Qanun tentang Kehutanan Kebijakan Kehutanan di Aceh

11 Menyusun rencana dan pengelolaan keuangan yang berkaitan dengan pengelolaan Kawasan ekosistem Leuser; 12 Melakukan program penataan pemukiman penduduk dalam Kawasan Ekosistem Leuser. Sehubungan dengan munculnya banyak lembaga yang menaruh perhatian besar terhadap konservasi lingkungan di Aceh pasca tsunami dan kesepakatan Helsinki, Wiratno mengemukakan, 210 sangat menarik untuk memetakan peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga tersebut, untuk mengetahui sebaran „wilayah kerja“ masing-masing lembaga. Apakah terdapat tumpangtindih, saling klaim, duplikasi, dan sebagainya. Dalam konteks otonomi Aceh, tentunya muncul berbagai interpretasi terhadap „kewenangan“ mengurus konservasi di provinsi ini. Mempertimbangkan perhatian global terhadap Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, khususnya pasca Tsunami dan perjanjian damai, maka potensi konflik antar lembaga sangat besar. Dalam waktu yang sama, potensi kolaborasi dan kerjasama multipihak tidak kalah besar dan menariknya untuk dikaji.

3. Qanun tentang Kehutanan

Hingga saat ini, sementara belum adanya Qanun tentang Kehutanan yang baru setelah disahkannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, maka sebagai payung hukum kebijakan daerah dalam penyelenggaraan kehutanan di Provinsi Aceh masih menggunakan Qanun Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan. Qanun tentang Kehutanan ini lahir sebagai tindaklanjut dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Hal yang mendasar dari undang-undang ini adalah pemberian 210 Wiratno, Reposisi Lembaga Konservasi di Aceh, Bahan diskusi Workshop Kebijakan dan Pengelolaan Kehutanan di Provinsi Aceh, BRR, Banda Aceh, 30 April 2008. Universitas Sumatera Utara kesempatan yang lebih luas bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, termasuk sumber-sumber ekonomi, menggali dan memberdayakan sumber daya alam, antara lain sumberdaya hutan. Terbitnya undang-undang otonomi khusus tersebut menjadi momentum awal bagi provinsi ini untuk mengatur daerahnya dan mengelola sumberdaya alam serta pemanfaatannya secara lebih baik dan “mandiri” bagi kemakmuran rakyat di Provinsi Aceh. Walaupun kewenangan pengelolaan sumberdaya hutan berada pada tingkat provinsi, namun dalam pelaksanaannya tetap mengakomodir kepentingan daerah kabupatenkota, dan dalam hal-hal tertentu dapat memberikan penugasan kepada kabupatenkota. Bahwa untuk tetap menjaga kelestarian hutan di Provinsi Aceh perlu mempertimbangkan karakteristik tipe dan fungsi hutan, kondisi Daerah Aliran Sungai DAS, sosial ekonomi dan budaya Sosekbud serta kelembagaan masyarakat. Penyelenggaraan Kehutanan berasaskan manfaat yang berkelanjutan secara lestari, kerakyatan, keadilan, kemitraan, keterbukaan dan akuntabilitas publik serta keterpaduan. Menurut Pasal 2 Qanun tentang Kehutanan, penyelenggaraan kehutanan di Provinsi Aceh bertujuan untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dalam rangka pembangunan Provinsi Aceh berdasarkan pertimbangan, ekologi, ekonomi dan sosial budaya, dalam kelompok-kelompok Daerah Aliran Sungai dengan: a menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang pasti dan sebaran proporsional; b mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari; c meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; d meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu Universitas Sumatera Utara menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan e menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Semua hutan di Provinsi Aceh termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara yang penyelenggaraannya dilaksanakan oleh pemerintah dan atau pemerintah provinsi yang dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini memberi kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah provinsi untuk menyelenggarakan pengelolaan hutan di Provinsi Aceh secara lestari yang dalam pelaksanaannya secara menyeluruh yang terbagi kedalam kelompok-kelompok Daerah Aliran Sungai DAS. Penetapan status fungsi hutan dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan kepada kelompok-kelompok Daerah Aliran Sungai DAS. Kelompok-kelompok DAS dimaksud terdiri dari : 1 Kelompok DAS wilayah I meliputi : Sub Kelompok DAS Krueng Aceh, Sub Kelompok DAS Krueng Baro, Sub Kelompok DAS Krueng Teunom, Sub Kelompok DAS Krueng Sabee, Sub Kelompok DAS A. Setuy dan Sub Kelompok DAS A. Raya; 2 Kelompok DAS wilayah II meliputi : Sub Kelompok DAS Krueng Meureudu, Sub Kelompok DAS Krueng Peusangan dan Sub Kelompok DAS Krueng Pasee; 3 Kelompok DAS Wilayah III meliputi : Sub Kelompok DAS Krueng Jambo AyeKrueng Arakundo, Sub Kelompok DAS Krueng Peureulak dan Sub Kelompok DAS Krueng Tamiang; 4 Kelompok DAS Wilayah IV meliputi : Sub Kelompok DAS Krueng Woyla, Sub Kelompok DAS Krueng Meureubo, Sub Kelompok DAS Krueng Tripa dan Sub Kelompok DAS L. Lasikin; 5 Kelompok DAS Wilayah V meliputi : Sub Kelompok DAS Krueng Kuala Batee, Sub Kelompok DAS Krueng Kluet dan Sub Kelompok DAS Krueng Singkil. Dalam rangka penyelenggaraan kegiatan kehutanan pada kelompok-kelompok Daerah Aliran Sungai DAS, dibentuk Unit-unit Pelaksana Teknis Dinas Kehutanan Provinsi yang diatur dengan Keputusan Gubernur. Universitas Sumatera Utara Berkaitan dengan hutan adat dan masyarakat hukum adat terdapat pengaturan yang sama baik di dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dengan Qanun NAD Nomor 14 Taun 2002 tentang Kehutanan. Dalam Pasal 1 angka 11 dan Pasal 5 ayat 2 Qanun Kehutanan menyebutkan bahwa hutan adat bahagian dari hutan negara. Redaksi selengkapnya adalah hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, dapat berupa hutan adat. Penjelasan pasal 5 tersebut menyatakan, hutan negara dapat berupa hutan adat, yaitu hutan negara yang diserahkan pengelolaanya kepada masyarakat hukum adat, yang sebelumnya disebut hutan ulayat atau sebutan lainnya. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat dimasukan ke dalam pengertian hutan negara sebagai kosekuensi adanya hak menguasai oleh negara, dengan tidak meniadakan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya. Hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan hutan disebut hutan kemasyarakatan, yang dapat dilaksanakan oleh kelembagaan mukim setempat. Sedangkan hutan hak yang berada pada tanah yang dibebani hak milik lazim disebut hutan rakyat. Penunjukan dan atau penetapan hutan adat dilaksanakan oleh Pemerintah Provinsi, sepanjang masih ada dan diakui keberadaannya oleh masyarakat adat setempat. Penetapan kriteria dan standar hutan adat diatur lebih lanjut dengan keputusan gubernur. Bagi Provinsi Aceh, keberadaan hutan adat sebagai hutan ulayat masyarakat hukum adat Aceh ditemukan pula pengaturannya di dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Pasal 18 Qanun tentang Pemerintahan Mukim menyebutkan bahwa harta kekayaan mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya dan lain-lain yang Universitas Sumatera Utara menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Dengan demikian, hutan adat atau hutan mukim adalah hak ulayat mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum adat. Pemerintah provinsi dapat menunjuk dan atau menetapkan hutan tertentu untuk tujuan khusus,sepanjang tidak mengubah fungsi pokok hutan, yaitu fungsi konservasi, lindung, dan budidaya. Penunjukan dan atau penetapan kawasan hutan dengan tujuan khusus yang diperlukan untuk kepentingan umum, seperti: a. pengembangan keistimewaan aceh; b. pendidikan dan latihan; c. penelitian dan pengembangan; d. percontohan budidaya kehutanan dan penyuluhan. Untuk kepentingan pengaturan iklim mikro, estetika dan resapan air, disetiap kota ditunjuk dan atau ditetapkan kawasan tertentu sebagai hutan kota. Hutan kota dimaksud ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi yang diselenggarakan oleh Dinas Kehutanan Provinsi setelah mendapat pertimbangan dari pemerintah KabupatenKota. Pengurusan hutan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi kegiatan penyelenggaraan : a. perencanaan kehutanan; b. pengelolaan hutan; c. penelitian, pengembangan pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan d. pengawasan, monitoring dan evaluasi. Perencanaan kehutanan yang lebih lanjut diatur dengan keputusan gubernur, dimaksudkan untuk memberikan pedoman dan arah yang menjamin tercapainya tujuan bagi kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, meliputi : Universitas Sumatera Utara a. inventarisasi hutan; b. pengukuhan kawasan hutan; c. penatagunaan kawasan hutan; d. pembentukan wilayah pengelolaan hutan; dan e. penyusunan rencana kehutanan. Pengelolaan hutan, yang lebih lanjut diatur dengan keputusan gubernur, meliputi kegiatan-kegiatan : a. tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b. pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c. rehabilitasi dan reklamasi hutan; d. perlindungan hutan dan konservasi alam. Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi konservasi dan lindung dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi produksi dapat dilakukan kegiatan untuk memproduksi hasil hutan sesuai potensi dan daya dukung lahan. Sedangkan pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Ketentuan lebih lanjut terhadap pemanfaatan hutan diatur dengan Keputusan Gubernur. Mencermati beberapa ketentuan dalam Qanun tentang Kehutanan, dapat dikemukakan bahwa materi yang diatur di dalam qanun tersebut tidak banyak berbeda dengan apa yang diatur di dalam Undang-Undang tentang Kehutanan, sehingga tidak banyak ditemukakan kekhususan pengaturan dalam konteks keistimewaan dan kekhususan Provinsi Aceh, kecuali penunjukan atau penetapan kawasan hutan untuk pengembangan keistimewaan Aceh, sebagai tertera di Universitas Sumatera Utara dalam Pasal 7 ayat 2 qanun tersebut. Lagi pula yang mana yang dimaksudkan kawasan hutan untuk pengembangan Keistimewaan Aceh juga tidak dijelaskan. Menurut penulis, hutan ulayat atau hutan mukim yang jaraknya sehari pulang-pergi sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 1 angka 7 Qanun tentang Pemerintahan Mukim, yaitu hutan ulayat adalah hutan sejauh sehari perjalanan pulang pergi, di hutan ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara pencari dan Imuem Mukim, dapat dinyatakan sebagai hutan untuk pengembangan keistimewaan Aceh, dimana masyarakat mukim sebagai masyarakat hukum adat di sekitar kawasan hutan yang bersangkutan dapat leluasa menerapkan hukum adatnya.

3. Penghentian Sementara Penebangan Hutan Moratorium Logging