Hak Chah Rimba Proses Peralihan Hak Mukim untuk Hak Perorangan

ada, dan telah timbulnya kewajiban bagi orang lain untuk menghormati hak dong tanoh seseorang. Bagi seseorang yang sudah dong tanoh, telah menimbulkan haknya atas tanah itu untuk menggarap lahan yang bersangkutan. Tanpa melalui proses hak dong tanoh tiada kemungkinan yang lain bagi seorang warga gampong untuk menciptakan hak perseorangannya atas hak ulayat masyarakat hukum adat setempat. Dilihat dari segi proses pembentukan hak perseorangan atas tanah masyarakat hukum adat di Aceh, maka hak dong tanoh merupakan hak yang paling awal. Setelah hak dong tanoh direalisir maka berdasarkan itu barulah hak-hak perseorangan lainnya dapat dibina labih lanjut atas sebidang tanah.

2. Hak Chah Rimba

Seseorang yang telah melaksanakan hak dong tanoh dengan cara-cara sebagaimana diuraikan di atas, maka berdasarkan hak itu orang tersebut berhak membuka hutan di lokasi yang bersangkutan, baik lokasi itu karena dipilih olehnya ataupun ditentukan oleh keuchik atau imeum mukim atau petua seneubok. Istilah chah rimba berasal dari kata-kata chah dan rimba. Chah berarti membabat, memotong atau membuka, sedangkan rimba bermakna belukar atau hutan. Jadi chah rimba berarti membabat atau membuka hutan. Hak chah rimba adalah kelanjutan dari hak dong tanoh, yaitu hak yang diperoleh berdasarkan wenang pilih atas tanah untuk membuka rimba guna dijadikan ladang atau kebun lampoih. Universitas Sumatera Utara Perlu dikemukakan bahwa dalam praktiknya para warga masyarakat tidak mengetahui mana kawasan lindung yang tidak boleh digarap dan mana kawasan hutan produksi yang boleh digarapnya. Dalam hal yang demikian, imeum mukim atau keuchik berkonsultasi dengan camat untuk mengetahui kebenaran fungsi hutan yang akan digarap berdasarkan hak chah rimba tersebut. Di Kecamatan Geumpang Kabupaten Pidie, misalnya, pada awal tahun 2005 terdapat banyak masyarakat yang menandai lahan untuk menggarapnya menjadi kebun di kawasan hutan lindung. Namun kemudian ada pemberitahuan kepada para calon penggarap dari pihak Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pidie, dan juga dari Camat Geumpang Kabupaten Pidie, bahwa lokasi tersebut merupakan kawasan hutan lindung yang tak boleh digarap. Sebagai gantinya, pemerintah menyediakan 200 hektare lahan di luar hutan lindung yaitu di Mukim Alu Gambe – Geumpang, yang diperuntukkan untuk 200 kepala keluarga. 321 Pekerjaan yang pertama dilakukan sebelum hutan dibuka ialah mengadakan kenduri selamatan, yang disebut khanduri uteun. Khanduri uteun dimaksudkan untuk meminta perlindungan dari yang Maha Kuasa agar supaya tiada mendapat rintangan atau mara bahaya selama melakukan pekerjaan penebangan hutan. Khanduri uteun juga dimaksudkan sebagai upacara minta maaf pada makhluk kasar dan makhluk halus yang kemungkinan terganggu dikarenakan pembukaan hutan di tempat itu. Upacara khanduri uteun biasanya dilakukan secara bersama-sama oleh beberapa orang yang memilih dong tanoh pada lokasi tanah yang berdekatan atau berdampingan. Pada upacara kenduri tersebut diundang seorang tengku ulama untuk membacakan doa selamatan. Tengku 321 Hasil wawancara dengan Sabaruddin, Camat Kecamatan Geumpang, Kabupaten Pidie, 22 Oktober 2008. Universitas Sumatera Utara yang diundang biasanya adalah imeum chik dari mukim atau imeum meunasah dari gampong yang bersangkutan. Masing-masing keluarga calon penggarap membawa makanan ala kadarnya ke suatu tempat untuak disantap bersama pada penutup acara. Tempat yang dipilih untuk upacara kenduri biasanya dimana ada terdapat kuburan tua, di bawah pohon besar atau dipinggir sungai. Pemilihan kuburan tua sebagai tempat upacara kenduri, biasanya didasari pada anggapan bahwa tempat tersebut dipandang keramat, atau karena pandangan bahwa yang dikebumikan di dalam hutan tersebut dianggap sebagai ureung po teumpat yang empunya tempat. Maksudnya, hutan ini pada masa lalu untuk pertama kalinya telah pernah dibuka oleh orang yang pemakamannya terdapat di situ dan oleh karenanya perlu diminta persetujuannya dengan doa. Apabila kuburan atau tanda-tanda pemakamannya tiada terdapat, maka tempat upacara kenduri dipilih di bawah pohon besar atau dipinggiran sungai. Kedua tempat ini dipercayai sebagai singgasana bersamayamnya makhluk-makluk halus. Kemungkinan makhluk halus akan murka, yang berakibatkan malapetaka bagi pembuka hutan, apabila acara kenduri dilangsungkan di tempat lain tanpa diturutsertakan mereka. Acara puncak pada upacara kenduri adalah pada saat pembacaan doa. Doa dibacakan oleh seorang teungku imeum meunasah atau imeum mesjid dan seluruh para hadirin yang duduk berkeliling menengadahkan tangan, serta mengamini apa yang dilafazkan oleh tengku tersebut. Akhir upacara kenduri ditutup dengan acara makan bersama yang disebut pajoh khanduri. Setelah kenduri, maka dimulailah pekerjaan menebang pohon. Pekerjaan tersebut dimulai dengan chah baroh, yaitu membabat semak belukar yang tumbuh dilokasi tanah bagian bawah Universitas Sumatera Utara pohon. Pekerjaan ini akan berlangsung untuk beberapa hari, bahkan bisa beberapa minggu, tergantung pada lebat-tidaknya semak belukar yang tumbuh di lokasi tersebut. Pekerjaan lanjutan setelah chah baroh disebut teumebang. 322 Teumebang maksudnya menebang pohon-pohon besar yang tumbuh di lokasi yang telah dipilih dong tanoh dan pula telah dilakukan peusijuek dalam khanduri uteun. Pepohonan yang akan ditebang kadangkala berukuran besar dengan diameter lebih dari satu meter. Ukuran pohon yang lebih besar biasanya banyak dijumpai pada pembukaan hutan yang pertama, yakni hutan perawan. Sedangkan ukuran pepohonan menjadi lebih kecil pada pembukaan hutan bekas peninggalan penggarap masa lalu yang kini berhutan rimba kembali. Setelah semak belukar dibabat habis dan pepohonan ditumbangkan, jika masih ada sisa belukar ataupun ranting-ranting yang tegak, maka direudah, dicincang sama rata dengan tanah. Selanjutnya, hasil tebangan yang telah dicincangn tersebut dibiarkan terlantar selama kurang lebih satu bulan agar kayu tebangan menjadi kering. Jemuran kayu seperti ini dengan istilah setempat disebut adee rimba. Pembakaran kayu tebangan baru dilakukan setelah cukup kering. Pembakaran lazimnya dilaksanakan secara serentak oleh sekelompok orang yang sama-sama mengambil lokasi tanah di tempat itu. Pekerjaan pembakaran ini dilakukan dengan hati-hati. Para penggarap yang akan melakukan pembakaran kayu tebangan, terlebih dahulu telah membersihkan areal sekitar dan berjaga-jaga supaya api bakaran tersebut tidak menjalar ke lokasi lain. 322 Hari-hari tertentu pada awal bulan dilangit, biasanya dipilih untuk memulai pekerjaan teumebang. Hari senin pada dua hari bulan bulan arab atau bulan dilangit dianggap sebagai hari baik untuk memulai pekerjaan membuka hutan. Universitas Sumatera Utara Seperti juga pada tahap pekerjaan lainnya, maka pada saat menjelang pembakaran juga diadakan sedikit kenduri. Hal ini dimasudkan untuk meminta maaf pada binatang kecil atau serangga yang kemungkinan akan turut terbakar sewaktu pembakaran dilaksanakan. Selanjutnya, sisa-sisa kayu yang tidak terbakar dikumpulkan, dipindahkan ke tepi lahan. Pembersihan lapangan dari sisa-sisa bakaran tersebut dinamakan teumeuweuh. Kadang-kadang sisa kayu yang dikumpulkan di tepi dibakar sekali lagi, sehingga lapangan benar-benar bersih dan siap untuk ditanami. Pada tanggal dan hari tertentu menurut perhitungan keneunong dimulailah dengan pekerjaan teumajok. 323 Teumajok maksudnya menanam bibit tanaman muda berupa padi dan jagung. Padi dan jagung ditanami dibahagian tengah lapangan sedangkan dipinggiran lapangan tanah ditanami dengan sayuran. Setelah padi hidup dan berumur beberapa minggu dibersihkan dari rerumputan. Pembersihan rumput ini disebut umpoue atau boh naleung. Dikala padi sudah mulai berbunga upacara kenduri diadakan lagi. Upacara kenduri pada saat ini dimaksudkan agar supaya tanda- tanda keberhasilan tanaman benar-benar dapat terwujud dalam kenyataan. Kenduri pada saat padi berbunga dinamakan kenduri bungong padee. Pekerjaan selanjutnya diteruskan dengan jaga tulo, yakni menjaga buah padi dari serangan burung pipit tulo. Pekerjaan ini dimulai sewaktu padi sudah mulai menguning, yang 323 Perhitungan masa yang tepat untuk bercocok tanam padi menggunakan konsep keneunong. Keneunong adalah cara berhitung berdasarkan alam yang lazim digunakan dan dipahami oleh petani sawah di gampong‐ gampong. Formulasi keneunong dihitung dengan cara menjadikan angka 25 sebagai angka utama untuk selanjutnya dikurangi dengan angka bulan masehi dikali dua. Misal, sekarang bulan April, maka keneunong‐nya adalah 17, yaitu 25 – 4 x 2 = 25 – 8 = 17. Rumusan perhitungan seperti ini sudah dikenal sejak “tempoe doeloe” , yang tidak diketahui percisnya sejak kapan. Lihat, Taqwaddin, Nilai Adat Dalam Pelestarian Hutan Aceh, Disampaikan pada acara Seminar Sehari degan tema ”Moratorium Logging untuk Mewujudkan Hutan Aceh Lestari”, diselenggarakan oleh AJRC, di Hotel Grand Nanggroe, Banda Aceh 17 Nopember 2008. Universitas Sumatera Utara dalam istilah setempat dikatakan kuneng iku mu, yang berarti ekor tandan padi mulai menguning. Pekerjaan jaga tulo barulah berakhir sewaktu padi seluruhnya selesai dipanen. Apabila padi dan jagung selesai dipanen, maka dilakukan pencabutan sisa batang padi jerami. Jerami atas tanah bekas ladang dibersihkan dengan maksud untuk memberi kesempatan pertumbuhan cabe rawit yang bibitnya disebarkan burung secara alami. Selama setahun hasil cabe rawit dikutip secara terus menerus tanpa perlu merawat batangnya. Selama setahun pula, yakni setelah selesai panen padi seorang penggarap masih saja mengunjungi tanah bekas ladangnya. Pada tahun yang kedua ini tidak ada lagi sesuatu yang harus dikerjakan penggarap seperti halnya pada tahun yang pertama, kecuali mengutip cabe rawit. Pada tahun ketiga tanah bekas ladang benar-benar ditinggalkan. Tanah bekas ladang yang ditinggalkan penggarapnya ini disebut ladang usoue. Ditinggalkannya bekas ladang oleh seorang penggarap bukan dimaksud untuk ditelantarkan, melainkan untuk mengembalikan kesuburan tanahnya. Tanah bekas ladang yang ditinggalkan penggarap kemudian ditumbuhi semak belukar dengan pepohonan muda yang mulai menutupi bekas tanah ladang yang ditinggalkan tersebut. Lahan yang ditinggalkan untuk sementara waktu ini dinamakan uteun muda, berarti hutan muda. Dalam hukum adat Aceh, istilah uteun muda mempunyai arti yuridis tersendiri yang sesuai dengan living law masyarakatnya, yaitu selama tanah bekas ladang masih ditumbuhi hutan muda, maka selama itu pula tanah tersebut belum lepas hubungannya dengan penggarap. Hubungan yuridis yang terbina antara penggarap dengan tanahnya ini dikualifikasikan dalam hak chah rimba. Universitas Sumatera Utara Hak chah rimba mulai pertumbuhannya, semenjak seorang membuka hutan pertama kali mulai temeubang dan baru berakhir setelah hutan muda yang tumbuh menjelang tua. Tuanya suatu hutan menurut keadaan setempat setelah berlangsung pertumbuhannya empat atau lima tahun lebih. Cepat lambatnya perubahan pertumbuhan suatu hutan dari hutan muda kepada hutan tua sangatlah tergantung pada kadar kesuburan tanah setempat. Selama hutan yang diatas sebidang tanah belum tergolong hutan tua uteun tuha maka selama itu pula seorang penggarap masih memegang hak chah rimba atas tanah yang bersangkutan. Penggarap sendiri sebagai orang yang pertama membuka hutan dinamakan ureung chah rimba. Terhadap hak chah rimba yang masih berlaku, dengan perkataan lain tanah bekas ladang masih sedang ditumbuhi hutan muda, ada beberapa kemungkinan dapat dilakukan penggarap, yaitu : a. Mengalihkan tanahnya kepada orang lain dengan atau tanpa ganti rugi ganto peunayah. Lazimnya, jika hak chah rimba tersebut dialihkan untuk anak atau sana familinya maka ganto peunayah tidak diperukan. b. Menggarap kembali tanah bekas ladangnya itu ketika hutan muda menjelang tua; c. Dapat mempergunakan hak utama atau hak terdahulu untuk garapan ulangan setelah hak chah rimbanya berakhir. Dimaksudkan dengan hak utama disini adalah, apabila pada suatu waktu nantinya hutan belantara disitu dibuka kembali oleh sekelompok orang termasuk diantaranya penggarap yang dahulu, maka kepada penggarap yang dahulu diberikan prioritas untuk memilih tanah pada bekas tanah garapannya yang dahulu. 324 324 Dalam literature Hukum Adat, hal seperti ini juga dikenal pada berbagai masyarakat hukum adat lain di luar Aceh. Lihat, Iman Sudiyat, Op. Cit., hal 17. Universitas Sumatera Utara Manakala tanah garapan dimaksud ditelantarkan dan hingga ditumbuhi hutan tua, yakni keadaannya sudah serupa dengan hutan alam disekitarnya, dimana jerih payah bekas usaha penggarap juga tidak kelihatan lagi, maka nilai ekonominya pun menjadi lenyap. Dengan tidak tampaknya lagi bekas usaha dan tidak adanya lagi nilai ekonomi dan tidak berbedanya lagi hutan bekas garapan dengan aslinya, maka berarti hak perseorangan yang ada atas tanah yang bersangkutan berdasarkan hak chah rimba sudah beralih kembali menjadi hak masyarakat hukum. Dengan perkataan lain, normanya adalah, pada saat keadaan tanah garapannya sudah menjadi hutan tua uteun tuha, maka pada waktu itu pula hak perseorangan atas tanah berupa chah rimba menjadi gugur. Gugurnya hak chah rimba berakibat pada putusnya hubungan hukum antara penggarap ureung chah rimba dengan tanah bekas garapannya, sehingga hak chah rimba seseorang menjadi gugur. Dengan gugurnya hak chah rimba seseorang berarti lahan tersebut kembali menjadi kepunyaan masyarakat hukum adat, yaitu menjadi hutan hak kullah; uteun mukim, atau hutan adat, yang dalam ungkapan Aceh disebutkan “asai phon uteun wo keu uteun”. Selanjutnya, tanah-tanah yang telah dikuasai dengan hak dong tanoh dan hak chah rimba cenderung terus dikuasai dengan peningkatan usaha yang lebih bersifat tetap. Banyak ladang yang diolah dengan menanam jenis tanaman muda dan juga jenis tanaman keras. Tindakan penggarap yang tidak hanya menanam tanam muda tetapi juga menanam tanaman keras, berarti melakukan peningkatan hak chah rimba kepada tingkatan hak yang lebih tinggi, yaitu hak useuha.

3. Hak Useuha