum desentralisasi dan otonomi daerah mampu mendorong munculnya berbagai inovasi, tetapi 44 desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pelaksanaan desentralisasi yang tidak kontekstual, karena dilaksanakan untuk memenuhi tekanan eksternal lembaga donor yang seringkali mengkaitkan dengan program-programnya, dapat menjawab pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme 1997 yang risau tentang kegagalan desentralisasi memenuhi janjinya. Apa yang salah dengan desentralisasi: teori atau prakteknya? Atau gugatan Jeffrey 2008 tentang koherensi dan stabilitas dari penyelenggaraan pemerintahan secara desentralistis, ketika tingkat pemerintahan yang berbeda dikuasai partai politik yang berbeda-beda. Pertanyaan-pertanyaan itu mengingatkan kita semua untuk berani secara terbuka dan kritis melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Berbagai keluhan tentang ketidakmampuan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia memenuhi harapan dari banyak pemangku kepentingan dapat muncul dari keduanya, ketidaktepatan model desentralisasi yang diterapkan dan karena kesalahan implementasinya, atau bahkan karena interaksi dari keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi. Hal yang sama juga dapat mendorong terjadi penafsiran yang berbeda di kalangan pemangku kepentingan sehinga pelaksanaan desentralisasi tidak sesuai dengan semangat dari peraturan perundangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula. Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi Dwiyanto, 2003a. Akibatnya, pelaksanaan 45 desentralisasi tidak dapat memberi manfaat sebagaimana diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Apa yang terjadi selama ini menunjukan pentingnya membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan tepat karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu dalam rangka memperbaiki pelaksanaan desentralisasi di Indonesia upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Dengan melakukan serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang bersifat sistemik ataupun yang kontekstual maka diharapkan Indonesia dapat mewujudkan kebijakan desentralisasi yang mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI. Pengembangan desentralisasi di Indonesia perlu memperhatikan kondisi-kondisi yang diperlukan bagi keberhasilan desentralisasi itu sendiri dan berbagai konteks ke-kini-an yang terjadi di Indonesia. Pertama, desentralisasi yang dikembangkan adalah desentralisasi dalam negara kesatuan. Pilihan negara kesatuan telah jelas termuat dalam konstitusi dan masih menjadi konsensus politik. Walaupun konsep negara kesatuan mengalami dinamika dan penyesuaian sesuai dengan tantangan yang dihadapi, desentralisasi dalam negara kesatuan memiliki ciri yang berbeda dengan desentralisasi dalam negara yang menganut sistem federal. Dalam negara kesatuan umumnya desentralisasi 46 hanya terjadi dalam kewenangan eksekutif, bukan dalam kewenangan legislatif dan yudisial. Pemerintahan daerah tidak memiliki kompetensi legislatif dan yudisial. Didalam negara kesatuan tidak ada shared soverignity. Kedaulatan hanya ada ditangan negara, bukan ada di daerah. Implikasinya, di negara kesatuan hanya ada satu lembaga legislatif, yang berkedudukan di pusat. Lembaga perwakilan rakyat di daerah DPRD hanya memiliki regulatory power untuk membuat peraturan daerah yang tidak bertentangan dengan produk lembaga legislatif DPR dan peraturan perundangan yang yang lebih tinggi. Penyelenggara negara dan atau Presiden sebagai kepala pemerintahan dapat melakukan review terhadap peraturan daerah dan membatalkannya jika bertentangan dengan undang- undang dan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan memilih menjadi negara kesatuan yang desentralistik, Indonesia memiliki konstruksi hubungan pusat dan daerah yang berbeda dengan konstruksi yang ada didalam sistim federal. Dalam negara kesatuan, daerah bisa provinsi atau kabupatenkota umumnya dibentuk oleh negara pusat melalui peraturan perundangan tertentu. Karena itu daerah memperoleh kewenangan dari negara, bukan sebaliknya. Negara melalui undang-undang dapat membentuk dan membubarkan daerah, melimpahkan atau menarik kembali kewenangan dan fungsi yang dilimpahkan ke daerah. Kewenangan yang diberikan kepada pemerintahan daerah adalah kewenangan eksekutif yang dimiliki oleh Presiden, bukan kewenangan penyelenggara negara lainnya. UUD 1945 memberi kekuasaan pemerintahan tertinggi pada presiden. Sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi, Presiden harus mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pemerintahan nasional, termasuk yang dilakukan oleh 47 pemerintahan daerah. Karena itu, Presiden memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi dan kabupatenkota. Kedua, sebagaimana dinyatakan dalam konstitusi UUD 1945 Pasal 18 dan Pasal 18A, Indonesia menganut sistem pemerintahan dengan susunan ganda multi-tiers government. Pilihan untuk memiliki multi-tiers government dapat dijustifikasi dari adanya comparative advantages dari keberadaan pemerintah provinsi dan kabupatenkota mengingat tidak semua urusan yang didesentralisasikan dapat dikelola secara efisien dan efektif oleh kabupatenkota. Sebagian dari urusan yang didesentralisasikan dalam bidang pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan, kehutanan, sarana dan prasarana, dan pengembangan wilayah, serta urusan pemerintahan yang berbasis ekologis akan lebih efisien dan efektif jika dikelola oleh pemerintahan daerah provinsi. Walaupun desentralisasi pemerintahan di negara-negara kesatuan umumnya lebih banyak diserahkan kepada pemerintahan kabupatenkota, utamanya untuk penyelenggaraan pelayanan pemenuhan kebutuhan dasar. Kalau desentralisasi pemerintahan di masa mendatang tetap diberikan sebagian besar kepada kabupatenkota maka penerapan prinsip subsidiaritas harus menjadi pertimbangan utama dalam melakukan pembagian urusan pemerintahan. Ketika subsidiaritas berbenturan dengan kriteria lainnya, misalnya: efisiensi, maka prinsip subsidiaritas menjadi superior. Pertimbangannya adalah yang paling dekat dengan warga adalah yang paling tahu tentang kebutuhan warganya, mudah dikontrol oleh warga, dan memudahkan warga untuk terlibat dalam penyelenggaraannya. Kriteria dan prinsip dalam pembagian urusan perlu dirumuskan dengan jelas dan dimasukan dlam konstitusi sehingga tidak 48 mudah untuk dirubah untuk kepentingan sempit dan jangka pendek. Cara ini diharapkan mampu mempercepat terwujudnya democratic governance pada tingkat lokal. Di negara kesatuan yang memiliki susunan ganda, walaupun tidak ada hubungan hirarkhis antara provinsi dengan kabupatenkota, secara fungsional hubungan hirarki antar keduanya sulit dihindari. Dalam manajemen pemerintahan sehari- hari, hubungan interdepensi dan interrelasi antar pemerintahan daerah kabupatenkota adalah keniscayaan. Secara fungsional keberadaan provinsi diperlukan untuk memfasilitasi managemen pemerintahan antar kabupatenkota agar terjadi koherensi, sinergi, dan terintegrasi dengan baik. Apalagi ketika provinsi juga diperlakukan sebagai wilayah administratif, dimana kepala daerahnya diberi tugas sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, maka hubungan hirarkhis fungsional antara provinsi dan kabupatenkota tidak dapat dihindari. Hubungan antar keduanya perlu ditata dengan baik sehingga keberadaan keduanya mampu menciptakan sinergi dan komplementaritas yang menguntungkan warganya. Sinergi dan komplementaritas antara pemerintahan provinsi dan kabupatenkota hanya dapat dilakukan kalau pembagian urusan antar keduanya jelas dan terumuskan dengan baik. Untuk itu, undang-undang ini perlu mengarahkan peran pemerintahan kabupatenkota sebagai penyelenggara urusan pemenuhan kebutuhan dasar dengan memperhatikan keuntungan komparatifnya dibandingkan dengan pemerintahan provinsi. Sedangkan, provinsi sebagai daerah otonom diarahkan sebagai penyelenggara pelayanan yang memiliki eksternalitas lintas kabupatenkota dan pembangunan wilayah. Pembagian urusan yang jelas, dalam negara kesatuan yang memiliki multi-tiers 49 government, menjadi sangat penting perannya dalam membangun negara kesatuan yang solid dan kokoh. Penguatan peran provinsi perlu diimbangi juga dengan penguatan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat. Pengalaman sejarah pemerintahan Indonesia menunjukan bahwa penguatan peran provinsi sebagai daerah otonom sering menimbulkan kekhawatiran tentang risiko munculnya gerakan separatisme. Pemberian peran tambahan kepada kepala daerah provinsi sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat mengurangi kekhawatiran terhadap munculnya ancaman separatisme. Penguatan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah juga memiliki rasionalitas lainnya. Untuk memperkuat NKRI, Presiden membutuhkan instrumen yang dapat menjalankan peran sebagai intermediaries, enabling, and synergizing institution untuk penguatan kapasitas dan optimalitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penambahan peran gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dapat menjadi pilihan yang mudah, murah, dan efektif untuk membangun konsistensi dan sinergi penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah. Penerapan peran ganda gubernur juga dinilai lebih sesuai dengan semangat desentralisasi daripada menjadikan gubernur sepenuhnya sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah. Pemikiran untuk menjadikan gubernur sepenuhnya sebagai wakil Pemerintah Pusat dan menjadikan provinsi sebagai wilayah administratif dapat menjadikan NKRI semakin sentralistis dan mempersempit ruang untuk partisipasi publik yang menjadi salah satu nilai yang ingin diwujudkan oleh kebijakan desentralisasi. Ketiga, walaupun tidak diatur dalam konstitusi realitas yang ada menunjukan bahwa Indonesia menganut desentralisasi teritorial dan fungsional. Selama ini desentralisasi teritorial sangat 50 dominan sehingga cederung memonopoli konsep desentralisasi di Indonesia. Pengembangan kawasan khusus dapat menjadi contoh terjadinya desentralisasi fungsional, dimana Pemerintah Pusat membentuk lembaga khusus semi pemerintah di daerah untuk menjalankan fungsi Pemerintah Pusat tertentu. Munculnya masalah-masalah strategis terkait dengan kawasan perbatasan, konservasi, dan unggulan ekonomi mendorong perlunya Indonesia mengembangkan konsep desentralisasi fungsional. Pengembangan kawasan perbatasan yang memiliki aspek geo- politik strategis seringkali tidak dapat dikelola sepenuhnya oleh satu daerah otonom, sehingga diperlukan satu institusi yang secara khusus dirancang untuk menjalankan fungsi pemerintahan tertentu di kawasan perbatasan. Keempat, sebagai negara kesatuan Pemerintah Pusat membentuk sistem kepegawaian nasional yang mencakup pegawai nasional, pegawai daerah, dan pegawai profesional lainnya. Pegawai nasional menjadi perangkat Pemerintah Pusat untuk pemberdayaan daerah, pemerataan kemajuan dan kesejahteraan daerah, serta memperkuat integrasi nasional national-binding forces. Sistem kepegawaian nasional harus mencakup standar kompetensi, proses rekrutmen dan penempatan pegawai yang terbuka, kompetitif, dan menjamin adanya mobilitas pegawai antar daerah secara wajar. Sistem kepegawaian nasional harus dapat memberi ruang kepada daerah untuk mengembangkan kompetensi lokal yang diperlukan untuk mempercepat pembangunan daerah. Kelima, berbeda dengan yang terjadi di negara federal dimana daerah memiliki sumber-sumber penerimaan sendiri yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, di negara kesatuan umumnya sumber penerimaan dikontrol oleh 51 pusat dan didistribusikan kembali ke daerah untuk mengatasi kesenjangan fiskal antar daerah. Penggunaan hibah dan transfer dari pusat untuk pembiayaan pemerintahan daerah memiliki beberapa implikasi. Implikasi pertama, Pemerintah Pusat perlu membuat kebijakan dan standar pelayanan sebagai acuan daerah dalam mengelola pelayanan publik. Kebijakan dan standar penting untuk memastikan daerah mampu menjamin semua warga dimanapun mereka tinggal mampu mengakses volume dan kualitas pelayanan yang sama. Implikasi lainnya, akuntabilitas dari penggunaan dana oleh daerah tidak hanya pada konstituen yang ada di daerah, tetapi juga pada konstituen pada tingkat nasional. Karena sebagian dana yang digunakan untuk menjalankan pemerintahan daerah bersumber dari pajak dan sumber-sumber lain di tingkat nasional maka pemerintahan daerah harus juga akuntabel pada stakeholders pada tingkat nasional. Daerah memiliki akuntabilitas ganda, stakeholders di daerah dan nasional. Keenam, keberhasilan desentralisasi membutuhkan adanya konsistensi dalam keseluruhan aspek kebijakan dan implementasinya. Dalam aras kebijakan, konsistensi diperlukan antar peraturan perundangan yang mengatur tentang penyelenggaraan pemerintahan dengan peraturan perundangan yang mengatur kegiatan-kegiatan kementrian dan lembaga. Undang-undang tentang pemerintahan daerah harus menjadi arah kebijakan yang menjiwai dan menjadi pedoman bagi pembentukan undang-undang sektoral. Ketidakharmonisan antara undang- undang tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan undang-undang sektoral dapat menciptakan kebingungan aktor- aktor di pusat dan daerah. Sebagaimana pengalaman di negara- negara lainnya, ketidakharmonisan undang-undang bukan hanya 52 akan menimbulkan kekaburan terhadap subtansi peraturan perundang-undangan tetapi juga akan mempersulit pelaksanaan dari desentralisasi itu sendiri. Kekaburan dalam isi kebijakan akan mendorong munculnya mis-intepretasi dan distorsi kebijakan yang tidak perlu dan dapat menjauhkan kebijakan desentralisasi dari nilai-nilai yang akan diwujudkannya. Dalam aras implementasi, perlu dikembangkan strategi yang menjamin pelaksanaan desentralisasi benar-benar sesuai dengan semangat yang dimiliki dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Pembentukan undang-undang pemerintahan daerah harus diikuti dengan pembentukan peraturan pelaksanaan yang sesuai dengan semangat pembentukan undang-undang itu sendiri. Konsistensi antara undang-undang dengan peraturan pelaksanaannya harus dijaga agar implementasi dari undang-undang itu benar-benar sesuai dengan semangat dari pembentuk undang-undang. Dengan cara ini maka distorsi implementasi dapat ditekan seminimal mungkin sehingga pelaksanaan desentralisasi dapat menciptakan hasil sebagaimana yang diharapkan. Ketujuh, pengembangan desentralisasi sebagaimana terjadi pada negara-negara lainnya membutuhkan ruang politik yang lebih luas bagi warga untuk terlibat dalam proses politik di aras lokal. Desentralisasi harus dilakukan secara bersama-sama dengan demokratisasi pada tingkat lokal sehingga warga dapat terlibat dalam pengambilan keputusan dan ikut mengontrol jalannya penyelenggaraan pemerintahan. Implikasinya, desentralisasi hanya akan berhasil kalau diikuti dengan pemberdayaan lembaga perwakilan rakyat di daerah dan penguatan kelompok masyarakat sipil di daerah sehingga efektivitas kontrol politik di daerah menjadi semakin effektif. 53 Tanpa penguatan lembaga perwakilan rakyat dan masyarakat sipil di daerah, desentralisasi hanya akan melahirkan elite captures dalam proses penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang merugikan kepentingan warga dan pemangku kepentingan yang luas. 54

BAB III MATERI MUATAN UNDANG UNDANG PEMERINTAHAN DAERAH