Penggolongan status hutan di atas, dapat dipahami jika merujuk pada Pasal 16 Undang- Undang Agraria, yang menyatakan hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan sebagai
hak-hak atas tanah, yang dikenal dengan hak ulayat. Sehingga, kalau dibandingkan antara Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UU Kehutanan dengan
Pasal 3 dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agaria UU Agraria, terdapat ketentuan yang berbenturan. Hutan negara dalam
pengertian Undang-Undang tentang Kehutanan UU 411999 adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan dalam UUPA ditegaskan adanya pengakuan terhadap pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, termasuk hak memungut hasil hutan. Ini berarti, hak ulayat juga termasuk hak atas tanah, yang karenanya
harus dikeluarkan dari pengertian dan pengaturan tanah negara atau hutan negara.
5. Hak Bersama Warga Atas Tanah
Hak bersama warga gampong atas tanah pada umumnya dapat dilaksanakan dengan bebas oleh warga gampong yang bersangkutan. Tetapi disamping itu, hak dan kebebasan warga
gampong terhadap pemanfaatan dan penggunaan tanah dibatasi dan diatur pelaksanaannya oleh keuchik. Sehingga, sudah menjadi “hukum” hingga sekarang terhadap pohon-pohon liar, yaitu :
a. Setiap warga masyarakat berhak mengusahakan tanaman liar serta memungut hasilnya;
b. Kewajiban yang mengusahakan membersihkan semak-semak dan menjaga buahnya dari
gangguan binatang; c.
Hak bagi yang bersangkutan hanya berlaku untuk masa sekali panen, apabila pada musim berikutnya tidak mengulangi melakukan perbuatan serupa.
Universitas Sumatera Utara
Apabila seorang warga sudah pernah mengusahakan sebatang pohon buahan liar pada satu musim, maka untuk musim berikutnya dia mendapat hak terdahulu untuk berbuat hal yang
sama. Selain hak terhadap pepohonan liar, warga gampong mempunyai kebebasan yang luas
untuk memungut hasil atas tanah masyarakat hukum yaitu : a.
Mengambil hasil hutan berupa rotan, dammar, kayu dan sebagainya; b.
Berburu binatang liar dan menangkap ikan; c.
Mengambil hasil sungai berupa batu, pasir, untuk keperluan sendiri; d.
Membuka hutan untuk berladang dan berkebun.
299
Dari semenjak dahulu di wilayah mukim ada larangan untuk mengusahakan atau menguasai secara pribadi tanah-tanah yang secara tetap dipergunakan untuk kepentingan umum,
yaitu: a.
Pantai laut pasie, dalam batas antara tanah yang berpasir sampai ombak memecah; b.
Pantai sungai yang dinamakan pante krueng, dimana terdapat pasir dan kerikil; c.
Larangan penebangan pohon yang tumbuh ditepi sungai dan dekat mata air.
299
Wawancara dengan Kechik Buntha, Keuchik Semantoek, dan Imum Mukim Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, 17 Juni 2008. Mengenai pohon buah-buahan yang tumbuh liar di hutan, mereka berpendapat, bahwa
tanaman ini nenek moyang mereka yang menanaminya zaman dahulu. Setiap orang berhak mengambil buahnya, karena memang sudah sulit menyesuai nenek moyang siapa dulu yang menanami. Yang sudah pasti penanamnya
adalah leluhur orang-orang dalam mukim tersebut, bukan orang dari luar.
Universitas Sumatera Utara
Terhadap tanah yang berada di pantai laut, pantai sungai, ataupun di tepi sumber mata air, para warga masyarakat tidak dibolehkan menguasai benda-benda tersebut sampai pada tingkat
memiliki. Mereka hanya boleh mengusahakan untuk menikmati hasil. Pantai laut pasie hanya boleh dipakai oleh para nelayan sebagai tempat jemuran ikan,
mendirikan pondok, yang biasanya hanya berlaku untuk satu musim. Batu dan pasir di pantai sungai boleh diambil secara bebas oleh para warga. Tetapi
mengadakan usaha pengambilan pasir secara tetap untuk mencari laba harus mendapatkan izin dari imeum mukim, disertai kewajiban membayar sejumlah tertentu uang kepada pihak gampong
atau mukim untuk setiap truk angkutan, dimana uang tersebut akan dipergunakan untuk kepentingan umum.
Terdapat pula jenis tanah yang dari semula sudah dikhususkan untuk kepentingan umum dan akan tetap dipakai bagi keperluan masyarakat, yaitu :
a. Tanah pengembalaan ternak; luasnya semakin sempit karena sebahagian sudah dipagar
menjadi kebun. b.
Tanah lapangan pertunjukan, dahulu bernama “Geulanggang”. c.
Tanah perkuburan umum d.
Tanah pasar umum Tanah-tanah tersebut diatas jenisnya dari tanah masyarakat yang tadinya bersifat umum,
tetapi kemudian oleh keuchik setelah bermsyawarah dengan tuha peut gampong memberikan tujuan khusus dalam penggunaannya.
Selain macam dan jenis tanah yang pada umumnya berasal dari tanah masyarakat hukum yang kemudian jatuh dalam kekuasaan perseorangan atau dalam kekuasaan keuchik dengan
Universitas Sumatera Utara
tujuan pemakaian yang khusus, maka hal yang sebaliknya juga ada terjadi, yaitu tanah yang pada mulanya milik perseorangan kemudian beralih atau dialihkan menjadi hak masyarakat.
Motif pengalihannya berdasarkan keyakinan menurut agama Islam. Semenjak beralih atau dialihkan oleh perseorangan tanah jatuh ke dalam kekuasaan gampong. Keuchik
mempergunakannya untuk kepentingan serta kesejahteraan kaum muslimin. Termasuk jenis tanah yang ada kaitannya dengan ibadat dan kepercayaan agama Islam adalah tanah Wakaf,
tanah Meusara dan tanah baitalmaal.
a Tanah wakaf
Tanah wakaf asalnya dari penyendirian tanah milik oleh seseorang. Motif penyisihan seperti ini adalah sebagai ibadah menurut ajaran Islam. Tujuan dari tanah yang disendirikan ini
bisa bersifat umum dan bisa khusus. Tujuan yang bersifat umum tidak dijelaskan kegunaan pemakaian tanah. Tujuan yang
bersifat khusus, ditentukan secara tegas arah penggunaan tanah misalnya untuk tempat mendirikan meunasah, dayah, tempat pengajian dan sebagainya.
Tanah wakaf dalam bahasa Aceh disebut tanoh wakeuh. Acara pemberiannya dilakukan dengan ijab Kabul, yang biasanya pada masa dilakukan secara lisan antara pemilik dengan
penerimaan wakaf nadir dengan dihadiri oleh saksi-saksi dan ahli waris penerimaan wakaf kalau ada. Setelah dilakukan ijab kaul secara lisan, ada juga yang kemudian melanjutkan proses
tersebut dengan membuat akta penyerahan secara tertulis dengan melibatkan keuchik, imum mukim, imum mesjid, dan kepala kantor urusan agama kecamatan KUA Kec. Keuchik dan
imeum mukim keterlibatannya sebagai saksi; sedangkan imum mesjid sebagai nadir penerima dan
Universitas Sumatera Utara
pihak secara langsung yang berkewajiban mengelola tanah wakaf. Sementara itu kepala kantor urusan agama tingkat kecamatan berfungsi sebagai pejabat pembuat akta wakaf.
Berdasarkan hasil penelitian, wakaf selain dilakukan oleh perseorangan dapat pula dilakukan oleh masyarakat gampong secara bersama-sama. Tanah perkarangan untuk komplek
meunasah, mesjid, atau pasantren, misalnya, dibeli bersama-sama oleh penduduk gampong atau mukim, yang selanjutnya diwakafkan untuk pengadaan pembangunan meunasah, meseujid,
dayah pasantren, dan lain-lain.
b Tanah Meusara
Selain tanah wakaf, dijumpai pula sejenis tanah yang lain yang disebut tanah meusara, yaitu mempunyai asal usul yang sama dengan tanah wakaf, tetapi mempunyai fungsi yang
berlainan. Tanah meusara berasal dari penyendirian atau penyisihan harta kekayaan seseorang yang sifatnya berlainan, yakni tanah yang produktif, lazimnya berupa sawah, kebun kelapa,
kebun pinang, kebun durian dan lain-lain.
300
Tanah meusara suatu mukim tersebar diberbagai gampong dalam mukim yang bersangkutan.
Pada umumnya, tujuan pemberian untuk tanah meusara adalah khusus guna menanggulangi biaya pemeliharaan dan perawatan mesjid jamik mukim atau meunasah beserta
pengurusnya. Sesuai dengan fungsinya, maka tanah meusara selalu berupa tanah yang senantiasa menghasilkan setiap tahun atau setiap musim. Tanah meusara dapat berupa sawah, tambak
ataupun kebun tanaman keras.
300
Wawancara dengan Imum Mukim Reukih, Indrapuri, Imum Mukim Tungkop, Darussalam,. Imum Mukim
Blangmee, Lhoong, Kabupaten Aceh Besar.
Universitas Sumatera Utara
Pengurusan kebun dan pemungutan hasil dilakukan oleh keuchiek dan imum meunasah dari masing-masing gampong yang bersangkutan. Hasilnya secara kontinu diserahkan kepada
imeum chik selaku pengelola dan pengurus mesjid. Tujuan pewakaf tanah meusara adalah untuk menghasilkan dana secara terus menerus
yang akan dimanfaatkan dalam penyelenggaraan kegiatan keagamaan dan peribadatan di mesjid. Agar dana dapat terus menerus mengalir, maka sudah menjadi kewajiban keuchiek dan imum
meunasah berusaha agar kebun selalu produktif, baik dengan cara mengelola bersama oleh warga gampong ataupun ditugaskan orang-orang tertentu untuk mengelola tanah meusara
tersebut. Dalam penelitian ke beberapa kemukiman ditemukan informasi bahwa akhir-akhir ini,
banyak tanah meusara yang pengelolaannya diserahkan pada orang-orang tertentu, bukan lagi secara gotong royong yang langsung dipimpin oleh keuchik. Sehingga dengan cara demikian,
orang yang dipercayakan mengelola tanah meusara lebih bertanggungjawab dalam merawat meusara tersebut, apalagi kepada mereka pun diberikan bagi hasil bulung dengan jumlah
tertentu sesuai dengan adat setempat. Hal ini dimaksudkan agar supaya tujuan sipemberi tanah selalu dapat dicapai, yaitu tanah meusara selalu menghasilkan, sehingga sipemberi wakaf
meusara pun selalu mengalir pahala kepadanya.
c Tanah Baitalmaal
Tanah “baitalmaal” tergolong jenis tanah asal perseorangan, tetapi mempunyai asal yang berbeda dengan tanah “wakaf” dan tanah “meusara”. Tanah “baitalmaal” berasal dari harta
peninggalan seorang yang meninggal dunia tanpa ada keturunan atau ahli waris.
Universitas Sumatera Utara
Tanah jenis baitalmaal tersebar dihampir semua gampong dalam wilayah mukim. Tanah baitalmaal tidak pernah berkurang, tetapi senantiasa bertambah. Tanah baitalmaal diurus oleh
gampong, dalam hal ini keuchiek bersama imeum meunasah. Hasilnya dipergunakan untuk kepentingan umum masyarakat gampong yang bersangkutan. Apabila tanah tersebut berupa
sawah atau kebun atau tambak, maka hasil dari pengelolaan juga disumbangkan untuk kegiatan penyelenggaraan ibadat di meunasah.
Lokasi tanah baitalmaal dapat dipakai untuk tempat mendirikan bangunan yang bersifat umum, seperti balai pengajian, taman kanak-kanak, rumah sekolah, pusat kesehatan masyarakat,
rumah dinas bidan, dan sebagainya. Sekarang ini, dengan diundangkannya Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul
Maal, maka pengelolaan tanah wakaf dan harta agama lainnya dilakukan oleh Badan Baitul Maal, baik pada tingkat provinsi, kabupaten, kemukiman, dan gampong.
Keberadaan Baitul Mal, selain di atur secara khusus dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Badan Baitul Mal, keberadaannya juga diatur dalam Qanun Aceh Nomor 5
Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam Pasl 227 Qanun Aceh Nomor 5
Tahun 2007 tersebut ditegaskan bahwa Badan Baitul Maal adalah Perangkat Daerah Khusus Pemerintah Aceh di bidang pengelolaan Zakat, Infaq, Sadaqah, dan Harta Agama.
Di dalam Pasal 14 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tersebut, dinyatakan Baitul Mal Kemukiman mengelola dan mengembangkan harta agama dan harta waqaf lingkup kemukiman,
yang laporan dan pertanggungjawabannya secara periodik disampaikan kepada baitul Mal KabupatenKota.
Universitas Sumatera Utara
Badan Pelaksana Baitul Mal Kemukiman adalah Lembaga Non Struktural, terdiri atas Ketua yang karena jabatannya dilaksanakan oleh Imeum Mesjid Kemukiman atau nama lain,
Sekretaris, Bendahara, Seksi Perwalian, Seksi Perencanaan dan Pendataan dan Seksi Pengawasan yang ditetapkan oleh Imeum Mukim atau nama lain.
301
Dalam perspektif hukum adat, dua hal yang menarik dalam Qanun tentang Baitul Mal ini berkaitan dengan pengaturan ketua Badan Baitul Mal Kemukiman, yaitu:
Pertama, adanya pengakuan dan pengukuhan Imeum Mesjid Kemukiman yang karena jabatannya tersebut ex officio sebagai Ketua Pelaksana Baitul Mal Kemukiman.
Dengan adanya penegasan berupa pengukuhannya secara juridis formal dengan qanun tersebut tehadap Imeum Mesjid Kemukiman sebagai pelaksana Baitul Mal Kemukiman. Ini
berarti, keberadaan Imeum Mesjid Kemukiman tidak lagi hanya sebagai lembaga adat saja, tetapi secara implisit telah menjadikannya sebagai lembaga formal pemerintahan. Hal ini karena, di
Provinsi Aceh keberadaan Baitul Mal telah dimasukkan sebagai salah satu Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
302
sebagaimana yang diatur dalam Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan
Lembaga Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kedua, digunakannya istilah Imeum Mesjid Kemukiman di dalam Qanun tentang Badan
Baitul Mal merupakan suatu penyebutan baru, yang belum ditemukan di dalam literatur. Menurut Wakil Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA, penyebutan
Imum Mesjid Kemukiman adalah disesuaikan dengan fakta akhir-akhir ini bahwa mesjid tidak
301
Periksa; Pasal 6 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal.
302
Pasal 2 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007, menyatakan Lembaga Daerah meliputi: Sekretariat Majelis Permusyawaratan Ulama MPU, Sekretariat Majelis Adat Aceh MAA, Sekretariat Majelis Pendidikan Daerah
MPD dan Badan Baital Maal di lingkungan Pemerintah Aceh.
Universitas Sumatera Utara
hanya ada pada kemukiman, tetapi juga di gampong-gampong tertentu yang banyak penduduknya juga mulai membangun mesjid sendiri. Tetapi mesjid yang sedemikian itu adalah
sebagai mesjid gampong, bukan mesjid kemukiman, yang Badan Baitul Mal-nya adalah Baitul Mal Gampong.
303
Dengan adanya Badan Baitul Mal yang dibentuk dengan qanun oleh Pemerintah Aceh bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, bukanlah berarti tanah wakaf, tanah meusara dan
tanah baital maal yang sudah ada akan lepas dari kekuasaan gampong atau kekuasaan mukim.
304
Ketiga jenis tanah yang digolongkan harta agama ini tanah wakaf, tanah meusara, dan tanah baitalmaal, nyatanya hingga sekarang ini masih tetap dalam kekuasaan gampong atau
kekuasaan mukim. Sehingga karenanya, imeum meunasah gampong atau imeum mesjid mukim berwenang menentukan kebijaksanaan penggunaannya, melakukan pengaturan, pengurusan,
pengelolaan, dan pengawasannya. Semua itu dilakukan agar tanah tersebut semakin hari semakin bertambah nilai produktifitasnya sehingga hasilnya dapat digunakan untuk kepentingan mesjid
atau meunasah. Hak bersama warga gampong terhadap tanah gampong pada azasnya adalah sama bagi
setiap orang. Di wilayah yang diteliti,
305
tiada dibedakan antara orang asli asoe lhoek dengan orang pendatang dalam hal mendapatkan fasilitas tanah. Tetapi bagi orang pendatang yang
303
Adriman Kimat, Wakil Ketua Panitia Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Aceh DPRA, wawancara tanggal
22 Desember 2007.
304
Mengenai apakah tanah‐tanah tersebut akan berada di bawah kekuasaan mukim atau kekuasaan gampong,
itu tergantung pada pihak yang mewakafkan tanah tersebut, yang lazimnya diikrarkan pada ijab kabul wakaf.
Sedangkan tanah baital mal, yang terjadi karena tiada lagi ahli waris atau tiada diketahui lagi kepemilikannya,
biasanya merupakan kekuasaan gampong.
305
Untuk mendapat informasi ini telah dilakukan serangkaian wawancara dengan: Tgk Ayub, Imeum Mukim Reukih,
Kec. Indapuri; Mahdi, Keuchik Gampong Jruek Balee, Indrapuri, Kab. Aceh Besar; Tgk. Yunus, Imeum Mukim
Sukajaya; Jamaluddin Raban, Keuchik Gampong Cot, Kec. Muara Tiga, Kab. Pidie; Tgk Syamaun Ali, Imeum Mukim
Paya Setui, Kec. Ulim, Kab. Pidie Jaya, 12‐17 Maret 2008.
Universitas Sumatera Utara
dimaksudkan, bukan lagi berstatus sebagai tamu. Artinya, orang pendatang tersebut telah menetap lama dalam gampong bersangkutan serta harus telah dapat bersikap dan berperilaku
sebagaimana layaknya warga masyarakat setempat, sehingga keberadaannya sudah dianggap sebagai orang setempat.
Biasanya, karena alasan perkawinan dengan perempuan setempat ataupun karena telah menetap lama di satu gampong, seringkali dijadikan sebagai syarat menjadi atau untuk dianggap
sebagai warga setempat dalam masyarakat Aceh. Apabila persyaratan ini telah dipenuhi maka warga pendatang telah mendapat hak yang sama dengan warga asli, baik dalam hal memungut
hasil hutan maupun dalam hal membuka hutan. Dalam hal membuka hutan oleh para warga, keuchik atau imeum mukim, memperlihatkan
peranannya apabila tanah yang akan dibuka tersebut tergolong tanah hak kullah yang termasuk sebagai tanah masyarakat hukum, yang berupa uteun gampong atau uteun mukim, yang
jangkauannya sehari pergi-pulang berjalan kaki. Pada masa lalu, dalam hal ini tiada peranan keuchik, tetapi merupakan urusan dan kewenangan imeum mukim selaku pihak yang berkuasa
atas sumberdaya alam dalam mukim. Sementara keuchik lebih diarahkan pada penyelenggaraan urusan social kemasyarakatan. Namun selama berkuasanya Pemerintahan Orde Baru, yang telah
meminggirkan peran imeum mukim, peran kekuasaan atas sumberdaya alam ada yang telah langsung ditangani oleh keuchik, hingga pelaksanaannya pada masa kini.
306
Sehingga sekarang, dalam prakteknya ditemukan pula adanya hak dan peranan keuchik dalam pemberian izin
membuka hutan.
306
Hasil wawancara dengan Imeum Mukim Mane, Kecamatan Gempang Tgk Sabi Kabupaten Pidie, 26 Maret
2007. Pendapat senada juga diungkapkan oleh Ketua Duek Pakat Mukim Kabupaten Aceh Besar Tgk Nasruddin
dan Ketua Serikat Mukim Kabupaten Aceh Jaya Tgk Anwar.
Universitas Sumatera Utara
Peranan keuchik atau imuem mukim yang dimaksudkan disini ialah dalam hal pengaturan, menetapkan hubungan hukum antara individu dengan ulayat mukim, dan pemberian izin. Izin
keuchiek atau imeum mukim diperlukan dalam hal-hal sebagai berikut: a.
Tanah yang akan digarap letaknya dalam kompleks pemukiman penduduk dari suatu gampong, yang disebut tanoh gampong.
b. Tanah yang akan dibuka merupakan seuneubok, yang memerlukan areal yang luas dan
pengolahannya memakai tenaga kerja yang banyak untuk dijadikan perkebunan. c.
Tanah yang akan dibuka, oleh pembukanya dari semula sudah dimaksudkan untuk dijadikan boinah, yakni membuka kebun tanaman keras, tambak, sawah ataupun rumah
tempat tinggal. Apabila diperhatikan dengan seksama, seolah-olah hubungan masyarakat gampong dalam
satu mukim dengan tanah hutan dan perairan dalam wilayahnya merupakan hubungan yang abadi. Gampong dan mukim mempunyai kedudukan yang otonom, dan merupakan subjek
terhadap tanah dalam wilayahnya. Gampong mempunyai kekuasaan sepenuhnya dalam menentukan status sebidang tanah yang ada dalam wilayah gampong, terutama tanah untuk
perumahan penduduk. Hukum adat masih berlaku kuat dalam hukum pertanahan di masyarakat pesisir Aceh.
Kekuatan berlaku hukum adat atas tanah kadang kala dapat dilemahkan oleh kekuatan luar, walaupun hanya untuk sementara waktu. Setelah kekuatan dari luar lenyap, maka suasana hukum
adat akan kembali menguasai bidang tanah yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Dalam suatu telaah dokumen yang dilakukan oleh Teuku Ibrahim Elhakimy,
307
dikemukakan bahwa, dari dokumen yang dipelajari pada kantor Agraria Kabupaten Aceh Besar dapat diketahui, bahwa “Tanah Erfpacht Labuhan” diberikan hak erfpacht oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Hak erfpacht ini diberikan kepada N.V Cultuur Maatschappij Lhok Nga Kutaraja.
Hak erfpacht mulai berlaku pada tahun 1909, luas areal tanah 36, 9018 ha dalam jangka waktu 75 tahun. Pada tanggal 27 April 1955 hak erfpacht tersebut beralih kepada N.V
Perkebunan dan Perdagangan Mutia. Perusahaan tersebut tidak mengkonfersikan hak erfpacht ini kepada hak guna usaha HGU, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Karena tidak dikonversi
ke dalam hak baru, maka menurut peraturan yang berlaku hak erfpacht akan berakhir pada tanggal 24 September 1980. Selanjutnya tanah tersebut akan menjadi tanah Negara bebas atau
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara. Dahulu sewaktu tanah masih dikuasai oleh Erfpachter, tanah tersebut berpagar kawat
duri. Di atas tanahnya sebahagian ditanami kelapa dan sebahagian lainnya dibiarkan berhutan. Orang lain dilarang memasuki tanah, walaupun pada bahagian tanah yang masih berhutan.
Menjelang perang dunia Asia Timur Raya + tahun 1940 tanah ditinggalkan oleh pemerang erfpacht, dibiarkan terlantar tanpa berpengurus maupun penjaga. Tanaman kelapanya
berangsur-angsur punah karena dimakan beruang dan pagar kawat duri rusak porak poranda.
307
Teuku Ibrahim Elhakimy, Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, Fakultas Hukum – Univ. Syiah
Kuala, Banda Aceh, 1985, hal. 34.
Universitas Sumatera Utara
Keadaan tanah sedemikian berlangsung hingga masa pendudukan Jepang dan permulaan zaman Kemerdekaan tahun 1947.
Tahun 1947 tanah erfpacht Labuhan digarap oleh rakyat. Tanah ini dibagi-bagi oleh Keuchik Gampong Dayah Mamplam bersama Imeum Mukim Leupung, diberikan kepada warga
masyarakat Leupueng yang memerlukannya. Kebanyakan para penggarap berasal dari Gampong Dayah Mamplam, karena lahan-lahan tersebut terletak dalam wilayah Desa Dayah Mamplam.
Para penggarap tahun 1947 pada umumnya menanami tanaman muda, hanya beberapa orang saja yang menanami tanaman keras, yakni kelapa dan pinang. Kemudian, karena
berjangkitnya hama babi hutan yang tidak sangup diatasi oleh para penggarap, maka tanah labuhan ditinggalkan begitu saja oleh penggarap, sehingga menjadi terlantar hingga tahun 1957.
Pada tahun 1957 tanah labuhan dibagi-bagikan kembali oleh Imeum Mukim Leupung dan Keuchiek Gampong Dayah Mamplam seperti cara semula. Kepada mereka yang pernah turut
pada pembagian pertama tahun 1947 diberikan fasilitas untuk memilih bekas tanah garapannya semula. Kebanyakan mereka dari rombongan penggarap ke dua inilah yang berhasil dan masih
tinggal hingga sekarang dengan tanaman keras kelapa dan cengkeh. Menurut pandangan masyarakat Leupeung tanah beserta tanaman keras yang ada
sekarang sudah menjadi milik mereka. Pengambilan tanah oleh Pemerintah Hindia Belanda dahulu bertentangan dengan hukum adat yang berlaku. Kerena lokasi tanah berada dalam batas
yang terjangkau oleh anggota masyarakat, terutama penduduk Gampong Dayah Mamplam. Jadi dengan demikian tanah labuhan termasuk tanah hak kullah bertuan, yakni tanah masyarakat
hukum.
Universitas Sumatera Utara
Tentang keabsahan penggarapannya oleh penduduk setempat adalah benar sesuai dengan hukum adat yang berlaku. Tanah sudah ditinggalkan, terlantar selama lebih dari 5 tahun. Tanda-
tanda batas berupa pagar dan bukti tanaman keras diatasnya sudah tidak ada lagi. Yang dijumpai tubuh di atas tanah hanyalah hutan belantara belaka sewaktu garapan dilakukan pada tahun 1947.
Dari kasus tanah labuhan yang diuraikan di atas dapat dipahami, bahwa hubungan masyarakat hukum dengan tanahnya merupakan hubungan yang abadi, dan tidak terpisahkan.
Kekuatan luar hanya melemahkan hubungan itu untuk sementara waktu, tetapi tidak akan mungkin memutuskannya.
Gampong mempunyai kekuatan dalam masalah tanah yang berhubungan dengan orang luar. Sehingga bagi orang luar mukim, pada prinsipnya dilarang menghaki tanah dalam wilayah
tersebut. Hingga saat ini masih jarang dijumpai tanah hak kullah yang tergolong tanah adat atau tanah masyarakat yang secara langsung dapat digarap oleh orang luar mukim. Hak ini baru dapat
ditembusi oleh orang luar dengan prosedur izin garap dari keuchik atau dengan membeli atau ganti kerugian ganto peunayah.
Saat ini, di era otonomi daerah pasca gerakan reformasi, kejadian sebagaimana digambarkan di atas juga terjadi di beberapa daerah di Aceh. Terhadap tanah-tanah yang telah
diberikan Hak Guna Usaha HGU maupun Hak Pengusahaan Hutan oleh pemerintah masa Orde Baru kepada para pengusaha, yang kemudian lahan-lahan tersebut ditelantarkan atau
dibiarkan karena berkecamuknya konflik Aceh,
308
maka sekarang, hampir semua lahan tersebut,
308
Konflik Aceh dimaksudkan adalah kekacauan keamanan sebagai akibat seringnya terjadi kontak tembak antara
pihak Gerakan Aceh Merdeka GAM dengan TNIPolri, dimana para pihak yang bertikai saat itu, terutama pihak
GAM memilih lokasi hutan tempat persembunyiannya. Sehingga untuk menghindari sasaran dari konflik tersebut,
maka banyak perusahaan perkayuan yang menelantarkan usahanya pada tahun 1990‐an hingga saat ini.
Universitas Sumatera Utara
terutama yang berlokasi berdekatan dengan jangkauan pemukiman penduduk, kembali dikuasai oleh masyarakat mukim setempat.
Alasan penguasaan kembali lahan-lahan HPH atau HGU oleh masyarakat mukim setempat, karena menurut masyarakat setempat lahan-lahan tersebut dahulunya merupakan hutan
adat mereka yang secara serta merta karena adanya izin pemerintah pusat lalu diberikan hak kepada para pengusaha.
309
Sehingga sekarang, setelah menguatnya sistem pemerintahan otonomi daerah pasca reformasi, terlebih lagi dengan menguatnya pemahaman masyarakat mukim
terhadap hukum positif akibat pendampingan oleh para aktivis lembaga swadaya masyarakat,
310
maka telah tumbuh keberanian dikalangan masyarakat mukim untuk mengambil kembali hak- hak mereka atas hutan adatnya.
311
Suatu perubahan yang sedang terjadi dalam hukum adat pertanahan di Aceh, yakni kini dimungkinkan tanah-tanah dalam wilayah mukim jatuh kepada orang luar mukim. Hal seperti ini
sekarang banyak ditemui di mukim-mukim dalam wilayah Kecamatan Geumpang dan Kecamatan Mane Kabupaten Pidie. Juga ditemui di Kemukiman Tungkop dan Kemukiman
Darul Ihsan di Kecamatan Sungai Mas Kabupaten Aceh Barat.
312
Kekuasaan gampong atas tanah, dalam hubungan ke dalam, yakni hubungan dengan para warga gampong, keuchik lebih banyak bersikap pasif. Keuchik pada umumnya hanya menunggu
309
Hasil wawancara dengan Ir. Rasyidin, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Aceh Barat, tanggal 14 Juni 2008.
310
Beberapa lembaga swadaya masyarakat LSM yang ditemukan melakukan pendampingan terhadap masyarakat
di kemukiman‐kemukiman yang diteliti, antaranya : Walhi, WWF, PADHI, FFI, YRBI, dan lain‐lain.
311
Lihat; Taqwaddin, Aspek Legal dalam Pengelolaan DAS Krung Sabee di Kabupaten Aceh Jaya, Laporan Riset,
WWF Program Aceh, Banda Aceh, 2008.
312
Dari hasil pengamatan yang dilakukan tanggal 17‐19 Juni 2008, terlihat jelas bahwa disisi kiri kanan jalan Tangse
– Geumpang Kabupaten Pidie hingga Kecamatan Sungai Mas Kabupaten Aceh Barat telah begitu luas areal hutan
yang telah ditebang dan dirubah fungsinya menjadi ladang dan kebun tanaman keras.
Universitas Sumatera Utara
kalau-kalau ada laporan tentang telah terjadinya pelanggaran atau penyimpangan hukum adat tanah dilakukan seseorang, misalnya berkaitan dengan masalah langgeih.
313
Lazimnya, keuchik didatangi para warga apabila suatu transaksi tanah hendak dilangsungkan. Itupun hanya terbatas
pada transaksi terhadap tanah-tanah yang sudah kuat haknya. Masyarakat Gampong di Aceh, para warganya mempunyai kebebasan yang luas dalam
meletakkan hubungannya dengan tanah. Setiap warga gampong sama berhak memungut hasil dan membuka hutan. Kedua tindakan ini biasanya dilakukan bersama-sama dan tiada
memerlukan izin keuchik, karena sudah diangap sebagai hak alamiah para warga gampong. Bagi warga penduduk asli asoe lhoek suatu gampong atau mukim, cukup hanya memberitahukan
saja maksudnya itu kepada keuchik. Jika lahan yang akan dibuka tersebut terletak agak jauh dari pemukiman penduduk suatu gampong maka pemberitahuannya disampaikan kepada imeum
mukim. Sehubungan dengan adanya hak dan kebebasan bersama warga gampong terhadap tanah
ulayat dalam wilayah gampong, terutama dalam hal membuka hutan, maka atas dasar hak bersama ini pulalah lahirnya hak-hak perseorangan atas tanah.
Hak perseorangan atas sebidang tanah terbina secara bertahap dan berlangsung selama periode tertentu. Dalam masa tersebut selama hak-hak individu atas sebidang tanah makin
313
Langgeih adalah hak yang harus diprioritaskan. Misalnya, seseorang yang hendak menjual atau meminta ganti
rugi ganto penayah terhadap tanahnya, maka ia harus terlebih dahulu memberitahukan dan menawarkan mengenai
hal tersebut kepada para tetangga tanah bersebelahan, para kerabat, para warga gampong. Artinya, ia tidak
boleh langsung menawarkan kepada pihak lain terlebih dahulu selain dari yang disebutkan di atas. Dalam literature
Hukum Adat, hak langgeih dapat disamakan dengan hak wenang beli, yaitu hak seseorang lebih utama daripada
yang lain, untuk mendapatkan kesempatan membeli tanah juga empang tetangganya dengan harga yang
sama. Hak wenang beli diberikan kepada : a. pemilik tanah atas bidang tanah yang berbatasan dengan tanah miliknya
sempadan, b. anggota‐anggota sekerabat parental, matrilineal, patrilineal dari sisi si pemilik tanah, dan c.
para warga desa. Jika orang‐orang sebagaimana dimaksud pada point a, b, dan c, tidak menggunakan hak wenang
beli blengket, barulah kesempatan membeli terhadap tanah tersebut dapat diberikan kepada orang lain. Lihat,
Iman Sudiyat, Hukum Adat; Sketsa Asas, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 17.
Universitas Sumatera Utara
menguat, maka rasa kebersamaan hak masyarakat hukum adatnya sebagai ulayat semakin berkurang. Berkurangnya rasa kebersamaan hak masyarakat yang bersangkutan karena
terbentuknya pertumbuhan hak-hak individu.
C. Proses Peralihan Hak Mukim untuk Hak Perorangan