Identifikasi Permasalahan Pembagian Urusan

99 menurut kriteria tertentu sebaiknya dikelola secara inklusif oleh Pemerintah Pusat. Hal ini berbeda dengan negara federal dimana baik pemerintah federal maupun pemerintah negara bagian masing-masing dapat secara inklusif memiliki wewenang mengatur dan mengurus untuk satu urusan pemerintahan tertentu.

4.3.1.2 Identifikasi Permasalahan

Pembagian urusan pemerintahan masih menjadi tarik menarik antara Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupatenkota. Salah satu sumbernya adalah karena ketidakjelasan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 dalam membagi urusan antar tingkat pemerintahan yang berbeda. Walaupun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 telah menentukan kriteria yang digunakan untuk membagi urusan, namun dalam praktik penggunaan kriteria itu sangat sulit dilakukan. Kriteria efisiensi dalam penyelenggaraan urusan selalu mengarah pada skala ekonomi sehingga urusan cenderung diserahkan kepada pemerintah yang lebih tinggi. Sedangkan kriteria akuntabilitas cenderung menunjuk pada tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Penerapan kriteria eksternalitas juga tidak sederhana karena pemerintah daerah sering kurang memperhatikan dampak dari kegiatannya terhadap pihak lain diluar jurisdiksinya. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 telah mencoba mengatur urusan pemerintah, provinsi, dan kabupatenkota untuk semua urusan konkuren. Peraturan pemerintah tersebut menjelaskan bahwa provinsi menyelenggarakan urusan skala provinsi sedangkan kabupatenkota menyelenggarakan urusan skala kabupatenkota. Namun, mana urusan yang skala provinsi dan mana urusan skala kabupatenkota untuk setiap sektor 100 belum dapat dirumuskan dengan jelas. Akibatnya, banyak pelaku dan pemangku kepentingan yang kemudian memberi interpretasi yang berbeda-beda tentang mana urusan Pemerintah Pusat, provinsi, dan kabupatenkota. Ketidakjelasan pembagian urusan antar susunan pemerintahan sering menjadi sumber konflik antara daerah dengan kementrian dan lembaga di pusat dan menimbulkan kekaburan dari konsep desentralisasi itu sendiri. Kementrian dan LPNK sering mengembangkan peraturan perundangan yang tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007. Mereka enggan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan sektornya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Mereka memahami pembagian urusan berdasarkan atas apa yang sudah mereka lakukan secara rutin berdasarkan struktur kelembagaan yang ada, bukan atas pertimbangan yang konsepsional tentang pembagian peran antara pusat dan daerah dalam era desentralisasi. Akibatnya, disharmoni antara Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dengan undang-undang sektoral tak terhindarkan dan menciptakan arena konflik antara daerah dan kementerianlembaga dalam pengelolaan urusan pemerintahan. Masalah lain yang muncul dari pelaksanaan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 adalah pembagian urusan menjadi urusan wajib dan urusan pilihan yang harus diselenggarakan daerah. Secara generik urusan wajib yang terkait dengan pelayanan dasar diserahkan secara simetris kepada daerah. Urusan pilihan yang terkait dengan pengembangan sektor unggulan, mensyaratkan daerah untuk memilih urusan pemerintahan berdasarkan potensi unggulan ekonomi yang ada di wilayahnya. Namun dalam praktek, pertimbangan tersebut 101 diabaikan dan daerah cenderung melaksanakan semua urusan walaupun urusan tersebut tidak terkait dengan potensi unggulan daerah yang bersangkutan. Dalam penyelenggaraan urusan wajib, utamanya pemenuhan kebutuhan dasar warga, pemerintah perlu membuat standar pelayanan minimal SPM atau standar lainnya untuk menjamin agar warga dimanapun mereka berada dapat mengakses secara sama pelayanan tersebut. Namun, sejauh ini SPM dan standar pelayanan untuk berbagai urusan belum dapat dirumuskan secara memadai sehingga ketimpangan pelayanan antar daerah tak terhindarkan.

4.3.1.3 Analisis