Dari wawancara penulis dengan para tokoh-tokoh kemukiman yang telah berusia lebih dari 60 tahun, ternyata tidak seorangpun yang menyebutkan istilah tanah ulayat untuk
menerangkan sebagai padanan hak kullah kemukiman.
294
Padahal di dalam Qanun tentang Pemerintahan Mukim telah disebutkan istilah tanah ulayat adalah tanah-tanah yang terdapat di
wilayah Mukim yang bukan untuk perorangan. Bahkan di dalam qanun tersebut juga dijelaskan bahwa, semua penduduk yang mempunyai mata pencaharian bertani, dapat membuka tanah
tersebut untuk diusahakan atas izin imeum mukim, tetapi tidak untuk dimiliki. Pengaturan pemanfaatannya diatur oleh imeum mukim setelah mendengar pendapat tuha peuet mukim.
295
Sekalipun di dalam Qanun tentang Pemerintahan Mukim, yang telah berlaku sejak tahun 2003, telah menggunakan istilah tanah ulayat sebagai padanan istilah hak kullah, tetapi ternyata
di dalam masyarakat sebutan tanah ulayat masih belum begitu dikenal luas dalam masyarakat pesisir Aceh, terutama bagi kalangan berusia tua.
4. Hak Kullah Bertuan dan Tidak Bertuan
Istilah tanah hak kullah mengandung pengertian yang luas. Dalam pengertian hak kullah termasuk semua tanah, hutan dan perairan yang belum digarap atau dijamah manusia. Dalam
pengertian hak kullah juga mencakup semua tanah, baik yang terjangkau oleh warga masyarakat maupun di luar jangkauan, baik yang letaknya dalam batas administratif kemukiman maupun
yang letaknya diluar batas kemukiman.
294
Wawancara dilakukan dengan Imum Mukim Kreung Sabee ‐ Kabupaten Aceh Jaya, Imum Mukim Lamteuba
– Kab. Aceh Besar, Imum Mukim Woyla – Kab. Aceh Barat, Imum Mukim Kluet – Kab. Aceh Selatan, April 2008.
295
Lihat, Penjelasan Pasal 1 angka 7 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
Universitas Sumatera Utara
Studi di Kemukiman Leupung dan Kemukiman Blangmee Kabupaten Aceh Besar, menunjukkan bahwa pemakaian istilah hak kullah, terbagi dua. Dalam penyebutannya, antara
kedua macam hak kullah itu tidak dibedakan oleh masyarakat tersebut. Namun dari hasil wawancara mendalam diperoleh pemahanan bahwa terdapat dua pengertian yang berbeda
terhadap hak kullah. Oleh peneliti terdahulu,
296
maka untuk mempertegas perbedaan kedua macam tanah hak kullah dipakai istilah Tanah hak kullah bertuan dan tanah hak kullah tak
bertuan. Tanah hak kullah bertuan adalah tanah-tanah belum tergarap tetapi berada dalam
jangkauan masyarakat kemukiman, di wilayah mana tempat mereka sehari-hari mencari nafkah, seperti berburu rusa meurusa, mencari rotan meuawee, mencari madu meuueno, mencari
kayu meukayee, berkebun meulampoih, dan lain-lain. Radius jangkauan sehari-hari dipakai ukuran tradisional, yakni jarak yang bisa ditempuh
dalam sehari pulang pergi berjalan kaki.
297
Di Kemukiman Leupung, misalnya, jarak jangkauan ini pada bahagian sebelah Utara dan Selatan dibatasi oleh batas kemukiman lain, yakni masing-
masing kemukiman Lhok Nga dan kemukiman Cot Jeumpa, sedangkan sebelah Barat hingga ke laut. Tetapi untuk wilayah Timur Kemukiman Leupung jaraknya tiada terjangkau sehari pulang-
pergi berjalan kaki. Tiada terangkau dibahagian Timur kemukiman ini karena di sana terdapat tanah hutan yang cukup luas sampai keperbatasan Kecamatan Sukamakmur dan Indrapuri
Kabupaten Aceh Besar. Tempat-tempat yang bisa dicapai oleh masyarakat Leupueng dibahagian Timur Kemukiman ialah yang disebut Panton Bee, Babah Dua, Kuboh Ie, Glee Lunteh dan lain-
296
Lihat, Teuku Ibrahim El Hakimy, Studi Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, Fakultas Hukum
– Univ. Syiah Kuala, Banda Aceh, 1985, hal. 34.
297
Batas jarak sehari pulang pergi, sekarang, sudah ditegaskan secara tegas di dalam Qanun Nomor 4 Tahun 2003
tentang Pemerintahan Mukim.
Universitas Sumatera Utara
lain. Mengadakan usaha ditempat ini orang harus bermalam di atas keunawouet. Keunawouet sejenis pondok dengan bertiang tinggi yang dibuat secara darurat di tengah hutan.
Jenis tanah hak kullah yang berada dalam radius jangkauan warga masyarakat sehari-hari ini tergolong tanah hak Kullah bertuan dan termasuk ke dalam pengertian tanah masyarakat
hukum atau tanah adat. Dalam literatur hukum adat tanah jenis ini dinamakan tanah ulayat. Istilah ulayat tidak begitu dikenal dalam masyarakat Aceh, tetapi sebagai padanan
terhadap hak yang sedemikian itu, dalam masyarakat Aceh sering disebut dengan istilah : tanoh mukim, tanoh adat, tanoh umum”, tanoh rakyat, dan tanoh masyarakat.
Tanah hak kullah tak bertuan tidak termasuk ke dalam hak ulayat desa atau mukim, sehingga tidak tergolong dalam pengertian tanah adat, tanah rakyat atau tanah masyarakat. Tanah
hak kullah tak bertuan adalah tergolong jenis tanah yang disebut dengan istilah tanah bebas atau tanah negara, yaitu tanah yang sekalipun berada dalam administrasi kemukiman, namun letaknya
di luar jangkauan sehari pulang pergi berjalan kaki. Negara menguasai langsung tanah jenis hak kullah tak bertuan. Karenanya tanah ini lepas
sama sekali dari pengaruh kekuasaan individu dan masyarakat hukum adat setempat. Mengacu pada pemahaman masyarakat Aceh, sebagaimana digambarkan di atas, maka
status tanah sebaiknya menjadi : 1 tanah perseorangan, 2 tanah mukim, dan 3 tanah negara. Idealnya,
298
demikian pula halnya dengan penggolongan status hutan, sehingga menjadi: 1 hutan hak, 2 hutan mukim atau hutan adat, dan 3 hutan negara.
298
Taqwaddin, Aspek Legal Penguasaan Hutan oleh Mukim di Aceh, makalah pada diskusi membangun Konsep
Pengelolaan Hutan oleh Mukim di Aceh, dilaksanakan oleh FFI‐LATIN, Bogor, 11 April 2009.
Universitas Sumatera Utara
Penggolongan status hutan di atas, dapat dipahami jika merujuk pada Pasal 16 Undang- Undang Agraria, yang menyatakan hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebagai
hak-hak atas tanah, yang dikenal dengan hak ulayat. Sehingga, kalau dibandingkan antara Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU Kehutanan dengan
Pasal 3 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agaria UU Agraria, terdapat ketentuan yang berbenturan. Hutan negara dalam
pengertian Undang-Undang tentang Kehutanan UU 411999 adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan dalam UUPA ditegaskan adanya pengakuan terhadap pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, termasuk hak memungut hasil hutan. Ini berarti, hak ulayat juga termasuk hak atas tanah, yang karenanya
harus dikeluarkan dari pengertian dan pengaturan tanah negara atau hutan negara.
5. Hak Bersama Warga Atas Tanah