Insentif Untuk Pemeliharaan Hutan Aceh

c memberikan konpensasi dan insentif dalam bentuk bantuan modal, pengembangan kapasitas serta akses terhadap pasar, perbaikan infrastruktur wilayah tempat tinggal mereka sehingga kehidupan ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan menjadi meningkat dan lebih baik. 6 Penegakan hukum a membangun sistem patroli kehutanan yang dilakukan secara terus menerus dengan membentuk tim patroli hutan yang terdiri dari berbagai pihak. b meningkatkan dan memperbaiki fasilitas dan sarana dalam mendukung upaya- upaya penegakan hukum. c membangun kesepakatan atau joint agreement antara pemerintah provinsikabupatenkota dengan institusi penagak hukum kepolisian, kejaksaan dan kehakiman untuk komitmen dalam penagakan hukum.

2. Insentif Untuk Pemeliharaan Hutan Aceh

Terdapat dua bentuk insentif untuk pemeliharaan hutan Aceh, yaitu : 1 Pendanaan melalui Anggaran Pendapatan dan Biaya Aceh APBA untuk upaya perlindungan, pemeliharaan, dan rehabilitasi sumber kawasan air, sebagaimana diatur dalam Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 8 Tahun 2004, dan 2 melalui perdagangan karbon carbon trade yang mengacu pada sistem pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation—REDD, sebagaimana dicantumkan dalam Kyoto Protocol. Universitas Sumatera Utara Memelihara hutan sama halnya dengan memelihara sumber kawasan air, karena salah satu fungsi hutan adalah sebagai tempat penyerapan dan penimbunan air. Upaya perlindungan, pemeliharaan, dan rehabilitasi kawasan sumber air melalui kegiatan pemeliharaan hutan merupakan hal yang penting dilakukan dan tanggung jawab semua pihak berkepentingan dan yang mendapat manfaat dari kelestarian fungsi kawasan sumber air. Kegiatan perlindungan, pemeliharaan, dan rehabilitasi kawasan sumber air yang melibatkan antar pemerintah kabupatenkota dikoordinasikan oleh gubernur, dan diajukan oleh pemerintah kabupatenkota tempat sumber air itu berada kepada gubernur sebelum rancangan anggaran pendapatanan dan biaya daerah Aceh RAPBA disusun dan tembusannya disampaikan kepada bupatiwalikota yang daerahnya mendapat manfaat dari kelestarian fungsi kawasan sumber air dan atau memanfaatkan air yang berasal dari kawasan sumber air tersebut. Gubernur, setelah mendengar penjelasan dan pendapat dari bupatiwalikota serta memperhatikan pertimbangan dari instansi teknis terkait, menetapkan program yang akan dilaksanakan dengan RAPBA. Biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan kegiatan tersebut dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh APBA, Anggaran Pendapatan dan Belanja KabupatenKota APBK di mana kawasan sumber air berada dan APBD KabupatenKota yang, mendapat manfaat dari kelestarian fungsi kawasan sumber air dan atau memanfaatkan air yang berasal dari kawasan sumber air tersebut. 217 Selain pendanaan melalui APBA untuk pemeliharaan hutan sebagai kawasan sumber air, insentif untuk mendanai pemeliharaan hutan Aceh dapat juga diperoleh melalui perdagangan carbon carbon trade melalui mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradari hutan Reducing Emissions from Deforestation and Degradation—REDD, sebagaimana diatur 217 Lihat Pasal 4, 5, dan 6 Qanun NAD Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perlindungan, Pemeliharaan, dan Rehabilitasi Sumber Kawasan Air. Universitas Sumatera Utara dalam Protokol Kyoto tentang Perubahan Iklim sebagaimana telah diratifikasi pengesahannya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change. Fenomena perdagangan karbon dalam beberapa tahun terakhir ini cukup mengemuka seiring dengan mencuatnya pemanasan global, dan mekanisme pembangunan bersih lingkungan. Dalam konteks pembangunan bersih, sesungguhnya keberadaan konservasi hutan mempunyai arti lebih luas dari hanya sekedar sebagai mata rantai penting hidrologis dan keberlangsungan keanekaragaman hayati. Fungsi tegakan hutan, kini telah lebih berharga lagi sebagai penghasil udara bersih, dan telah diakui serta dihargai secara ekonomi secara internasional. Seperti umumnya dipahami bahwa perdagangan karbon merupakan penjualan kemampuan pohon untuk menyerap sejumlah karbon dari udara di sekelilingnya untuk disimpan dalam biomassa pohon untuk jangka waktu tertentu-antara 20 sampai 30 tahun ataupun seperti yang disepakati, sesuai dengan Piagam Kyoto 2003. Secara sederhana, transaksi yang terjadi tidak lebih dari sebuah mekanisme yang berbasis pasar yang ditujukan untuk pembatasan CO2 di atmosfir. Kelebihan polusi dunia dengan demikian akan dapat diserap oleh pohon pohon di negara pemilik hutan, perusahaan pemilik hutan, ataupun kepada perseorangan dan petani pemilik, dengan imbalan uang. Kontrak pembelian karbon menjadi sangat unik karena pihak pembeli menginginkan kepastian hukum dan produk yang bersifat jangka panjang, sesuai dengan sifat pohon itu sendiri. Ada dua versi mekanisme perdagangan karbon dan pembangunan bersih, yakni model mekanisme piagam Kyoto, dan mekanisme non Kyoto. Mekanisme non Kyoto seringkali terkait dengan sejumlah dana multilateral antara lain Bio Carbon Fund, Community Development Fund, Universitas Sumatera Utara Special Climate Change Fund, Private Carbon Fund, dan masih banyak lagi bentuk bentuk dana yang lain. 218 Sekalipun hutan di Aceh tidak sepenuhnya berada dalam kondisi baik, namun paling kurang 2,697 juta hektar 81 yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Aceh sebagai kawasan lindung, 219 berpeluang untuk diajukan sebagai kawasan perdagangan karbon, utamanya di Kawasan Ekosistem Leuser, dan kawasan ekosistem Ulu Masen. Seandainya hal ini dapat terealisir, maka Aceh tidak hanya akan memperoleh keuntungan finansial dari tegakan pohon yang dimilikinya, akan tetapi juga mendapatkan kepastian jaminan mata rantai hidrologis yang kokoh untuk pembangunan bersih dan berkelanjutan. Proyek REDD dalam kaitannya dengan keberadaan Hak Masyarakat Hukum Adat di Aceh, menurut saya, pertama sekali; harus dilakukan upaya harmoninasi ide, konsep, dan aksi yang berbasis pada Hukum Internasional dengan Hukum Nasional dan Hukum Adat Aceh. Ketiga hukum tersebut, sekalipun memiliki ruang keberlakuannya yang berbeda, tetapi harus diupayakan untuk terjadinya harmonisasi, sehingga substansi ketentuan dari dan antarhukum yang berbeda kelas tersebut tidak saling berbenturan. Bagi masyarakat adat Aceh, yang paling penting adalah, hadirnya berbagai program dan proyek, termasuk Proyek REDD dan carbon trade di Aceh, jangan sampai merusak Hukum Adat Aceh, merusak lingkungan dan hutan adatnya, apalagi merugikan masyarakatnya. Mengenai pentingnya memelihara adat Aceh dengan segala atributnya dinyatakan dalam ungkapan 218 Ahmad Humam Hamid, Beberapa Catatan Kecil tentang Carbon Trading, Bahan Untuk Naskah Akademik Qanun Pengelolaan dan Konservasi Sumberdaya Alam, Banda Aceh, 2008. 219 Lihat: SK Gubernur NAD Nomor 19 Tahun 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan, dan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI Nomor 170Kpts-II2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan NAD. Universitas Sumatera Utara naritmaja “matee aneuk meupat jeurat, matee adat pat ta mita.” mati anak tahu kuburannya, mati adat dimana dicari?. 220 Sehubungan dengan perdagangan karbon dari hutan Indonesia, sejak Mei 2009 lalu telah diundangkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.30Menhut-II2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestrasi dan Degradasi Hutan REDD. Peraturan Menteri Kehutanan ini merupakan tindaklanjut dari Keputusan Konferensi Negara Pihak Konvensi Perubahan Iklim ke-13 di Bali. Menurut Pasal 1 angka 12 Permenhut tersebut, pengurangan emisi dan deforestasi dan degradasi hutan REDD adalah semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan. Maksud kegiatan REDD adalah untuk mencegah dan mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka memantapkan tata kelola kehutanan. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menekan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan dalam rangka mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pelaku REDD adalah entitas nasional dan entitas international. Entitas nasional adalah pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan pada kawasan hutan, pengelola hutan negara dan pemilik atay pengelola hutan hak. Sedangkan entitas internasional adalah mitra penyandang dana untuk pelaksanaan REDD. Secara umum persyaratan REDD adalah memiliki salinan Surat Keputusan Menteri Kehutanan tentang pengusahaan hutan atau penetapan hutan konservasi atau sertifikat hak milik 220 Taqwaddin, Proyek Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan REDD dalam Kaitannya dengan Hak Masyarakat Adat di Aceh, makalah diajukan sebagai komentar bagi studi “Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan di Negera Berkembang: Hak Masyarakat Adat dan Komunitas Lokal atas Tanah dan Sumberdaya Hutan di Aceh, Indonesia” yang dilakukan oleh IDLO, Aceh – Indonesia, April 2009. Universitas Sumatera Utara bagi hutan tanah milik; memperoleh rekomendasi untuk pelaksanaan REDD dari pemerintahn daerah; memenuhi kriteria lokasi untuk pelaksanaan REDD, dan memiliki rencana pelaksanaan REDD. Areal hutan yang dapat dilakukan REDD menurut Pasal 3 Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 Tahun 2009 adalah : 1 Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam IUPHHK-HA, 2 Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman IUPHHK-HT, 3 Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Hutan Kemasyarakatan IUPHH-HKM, 4 Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat IUPHHK-HTR, 5 Areal Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Restorasi Ekosistem IUPHHK- RE, 6 Areal Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi KPHP, 7 Areal Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung KPHl, 8 Areal Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi KPHK, 9 Hutan Konservasi, 10 Hutan Adat, 11 Hutan Desa, dan 12 Hutan Hak. Berdasarkan Pasal 3 di atas, dapat dinyatakan bahwa semua areal hutan dapat dilakukan kegiatan pengurangan emisi dan deforestasi dan degradasi hutan REDD, termasuk hutan adat. Dimasukkannya hutan adat sebagai salah satu areal hutan yang dapat dilakukan REDD sedang menimbulkan polimik sehubungan dengan keberlangsungan norma dan tradisi masyarakat hukum adat di sekitar kawasan hutan, yang lazimnya memanfaatkan hutan sebagai sumber ekonomi rumah tangganya. Polimik ini berkaitan dengan hak dan kewajiban para pelaku REDD. Universitas Sumatera Utara Pelaku REDD mempunyai hak dan kewajiban sebagai diatur dalam Pasal 14, yaitu pelaku REDD mempunyai hak: a. Entitas nasional memperoleh pembayaran dari entitas internasional atas penurunan emisi yang dihasilkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. Entitas internasional menggunakan sertifikat REDD sebagai bagian dari pemenuhan komitmen pengurangan emisi negara maju sesuai peraturan yang berlaku; c. Memperjualbelikan sertifikat REDD bagi perdagangan karbon REDD pasca 2012 yang dikaitkan dengan pelaksanaan komitmen pengurangan emisi negara maju. Pelaku REDD mempunyai kewajiban : a. Melakukan kegiatan pengelolaan hutan dalam rangka pelaksanaan REDD, b. Menetapkan referensi emisi sebelum pelaksanaan REDD, c. Melakukan pemantauan sesuai dengan rencana d. Menyampaikan laporan hasil pemantauan kepada menteri melalui Komisi REDD. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KEKUASAAN MUKIM ATAS HUTAN ADAT

A. Mukim dan Eksistensinya 1. Sejarah Mukim