Mukim berkuasa atas Hutan Ulayatnya

belum ada sesuatu hak, kekuasaan negara adalah langsung dan inilah yang termasuk dalam pengertian tanah negara. 287 Disamping istilah tanah negara, di Aceh terdapat pula istilah tanah desa tanoh gampong dan tanah mukim. Sehingga karenanya dikenal pula istilah uteun gampong dan uteun mukim. Tanah mukim adalah tanah yang dikuasai atau tanah-tanah yang termasuk dalam kekuasaan mukim. Mukim menguasai tanah-tanah yang berada diwilayahnya. Penguasaan mukim terhadap tanah meliputi, baik terhadap tanah yang sudah digarap maupun belum. Bagi tanah yang sudah digarap, kekuasaan mukim atau desa menjadi lemah, dan lazim disebut dengan tanah perseorangan individu tanoh po ureung tertentu. Terhadap tanah yang belum digarap, ataupun tanah yang pernah digarap tetapi sudah menjadi rimba kembali selama letaknya dalam kawasan suatu mukim atau desa termasuk dalam kategori tanah atau hutan tanoh atau uteun gampong atau uteun mukim. Dengan demikian, dimaksudkan dengan uteun mukim adalah hutan dalam wilayah territorial kemukiman yang jaraknya sehari pulang-pergi dari batas gampong terluar, dan belum dimiliki oleh seseorang. Uteun mukim ini merupakan hutan ulayat hak kullah dari mukim yang bersangkutan. Di dalam Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, dijelaskan bahwa, 288 hutan ulayat adalah hutan sejauh sehari perjalanan pulang pergi, di hutan ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara pencari dan Imuem Mukim.

2. Mukim berkuasa atas Hutan Ulayatnya

287 Boedi Harsono, “Undang‐undang Pokok Agraria, Djambatan, Jakarta. 1961. hal. 88. 288 Lihat Penjelasan Pasal 1 angka 7 qanun tersebut. Universitas Sumatera Utara Kekuasaan mukim atas sumberdaya alam merupakan eksistensinya sebagai lembaga pemerintahan otonom, yang mempunyai kekayaan dan sumber keuangan tersendiri asli, sistem kepemimpinan dan hukumnya sendiri, serta tata peradilannya. Sumberdaya Alam SDA yang dikuasai oleh mukim adalah apasaja yang merupakan hak ulayat mukim, baik yang telah dikuasaikelola ataupun yang belum, sepanjang dalam batas jangkauan mereka menurut kriteria hukum adatnya. SDA ini dapat berupa: glee, uteun, pasie, laot, blangumong, peukan, krueng, alue, rawa, paya, kuala, danau, rod, jalan, pareek, dan lain- lain. Pasal 18 Qanun Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, menyatakan bahwa: Harta kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang kemudian dikuasai Mukim, berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya dan lain- lain yang menjadi ulayat Mukim sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang- undangan yang berlaku. Merujuk pada Pasal 18 qanun tersebut, dapat dipahami bahwa SDA yang belum mereka kelola pun merupakan hak ulayat mukim. Makna belum dikelola bukan berarti atau bermaksud ditelantarkan, melainkan sebagai warisan dan hak generasi berikutnya. Jadi dalam perspektif kearifan masyarakat hukum mukim, khususnya yang mendiami kawasan pedalaman, SDA bukan semuanya harus dikuasasi atau dikelola secara sekaligus. Tetapi perlu disisakan untuk kawasan pengelolaan masa depan oleh generasi berikutnya dengan kemampuan yang berkembang sesuai dengan masanya. 289 Berkuasa atau kekuasaan mukim atas SDA bukan berarti dapat dimiliki, tetapi bermakna adanya kewenangan mengatur, memberikan izin, dan melakukan pengawasan. Sedangkan 289 Hasil wawancara dengan Tgk Anwar Sulaiman, Ketua Serikat Imeum Mukim Kabupaten Aceh Jaya, 25 Februari 2008. Universitas Sumatera Utara operasional pelaksanaan pengelolaan SDA dilakukan oleh masing-masing petua adatnya sebagai sebagai satuan kerja perangkat mukim SKPM sesuai dengan jenis SDA-nya, yaitu : • Laot dikelola oleh panglima laot, • Peukan dikelola oleh Haria Peukan, • Blang dikelola oleh Kejruen Blang, • Lampoeh dikelola oleh Petua Seuneubok, • Uteun dikelola oleh Pawang Gleepanglima uteun. Tugas dan fungsi perangkat mukim di atas, cukup eksis pada masa lalu. Tapi kini setelah dieliminasi tiga puluhan tahun oleh rezim Orde Baru, memerlukan perjuangan untuk menegaskan kembali kewenangan Pemerintahan Mukim dalam Pengelolaan SDA-nya. Secara teoritis, makna kewenangan pemerintahan mukim dalam penguasaan SDA, sebenarnya merupakan jabaran dari teori kekuasaan negara terhadap sumberdaya alam yang jabarannya pelaksanaannya dapat dilakukan oleh pemerintah tingkat bawahan, termasuk mukim. Kalau hak menguasai negara HMN atas SDA Indonesia dipahami sebagai hak bangsa atau hak ulayat bangsa, maka hak menguasai mukim merupakan implementasi hak ulayat pada tataran yang lebih nyata. Namun demikian, perlu dipahami bahwa kekuasaan mukim atas SDA, termasuk hutan, bukan dalam makna mukim memiliki, tetapi dalam pengertian mukim berwenang untuk : 1. merumuskan kebijakan beleid, 2. melakukan pengaturan regelendaad, 3. melakukan pengurusan bestuursdaad, 4. melakukan pengelolaan beheersdaad, dan 5. melakukan pengawasan toezichthoundendaad. Universitas Sumatera Utara ` Berkaitan dengan luas kekuasaan atau hak mukim dalam pengelolaan sumberdaya hutan di daerahnya sebagai hak ulayat atas hutan adat mukim uteun mukim. Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 7 Qanun Pemerintahan Mukim, dinyatakan bahwa hutan ulayat mukim adalah hutan sejauh sehari perjalanan pulang pergi, di hutan ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara pencari dan Imuem Mukim. Dari ketentuan di atas, jelas bahwa batas wilayah hutan ulayat mukim adalah sejauh sehari perjalanan kaki pergi-pulang. Ini berarti, dapat pula dipahami, bahwa di luar jangkauan tersebut bukan lagi hutan ulayat mukim. Dan karenanya, tidak merupakan tanggung jawab atau wilayah kelola mukim. Di luar jangkauan sehari pergi-pulang inilah yang oleh Teuku Ibrahim Elhakimy dinamakan sebagai wilayah hak kullah tak bertuan. Artinya, wilayah tersebut masih merupakan hak kullah yang belum dihaki oleh manusia. 290 Mengacu pada pemahaman seperti inilah, saya usulkan perlunya revisi Pasal 5 Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mengklasifikasi status hutan hanya sebagai 1 hutan negara, dan 2 hutan hak, dimana hutan adat termasuk dalam hutan negara. Menurut saya, mengacu pada fakta historis dan empiris mukim sebagai masyarakat Adat di Aceh – kiranya demikian pula masyarakat adat di daerah-daerah lain, yang juga mengklaim menguasai hutan ulayatnya, maka hemat saya, idealnya, klasifikasi status hutan menjadi : 1. hutan hak, 2. hutan adat, dan 3. hutan negara. 290 Lihat, Teuku Ibrahim El Hakimy, Studi Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, Fakultas Hukum – Univ. Syiah Kuala, Banda Aceh, 1985, hal. 34. Universitas Sumatera Utara

3. Macam dan Jenis Tanah menurut Hukum Adat Aceh