Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Berdasarkan uraian di muka dapat dipahami sifat esensial dari masyarakat hukum adat, yaitu magis relegius, komunal, konkrit, dan visual.

D. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

Hutan adat merupakan salah satu bentuk dari hak ulayat masyarakat hukum adat. Selain itu, hak ulayat dapat juga berupa; sungai, pantai, gunung, tanah, air, binatang, dan lain-lain. Namun dari semua hak ulayat yang merupakan objek dari masyarakat hukum adat, tanah ulayat dan hutan adat adalah dua objek yang lebih sering dipersoalkan dan dikaji akhir-akhir ini, terutama pasca Reformasi. Di Indonesia, sejak dahulu sebelum masa kemerdekaan, hubungan antara manusia dengan tanah telah diatur dalam hukum adat. Hubungan antara masyarakat dengan tanah menurut hukum adat sangat erat. Hal ini sebagaimana dikemukakan Ter Haar yang dikutip oleh Bushar Muhammad, yang menyatakan bahwa di dalam hukum adat, antara masyarakat sebagai kesatuan dengan tanah yang didudukinya terdapat hubungan erat sekali, hubungan yang bersumber pada pandangan yang bersifat religio- magis. 162 Dalam hukum adat, hak atas tanah ada dua macam, yaitu hak persekutuan hukum hak masyarakat hukum adat dan hak perseorangan. Beberapa sarjana menggunakan istilah yang berbeda terhadap hak persekutuan tersebut. Misalnya, Djojodigoeno menggunakan istilah hak purba; Soepomo memakai istilah hak pertuanan. Sedangkan Ter Haar yang merujuk pada van Vollenhoven menyebutnya dengan istilah beschikkingrecht. 162 Bushar Muhammad, Pokok‐pokok Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1995, hal. 103. Universitas Sumatera Utara Di berbagai daerah, hak persekutuan hukum tersebut dikenal dengan sebutan yang berbeda, yaitu; hak milik pertuanan Ambon, daerah penghasil makanan penyampeto Kalimantan, lapangan yang terpagar pawatasan Kalimantan, wewengkon Jawa, prabunian Bali, tatabuan Bolong Mangondow, torluk Angkala, kimpo Sulawesi Selatan, paer Lombok dan ulayat Minangkabau. Di dalam masyarakat Aceh, dikenal dengan nama yang beragam, antaranya; tanoh mukim dan tanoh hak kullah. 163 Dalam hubungannya dengan hak perseorangan, hak ulayat bersifat melentur. Artinya, kadangkala ia bersifat kuat dan kadangkala bersifat melemah. Dimana hak ulayat menguat, maka hak perseorangan menjadi lemah. Begitu pula sebaliknya, dimana hak perseorangan melemah maka hak ulaya menjadi kuat. Mahadi, 164 dengan merujuk pada van Vollenhoven mengemukakan manifestasi hak ulayat itu adalah : 1. Persekutuan hukum dan para anggotanya secara bebas boleh “exploit any virgin land”. Boleh mengerjakan tanah yang belum dijamah orang lain untuk macam- macam keperluan, boleh membuka tanah untuk dijadikan tanah pertanian clearing it of agriculture, boleh mendirikan kampong di atasnya founding a village, dan boleh mengambil hasil hutan gathering forest produce. 2. Orang luar, dalam arti orang yang bukan warga persekutuan hukum yang bersangkutan, boleh melakukan tindakan-tindakan di atas apabila ada izin dari persekutuan. Dan, mereka melakukan tindak pidana, jika tindakan-tindakan sebagaimana disebutkan di atas dilakukan dengan tanpa izin. 163 Mawardi Ismail, Perlindungan Hukum terhadap Hak Ulayat, KANUN; Jurnal Ilmu Hukum, No. 25 Tahun X April 2000, Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, hal. 613. 164 Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat Sejak Regeling Reglement Tahun 1854, Alumni Bandung, hal. 23. Universitas Sumatera Utara 3. Orang luar, dan kadangkala pula para anggota persekutuan hukum yang bersangkutan, harus membayar sewa bumi supaya diberi izin melakukan tindakan- tindakan sebagaimana disebutkan di atas. 4. Persekutuan hukum tetap mempunyai hak pengawasan terhadap cultivated lands. 5. Persekutuan bertanggungjawab dalam hal “unaccountable delict within the area”, misalnya, yang bersalah tak diketahui atau tak dapat ditangkap. 6. Hak ulayat “can not be permanently alinated” tidak dapat diserahlepaskan untuk selama-lamanya. Menurut Boedi Harsono, hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh undang- undang dan para ahli hukum, yang merupakan hubungan hukum antara suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan ruang kehidupan lebensraum bagi para warganya sepanjang masa. Sedangkan, masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak memberikan nama pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat, yang dikenal adalah sebutan tanahnya atau hutannya yang berada dalam masyarakat hukum adat bersangkutan dengan bahasa adat setempat. 165 Misalnya, di Minangkabau dikenal empat macam tingakatan tanah ulayat, yaitu; tanah ulayat rago, tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku dan tanah ulayat kaum yang lebih populer dengan sebutan tanah pusako tinggi. 166 Pengertian ulayat di Minangkabau, lebih kuat ke arah pengertian sebagai tanah milik komunal seluruh suku Minangkabau. Tanah ulayat adalah pusaka yang diwariskan turun temurun, yang haknya berada pada perempuan, namun sebagai pemegang hak atas 165 Budi Harsono, Penyempurnaa Hukum Tanah Nasional, Universitas Trisakti Pers, Jakarta, 2002, hal. 54. 166 Nurullah Dt. Pepatih Nantuo, Tanah Ulayat menurut Ajaran Minangkabau, Singgalang Pers, Padang, 1999. hal.7. Lihat juga, Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, LPHI, Jakarta, 2005, hal. 122. Universitas Sumatera Utara tanah ulayat adalah mamak kepala waris. Penguasaan dan pengelolaan tanah ulayat dimaksudkan untuk melindungi dan mempertahankan kehidupan serta keberadaan masyarakat eksistensi kultural, menciptakan tata kehidupan, termasuk produksi dan distribusi sumber daya agrarian yang berkeadilan sosial. Selain itu, tanah ulayat juga mengandung unsur religi, kesejarahan dan bahkan unsur magis serta bertujuan memakmurkan rakyat di dalamnya. Tanah ulayat adalah tanah milik komunal yang tidak boleh dan tidak dapat didaftarkan atas nama satu atau beberapa pihak saja. Bahwa seluruh tanah di wilayah Minangkabau, yang persis berhimpit dengan areal administratif propinsi Sumatera Barat, merupakan tanah ulayat dengan prinsip kepemilikan komunal, yang penggunaan dan pendistribusian penggunaannya tunduk kepada pengaturan menurut hukum adat. Secara umum, setidaknya ada empat karakteristik pokok bentuk penguasaan tanah menurut hukum adat Minangkabau, yaitu; 1 tidak adanya kepemilikan mutlak, 2 penguasaan yang bersifat inklusif, 3 larangan untuk memperjual belikan tanah meskipun untuk tanah yang sudah dikuasai secara pribadi, serta 4 lebih dihargainya manusia dan kerjanya dibanding tanah. Keempat sifat ini saling mengkait, yang dilandasi oleh paradigma pokok bahwa sesungguhnya tanah adalah sumberdaya yang khas tidak sebagaimana sumberdaya ekonomi lain. Karena jumlahnya yang terbatas, maka tanah harus digunakan secara adil, dan harus mampu memberi kesejahteraan bagi seluruh orang di muka bumi. Untuk itu, tanah jangan dijadikan sebagai komoditas pasar yang bebas. 167 Sifat pertama, tanah tidak dapat dikuasai secara mutlak Sifat khas penguasaan tanah menurut hukum adat yang menyatakan bahwa tanah tidak dapat dimiliki secara mutlak 167 Nofend St. Mudo, Tanah Ulayat di Minangkabau, http:rankmarola.multiply.com ., 28 Februari 2008. Universitas Sumatera Utara ditemukan dalam beberapa literatur. Dalam sistem hukum Minangkabau sebagai contoh, dipisahkan antara tanah dan ulayat dengan azas terpisah horizontal. Artinya, tanah secara fisik adalah tetap milik komunal dan tidak boleh berpindah tangan kepemilikannya; sedangkat pengaturan ulayat atau pemanfaatannya berada di bawah kewenangan penghulu. 168 Dalam banyak suku di Indonesia, diatur sampai dimana hak perseorangan dibatasi. Setiap anggota suku persekutuan diberi hak untuk mengerjakan hutan atau tanah adat di wilayahnya dengan diberi izin yang disebut dengan hak wenang pilih. Jika sebidang tanah di wilayah persekutuan itu telah dikerjakan oleh seseorang warganya secara terus menerus, maka hubungannya dengan tanah itu semakin kuat. Namun apabila suatu waktu tanah itu ditinggalkannya, maka hubungannya semakin renggang dengan tanah tersebut. Sebaliknya, hubungan antara tanah itu dengan persekutuan menjadi semakin erat kembali apabila tanah tersebut kembali dikelola. Kedaulatan atas tanah tersusun atas garis keturunan ibu matrilineal, namun pendistribusiannya dimusyawarahkan dengan dipimpin seorang laki-laki tertua yang disebut mamak kepala waris atau tungganai. Ia berwenang dalam pengawasan pemanfaatan tanah pusaka tinggi tersebut. Ini termasuk untuk tanah ulayat suku, kaum, dan keluarga saparuik. Sementara untuk tanah yang tergolong sebagai tanah ulayat nagari, penguasaannya oleh penghulu yang berada dalam lembaga KAN Kerapatan Adat Nagari. Paradigama ini juga ditemukan dalam konsep penguasaan tanah menurut ketentuan Islam. Dalam dasar-dasar Ekonomi Islam, sumberdaya alam sebagai sumber kesejahteraan dan perannya merupakan aspek penting yang ditekankan dalam Islam. Semua yang ada di alam, baik matahari, bulan, udara dan lain-lain; diciptakan untuk 168 Lihat juga Nurullah, Op.Cit., hal 9. Universitas Sumatera Utara menuju kesejahteraan manusia. Semua diciptakan oleh Allah, dan tak ada seseorang yang dapat memonopolinya. Salah satu alam tersebut adalah permukaan bumi, dimana tanah merupakan komponen yang paling bernilai. Pada prinispnya, konsep penguasaan tanah dalam Islam berakar dari konsep bumi, dimana bumi dipandang sebagai suatu sumberdaya yang paling bernilai untuk menuju kesejahteraan hidup. Pada prinsipnya, kata milik menunjukkan bahwa ada relasi antara satu benda dengan seseorang, sebagai dasar sehingga ia punya hak untuk untuk mengusai, untuk menggunakannya, untuk menjualnya, atau meminjamkannya kepada orang lain dan menerima sewa. 169 Secara teoritis, dikenal setidaknya tiga bentuk kepemilikan, yaitu: 1 kepemilikan mutlak absolute ownership, 2 kepemilikan secara bersama public ownership, dan 3 kepemilikan individual private ownership. Dalam kepemilikan mutlak, si pemilik dapat melakukan apapun yang dikehendakinya tanpa batasan atau pengekangan. Dalam konsep Islam, kepemilikan mutlak hanyalah milik Allah. Hanya Allah yang dapat melakukan apapun terhadap apapun yang ada di bumi. Hanya Dia, bukan manusia, yang dapat mengadakan atau meniadakan, mengambil atau membuang, dan seterusnya. Dalam Alquran disebutkan: Apapun yang berada di surga dan di bumi adalah milik Allah Al Quran, Surah al-Najm: 31. Menurut ketentuan Islam, baik negara maupun masyarakat tidak dapat mengklaim sebidang tanah bila keduanya mengabaikan tanah tersebut melewati batas waktu 3 tahun. Pemanfaatan atas tanah dalam Islam bukan pada kemampuan seseorang untuk menguasainya tetapi atas dasar pemanfaatannya. Sehingga fungsi tanah dalam Islam adalah sebagai hak pengelolaan bukan pada penguasaan. 169 Afzalurrahman, Dasar‐Dasar Ekonomi Islam, Mizan, 2000, hlm. 57. Universitas Sumatera Utara Penguasaan tanah bersifat inklusif, yakni tidak adanya kepemilikan mutlak, sehingga dapat dimaknai sebagai suatu sifat inklusifitas dalam penguasaan. Dalam pengertian ini, selain seluruh tanah suku dapat dikuasai oleh seluruh anggota suku, tentunya dengan prosedur tertentu; bahkan orang-orang yang datang dari luar suku pun dapat memanfaatkannya. Artinya, orang yang berasal dari satu etnis berkesempatan mengerjakan tanah yang jelas-jelas berada di wilayah suku lain. Hak tersebut tentunya dengan terlebih dahulu memenuhi kewajiban tertentu, misalnya berupa pemberian sejumlah uang maupun upeti dan hadiah. Inti dari kewajiban ini sesungguhnya bukan kepada nilai ekonomi dari pemberian itu, tapi semata merupakan bentuk pengakuan hukum belaka, bahwa seseorang mengajukan diri untuk mengolah sebidang tanah yang merupakan ulayat dari satu komunitas suku tertentu. 170 Di Minangkabau, dimana seseorang dari luar suku Minangkabau dapat mengolah tanah ulayat dengan memenuhi persyaratan dan etika tertentu. Bagi mereka yang berasal dari luar suku, maka harus menyampaikan permohonannya secara terbuka di hadapan ninik mamak, dan selanjutnya harus memenuhi peraturan dan kebiasaan yang berlaku di suku tersebut, sehingga ia seolah telah menjadi warga setempat. 171 Ada tiga kondisi dasar untuk tegaknya hak kepemilikan dalam ketentuan Islam, yaitu: 1 Kepemilikan tidak bertentangan dengan hukum Islam; 2 Tidak memberikan kerusakan atau kerugian kepada orang yang lain; dan 3 pemilikan tidak tumpang tindih dengan orang lain. Dalam Surat Al-Hasyr ayat 7 disebutkan bahwa untuk kesempurnaan hidup masyarakat, selain hukum yang harus dilaksanakan, begitu pula tentang upaya memfaedahkan benda-benda yang dibutuhkan, tetapi sangat ditekankan agar tidak jatuh pada kekuasaan beberapa orang saja yang dengan kesempatan yang ada padanya lalu 170 Afzalurrahman, Ibid, hal. 60. 171 Nurullah, Op. Cit. hlm. 11. Universitas Sumatera Utara mempersempit gerak perekonomian orang banyak. Anjuran ini sesuai dengan semangat dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Tanah di Minangkabau tidak boleh diperjual belikan. Di Minangkabau, aturan adat terhadap tanah ulayat dapat dikatakan sangat keras dan tegas, karena tanah tidak boleh diperjualbelikan ataupun digadaikan. Jika sudah pernah tergadai maka wajib ditebus, dan bila pernah terjual wajib mengganti bayarannya. Hal ini dinyatakan dengan Dijua indak dimakan bali, digadai indak dimakan sando. Gadai batabuih, juga batauri dijual tidak bisa, digadai tidak boleh. Apabila tergadai harus ditebus, bila terjual harus diganti uangnya. 172 Jika disandingkan dengan hukum Islam, penguasaan tanah terbagi atas tiga bentuk, yaitu: 1 tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat, 2 tanah-tanah yang dikuasai oleh negara, serta 3 tanah-tanah yang dikuasai secara individual. Tanah yang dikuasai oleh masyarakat tidak dapat dijual, bahkan negara sekalipun tidak berhak menjualnya. 173 Hutan adat menurut pemahaman Hukum Adat yang berlaku di Aceh adalah uteun mukim yang merupakan harta kekayaan mukim yang telah ada sejak dahulu kala, yang berada di dalam wilayah kemukiman bersangkutan ataupun yang letaknya paling jauh sehari pergi-pulang dari pusat pemerintahan mukim mesjid mukim. 174 Uteun mukim, dalam pemahaman hukum nasional merupakan hak ulayat masyarakat mukim yang bersangkutan. 172 Nofend St Mudo, Op. Cit., hlm. 8. 173 Afzalulrahman, Op. Cit., hlm. 15. 174 Pengertian ini didapat dari hasil wawancara dengan Keuchik Gampong Geunteut, Kemukiman Blangmee Kecamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar, Jum’at 23 Mei 2005, dan dengan Tgk Hasan Abdurrahman, mantan Imum Meunasah Tanjung Deyah, Kecamatan Darussalam, Kabupetan Aceh Besar, Sabtu, 24 April 2005. Beliau ini, lebih kurang lima puluh tahun yang lalu telah membuka hutan untuk dijadikan ladang dengan seizin Imeum Mukim Siem di Uteun Mukim Krueng Kalee, Kecamatan Darussalam, Kabupaten Aceh Besar. Batas jangkauan hutan adat sejauh sehari pergi‐pulang ditemukan pula pengaturannya dalam Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Universitas Sumatera Utara Di Aceh, sumber penguasaan tanah bukanlah pada raja, melainkan pada Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehubungan dengan subjek yang menguasainya, dalam sebutan sehari-hari orang Aceh membedakan tiga macam tanah, masing-masing “tanoh dro, tanoh gob, dan tanoh hak kullah tanoh milek po teu Allah”. Sebutan tanoh dro dipakai untuk sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang dan istilah tanoh gob dipakai bagi sebidang tanah kepunyaan orang lain. Baik yang disebut tanoh dro maupun tanoh gob adalah tanah-tanah yang sedang berada dalam kekuasaan seseorang individu. Penguasaan mana oleh para individu berdasarkan titel-titel hak tertentu menurut hukum adat. Tanoh hak kullah maksudnya tanah milik Allah, yaitu sebidang tanah dalam kawasan gampong atau mukim yang belum digarap. Kalaupun tanah tersebut sudah digarap tetapi sudah ditinggalkan oleh penggarapnya dan menjadi rimba kembali. 175 Semua tanah yang berada dalam wilayah kemukiman selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah hak Allah. Jenis tanah ini dimanfaatkan serta dikuasai bersama sebagai realisasi kekuasaan ke dalam. Hutan dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat kemukiman. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Pada masa sebelum penjajahan, menurut konsepsi umum, yang mengacu pada teori klasik, menjelaskan bahwa hutan dan segala tanah adalah milik raja. Terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat bagi masing-masing kesatuan masyarakat hukum adat semata- 175 T.I. El Hakimy, Suatu Studi tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, Pusat Studi Hukum Adat dan Hukum Islam, FH Unsyiah, Banda Aceh , 1985, hlm. 30. Universitas Sumatera Utara mata merupakan kedermawanan sang raja. 176 Sehingga pemanfaatan dan penggunaannya haruslah sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat, yaitu : 177 1. Hutan adat tidak boleh diperjualbelikan atau dengan cara apapun sehingga pemilikan haknya menjadi berpindah tangan; 2. Hutan adat tidak boleh dibagi-bagikan menjadi milik perorangan; 3. Warga suku yang bersangkutan secara perseorangan boleh memanfaatkan tanah tersebut dengan beberapa ketentuan atau kewajiban-kewajiban yang perlu ditaati, seperti memberikan sebahagian hasilnya kepala Kepala suku atau Kepala Desa menjadi penghasilan desa. Pandangan senada juga dikemukakan oleh Erman Rajagukguk, terutama, manakala menjelaskan sejarah pemilikan tanah tanah di Jawa. Erman Rajagukguk dalam disertasinya menuliskan, hanya sedikit yang diketahui tentang pola penguasaan tanah sebelum kedatangan Verenigde Oost-Indische Compagnie VOC di Jawa tahun 1619. Namun demikian, dapat dikatakan bahwa di beberapa daerah, dan khususnya di Jawa, banyak raja mempunyai kekuasaan atas tanah di wilayah pemerintahannya. Raja mendistribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan. Selama periode ini, tanah yang tersedia masih banyak dan jumlah penduduk masih sedikit. Tanah didistribusikan untuk memastikan 176 Muhammad Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Pers, Medan, 2004, hal. 153. 177 Anwar Saleh, Eksistensi Hutan Tanah Ulayat di Propinsi Riau dan Prospeknya di Masa Mendatang, makalah, Universitas Riau, Pekanbaru, 1989. Universitas Sumatera Utara agar orang-orang akan tetap tinggal di desa-desa, sehingga cukup tersedia orang untuk memberikan pelayanan yang diperlukan oleh kerajaan. 178 Ketika Kolonial Belanda mulai menancapkan dominasinya di Kepulauan Indonesia, kekayaan hutan Indonesia menyimpan potensi luar biasa. Setelah berhasil menancapkan dominasinya atas sistem ekonomi, politik, hukum di Indonesia, Pemerintah Kolonial Belanda segera mengadopsi sistem hukum yang menjadi landasan bagi proses pembentukan awal sistem administrasi hutan negara, yang hingga kini konsep dan model administrasi hutan ala Kolonial Belanda tersebut masih dipraktekkan. Sistem hukum tersebut, dengan menerapkan asas domein verkalring sebagaimana tersurat dalam Agrarisch Wet 1870, memberikan ruang seluas-luasnya bagi Pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai sumber daya hutan. Namun dibalik itu, kontrol eksklusif atas pengelolaan hutan oleh Pemerintah Kolonial Belanda tersebut masih menyisakan ruang toleransi terhadap hak-hak adat di wilayah yang berada di luar kontrol efektif pemerintah. Di banyak tempat, khususnya di wilayah-wilayah luar Jawa, bentuk-bentuk pengelolaan serta penguasaan adat atas hutan terus berlanjut dan hanya sedikit mengalami perubahan. 179 Pada masa Kemerdekaan Indonesia, UUD 1945 dirumuskan sebagai konstitusi negara yang dijadikan sebagai payung hukum bagi semua peraturan dan kebijakan hukum yang dikeluarkan pemerintah. Dalam konstitusi ini semakin memperjelas kedudukan bahwa semua kekayaan alam dikuasai oleh negara. Juga sangat jelas bahwa pemerintah, 178 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta, 1995, hlm. 8 – 9. 179 Jopi Peranginangin, Penguatan Aspek Sosial Komunitas Masyarakat Adat untuk Perlindungan dan Pelestarian Hutan Tropis, makalah 2008. Universitas Sumatera Utara mewakili negara, bertanggungjawab untuk memastikan bahwa pemanfaatan kekayaan alam adalah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia. Setelah hampir seabad, sejak diberlakukannya Agarische Wet 1870 dengan asas domein verklaring, baru pada tahun 1960-an, setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UUPA, keberadaan terhadap hak ulayat baru mendapat pengakuan kembali secara juridis formal. Sekalipun demikian, masa ini tak berlangsung lama, karena setelah dikeluarkannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang kemudian, diikuti dengan produk hukum ikutannya, ternyata keberadaan hak ulayat dengan hutan adatnya kembali terpinggirkan dalam peraturan perundang-undangan Indonesia. Selanjutnya, selain konstitusi, peraturan terpenting yang mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat sumberdaya alam adalah TAP MPR IX2001. Peraturan ini disahkan sebagai dasar hukum oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR pada tahun 2001. Secara umum peraturan ini dipandang sebagai peraturan yang menjangkau jauh dan merupakan pernyataan hukum yang eksplisit yang mengharuskan pemerintah untuk berkomitmen secara penuh terhadap pengelolaan sumberdaya alam dan pembaruan agraria. Dasar hukum tersebut mensyaratkan pemerintah untuk meninjau-ulang, menyesuaikan dan melakukan harmonisasi semua peraturan perundang-undangan yang menyangkut tanah dan sumberdaya alam lainnya. Dasar hukum ini menjadi instrumen kebijakan yang ampuh bagi proses reformasi Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960. TAP MPR IX2001 menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan sektor yang terkait dengan penguasaan sumberdaya alam harus dicabut karena memiliki pengaruh Universitas Sumatera Utara negatif terhadap pemberantasan kemiskinan serta pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam. Peraturan perundang-undangan tersebut harus direvisi, dengan menggunakan pendekatan yang holistik. Pada saat yang sama, TAP MPR IX2001 memandatkan penyelesaian konflik melalui proses yang hukum yang berkeadilan. UUPA Tahun 1960 dan UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 merupakan dua peraturan perundang-undangan yang sangat penting yang berada dalam tatanan hukum di bawah payung TAP MPR IX2001 dalam mengatur tanah dan sumberdaya alam. Undang- undang tersebut mengatur pengelolaan dan distribusi manfaat dari sumberdaya alam. Peraturan lain yang mencatumkan hak-hak masyarakat adat dalam ketentuan peraturannya adalah UU Kehutanan No. 5 Tahun 1967, tetapi memperlakukannya sebagai hak-hak pemanfaatan dan pemungutan yang lemah dan mensubordinasinya dengan kepentingan nasional. Lebih jauh, UU Pemerintahan Desa No. 5 Tahun 1979 melucuti lembaga adat dan peran pemimpin adat. Sementara itu pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagai produk hukum di era reformasi tidak mengubah konsep tentang hak-hak penguasaan masyarakat adat bahkan menambah bingung dengan menyatakan bahwa sebagian dari kawasan hutan dapat diakui sebagai ’Hutan Adat’ tetapi kawasan tersebut harus diklasifikasi sebagai ’Hutan Negara’. Hal tersebut merupakan kontradiksi hukum yang sangat jelas karena kawasan ’Hutan Negara’ adalah hutan dimana tidak terdapat hak-hak yang berlaku atas lahan di dalamnya, dan ’Hutan Adat’ hanya diakui sepanjang dapat dibuktikan keberadaannya. Pengaturan dan ketentuan dalam pembagian kawasan di dalam UU No. 41 Tahun 1999, terbagi atas 2, yakni : 1. Hutan Negara, dimana pemerintah Departemen Kehutanan telah menetapkan bahwa tidak ada hak atas tanah; dan, Universitas Sumatera Utara 2. Hutan Hak, dimana tanah dan tutupan tanah dapat dikualifikasikan sebagai hutan tetapi terdapat hak-hak atas tanah di atasnya. Berdasarkan ketentuan pembagian kawasan diatas, UU No. 41 Tahun 1999 menjadi momok yang ”menghantui” masyarakat adat untuk mengelola hutan adatnya. Karena hutan-hutan adat yang telah dikelola masyarakat adat diklaim sebagai hutan negara. Situasi tersebut yang menjadikan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN dengan tegas menolak pemberlakuan UU Kehutanan ini. Sehingga, dalam salah satu butir Keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara I 1999 mereka tegaskan pernyataan, “Jika negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak mengakui negara ini”. Merujuk pada alur sejarah hukum di Indonesia terkait pada hak-hak Masyarakat Adat dalam pengelolaan sumber daya alam, Undang-undang dan peraturan lain yang mengkonsolidasikan kekuasaan negara atas lahan hutan yang diberlakukan sepanjang masa pasca-kemerdekaan, memperdalam konflik dan mengintensifkan penghancuran kelembagaan adat. Dewasa ini hanya sebagian kecil saja dari tanah di wilayah Indonesia yang telah memiliki sertifikat hak mulik, tetapi sebagian besar lahan hutan masih dimiliki oleh adat, namun tidak diakui oleh negara, yang mengalokasikan konsesi hutan di atas tanah-tanah adat yang secara turun temurun dimiliki dan dikelola oleh masyarakat. Hutan adat adalah kawasan hutan yang berada di dalam wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Umumnya hutan adat dapat dibedakan secara konseptual dan juga dalam praktek kehidupan sehari-hari masyarakat adat dengan hutan biasa dalam pemahaman publik. Hutan adat tidak hanya memiliki fungsi ekologis, ekonomi dan sosial, melainkan juga memiliki fungsi budaya dalam konteks nilai dan ekspresi budaya setempat. Hal ini bersumber dari pandangan hidup atau paradigma kesatuan manusia dengan alam. Universitas Sumatera Utara Pada umumnya komunitas-komunitas masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus saling memelihara dan menjaga keseimbangan serta harmoni. Dengan demikian persoalan utama dalam menjaga hutan adat adalah persoalan benturan dua paradigma, yaitu antara alam sebagai bagian yang satu dengan manusia dan alam sebagai obyek yang harus dieksploitasi dan dikonsumsi. Dalam era globalisasi dan liberalisasi perdagangan, di mana semua sumberdaya mengalami proses komodifikasi, maka terjadi penekanan fungsi ekonomis hutan secara berlebihan akibat tekanan global, sementara fungsi sosial dan budaya mengalami pelemahan, juga akibat tekanan pandangan dominan yang menyerbu lewat globalisasi informasi dan komunikasi. Penghancuran pranata-pranata adat dalam pengelolaan hutan adat secara sistematis lewat berbagai kebijakan dan peraturan perundangan yang dikeluarkan Rejim Pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa ternyata tidak sepenuhnya berhasil. Banyak studi yang telah membuktikan bahwa sebagian besar masyarakat adat di Indonesia masih memiliki kearifan adat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Sistem- sistem lokal ini berbeda satu sama lain yang berkembang dan berubah secara evolusioner sesuai kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Sampai awal dekade 1970-an, kearifan adat yang sangat beragam ini masih mendominasi sistem pengelolaan hutan di seluruh pelosok nusantara, khususnya di luar Jawa. Masyarakat adat, yang belum banyak diintervensi oleh kebijakan pemerintah yang sifatnya eksploitatif, masih mengelola hutan adatnya dengan otonom untuk menjamin keberlangsungan kehidupan mereka sehari-hari. Hutan terjaga dengan baik, kecuali di Universitas Sumatera Utara Sumatera Utara bagian timur yang sebagian kawasan hutannya telah dikonversi untuk perkebunan skala besar sejak jaman Kolonial Belanda. 180 Perubahan yang sangat drastis baru mulai terjadi di awal 1970-an ketika Rejim Orde Baru yang baru berkuasa mengeluarkan kebijakan penebangan hutan komersial dengan sistem konsesi HPH. Sampai bulan Juli 2000 DEPHUTBUN mencatat ada 652 HPH dengan luas keseluruhan areal konsesi 69,4 juta hektar. Sebagian besar dari kawasan hutan yang dikonsesikan oleh pemerintah kepada perusahaan swasta dan BUMN ini berada di dalam wilayah-wilayah adat. Berdasarkan penafsiran citra landsat HPH periode April 1997 sampai dengan Januari 2000, dari 320 HPH aktif yang luas areal konsesi keseluruhannya 41,2 juta hektar diidentifikasi bahwa 28 11,7 juta ha hutannya sudah rusak atau menjadi tanah kosong atau lahan pertanian.

E. Dasar Hak Penguasaan atas Hutan oleh Masyarakat Hukum Adat