Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 2 Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh; 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekarang, dua diantara tiga undang-undang yang menjadi dasar keberadaan Qanun tentang Pemerintahan Gampong sudah dicabut dan diganti dengan undang-undang lain, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nimor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.

9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Pada tanggal 9 Agustus 2001 diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114. Undang-undang tersebut lahir sebagai upaya dalam kerangka semangat penyelesaian konflik Aceh yang berkepanjangan, berupa pergolakan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah menampung kembali tatanan luhur nilai-nilai masyarakat Aceh yang unik, egaliter, dan berkeseimbangan duniawi – ukhrawi. 126 Namun dalam pelaksanaannya selama lima tahun, ternyata Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut tidak cukup memadai untuk mengakhiri konflik, dan menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. 126 Lihat, Penjelasan Umum UU Nomor 18 Tahun 2001, alinea ketiga dan kelima. Universitas Sumatera Utara Sehingga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dicabut dan diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasca tsunami 127 dan MoU Helsinki. 128 Mengenai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta lembaga-lembaga adatnya di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, terdapat beberapa ketentuan yang mengaturnya, yaitu : 1 Pasal 149 ayat 1 ditegaskan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk. 2 Pasal 98, Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga adat sebagaimana dimaksud, meliputi: a. Majelis Adat Aceh; 127 Gempa dasyat berkekuatan 9,3 Skala Richter disusul tsunami menghantam sebagian besar Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Siemelu, Pidie, Bireun, Lhokseumawe, dan Kota Sabang telah merenggut nyawa tewas ataupun hilang lebih kurang 300.000 penduduk Propinsi Nanggoe Aceh Darussalam. 128 MoU Memorandum of Understanding Helsinki adalah sebutan sehari‐hari masyarakat Aceh terhadap Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandangani di Helsinki, Finlandia, tanggal 15 Agustus 2005 oleh Hamid Awalluddin mewakili Pemerintah Indonesia dan Malik Mahmud mewakili Gerakan Aceh Merdeka. MoU ini menegaskan komitmen kedua belah pihak Pemerintah RI dan GAM untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Universitas Sumatera Utara b. imeum mukim atau nama lain; c. imeum chik atau nama lain; d. keuchik atau nama lain; e. tuha peut atau nama lain; f. tuha lapan atau nama lain; g. imeum meunasah atau nama lain; h. keujreun blang atau nama lain; i. panglima laot atau nama lain; j. pawang glee atau nama lain; k. peutua seuneubok atau nama lain; l. haria peukan atau nama lain; dan m. syahbanda atau nama lain. Selain istilah masyarakat hukum adat, dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh juga disebutkan secara berkali-kali istilah masyarakat hukum. Dalam Pasal 1 angka 2, angka 3, angka 19, angka 20 masing-masing menyebutkan : 1 Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang gubernur. 2 Kabupatenkota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Universitas Sumatera Utara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupatiwalikota. 3 Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. 4 Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Menurut undang-undang ini, baik Propinsi Aceh, kabupatenkota, mukim, maupun gampong ditegaskan sebagai masyarakat hukum. Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara tersirat memberikan kriteria tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum, yaitu 1 memiliki batas-batas wilayah, 2 berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, 3 berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, dan 4 diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Republik Indonesia. 129 Masyarakat hukum yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditujukan pada daerah otonom dan desa atau nama lain. Sedangkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, secara tegas menentukan bahwa masyarakat hukum itu adalah Aceh sebagai provinsi, kabupatenkota, mukim, dan gampong. Masing-masing tingkatan pemerintahan tersebut memiliki sifat dan kewenangannya masing-masing. 129 Kriteria ini ditarik dari bunyi Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Universitas Sumatera Utara Berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengelolaan hutan, dalam Pasal 148 Undang-Undang Pemerintahan Aceh ditegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan. Masyarakat berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup. Gampong dan mukim di Aceh, bukan hanya merupakan masyarakat hukum sebagaimana dipersamakan secara nasional dengan desa di Jawa, tetapi menurut HM Zainuddin, merupakan Atjeche Organitatie, 130 yaitu pemerintahan khas Aceh.

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup