reformasi, kecuali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang merupakan produk Rezim Orde Lama. Ketentuan-ketentuan tersebut ditemukan di dalam ; UUD 1945, Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 21 Tahun
2001, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Permeneg AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, SE Menhut Nomor 75 Tahun 2004, dan dalam beberapa peraturan daerah di berbagai daerah.
2. Hutan Aceh sebagian besar 80,86 merupakan kawasan lindung dengan kondisi yang
berbeda di tiap daerah, yaitu hutan dataran rendah di kawasan pesisir Aceh Ulu Masen dan hutan dataran tinggi di kawasan tengah Aceh Kawasan Ekosistem Leuser. Secara ekologis,
hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya, terutama di Kawasan Ekosistem Leuser.
Pemanfaatan hasil hutan kayu oleh perusahaan-perusahaan pemegang hak pengusahaan hutan HPH dan hutan tanaman industri HTI sejak tahun 2000 hingga tahun 2009 ini tidak
beroperasi karena kondisi keamanan tidak kondusif. Namun demikian, kerusakan hutan Aceh terus terjadi akibat penebangan liar, perambahan dan kebakaran hutan.
Kebijakan kehutanan di Provinsi Aceh ditemukan pedomannya di dalam: 1 Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu dalam Pasal 156, Pasal
150, dan Pasal 162; 2 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yaitu dalam Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 66, Pasal 70, dan Pasal 72; 3 Qanun
NAD Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan, 4 Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007
Universitas Sumatera Utara
tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas, Lembaga Teknis Daerah, dan Lembaga Daerah Provinsi Aceh, yaitu dalam Pasal 67, Pasal 68, dan Pasal 69; 4 Peraturan Gubernur
Nomor 52 Tahun 2006 tentang Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser Wilayah Aceh, dan 5 Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging.
Kebijakan moratorium logging ditindaklanjuti dengan tiga program bidang kehutanan, yaitu: 1 redesign menata ulang hutan Aceh dan konsesi perizinan, 2 reforestrasi melakukan
peningkatan dan efektifitas rehabilitasi hutan dan lahan, dan 3 reduksi deforestrasi melakukan upaya pengurangan kerusakan hutan dan penegakan hukum.
3. Masyarakat hukum adat Aceh adalah mukim
,
yang dari aspek historis, juridis, dan empiris kultural memiliki kewenangan pemerintahan, penyelesaian sengketa serta penguasaan atas
pengelolaan hutan adatnya uteun mukim. Mukim memenuhi kriteria sebagai masyarakat hukum adat yang disyaratkan oleh Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Kehutanan. Mukim
pun memenuhi kriteria penyelengara pemerintahan sebagaimana ditegaskan dalam Undang- Undang Pemerintahan Aceh dan dengan Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang
Pemerintahan Mukim. Peran Mukim sebagai lembaga penyelesaian sengketa telah pula diatur di dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat, dan Qanun
Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Mukim mempunyai sistem hukum dalam penguasaan dan pengelolaan hutan adatnya yang
berupa aturanpantangan, kelembagaan, dan adat budaya tersendiri. Mukim sebagai masyarakat hukum adat mempunyai kekuasaan atas hutan adat ulayatnya hak kullah
bertuan sejauh sehari pergi-pulang. Penguasaan hutan adat oleh pemerintah mukim adalah dalam artian adanya kewenangan mengatur, memberi izin, mengelola, dan melakukan
pengawasan terhadap hutan adat ulayat dalam jangkauannya. Sedangkan hutan di luar
Universitas Sumatera Utara
jangkauan perjalanan kaki sehari pergi-pulang, sekalipun masih dalam wilayah administrasi pemerintahan mukim, tidak termasuk hutan ulayat mukim, melainkan dapat langsung
dikuasai oleh negara sebagai hak kullah tak bertuan. Setelah melalui persyaratan serta proses normative tertentu, kekuasaan pemerintah mukim
imeum mukim atas hak ulayat hutannya dapat beralih menjadi kekuasaan individu. Proses tersebut melalui hak dong tanoh, hak chah rimba, hak useuha, lalu menjadi hak milek.
Apabila seorang warga telah melaksanakan hak dong tanoh, maka dia berhak membuka hutan di lokasi yang dipilihnya, yang dikenal dengan sebutan hak chah rimba. Dengan
tindakan chah rimba, maka sebagian tanah hak kullah hak ulayat ditarik dari kekuasaan masyarakat hukum adat mukim ke dalam kekuasaan individu. Kekuasaan individu atas lahan
berdasarkan hak chah rimba berlangsung sejak seseorang membuka hutan dan berakhir apabila lahan garapan tersebut kembali ditumbuhi hutan tua uteun tuha yang
mengakibatkan gugurnya hak chah rimba. Selanjutnya, apabila tanah-tanah yang dikuasai dengan hak chah rimba terus dikuasai dengan peningkatan usaha yang bersifat tetap, dengan
menanam tanaman keras, berarti melakukan peningkatan hak chah rimba kepada hak yang lebih tinggi, yaitu hak useuha. Sehingga terjadi perubahan ladang menjadi lampoeh dan telah
dapat menjadi objek kekayaan boinah. Kemudian, lama kelamaan dengan pengelolaan lahan yang intensif hak useuha dapat meningkat menjadi hak milek, sehingga kekuasaan
individu atas lahan tersebut -- yang semula lahan hak ulayat --menjadi sangat kuat. Masyarakat hukum adat Aceh memiliki kearifan tertentu untuk pengelolaan hutan yang
dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee. Kearifan lokal tersebut berupa anjuran, larangan, dan pantangan dalam kegiatan pengelolaan hutan. Menurut hukum adat hutan,
pembukaan hutan harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan
Universitas Sumatera Utara
dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidupnya, yaitu dengan cara mematuhi segala ketentuan adat anjuran, larangan, dan pantangan. Sekalipun masing-masing lembaga
adat bersifat otonom, namun dalam pengelolaan hutan adat ulayat mukim ada koordinasi antara pawang glee dan imeum mukim dengan pemimpin lembaga-lembaga adat lainnya yang
relevan, yaitu: tuha lapan, imeum chik, keuchik, imeum meunasah, tuha peut, petua seuneubok, dan kejrun blang serta dengan pemerintah di atasnya.
B. Saran