Penghentian Sementara Penebangan Hutan Moratorium Logging

dalam Pasal 7 ayat 2 qanun tersebut. Lagi pula yang mana yang dimaksudkan kawasan hutan untuk pengembangan Keistimewaan Aceh juga tidak dijelaskan. Menurut penulis, hutan ulayat atau hutan mukim yang jaraknya sehari pulang-pergi sebagaimana dinyatakan dalam penjelasan Pasal 1 angka 7 Qanun tentang Pemerintahan Mukim, yaitu hutan ulayat adalah hutan sejauh sehari perjalanan pulang pergi, di hutan ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara pencari dan Imuem Mukim, dapat dinyatakan sebagai hutan untuk pengembangan keistimewaan Aceh, dimana masyarakat mukim sebagai masyarakat hukum adat di sekitar kawasan hutan yang bersangkutan dapat leluasa menerapkan hukum adatnya.

3. Penghentian Sementara Penebangan Hutan Moratorium Logging

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Pemerintah Aceh memiliki kewenangan khusus dalam perencanaan, implementasi, pemanfaataan, dan pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya alamnya dengan prinsip-prinsip keterbukaan dan pembangunan berkelanjutan. 211 Setelah berlakunya UUPA di atas, Pemerintah Aceh mengeluarkan kebijakan yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan yaitu mengenai kebijakan penghentian sementara penebangan hutan moratorium logging melalui Instruksi Gubernur Nomor 05Instr2007 tanggal 6 Juni 2007. Sebelum dikeluarkannya Instruksi Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging Penghentian Sementara Penebangan Hutan, di Aceh, khususnya di Kawasan Ekosistem Leuser, untuk pemberantasan penebangan kayu secara illegal, Presiden Republik Indonesia telah pula mengeluarkan instruksinya sebagai berikut : 211 Lihat, Pasal 156 ayat 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Universitas Sumatera Utara 1 Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2001 Pada tanggal 19 April 2001 Presiden Republik Indonesia telah mengeluarkan Instruksi Presiden Inpres Nomor 5 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Illegal Illegal Logging dan Peredaran Hasil Hutan Illegal di Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting. Dasar pertimbangan dikeluarkannya instruksi presiden ini karena pelanggaran dan kejahatan illegal Logging dan peredaran hasil hutan illegal di dan dari Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting sudah sangat memprihatinkan. Instruksi Presiden yang ditandatangani oleh Abdurrahman Wahid pada tanggal 19 April 2001 diperintahkan kepada : Menteri Koordinator Politik, Hukum, Sosial, dan HAM Menkopolkam; Menteri Kehutanan; Kepala Kepolisian RI Kapolri; Jaksa Agung; Panglima TNI; Menteri Industri dan Perdagangan; Menteri Perhubungan dan Telekomunikasi; dan Menteri Kehakiman dan HAM. Kepada para pejabat sebagaimana disebutkan di atas, diperintahkan oleh presiden untuk mengambil langkah-langkah tegas dan segera untuk menanggulangi pelanggaran dan kejahatan di bidang kehutanan, khususnya tindakan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan secara illegal di dan dari Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting. Selanjutnya, secara khusus kepada Menteri Kehutanan ditugaskan untuk melakukan hal- hal sebagai berikut : 1 Melakukan kegiatan penjagaan hutan dan pengamanan hutan dengan menempatkan Polisi Khusus Kehutanan dan didukung aparat keamanan pada lokasi strategis; 2 Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap aparat kehutanan yang terbukti terlibat kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal; 3 Mencabut izin Hak Pengusahaan Hutan dan Izin Pemanfaatan Kayu yang terbukti melakukan pelanggaran atau kejahatan di bidang kehutanan; Universitas Sumatera Utara 4 Bersama-sama dengan Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk melakukan penegakan hukum terhadap pelaku, pemodal, penadah dan aktor intelektual dengan tuntutan maksimal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 5 Menyampaikan perintah-perintah Presiden yang berkaitan dengan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal kepada para gubernur dan bupati terkait. Sedangkan kepada Kepala Kepolisian RI Kapolri diperintahkan untuk : 1 Menindak tegas baik dengan sanksi administratif maupun pidana terhadap oknum Kepolisian yang terbukti melindungi pelaku, pemodal dan penadah kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal ; 2 Melakukan perlindungan, pengawalan, pendampingan terhadap Petugas Kehutanan dan Polisi Khusus Kehutanan secara langsung bila diminta dalam kegiatan operasi pengamanan hutan di setiap tingkatan satuan dengan tidak memerlukan instruksi dari satuan atasannya; 3 Menugaskan Polisi atau Brimob di pos-pos strategis penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal; 4 Menindak tegas para pelaku termasuk pemodal, penadah dan aktor intelektual kegiatan penebangan kayu liar dan peredaran hasil hutan illegal; 5 Menangkap, menahan, dan menyidik para pelaku; 6 Menindak tegas di tempat semua pihak yang melakukan perlawanan kepada aparat yang bertugas. 2 Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 Selanjutnya, sehubungan dengan meningkatnya penebangan hutan secara liar illegal logging yang semakin memprihatinkan, tidak saja hanya pada Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting tetapi juga pada berbagai kawasan hutan lainnya di seluruh Indonesia, maka pada tanggal 18 Maret 2005, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan lagi instruksinya, yaitu Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2005 tentang Universitas Sumatera Utara Pemberantasan Penebangan Kayu secara iIlegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Dengan dikeluarkannya intruksi ini, maka Inpres Nomor 5 Tahun 2001, yang secara khusus hanya berlaku untuk Kawasan Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Tanjung Putting dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 ditujukan kepada : Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan; Menteri Kehutanan; Menteri Keuangan; Menteri Dalam Negeri; Menteri Perhubungan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia; Menteri Luar Negeri; Menteri Pertahanan; Menteri Perindustrian; Menteri Perdagangan; Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Menteri Negara Lingkungan Hidup; Jaksa Agung; Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; Panglima Tentara Nasional Indonesia; Kepala Badan Intelijen Negara; Para Gubernur; dan Para BupatiWalikota. Secara umum kepada semua pejabat diatas diinstruksikan untuk : 1 Melakukan percepatan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia, melalui penindakan terhadap setiap orang atau badan yang melakukan kegiatan: a Menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan kayu yang berasal dari kawasan hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. b Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki dan menggunakan hasil hutan kayu yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah. c Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan kayu yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan kayu. d Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. Universitas Sumatera Utara e Membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang. 2 Menindak tegas dan memberikan sanksi terhadap oknum petugas dilingkup instansinya yang terlibat dengan kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya. 3 Melakukan kerjasama dan saling berkoordinasi untuk melaksanakan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. 4 Memanfaatkan informasi dari masyarakat yang berkaitan dengan adanya kegiatan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya. 5 Melakukan penanganan sesegera mungkin terhadap barang bukti hasil operasi pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia dan atau alat-alat bukti lain yang digunakan dalam kejahatan dan atau alat angkutnya untuk penyelamatan nilai ekonomisnya. Sedangkan secara khusus kepada Menteri Kehutanan, Kepala Kepolisian, Jaksa Agung, Gubernur dan Bupati diinstruksikan oleh Presiden untuk: 1 Menteri Kehutanan: a Meningkatkan penegakan hukum bekerjasama dengan Kepolisian dan Kejaksaan serta aparat terkait terhadap pelaku berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, melalui kegiatan operasi intelijen, preventif, represif, dan yustisi. b Menetapkan dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berjasa dalam kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya. c Mengusulkan kepada Kejaksaan Agung untuk melakukan pencegahan dan penangkalan terhadap oknum yang diduga terlibat kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya. 2 Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia: a Menindak tegas dan melakukan penyidikan terhadap para pelaku kegiatan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya. Universitas Sumatera Utara b Melindungi dan mendampingi aparat kehutanan yang melaksanakan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia. c Menempatkan petugas Kepolisian Republik Indonesia di lokasi rawan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya sesuai kebutuhan. 3 Jaksa Agung: a Melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana dibidang kehutanan berdasarkan semua peraturan perundangan yang berlaku dan terkait dengan tindak pidana dibidang kehutanan. b Mempercepat proses penyelesaian perkara tindak pidana yang berhubungan dengan penebangan kayu secara ilegal dan peredarannya pada setiap tahap penanganan baik pada tahap penyidikan, tahap penuntutan maupun tahap eksekusi. 4 Gubernur: a Mencabut dan merevisi Peraturan DaerahKeputusan Gubernur yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan. b Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di dalam kawasan hutan dan peredarannya melalui operasi preventif dan represif. c Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu illegal dan memproses sesuai kewenangannya. e Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya. f Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing. g Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Universitas Sumatera Utara 5 BupatiWalikota: a Mencabut atau merevisi Peraturan DaerahKeputusan BupatiKeputusan Walikota yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dibidang kehutanan. b Membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas KabupatenKota dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya melalui operasi preventif dan represif. c Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. d Mencabut izin usaha industri pengolahan kayu yang memanfaatkan kayu ilegal dan memproses sesuai kewenangannya. e Mengawasi secara lebih intensif kinerja pejabat penerbit dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan SKSHH di wilayahnya. f Mengalokasikan biaya untuk pelaksanaan operasi melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah masing-masing. g Menerbitkan Peraturan Daerah yang mengatur peredaran kepemilikan dan penggunaan gergaji rantai chainsaw dan sejenisnya. h Melaporkan pelaksanaan kegiatan pemberantasan penebangan kayu secara ilegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan melalui Gubernur. 3 Instruksi Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2007 Kalau dicermati Intruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 di atas terhadap para gubernur se Indonesia, maka keberadaan Intruksi Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging Penghentian Sementara Penebangan Hutan di Nanggroe Aceh Darussalam, dapat dipahami sebagai tindaklanjut atau penjabaran operasional dari Instruksi Presiden tersebut. Sehubungan dengan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005, ada beberapa tugas yang perlu dilakukan oleh Gubernur Aceh, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1 Mencabut dan merevisi Qanun Kehutanan, dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan bidang kehutanan produk terbaru, serta mengatur pelaksanaan dari Undang-Undang Pemerintahan Aceh. 2 Menerbitkan kebijakan Gubernur, membentuk dan memerintahkan Satuan Tugas Provinsi dalam rangka pemberantasan penebangan kayu secara illegal di dalam kawasan hutan. 3 Mencabut izin usaha yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan kayu yang telah dikeluarkan dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 4 Meningkatkan pengendalian dan pengawasan terhadap pelaksanaan pemberantasan penebangan kayu secara illegal di kawasan hutan dan peredarannya di wilayahnya. Instruksi Gubernur Aceh tentang Moratorium Logging secara khusus ditujukan kepada : 1 Para BupatiWalikota dalam wilayah NAD. 2 Kepala BAPPEDA NAD. 3 Kepala Dinas Kehutanan NAD. 4 Kepala Dinas Perkebunan NAD. 5 Kakanwil BPN NAD. 6 Kepala BAPEDALDA NAD. 7 Kepala Dinas Perkotaan dan Permukiman NAD. 8 Kepala Dinas Mobilitas Penduduk. 9 Kepala BP Kawasan Ekosistem Leuser KEL. Dasar pertimbangan dikeluarkannya instruksi Moratorium Logging adalah : a bahwa terjadinya berbagai musibah, seperti banjir, tanah longsor, dan gangguan satwa liar antara lain disebabkan oleh adanya kerusakan hutan yang tidak terkendali, b bahwa dalam rangka mengembalikan fungsi-fungsi hutan serta untuk menata kembali strategi pembangunan hutan Aceh. 212 212 Lihat Konsideran Menimbang Instruksi Gubernur Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tanggal 6 Juni 2007. Universitas Sumatera Utara Secara umum instruksi tersebut menegaskan : 1 Memberlakukan kebijakan moratorium logging yang berasal dari hutan alam dan diutamakan yang berada di dalam kawasan hutan yang terhitung hari Rabu tanggal 6 Juni 2007 di seluruh wilayah Nanggroe Aceh Darussalam. 2 Pemberian izin penebangan pohon hanya dibolehkan terhadap pohon yang berasal dari kebun masyarakattanah milik yang tergolong jenis-jenis kayu kampong yang akan ditentukan kemudian dan ditindaklanjuti melalui mekanisme izin pemanfaatan kayu tanah milik. 3 Terhadap penebangan pohon yang berasal dari hak konsesi hak pengusahaan hutan tanaman industri, dalam rangka pembersihan lahan perkebunan dan program transmigrasi yang status lahannya berada di luar kawasan hutan, akan diatur kemudian setelah dilakukan pengkajian dan evaluasi secara konprehensip. 4 Terhadap kayu yang telah ditebang sebelum berlakunya moratorium yang berasal dari izin yang sah legal dapat dimanfaatkan untuk diolah dan dipasarkan dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan batas waktu selambat-lambatnya 6 enam bulan, terhitung sejak 6 Juni 2007. 5 Para BupatiWalikota se wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam mengambil langkah-langkah sebagai berikut : a. Mengkoordinasikan seluruh instansiinstitusi terkait di dalam wilayah kerjanya untuk menghentikan sementara kegiatan penebangan hutan. b. Menyusun rencana kebutuhan kayu pertahun di dalam wilayah kerjanya. c. Menyusun dan menyampaikan kepada tim provinsi rencana final revisi rencana Tata Ruang KaupatenKota dengan prinsip keseimbangan pembangunan ekonomi, ekologi dan sosial. d. Memberikan masukankontribusi kepada tim yang dibentuk oleh Dinas Kehutanan perihal kebijakan kehutanan yang dibutuhkan sehingga pengelolaan hutan yang lestasi dan adil dapat dilaksanakan. e. Mengalokasikan dana yang memadai untuk pelaksanaan pembangunan di sektor kehutanan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten APBK masing- masing. Universitas Sumatera Utara f. Menertibkan peredaranpemilikan gergaji rantai chainsaw dan sejenisnya oleh masyarakat sebagai tindak lanjut Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005. g. Menertibkan dan mengawasi pengoperasional industri dapur batu bata dan industri sejenis lainnya agar tidak mengunakan kayu bakar dari dalam kawasan hutan tanpa izin. Selanjutnya, secara khusus kepada Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh, Gubernur Aceh dengan instruksinya tersebut memerintahkan: 1 Melakukan evaluasi terhadap status dan luas konsesi Hak Pengusahaan Hutan yang tidak memenuhimelanggar kewajibannya. 2 Menata kembali arahan fungsi hutan sesuai dengan kebutuhan pembangunan yang berimbang antara ekonomi, ekologi dan sosial. 3 Rasionalisasi jumlah industry kayu sesuai dengan ketersediaan bahan baku. 4 Membina berbagai upaya pengembangan hasil Hutan Bukan Kayu. 5 Penanataan kembali lembaga dan tata hubungan kerja pengelolaan hutan. 6 Meningkatkan pengamananpengawasan hutan serta pemberian sanksi hokum terhadap pelaku pelanggaran hutan, bekerjasama dengak Kepolisisan dan Kejaksaan serta aparat terkait melalui tindakan preventif, kegiatan operasi refpresif dan yustisia. 7 Membentuk tim dan mengkoordinasikan penyusunan dokumen Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh. 8 Mencari alternative pemenuhan kebutuhan kayu domestic, terutama untuk kebutuhan rehabilitasi dan rekonstrtuksi Aceh dari provinsi lain dan atau hasil pelelalangan kayu temuan atau rampasan. Sebagai tindak lanjut dari pemberlakuan kebijakan moratorium logging ini, 1 Gubernur Aceh hingga akhir tahun 2008 telah merekrut sebanyak 2500 orang Polisi Hutan, dan 2 telah pula membentuk tim penyusun rencana strategis pengelolaan hutan Aceh yang telah ditetapkan dengan Keputusan Gubenur Nenggroe Aceh Darussalam Nomor 522.15342007 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh. Universitas Sumatera Utara Moratorium Logging tidak hanya dimaksudkan sebagai penghentian sementara penebangan hutan, tetapi diikuti dengan langkah-langkah tindaklanjutnya yang diperlukan untuk: 1 Memberikan waktu bagi penyusunan strategi pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan. 2 Memberikan kesempatan untuk menyusun data yang akurat tentang hutan Aceh. 3 Melakukan evaluasi dan menata kembali status dan luas arahan fungsi hutan serta konsesi perizinan yang ada. Program dan kegiatan moratorium logging ini akan dituangkan dalam tiga program utama yang dikenal dengan 3R triple R, yakni sebagai berikut: program redesign, reforestasi, reduksi deforestasi. Program redesign dimaksudkan untuk menata ulang hutan Aceh dan konsesi perizinan yang berkinerja buruk yang akan dituangkan dalam revisi rencana tata ruang untuk mewujudkan pembangunan Aceh yang berimbang secara ekologi, ekonomi dan sosial. Hal ini dilakukan melalui: 1 Revisi tata ruang sesuai kebutuhan pembangunan berimbang ekologi, ekonomi dan sosial 2 Evaluasi status dan luas konsesi hutan 3 Rasionalisasi industri kayu sesuai ketersediaan bahan baku 4 Pengembangan hasil hutan non kayu 5 Optimalisasi luas dan manfaat hutan konservasi 6 Penataan kembali kelembagaan dan tata hubungan kerja pengelolaan hutan. Program reforestasi berupa upaya melakukan peningkatan dan efektivitas rehabilitasi hutan dan lahan RHL dengan melibatkan masyarakat yang lebih optimal, yaitu melalui : 1 Reorientasi prioritas lokasi-lokasi penanaman untuk rehabilitasi hutan dan lahan RHL. Universitas Sumatera Utara 2 Mengupayakan berbagai sumber dana untuk rehabilitasi hutan dan lahan yang berasal donor, carbon market, dan lain-lain. 3 Mengembangkan hutan tanaman industri HTI, hutan tanaman rakyat HTR, hutan rakyat dan lain sebagainya. Sedangkan program reduksi deforestasi yang berupaya menciptakan keseimbangan antara laju penghutanan dan pemanfaatan serta pengembangan sistem pengamanan hutan yang lebih efektif dan penegakan hukum secara konsisten, melalui : 1 Penegakan hukum. 2 Efektivitas sistem pengamanan hutan. 3 Penambahan jumlah personil tenaga pengamanan hutan. 4 Penertiban penggunaan peralatan eksploitasi hutan. Semua program dalam rangka moratorium logging tersebut ditujukan untuk mewujudkan visi kehutanan Aceh, yakni “Hutan Lestari, Rakyat Aceh Sejahtera”. Hasil penjaringan pemikiran para pihak dalam rangka perencanaan qanun dan program kehutanan beberapa waktu lalu, menghasilkan banyak pemikiran yang sejalan dengan kebijakan moratorium logging, antara lain: perlu segera disusun master plan kehutanan, sekaligus evaluasi berbagai fungsi hutan untuk menunjang revisi tata ruang provinsi. Pengelolaan hutan tidak dapat dibatasi kaku oleh batas wilayah administrasi pemerintahan untuk itu “pengelolaan hutan kedepan” harus mengacu pada manajemen DAS Daerah Aliran Sungai. Untuk mendukung proses ini perlu segera dibentuk unit pelaksana teknis UPT provinsi pada lima kelompok Kesatuan Pemangku Hutan Daerah Aliran Sungai KPHDAS. Disamping itu, pemerintah akan melakukan identifikasi daerah tangkapan air catchment area sebagai dasar penyusunan skala prioritas lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan, dalam upaya memfungsikan hutan dalam manajemen daerah aliran sungai DAS, sebagai Universitas Sumatera Utara penyimpan cadangan air pada musim kemarau dan menyerap air secara “optimal” pada musim hujan, sehingga irigasi dapat berfungsi dengan baik. 213 Isu yang juga mengemuka adalah upaya pengamanan dan perlindungan hutan, dimana perlu ada terobosan baru dengan meningkatkan kwantitas dan kapasitas jagawana polisi hutan, untuk penertiban illegal logging secara intensif. Hal ini juga harus diikuti dengan melakukan inventarisasi kondisi berbagai fungsi kawasan hutan dan melakukan penertibanpenegakan hukum terhadap pelaku perambahan kawasan, dan melakukan eksekusimengambil alih areal yang dirambah. 214 Untuk mendukung fungsi pengamanan ini, Pemerintah Aceh merekrut tenaga polisi hutan dengan sistem kontrak pertahun dari kalangan masyarakat, yang memenuhi syarat sekaligus mendukung proses “reintegrasi”. 215 Deklarasi moratorium logging oleh Pemerintah Aceh pada tanggal 6 Juni 2007 merupakan bentuk nyata untuk mendorong pengelolaan hutan Aceh secara lestari dan berkelanjutan. Untuk mendukung kebijakan moratorium logging tersebut diperlukan langkah- langkah konkrit dalam implementasinya, yaitu : Pertama, memastikan waktu pelaksanaan dari moratorium logging. Kedua, memastikan tersusunnya dan terbangunnya strategi dan moratorium logging yang efektif, sehingga bisa mendukung pelaksanannya di lapangan. Ketiga memastikan adanya dukungan kebijakan dari kabupatenkota dalam mendukung pelaksanaan moratorium logging. Keempat, memastikan keterlibatan berbagai pihak dalam mendukung pelaksanannya. Kelima, memastikan terlaksanakannya penegakan hukum dan pemantauan secara sinergi dan berkelanjutan. Keenam, mengintegrasikan kebijakan moratorium logging kedalam rencana 213 Lihat Proceding Workshop, Membangun Aceh Hijau Bersama, BRR NAD – Nias, Banda Aceh, 7 Juli 2007. 214 Lihat; Husaini Syamaun, Peran dan Dukungan Stakeholders dalam Dalam Pelaksanaan Moratorium Logging NAD, makalah pada Workshop Membangun Aceh Hijau Bersama, BRR, Banda Aceh, 7 Juli 2007. 215 Maksud mendukung proses reintegrasi dalam hal ini adalah mengutamakan atau memprioritaskan mantan combatan Gerakan Aceh Merdeka untuk diangkat menjadi polisi hutan. Universitas Sumatera Utara pembangunan jangka menengah RPJM Aceh 2007 – 2012 sebagai batas waktu dalam pelaksanannya. Ketujuh, memastikan adanya sistem informasi yang bisa diakses publik yang fungsinya untuk menginformasikan pelaksanaan kebijakan tersebut. Guna mendukung langkah-langkah tersebut, dibutuhkan dan diperlukan adanya berbagai kegiatan yang harus segera dilakukan dalam rangka mendukung implementasi kebijakan moratorium logging yaitu: 1 Penetapan waktu pelaksanaan illegal logging. Pelaksanaan moratorium logging selama 5 tahun merupakan waktu yang rasional dan tepat. Pilihan waktu ini di sesuaikan dengan jabatan gubernur, sehingga kebijakan tersebut bisa tetap terjaga dan dimonitor tingkat keberhasilannya oleh Gubernur. 2 Pemberantasan illegal logging dan perdagangan kayu illegal secara kontinyu dan sinergis. a membentuk tim operasi pemberantasan illegal logging yang melibatkan berbagai pihak dan lintas intansi yang terkait. b membentuk patroli hutan dalam rangka memperketat dan melakukan pengawasan terhadap wilayah hutan. c membentuk operation center yang bisa mengorganisasikan upaya pemberantasan illegal logging dan perdagangan kayu illegal. d melakukan penegakan hukum terhadap aktivitas illegal logging dan perdagangan kayu illegal secara intensi salah satunya melakukan joint agreement dengan lembaga penegak hukum untuk memastikan terimplementasinya penegakan hukum. 3 Rehabilitasi lahan hutan yang rusak a mendata wilayah hutan Aceh yang berada dalam kondisi rusak dan kritis, b menyusun perencanaan rehabilitasi, dan c melaksanakan rehabilitasi hutan yang rusak Universitas Sumatera Utara 4 Pemenuhan kebutuhan lokal untuk kayu baik untuk mendukung kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh maupun selama moratorium logging berjalan. a Khusus untuk memenuhi kebutuhan rehab dan rekons kayu bisa di beli melalui mekanisme impor maupun membeli kayu dari luar Provinsi Aceh. b Khusus untuk memenuhi kebutuhan kayu selama pelaksanaan moratorium logging pemenuhan kebutuhan kayu dilakukan dengan cara melakukan pembelian kayu legal dan suistainable baik melalui mekanisme impor dari dari luar Aceh. c Menetapkan logging terbatas di luar dari kawasan-kawasan hutan lindung dan konservasi untuk memperoleh kayu. Ini bisa di kembangkan dengan pola salah satunya adalah community logging. 5 Penetapan kebijakan kabupatenkota dalam mendukung moratorium logging, yaitu dengan cara : a pemerintah kabupatenkota mengeluarkan kebijakan dalam bentuk surat keputusan bupati untuk menindaklanjuti instruksi gubernur dalam rangka pelaksanaan moratorium logging. b menyediakan anggaran di dalam APBK anggaran pendapatan dan belanja kabupatenkota untuk mendukung pelaksanaan moratorium logging.

G. Strategi Pengelolaan Hutan Aceh yang Berkelanjutan.