Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Sifat Masyarakat Hukum Adat

hutan adat oleh masyarakat hukum adat, belum pernah dilakukan secara mendalam pada tingkat disertasi. Namunpun demikian, terdapat penelitian terdahulu yang relevan untuk mendukung pentingnya dilakukan penelitian ini, antara lain: penelitian Amiruddin mengenai hak masyarakat hukum adat terhadap hasil hutan. Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa, sekalipun secara juridis formal telah mengakui hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan. Tetapi jika kawasan tersebut diberikan hak pengusahaan hutan HPH maka hak masyarakat hukum adat diharuskan mengalah demi kepentingan yang secara formal telah mendapat hak atas kawasan tersebut. Sehubungan dengan kesimpulan tersebut, disarankan oleh Amiruddin, agar diterbitkan ketentuan yang memuat antara lain tentang legitimasi secara konkrit terhadap hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan dan sekaligus menetapkan hak dan kewajiban warga dalam melaksanakan hak memungut hasil hutan tersebut. Sehingga dengan pengaturan tersebut diharapkan pemberdayaan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dan hasil hutan, yang karenanya, disamping terjaminnya kelestarian fungsi hutan juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat hukum adat setempat. 66

F. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang diajukan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan dan mendeskripsikan: 1. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan dan masyarakat hukum adat. 66 Amiruddin A. Wahab, dkk. Loc. Cit. 2. Kondisi dan karakteristik hutan Aceh, serta kebijakan kehutanan di Provinsi Aceh saat ini. 3. Penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat Aceh mukim.

G. Manfaat Penelitian

Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu hukum, terutama bagi hukum kehutanan adat yang senyatanya hingga hari ini masih langka literatur dan peminatnya. Selanjutnya, bagi kepentingan praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai bahan masukan bagi pengembangan Hukum Adat dan Hukum Kehutanan, serta dapat pula menjadi bahan masukan dalam rangka revisi Undang-Undang Kehutanan, penyusunan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat dan Masayrakat Hukum Adat, Qanun KabupatenKota tentang Pemerintahan Mukim, serta Qanun KabupatenKota tentang Hutan Adat, sehingga dengan masukan dari hasil penelitian ini, diharapkan substansi pengaturan hutan adat dapat bernuansa lebih ilmiah.

H. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian

Ditinjau dari spesifikasinya, 67 penelitian ini lebih condong 68 merupakan penelitian deskriptif analitik, 69 yang berupaya menelaah dan mendeskripsikan secara sistematis 67 Spesifikasi penelitian merupakan segala persyaratan yang harus dipenuhi di dalam suatu penelitian, yang didekatkan kepada jenis penelitian apa yang akan dilakukan dan bagaimana menganalisis permasalahan yang diajukan. Lihat; Idham, Kajian Kritis Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah di Sumatera Utara, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Univ. Sumatera Utara, Medan, 2004, hlm 24. Sehubungan dengan spesifikasi penelitian, Sumadi Suryabrata mengemukakan, berdasarkan sifat‐sifat masalahnya, rancangan penelitian dapat digolongkan menjadi hukum-hukum positif, baik hukum peraturan perundang-undangan maupun hukum adat yang berlaku pada masyarakat hukum adat mukim di lokasi penelitian penguasaan atas pengelolaan hutan adat.

2. Pendekatan penelitian

Untuk mengungkapkan permasalahan yang diajukan, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif doktrinal dan penelitian hukum empiris non doctrinal. 70 Artinya, disamping melakukan telahan terhadap asas-asas, norma-norma, dan aturan-aturan hukum, baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis Hukum Adat, penelitian ini juga mengungkapkan fakta sosiologis bekerjanya hukum sembilan macam, yaitu: 1. penelitian historis, 2. deskriptif, 3. perkembangan, 4. kasus, 5. korelasional, 6. kausal ‐komparatif, 7. eksperimental sungguhan, 8. eksperimental semu, dan 9. penelitian tindakan. Lihat; Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Rajawali Pers, Jakarta, 1987, hlm. 16. Lihat juga; Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 33. 68 Dalam hal ini Soenarjati Hartono mengemukakan; kiranya sulit diterima, bahwa untuk sekian banyak macam penelitian hanya satu metode penelitian saja yang paling cocok dan benar. Tambahan pula beraneka ragam penelitian dan penulisan itu biasanya tidak muncul dalam bentuk yang murni, tetapi menunjukkan sifat yang condong ke arah overheersend salah satu bentuk penelitian. Sehingga para peneliti tidak menggunakan satu metode penelitian danatau satu gaya penulisan saja, tetapi menggunakan suatu kombinasi dari beberapa metode penelitian dan gaya penulisan secara serentak. Lihat; Soenarjati Hartono, Kembali ke Metode Penelitian Hukum, dalam Kumpulan Bahan Bacaan Penataran Metode Penelitian Hukum, FH UI, Jakarta, 1997, hlm. 120. 69 Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat pencandraan deskripsi secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta‐fakta dan sifat‐sifat atau daerah tertentu. Sumadi Suryabrata, Op. Cit., hlm. 19. Sedangkan untuk penelitian preskriptif –analitik terdapat hal yang sifatnya problematik yang memerlukan pemecahan masalah secara preskriptif. Lihat, M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Penelitian, Mandar Maju, Bandung, 1994, hlm. 77. 70 Istilah penelitian hukum normatif dan penelitian hukum empiris dikemukan oleh Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, 1986, hlm. 51. Penelitian hukum normatif meliputi penelitian terhadap asas‐asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan penelitian perbandingan hukum. Penelitian hukum sosiologis atau empiris teridiri dari penelitian terhadap identifikasi hukum, dan penelitian terhadap efektivitas hukum. Sedangkan Soetandyo Wignyosoebroto, Hukum dan Metoda‐ metoda Kajiannya, dalam Kumpulan Bahan Penataran Metode Penelitian Hukum, FH UI, Jakarta, 1997, hlm. 228‐246, menggunakan istilah penelitian hukum doktrinal dan penelitian hukum non doktrinal. Penelitian hukum doktrinal dimaksudkannya berupa : penelitian inventarirasi hukum positif, penelitian penemuan asas‐asas hukum, dan penelitian penemuan hukum in concreto. Penelitian non doktrinal, yaitu penelitian berupa studi‐studi empiris untuk menemukan teori‐teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat Lihat juga; Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hlm. 43. dalam masyarakat hukum adat, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan dan pengelolaan hutan.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa kabupaten dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yaitu : Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Aceh Barat. Pemilihan sampel lokasi penelitian ditentukan dengan menggunakan tehnik purposive sampling, yang mempertimbangkan kriteria-kriteria letak geografis, etnik, dan kultur. 71 Berdasarkan teknik dan kriteria tersebut, dipilih beberapa kecamatan dan mukim, yaitu : Kecamatan Leupung, Kecamatan Lhoong, dan Kecamatan Indrapuri di Kabupaten Aceh Besar; Kecamatan Tangse dan Kecamatan Geumpang di Kabupaten Pidie; Kecamatan Krueng Sabee dan Kecamatan Jaya di Kabupaten Aceh Jaya; Kecamatan Woyla, Kecamatan Samatiga, dan Kecamatan Sungai Mas di Kabupaten Aceh Barat. Selanjutnya, dari setiap kecamatan tersebut dipilih lagi beberapa kemukiman yang diperkirakan memiliki hutan adat dan dari segi keamanan peneliti relatif memungkinkan untuk dapat melakukan penelitian lapangan field research. Kemukiman-kemukiman 71 Penelitian untuk mendapatkan informasi‐informasi dengan sampel bertujuan purposive sampling ini dilakukan terhadap dua atau tiga daerah kunci key‐areas atau beberapa kelompok kunci key ‐groups. Jadi tidak semua daerah, dan tidak semua kelompok dan rumpun dalam populasi yang diselidiki. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hlm. 58. Purposive sampling penarikan sampel bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subyek yang didasarkan pada tujuan tertentu, harus memenuhi persyaratan berikut: 1 harus didasarkan pada ciri‐ciri, sifat ‐sifat atau karakteristik tertentu yang merupakan ciri‐ciri utama populasi, 2 subyek yang diambil sebagai sampel harus benar‐benar merupakan subyek paling banyak mengandung ciri‐ciri yang terdapat pada populasi, dan 3 penentuan karakteristik populasi dilakukan dengan teliti dalam studi pendahuluan. Lihat; Oloan Sitorus dan Darwinsyah Minin, Cara Menyelesaikan Karya Ilmiah Bidang Hukum, Mitra Kebijakan Tanah Indonesia, Yogyakarta, 2003, hlm. 40. yang diteliti adalah Mukim Leupung, Mukim Blangmee, Mukim Reukih Aceh Besar, Mukim Guci, Mukim Manee, Mukim Geumpang Pidie, Mukim Krueng Sabee dan Mukim Teumarem Aceh Jaya, Mukim Layan, Mukim Tungkop, Mukim Woyla Tunong Aceh Barat.

4. Informan dan Responden

Informan dan responden penelitian ini adalah orang-orang yang dapat memberikan informasi atau jawaban-jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Mereka itu adalah: ƒ Pejabat Biro Hukum Pemerintah Aceh, ƒ Pejabat Dinas Kehutanan dan Balai Konservasi SDA Provinsi Aceh, ƒ Majelis Adat Aceh ƒ Pegiat LSM Lingkungan Walhi, PuGAR, WWF Aceh, FFI ƒ Pegiat LSM Masyarakat Adat JKMA, AMAN, YRBI ƒ Para Camat setempat, ƒ Para Imeum Mukim setempat, ƒ Para Pawang glee panglima Uteun ƒ Para Petua Seneuboek, ƒ Para Keuchik, dan ƒ Para tokoh masyarakat setempat.

5. Bahan hukum yang diteliti

Dokumen-dokumen hukum yang diteliti dikategorikan dalam bahan hukum primer, bahan hukum skunder, dan bahan hukum tertier. Bahan hukum primer dimaksud adalah peraturan perundang-undangan 72 dan ketentuan-ketentuan adat sebagaimana dituturkan oleh petua-petua adat. Bahan hukum skunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa: rancangan undang- undang, rancangan peraturan pemerintah, rancangan qanun, hasil-hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum. Sedangkan bahan hukum tertier adalah bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; seperti: kamus, ensiklopedi, karya ilmiah non hukum, dan lain-lain. 73 Mengacu pada jenis dan hirarkhi Peraturan Perundang-Undangan Republik Indonesia, maka bahan hukum primer yang ditelaah dalam penelitian ini adalah : 74 1. Undang-Undang Dasar 1945; 2. Undang-undang Peraturan pemerintah Pengganti Undang-undang 3. Peraturan Pemerintah; 4. Peraturan Presiden; dan 5. Peraturan Daerah atau Qanun.

6. Teknik Pengumpulan Data

Guna memperoleh data yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, maka dilakukan dua tahap penelitian, yaitu penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Penelitian kepustakaan dimaksudkan untuk melakukan telaahan terhadap bahan- bahan hukum; baik bahan hukum primer, sekunder maupun tertier. Bahan-bahan hukum tersebut diperoleh pada: 72 Menurut Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Predana Media Group, Jakarta, 2007, hal. 144. Bahan primer utama dalam penelitian hukum di Indonesia yang menganut system civil law adalah peraturan perundang‐undangan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum. 73 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta, 1985, hlm. 14‐15. Lihat Peter Mahmud Marzuki, Ibid, hal. 163. 74 Lihat Pasal 7 Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang ‐undangan. • Perpustakaan Universitas Syiah Kuala, • Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, • Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, • Perpustakaan Negeri Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, • Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, • Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, • Perpustakaan Departemen Kehutanan di Jakarta, • Perpustakaan Badan Pembinaan Hukum Nasional Jakarta, • Perpustakaan Universitas Indonesia, dan • Perpustakaan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri di Yogyakarta, Prosedur pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara menulis, mengetik, scan, dan copy segala informasi yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Hasil dari penelitian kepustakaan tersebut, selanjutnya dilakukan identifikasi, inventarisasi dan telaahan secara cermat dan mendalam. Sedangkan penelitian lapangan dimaksudkan untuk mendapatkan data primer yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian dengan cara mewawancarai para informan dan responden, terutama dengan tokoh-tokoh masyarakat hukum adat yang bermukim di sekitar kawasan hutan adat. 75 Untuk memperoleh data primer yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan, disiapkan pedoman wawancara sebagai alat pengumpul data. Dalam penelitian ini digunakan pedoman wawancara yang bersifat tidak terstruktur, 76 yang hanya memuat 75 Dalam hal ini, Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Pers, Jakarta, 1986, hlm 52. mengemukakan, bahwa biasanya, pada penelitian hukum normatif yang diteliti hanya bahan pustaka atau data sekunder, yang mungkin mencakup bahan hukum primer, sekunder dan tertier. Sedangkan pada penelitian hukum sosiologis atau empiris, maka yang diteliti pada awalnya adalah data sekunder, untuk kemudian dilanjutkan dengan penelitian terhadap data primer di lapangan, atau terhadap masyarakat. 76 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hlm. 182. Menurutnya, secara garis besar ada dua macam pedoman wawancara: 1 pedoman wawancara garis-garis besar yang akan ditanyakan kepada responden, yang relevan dengan permasalahan penguasaan dan pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat mukim setempat.

7. Analisis Data

Pada dasarnya analisis data mulai dilakukan sejak dimulainya proses penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Sehingga sejak awal setiap data atau informasi dapat diklarifikasi kebenarannya. Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu setelah data, baik data sekunder maupun data primer, yang diperlukan terkumpul, maka data yang diperoleh tersebut diolah, diorganisasikan dan dikelompokkan dalam klasifikasi menurut pokok permasalahan dan selanjutnya dibahas secara deskriptif analitik. 77

I. Sistematika Penulisan

Disertasi ini terdiri dari 5 lima bab dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I memuat pendahuluan yang mencakup; latar belakang, perumusan masalah, asumsi, kerangka teori dan konsepsi, keaslian penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. tidak terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang hanya memuat garis‐garis besar yang akan ditanyakan. Dalam hal ini diperlukan kreatifitas pewawancara, karena pedoman wawancara lebih banyak tergantung pada pewawancara, dan 2 pedoman wawancara terstruktur, yaitu pedoman wawancara yang disusun secara terperinci sehingga menyerupai chekslist, dimana pewawancara tinggal membubuhkan tanda v check pada nomor yang sesuai. Dan modifikasi dari keduanya itu adalah pedoman wawancara yang semi struktur. 77 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2002, hlm. 112‐ 113. Menuliskan bahwa analisis data bermaksud pertama‐tama mengorganisasikan data. Pekerjaan analisis data dalam hal ini ialah mengatur, mengurutkan, mengelompokkan, memberikan kode dan mengkategorikannya. Sedangkan pengolahan data adalah kegiatan pendahuluan dari analisis data, yang meliputi kegiatan editing dan koding. Lihat; Soetandyo Wignyosoebroto, Pengolahan dan Analisa Data, dalam Metode‐metode Penelitian Masyarakat, Gramedia, Jakarta, 1989, hal. 270. Bab II tentang inventarisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan dan masyarakat hukum adat, yang membahas sejarah pengaturan kehutanan di Indonesia, peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat hukum adat, sifat masyarakat hukum adat, hak ulayat masyarakat hukum adat, dan dasar hak penguasaan hutan oleh masyarakat hukum adat. Bab III memuat tentang kondisi dan kebijakan kehutanan di Provinsi Aceh. Pembahasannya meliputi kondisi dan karakteristik hutan Aceh, pemanfaatan sumberdaya hutan, kerusakan hutan Aceh, kebijakan kehutanan di Aceh dan strategi pengelolaan hutan Aceh yang berkelanjutan. Bab IV tentang kekuasaan mukim atas hutan adat. Pembahasannya meliputi; mukim dan eksistensinya, penguasaan hutan adat oleh mukim, proses peralihan hak mukim untuk hak perorangan, dan pengelolaan hutan adat di Aceh. Bab V sebagai bab penutup memuat tentang kesimpulan dan saran, daftar pustaka, riwayat hidup penulis, dan lampiran-lampiran. BAB II PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR TENTANG KEHUTANAN DAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

A. Sejarah Pengaturan Kehutanan di Indonesia

Pembahasan perkembangan hukum kehutanan Indonesia dapat dikategorikan dalam tiga historika, yaitu pengaturan kehutanan sebelum penjajahan, masa penjajahan Pemerintah Hindia Belanda, dan masa setelah kemerdekaan.

1. Sebelum Penjajahan

Pada masa sebelum penjajahan Belanda, persoalan kehutanan diatur oleh hukum adat masing-masing komunitas masyarakat. Sekalipun pada masa itu tingkat kemampuan tulis baca anggota masyarakatnya masih rendah, tetapi dalam setiap masyarakat tersebut tetap ada hukum yang mengaturnya. Von Savigny mengajarkan bahwa hukum mengikuti jiwasemangat rakyat volkgeist dari masyarakat tempat hukum itu berlaku. Karena volkgeist masing-masing masyarakat berlainan, maka hukum masing-masing masyarakat juga berlainan. 78 Hukum yang dimaksudkan dan dikenal pada masa itu adalah hukum adat. Iman Sudiyat menyimpulkan, Hukum Adat itu hukum yang terutama mengatur 78 Pendapat Savigny ini dipengaruhi oleh pemikiran de Montesque dalam bukunya berjudul “L Esprit de Lois” yang mengemukakan adanya hubungan antara jiwa atau semangat spirit sesuatu bangsa dengan hukumnya. Lihat, Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Dasar‐Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 64. Universitas Sumatera Utara tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungannya satu sama lain, baik berupa keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup dalam masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat. 79 Era zaman sebelum masuknya pengaruh asing Zaman Malaio Polinesia, kehidupan masyarakat di nusantara ini mengikuti adat istiadat yang dipengaruhi oleh alam yang serba kesaktian. 80 Alam kesaktian tidak terletak pada alam kenyataan yang dapat dicapai dengan pancaindera, melainkan segala sesuatunya didasarkan pada apa yang dialami menurut anggapan semata-mata terhadap benda kesaktian, paduan kesaktian, sari kesaktian, sang hyiang kesaktian, dan pengantara kesaktian. 81 Pada masa itu, pengantara kesaktian memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakatnya, termasuk dalam proses menemukan dan memberikan hukuman. Sedangkan pada zaman Hindu, tepatnya dimasa Raja Tulodong, Kerajaan Mataram yang meliputi wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ibukotanya Medang di Grobongan. Raja tersebut pernah mengeluarkan titah pada tahun 919 M yang mengatur hak raja atas tanah, bahwa tanah hutan yang diperlukan raja ditentukan oleh raja sendiri batasnya, tetapi apabila menyangkut tanah sawah hak milik rakyat maka raja harus membelinya lebih dahulu. 82 Hemat kami, inilah awal mulanya pengakuan resmi bahwa 79 Iman Sudiyat, Asas‐Asas Hukum Adat, Liberty, Yogyakarta, 1985 hlm. 20. 80 Hilman Hadikusuma, Sejarah Hukum Adat Indonesia, Alumni, Bandung, 1983, hlm. 14. 81 H.M. Yamin, Tatanegara Madjapahit Sapta Parwa I, Prapanca, Djakarta, tt, hlm. 67. 82 Ibid., hlm. 19 Universitas Sumatera Utara hutan dan segala isinya berada di bawah kekuasaan raja. Sejak masa tersebutlah dikenal istilah hutan kerajaan, yang kemudian terus populer di sebagian besar wilayah nusantara. Kerajaan Mataram Hindu tersebut telah ikut dalam jaringan perdagangan internasional, sehingga hutan alam jati Jawa yang menghasilkan kayu dengan nilai tinggi juga mulai dijamah. Serupa dengan kayu oak di Eropa, kayu jati sangat cocok untuk memenuhi berbagai macam kepentingan, termasuk untuk membuat kapal. Oleh karena itu di samping dijual pada pasar internasional, penebangan kayu jati dari hutan Jawa telah pula mendorong tumbuhnya industri perkapalan, sehingga dengan industri kapal para pedagang Jawa mampu mengarungi samudra untuk berdagang ke segenap penjuru Asia dan Afrika yang menjadikan kemakmuran Jawa semakin meningkat. Penebangan kayu jati di Jawa terus berlanjut sampai kedatangan bangsa Belanda di akhir abad ke-16. 83 Berbeda halnya dengan di Aceh, setelah masuknya Agama Islam pada tahun 1078 M di Peurlak dan Kerajaan Pasai, 84 maka semua tatanan kehidupan masyarakatnya dipengaruhi oleh ajaran agama Islam, termasuk tatanan hukumnya. Hak tertinggi dalam penguasaan tanah dan hutan di Aceh bukanlah pada raja, melainkan pada Allah yang Maha Kuasa. 83 Hasanu Simon, Aspek Sosio‐Teknis Pengelolaan Hutan Jati di Jawa, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 6. 84 Pada tahun 1078 M tersebut telah berdirinya Kerajaan Islam Peurlak dan Pasai, tulis; HM Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan 1961, hlm. 250. Berarti, kedatangan ajaran Islam ke Aceh yang disyiarkan oleh saudagar‐saudagar ArabParsia lebih dahulu dari tahun tersebut. Pendapat ini senada dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Aboebakar Aceh, dalam; Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, Ramadhani, Solo, 1971, hlm. 43. Terakhir, oleh Ampuh Devayan, dkk editor dalam buku; Spektrum Banda Aceh, DKA Banda Aceh, 2007, hlm.22, dengan merujuk pada majalah Al Araby terbitan januari 1897 di Kuweit, disebutkan bahwa “…tempat yang mula‐mula masuk Islam, ialah ujung Sumatera Bagian Utara dalam tahun 55 H 273M pada masa Khulafaur Rasyidin. Kerajaan Islam yang mula‐mula di Peureulak tahun 225 H 804M dengan rajanya yang pertama Sultan Alaidin Sayyid Maulana Abdullah Aziz Syah. Setelah itu berdirilah Kerajaan Aceh Bandar Darussalam yang berasaskan Islam dalam tahum 601 H. Universitas Sumatera Utara Semua tanah dan hutan dalam wilayah kemukiman di Aceh selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah hak Allah atau uteun poeteu Allah. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk desanya. 85 Sehubungan dengan hal ini, Snouck Hurgronje menuliskan dalam bukunya de Atjehers, menuliskan tentang pola penguasaan hutan pada masa prakolonial, yaitu : Barang siapa hendak menggarap rimba ataupun hendak mengumpulkan hasil-hasil hutan termasuk: berburu dan mencari ikan adalah bebas seluruhnya. Satu-satunya pembatasan kebebasan tersebut itu ialah jika seseorang hendak membuka ladang, kebun atau sawah yang letaknya berdekatan dengan tanah yang telah digarap orang lain haruslah ia meminta keizinan kepadanya atau kepala daerah yang bersangkutan. Untuk memperoleh izin itu tidak perlu dibayar apa-apa; hanya saja di masa dahulu dari penghasilan- penghasilan yang dikumpulkan itu harus dibayar cukai biasa wasee kepada ulee balang. 86

2. Masa Penjajahan

85 T.I. El Hakimy, Hukum Adat Tanah Rimba di Kemukiman Leupung Aceh Besar, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, FH Unsyiah, Banda Aceh , 1984, hlm. 11. 86 Lihat; M. Isa Sulaiman dan HT. Syamsuddin ed., Pedoman Adat Aceh : Peradilan dan Hukum Adat, Ed II, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh , Prov. NAD, 2002, hlm. 174, yang dikutip dari Snouck Hurgronje, de Atjehers I: 308 the Achehnese I: 285. Universitas Sumatera Utara Perkembangan hukum kehutanan selama masa penjajahan dapat diklasifikasikan dalam dua masa, yaitu masa penjajahan oleh Vereenigde Oost Indische Compagnie VOC dan Penjajahan Hindia Belanda.

a. Masa Penjajahan oleh VOC 1602 – 1799

Sebelum dijajah oleh Pemerintah Hindia Belanda, nusantara ini, terutama Jawa dan Madura, berada dibawah penjajahan Verenigde Oost Indische Compagnie VOC, yang lebih populer dengan sebutan kompeni. Kompeni ini melakukan penjajahan untuk mendapatkan komoditas dagang dengan biaya dan harga murah. Selain rempah-rempah, lada dan kopi, hasil hutan pun, terutama kayu jati Jawa juga menjadi andalan komoditi perdagangan mereka. Pada masa sebelum VOC berkuasa 1619, para raja di Jawa masih mempunyai kekuasaan dan kepemilikan atas tanah dan hutan di wilayah pemerintahannya. Raja mendistristribusikan tanah kepada pegawai-pegawai istana untuk membiayai kegiatan mereka dan sebagai pengganti gaji yang harus diterimanya. Tanah yang dibagikan oleh raja dan pejabat-pejabat istana kepada penduduk berfungsi sebagai sumber pendapatan dan sumbangan tenaga kerja untuk kerajaan. 87 Pada waktu VOC mulai terlibat dalam kegiatan penebangan kayu timber extraction, para pekerja dari penduduk desa sekitar hutan sudah mempunyai ketrampilan yang tinggi. Karenanya, VOC tinggal mengatur dan memanfaatkan ketrampilan penduduk tersebut untuk meningkatkan intensitas penebangan kayu agar lebih banyak uang yang diperoleh VOC. 87 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra Pratama, Jakarta, 1995, hlm. 8. Universitas Sumatera Utara Sejak tahun 1620 kompeni mengeluarkan larangan penebangan kayu tanpa izin, dan diadakan pemungutan cukai atas kayu dan hasil hutan. Besarnya cukai dimaksud adalah sepuluh persen 10. Pada tanggal 10 Mei 1678, kompeni memberikan izin kepada saudagar Cina yang bernama Lim Sai Say untuk menebang kayu di seluruh daerah sekitar Betawi, dan mengeluarkannya dari hutan untuk keperluan kota, asal membayar cukai sepuluh persen. Sekitar tahun 1760, hutan daerah Rembang sebagian besar sudah ditebang habis oleh kompeni. Kemudian kompeni memerintahkan orang-orangnya dari Rembang untuk menebang kayu di Blora, daerah kekuasaan susuhunan. Pada masa itu, kompeni menganggap bahwa sumber daya alam hutan dan semua lahannya, baik yang diperolehnya karena penaklukan atau karena perjanjian adalah menjadi kepemilikannya. Suatu keputusan yang dicantumkan dalam Plakat tanggal 8 September 1803, yang berlaku untuk daratan dan pantai pesisir Timur Laut Pulau Jawa mulai dari Cirebon sampai ke pojok Timur, yang menegaskan bahwa semua hutan kayu di Jawa harus dibawah pengawasan kompeni sebagai hak milik domein dan hak istimewa raja dan para pengusaha regalita. Tidak seorang pun, terutama terhadap hutan yang sudah diserahkan oleh Raja kepada kompeni, boleh menebang kayu, apalagi menjalankan suatu tindakan kekuasaan. Kalau larangan ini dilanggar, maka pelanggarnya akan dijatuhi hukuman badan. 88 Dari gambaran historis di atas, dapat dikemukakan beberapa hal. Pertama, sejak menguatnya kekuasaan VOC di Jawa telah menimbulkan implikasi pada beralihnya 88 Lihat, Bambang Pamulardi, Hukum Kehutanan Pembangunan Bidang Kehutanan, Rajawali Pers, Jakarta 1999, hlm 10‐14. Universitas Sumatera Utara pemilikan dan penguasaan domein terhadap tanah lahan dari domein raja menjadi domeinnya kompeni. Raja tak lagi berdaya atas wilayah hutan dalam kerajaannya. Namun pun demikian, hasil hutan berupa kayu masih dapat diperuntukkan bagi kepentingan raja dan bupati. Sedangkan rakyat jelata, tidak ada lagi hak atas hutan disekitarnya gemeente. Kedua, pada masa kompeni sudah ada peraturan dan penerapan hukum kehutanan bagi masyarakat. Pemberlakuan hukum kehutanan pada masa itu lebih diutamakan untuk kepentingan kompeni dalam mengeksploitasi dan mengeksplorasi sumber daya alam. Pada waktu itu ada anggapan, bahwa hak rakyat atas hutan jati hanya dilimpahkan kepada kelompok orang tertentu, tidak kepada setiap orang. Hal ini seperti tertuang dalam Plakat tanggal 30 Oktober 1787 yang memberi izin kepada awak hutan boskhvolkenen, yang bekerja sebagai penebang kayu untuk kepentingan kompeni. Ketiga, merujuk pada Surat Keputusan Kompeni tanggal 10 Mei 1678 tentang pemberian izin menebang kayu kepada saudagar Cina, dapatlah dipahami bahwa sejak pemerintahan zaman kompeni sudah ada kolaborasi antara etnis Cina dengan para penguasa dalam hal eksploitasi sumber daya hutan, terutama kayu. Mengingat telah terlalu lama etnis Cina berkiprah dalam bidang perhutanan, maka wajar saja kalau sebagian besar izin HPH hak pemanfaatan hasil hutan dipegang oleh kelompok mereka hingga sekarang ini. Banyaknya kasus kerusakan hutan di berbagai daerah di nusantara ini, terindikasi kuat akibat ulah para pengusaha tersebut, yang senyatanya dikuasai oleh kalangan nonpribumi. Karena hutan tempat resapan air telah digunduli, maka pribumi, masyarakat Universitas Sumatera Utara adat di pedesaan dan kelompok marginal perkotaan seringkali harus menjadi korban banjir. Keempat, yang penting dikemukakan dalam konstelasi hukum kita, adalah musnahnya hak ulayat wewengkon atas penguasaan hutan desa oleh masyarakat desa di Jawa selama penjajahan VOC. Hutan di wewengkon desa tertentu hanya boleh ditebang atau dimanfaatkan oleh warga dari desa yang bersangkutan. Orang dari desa lain, kalau hendak mengambil kayu dari hutan, harus minta izin kepada demang petinggi desa tersebut. 89

b. Masa Penjajahan Hindia Belanda 1850 – 1942

Sekalipun pengaturan dalam bentuk peraturan tertulis tentang kehutanan sudah ada sejak berkuasanya VOC. Tetapi secara lebih meluas, momentum awal pembentukan hukum tentang kehutanan di Indonesia, dapat dikatakan dimulai sejak tanggal 10 September 1865, yaitu dengan diundangkannya pertama sekali Reglemen tentang Hutan Boschreglement 1865. 90 Reglemen ini merupakan awal mula adanya pengaturan secara tertulis upaya konservasi sumber daya hayati. Koesnadi Hardjasoemantri mengemukakan bahwa, konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia dimulai dengan peraturan mengenai kehutanan di Jawa dan Madura, yaitu dengan ditetapkannya Reglement op het beheer en de exploitatie de houtbossen op Java en Madoera 1865. Pada tahun 1897 diganti lagi dengan Reglement voor het beheer der bosschen op Java en Madoera, 89 Hasanu Simon, Op. Cit. hlm. 22. 90 Lihat; Salim, Dasar‐Dasar Hukum Kehutanan, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 22‐23. Dan lihat juga, Bambang Pamulardi, Op. Cit., hlm 17 – 19. Universitas Sumatera Utara keduanya berlaku sampai tahun 1913. Adapun yang dipakai sebagai landasan kerja Jawatan Kehutanan adalah yang ditetapkan pada tahun 1927, yaitu Reglement voor de beheer de boscchen van den Lande op java en Madoera, yang dikenal juga sebagai Boschordonantie voor Java en Madoera 1927. 91 Berdasarkan reglemen 1865 atas ada beberapa hal yang dapat dikemukakan, yaitu: Pertama. Reglemen Hutan 1865 tersebut merupakan awal adanya instrumen hukum tertulis yang secara juridis formal telah meniadakan hak dan kekuasaan masyarakat adat terhadap wilayah hutan adat dengan hak ulayat di sekitarnya. Sekalipun reglemen tersebut mulanya hanya berlaku untuk wilayah sebagian besar daerah di Pulau Jawa, tetapi pola penguasaan seperti ini yang menghilangkan keberadaan hutan desa gemeente, menjadi model untuk merampas kekuasaan masyarakat adat atas hak ulayat terhadap hutan adatnya. Kedua, Kekayaan hutan kita telah menjadi komoditi penting dan potensi ekonomi strategis, yang mengundang minat kaum kapitalis dan imperalis untuk melakukan penjajahan. Apalagi kemampuan sumber daya manusia dan kekuatan persenjataan rakyat Jawa pada masa itu berada jauh di bawah kemampuan imperalis dari Eropah, sehingga pada masa itu tak ada perlawanan gigih yang dilakukan oleh raja-raja dan kaula kerajaan Jawa untuk mempertahankan kekuasaan atas wilayah hutan yang dimilikinya. Setelah diberlakukan selama sembilan tahun, ternyata Reglemen Hutan 1865 ditemukan beberapa kelemahan yang menjadi permasalahan dalam pelaksanaannya. Ada dua masalah utama yang muncul dalam pelaksanaan Reglemen Hutan 1865, yaitu: 1 91 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan; KonservasiSsumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, UGM Press, Yogyakarta 1993, hlm.1. Universitas Sumatera Utara musnahnya hutan yang dikelola secara tidak teratur, disebabkan adanya pemisahan hutan jati yang dikelola secara teratur dan tidak teratur, dan 2 banyaknya keluhan mengenai pembabatan hutan guna pengadaan kayu untuk rakyat, pembangunan perumahan, perkapalan, bahan bakar, dan lain-lain. 92 Berdasarkan dua masalah di atas, Pemerintah Hindia Belanda meninjau kembali Reglemen Hutan 1865, dan kemudian diganti dengan Reglemen 1874 tentang Pemangkuan Hutan dan Eksploitasi Hutan di Jawa dan Madura. Reglemen ini diundangkan pada tanggal 14 April 1874. Reglemen hutan 1874 pada perkembangan berikutnya diubah dengan reglemen 26 Mei 1882 dan reglemen 21 Nopember 1894, tetapi kemudian diganti sama sekali berdasarkan reglemen tanggal 9 Februari 1897 yaitu tentang Pengelolaan Hutan-hutan Negara di Jawa dan Madura 1897. Kemudian, dengan Keputusan Gubernur Jenderal Nomor 21 tanggal 9 Februari 1897 ditetapkan pula peraturan pelaksanaannya, yaitu Reglemen untuk Jawatan Kehutanan Jawa dan Madura dienstreglement. Reglemen ini berisikan ketentuan-ketentuan tentang organisasi Jawatan Kehutanan dan ketentuan pelaksanaan Boschreglemen. 93 Reglemen Hutan 1897 berlaku selama kurang lebih 16 tahun. Kemudian, dengan diundangkannya reglemen baru tentang hutan Jawa dan Madura pada Tanggal 30 Juli 1913, maka reglemen hutan 1897 tidak berlaku lagi. Reglemen baru ini dikenal dengan nama Reglemen untuk Pemangkuan Hutan Negara di Jawa dan Madura 1913, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1914. 92 Salim, Op. Cit., hlm. 22. 93 Bambang Pamulardi, Op. Cit. hlm. 21. Universitas Sumatera Utara Sesuai dengan prinsip kemutakhiran tentu saja substansi pengaturan dalam Reglemen Hutan 1913 lebih lengkap dibandingkan dengan tiga reglemen hutan terdahulu. Tetapi karena ditemukan berbagai hambatan dalam implementasinya, maka reglemen tersebut kemudian dirubah dan disesuaikan dengan perkembangan zaman dengan Ordonansi Hutan 1927. Ordonansi Hutan 1927 ini sebenarnya bernama Reglemen voor het Beheer der Bossen van den lande op Java en Madura 1927, yang secara singkat dan lebih populer dengan Bosordanntie voor Java en Madura. Ordonansi ini diundangkan dalam Lembaran Negara 1927 Nomor 221, dan terakhir diubah dan ditambah dengan Lembaran Negara 1940 Nomor 3. Hak-hak masyarakat setempat untuk memperoleh manfaat dari hutan dalam Boschodonantie meliputi hak mengambil kayu dan hasil hutan lainnya, menggembala dan mengambil rumput. Kayu-kayu yang boleh diambil oleh penduduk setempat adalah sisa- sisa kayu yang tidak dipungut oleh Jawatan Kehutanan, kayu mati ataupun pohon-pohon yang rebah di hutan rimba sepanjang untuk keperluan sendiri, bukan untuk diperdagangkan. Adapun peraturan pelaksana dari Ordonansi Hutan 1927 ini adalah Reglemen voor de Dienst van het Boshwezen voor Java en Madoera yang disingkat dengan Boschdienstreglement voor Java en Madoera, yang kemudian diganti dengan Bepalingen met Betrekking tot s’land Boschbeheer op Java en Madoera Ketentuan tentang Pengelolaan Hutan Negara di Jawa dan Madura yang disingkat menjadi Universitas Sumatera Utara Boschverordening voor Java en Madoera 1932. Peraturan ini kemudian diperbaiki lagi pada tahun 1935, 1937, dan 1939. 94

c. Masa Penjajahan Jepang 1942-1945

Begitu menduduki kepulauan nusantara dan mengusir kekuasaan kolonial Belanda yang telah menanamkan pengaruh berabad-abad lamanya, Pemerintah Militer Jepang membagi daerah yang didudukinya ini menjadi 3 tiga wilayah komando, yaitu 1 Jawa dan Madura, 2 Sumatera, dan 3 Indonesia bagian Timur. Pada tanggal 7 Maret 1942 Pemerintah Militer Jepang mengeluarkan Undang-undang Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dimaklumatkan bahwa seluruh wewenang badan-badan pemerintahan dan semua hukum serta peraturan yang selama ini berlaku, tetap dinyatakan berlaku kecuali apabila bertentangan dengan Peraturan- peraturan Militer Jepang. 95 Berdasarkan maklumat di atas, jelas bahwa semua hukum dan undang-undang yang berlaku pada masa kolonial Pemerintahan Hindia Belanda tetap diakui sah oleh Pemerintah Militer Jepang, sebagai penjajah berikutnya. Sehubungan dengan pemberlakuan Osamu Sirei Tahun 1942 Nomor 1 tersebut, maka dalam bidang hukum kehutanan tetap berlaku ketentuan yang sudah ada pada masa kolonial Belanda, yaitu Boschordonantie atau Ordonansi Hutan 1927 beserta dengan berbagai peraturan pelaksanaannya Boschverordening 1932. 94 Bambang Pamulardi, Op. Cit., hlm 29. 95 Soetandyo Wignyosoebroto, Dari Hukum Kolonial ke Hukum Nasional; Dinamika Sosial Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1994, hlm.183. Universitas Sumatera Utara

3. Masa Kemerdekaan a. Masa Pemerintahan Orde Lama 1945 –1965

Sejak Indonesia merdeka hingga sekarang 2009, terdapat tiga pergantian rezim yang secara mendasar turut mempengaruhi sistem hukum kita, 96 yaitu Rezim Orde Lama, Rezim Orde Baru, dan Rezim Reformasi. Ketiga-tiga rezim tersebut memiliki karakteristik dan perpsektif masing-masing dalam hubungannya dengan masalah kehutanan. Karenanya, ketiga masa kekuasaan tersebut telah melahirkan tipikal hukum kehutanan yang berbeda-beda. Perkembangan hukum di Indonesia dalam era pergolakan, antara tahun 1945-1950 menurut Soetandyo Wignyosoebroto, mengalami sedikit komplikasi. Runtuhnya kekuasaan Jepang pada akhir Perang Pasifik segera saja “mengundang pulang” kekuasaan Hindia Belanda yang mengklaim dirinya secara de jure sebagai penguasa politik satu-satunya yang sah di nusantara ini. Kekuasaan Republik Indonesia tidaklah diakuinya, kecuali kemudian diakui secara de facto. 97 Di daerah-daerah bekas kekuasaan Hindia Belanda – yang telah menamakan dirinya Indonesia – hukum warisan kolonial Hindia Belanda, termasuk hukum tentang kehutanan diteruskan berlakunya, tanpa perlu membuat aturan-aturan peralihan macam apapun. Produk perundang-undangan Pemerintah Militer Jepang dinyatakan tidak lagi berlaku. 96 Sistem hukum dimaksudkan disini, dengan mengacu pada pendapat Friedman, meliputi : aspek substance, structure, and culture. Lihat, L.M.Friedman, The Legal System; A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, pp. 16. 97 Soetandyo Wignyosoebroto, Op. Cit., hlm. 193. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, Undang-undang kehutanan yang berlaku dalam masa-masa awal kemerdekaan ini adalah Boschordonantie 1927. Adapun lembaga pelaksananya adalah Jawatan Kehutanan yang memang sudah dibentuk sebelumnya, yaitu sejak Pemerintah Hindia Belanda, diteruskan oleh Pemerintahan Jajahan Jepang, yang kemudian dialihkan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Mengenai peralihan kekuasaan jawatan tersebut ditentukan dengan Surat Ketetapan Gunsaikanbu Keizaibutyo Nomor 1686GKT tanggal 1 September 1945 tentang Peralihan Kekuasaan atas Jawatan Kehutanan dari Jepang kepada Republik Indonesia, yang kemudian disusul dengan Surat Ketetapan Nomor 735AKeh tanggal 24 Oktober 1945 mengubah susunan Pimpinan Jawatan Kehutanan. 98 Pemerintah Orde lama memang tidak sempat melahirkan Undang-undang Kehutanan untuk mengganti produk kolonial Belanda. Namun untuk mencapai beberapa kepentingan nasional Pemerintah Indonesia menerbitkan beberapa peraturan berkaitan dengan kehutanan.

b. Masa Pemerintahan Orde Baru 1966 – 1998

Tak lama setelah Rezim Orde Baru berkuasa, tanggal 24 Mei 1967 diundangkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan UUPK. Berlakunya UUPK produk bangsa Indonesia ini dimaksudkan demi kepentingan nasional, dan sekaligus pula mengakhiri keberlakuan Boschordonantie 1927 yang telah berlaku selama 40 tahun lamanya. 98 Departemen Kehutanan RI, Op. Cit., hlm. 45. Universitas Sumatera Utara Dalam Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1967 tersebut dinyatakan bahwa, UUPK ini merupakan suatu langkah untuk menuju kepada univikasi hukum nasional di bidang kehutanan, dan merupakan induk peraturan perundangan yang mengatur berbagai bidang dalam kegiatan kehutanan. Untuk melaksanakan UUPK tersebut, telah dikeluarkan serangkaian peraturan pelaksanaannya. Jika ditelaah terhadap ketentuan‐ketentuan dalam UUPK tersebut dan peraturan pelaksanaannya, dapatlah dipahami bahwa keberadaan undang‐undang tersebut dan peraturan pelaksanaannya lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dibandingkan upaya konservasi lingkungan. Hal ini sebagaimana tersurat dalam Penjelasan Umumnya, yaitu; Bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikarunia oleh Tuhan yang maha Esa tanah air yang kaya raya dengan sumber kekayaan alam, antara lain dengan hutan yang masih sangat luas sekali. Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda‐tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Kebutuhan modal pembangunan merupakan prioritas utama pada saat itu. Pengusahaan hutan tropika dalam beberapa hal telah berhasil menopang pembangunan nasional dalam hal pendapatan devisa negara, penyerapan tenaga kerja, menumbuhkan pembangunan regional dan pembangunan industri hasil hutan. 99 Sumber daya alam 99 Muhammad Prakosa, Renjana Kebijakan Kehutanan, Aditya Media, Yogyakarta, 1996, hlm. xv. Ia juga menyatakan bahwa, degradasi hutan yang ada sekarang telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Kebijakan kehutanan akan langsung mempengaruhi hal itu. Kebijakan kehutanan yang efektif akan dapat mendorong pengelolaan hutan yang berkelanjutan, mengurangi tingkat kerusakan hutan, dan meningkatkan sumbangan sektor kehutanan pada pembangunan ekonomi dan social. Universitas Sumatera Utara hutan, tambang, air, mineral dipandang dalam konteks economic sense dan belum dipahami sebagai ecological dan sustainable sense. Undang ‐undang tentang Ketentuan‐ketentuan Pokok Kehutanan UU Nomor 5 Tahun 1967 dan Undang‐undang tentang Ketentuan‐ketentuan Pokok Pertambangan UU Nomor 11 tahun 1967 dikeluarkan sebagai bagian dari paket kebijaksanaan ”membuka pintu” bagi penanaman modal asing maupun modal dalam negeri. 100 Untuk mempercepat pertumbuhan perkonomian Indonesia pada masa awal Orde Baru, pemerintah mengundangkan dua undang‐undang untuk menarik minat para usahawan menanamkan investasinya di Indonesia, terutama dalam hal pengusahaan kekayaan sumber daya alam Indonesia. Undang‐undang dimaksud adalah Undang‐undang tentang Penanaman Modal Asing UU No. 1 Tahun 1967 dan UU tentang penanaman Modal Dalam Negeri UU No. 6 Tahun 1968.

c. Masa Pemerintahan Reformasi 1998 – 2006

Setelah 32 tahun berkuasa, akhirnya Rezim Pemerintaha Orde Baru di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto mundur, dan berturut‐turut 1998 – 2004 digantikan oleh Presiden Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati, serta oleh Presiden Soesilo Bambang Yudoyono 2004 – 2009. Rezim pemerintahan baru ini dinamakan dengan Rezim Reformasi. 101 100 Mas Achmad Santosa, Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam ; Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prosiding Lokakarya; Reformasi Hukum di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, ICEL Indonesian Center for Environmental Law, Jakarta, 1999, hlm. 22. 101 Penamaan Rezim Reformasi mengacu pada nama kabinet yang digunakan pada masa itu, yaitu Kabinet Reformasi Pembangunan dibawah pimpinan Presiden RI ke‐3, BJ. Habibie 1998‐1999. Universitas Sumatera Utara Rezim Reformasi berupaya menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melakukan reformasi konstutisi, reformasi legislasi, dan reformasi birokrasi. Sebagai dampak dari reformasi legislasi, maka banyak peraturan perundang‐undangan produk Orde Baru yang diganti dan disesuaikan dengan semangat reformasi. Salah satunya adalah dicabut Undang‐undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan‐ketentuan Pokok Kehutanan, yang diganti dengan diundangkannya Undang‐undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan UUK. Ditinjau dari bagian menimbang UUK, yang juga merupakan alasan hukum pembentukan suatu undang-undang, disatu sisi, bahwa undang-undang ini dibentuk dengan semangat kesadaran pemihakan kepada lingkungan hidup yang berkelanjutan dan berwawasan dunia. Sementara di lain sisi, adanya pernyataan harus menampung dinamika aspirasi dan peranserta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat, menunjukkan keberpihakan undang-undang ini pada masyarakat hukum adat dengan segala kearifan tradisionalnya. Sehingga dari alasan hukum ini dapat dipahami bahwa keberadaan undang-undang ini tidak lagi semata-mata bersifat economicentris, tetapi bersifat ecologycentris yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan. Dalam Undang-undang tentang Kehutanan produk Reformasi, diakui dan diatur secara tegas mengenai hutan adat dan masyarakat hukum adat. Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Pemerintah menetapkan status hutan adat sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang Selanjutnya, dengan Keppres No. 355M Tahun 1999 tanggal 26 Maret 1999 dibentuklah Kabinet Persatuan Nasional dibawah pimpinan Presiden Republik Indonesia ke‐4, Abdurrahmah Wahid 1999‐ 2001. Kemudian, dengan Keppres Nomor 228M Tahun2001 dibentuk Kabinet Gotong Royong dibawah pimpinan Presiden RI ke‐5, Megawati Soekarnoputri. Sekarang, hasil Pemilu 2004 telah memilih Soesilo Bambang Yudoyono dan M. Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden, serta membentuk Kabinet Indonesia Bersatu untuk periode 2004 – 2009. Universitas Sumatera Utara bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyaraat hukum adat bersangkutan sesuai dengan fungsinya. Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. Pada prinsipnya, semua hutan dan kawasan hutan dapat dimanfaatkan dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, dan kerentanannya, serta tidak dibenarkan mengubah fungsi pokoknya, yaitu fungsi konservasi, lindung, dan produksi. Untuk menjaga keberlangsungan fungsi pokok hutan dan kondisi hutan, dilakukan juga upaya rehabilitasi serta reklamasi hutan dan lahan, yang bertujuan mengembalikan kualitas hutan, meningkatkan pemberdayaan dan kesejahteraan masyarakat. Jika dibadingkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dapat dikemukakan bahwa Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 merupakan ketentuan yang bersifat menyeluruh karena telah memuat ketentuan-ketentuan baru, yang belum dikenal dalam undang-undang sebelumnya. Hal-hal yang baru ini adalah 1 adanya pengawasan oleh pemerintah dan pemerintah daerah, 2 penyerahan sebagian kewenangan pemerintah kepada pemerintah daerah, 3 penegasan hak masyarakat hukum adat, 4 peran serta masyarakat, 5 terbukanya peluang untuk melakukan gugatan perwakilan, 6 diaturnya mekanisme penyelesaian sengketa, 7 adanya ketentuan pidana, 8 diaturnya tentang ganti rugi dan sanksi administratif. Sejak Era Reformasi, pembangunan dan pengelolaan hutan menghadapi berbagai tantangan baru. Terdapat hal dilematis dalam kebijakan kehutanan. Disatu sisi, Pemerintah Pusat dianggap mendominasi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hutan. Namun, disisi lain ketika kabupaten beserta masyarakatnya diberikan kesempatan Universitas Sumatera Utara yang lebih luas untuk mengelola hutan yang ada di wilayahnya, di beberapa daerah terjadi ledakan pemberian izin konsesi skala kecil yang mengakibatkan meningkatnya laju kerusakan hutan. 102 Hal ini terbukti, selama tahun 1997-2000, pada awal era otonomi daerah, angka perusakan hutan meningkat dari 1,87 juta hektar menjadi 2,83 juta hektar karena euforia reformasi yang menyebabkan pembabatan hutan secara besar- besaran. Namun sejak tahun 2002 hingga 2005 angka kerusakan hutan sudah mulai turun menjadi 1,18 juta hektar pertahun. 103 Dalam melaksanakan misi pengurusan hutan di era otonomi daerah, Pemerintah Pusat meluncurkan kebijakan pembentukan Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Peraturan ini diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong terwujudnya kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat, serta mengakomodir tuntutan dan kepentingan pemerintah daerah. Kesatuan pengelolaan hutan KPH menurut Pasal 1 angka 1 peraturan tersebut adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukkannya, yang dapat dikelola secara efesien dan lestari. Pembentukan KPH bertujuan untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. KPH sesuai dengan fungsi pokok dan peruntukkannya yang dapat dikelola secara efesien dan 102 Lihat, Putu Oka Ngakan, Heru Komaruddin, dan Moira Moeliono, dalam Governance Brief, CIFOR, Januari 2008, Nomor 38. 103 Benni Setiawan, Selamatkan Hutan Indonesia, www.surya.co.id , Saturday, 1 Desember 2007. Universitas Sumatera Utara lestari bertanggungjawab terhadap pelaksanaan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta penyelenggaraan pengelolaan hutan. 104 Dalam Pasal 12 Qanun NAD Nomor 14 Tahun 2002 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa, pelaksanaan tata hutan dilakukan pada setiap unit atau kesatuan pengelolaan hutan di kawasan hutan lindung, hutan produksi dan taman hutan raya. Jika dicermati Pasal 8 PP Nomor 6 Tahun 2007, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang cukup luas, yaitu organisasi KPHL dan KPHP dalam suatu wilayah kabupatenkota ditetapkan oleh Pemerintah Kabupatenkota bersangkutan. Sedangkan organisasi KPHL dan KPHP lintas kabupatenkota ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Dalam hal ini hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan yang menjadi inti otonomi daerah tampaknya diberi tempat dalam pembentukan KPH. Selain itu, pemerintah daerah juga diberi kewenangan untuk mengeluarkan berbagai izin di seluruh kawasan hutan, seperti IUPK, IUPJL, IUPHHBK, dan IPHHK. Bupati diberi kewenangan untuk mengeluarkan izin-izin tersebut dalam KPH yang berada dalam wilayah kabupaten, dan gubernur untuk KPH lintas kabupaten. Namun demikian, baik pembentukan organisasi maupun pengeluaran izin didasarkan atas standard dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah pusat, sebagaimana disebutkan dalam PP 62007. Dalam pemberian izin-izin tersebut, baik menteri, gubernur, maupun bupati harus menyampaikan tembusan kepada kepala KPH dan kepala pemerintahan pada tingkat yang berbeda. Lain halnya dengan izin-izin yang disebutkan sebelumnya, izin usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu atau IUPHHK hanya dapat dikeluarkan oleh menteri. 104 Lihat Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007. Universitas Sumatera Utara Pelimpahan kewenangan kepada daerah untuk pengeluaran IUPHHK juga sebenarnya dimungkinkan, seperti yang diatur dalam peraturan tersebut, tetapi pendekatan yang diterapkan adalah bertahap dan selektif. Hingga penelitian ini dilakukan, baik di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat maupun kabupaten lainnya dalam wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam belum satu pun yang membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007. Direncanakan atau diwacanakan bahwa wilayah KPH di Aceh akan disesuaikan dengan daerah aliras sungai DAS dan KPH Taman Hutan Raya Tahura yang akan diatur dengan ketentuan tingkat provinsi. 105

B. Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Masyarakat Hukum Adat

Studi terhadap perkembangan pengaturan tentang masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayat mereka, difokuskan pada peraturan perundang-undangan yang masih berlaku saja. Sedangkan terhadap berbagai peraturan perundang-undangan yang pernah ada dan tidak berlaku lagi, yang di dalam materi ketentuannya mengatur berkaitan dengan masyarakat hukum adat danatau hak-hak ulayat akan dijadikan bandingan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan relevan saat ini. Pembahasan terhadap peraturan perundang-undangan yang materi ketentuannya mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta dengan hak-hak ulayat mereka, dilakukan secara hierarkhi dengan mengacu pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu, jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : 105 Hasil wawancara dengan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Aceh Besar, 26 Juni 2008. Universitas Sumatera Utara a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah atau qanun. 106

1. Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945

Dalam pembahasan UUD 1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, hanya Soepomo dan Moehammad Yamin yang mengemukakan pendapat tentang perlunya mengakui keberadaan hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk. Sementara anggota sidang lainnya, tidak terlihat secara tegas ada yang memberikan pemikiran konseptual berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik yang sedang dirancang. Moehammad Yamin menyampaikan, bahwa kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu- ribu tahun yang lalu. Hal ini dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti desa di Pulau Jawa, nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa. 107 Moehammad Yamin tidak menjelaskan lebih jauh konsepsi hak atas tanah yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa adanya berbagai macam susunan 106 Dalam Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 dijelaskan bahwa, termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Propinsi Papua. Lihat; Penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf a. 107 Syafruddin Bahar, dkk eds, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPK , Edisi III, cet 2, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 18. Universitas Sumatera Utara persekutuan hukum adat itu dapat ditarik beberapa persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga Moehammad Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan dalam pemerintahan republik. Sedangkan Soepomo dengan paham negara integralistik menyampaikan bahwa: 108 “... Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran staatsidee negara yang intergralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun” . Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo menyampaikan bahwa: “hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan kooti, baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah- daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh ... dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli.” Persoalan masyarakat adat dan hak ulayat di dalam UUD 1945 generasi pertama ditautkan pada ketentuan tentang pemerintah daerah, khususnya Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa.” 108 Ibid, hlm 36. Universitas Sumatera Utara Dalam pengaturan demikian, maka persoalan hak asal-usul yang salah satunya adalah hak atas sumberdaya alam atau hak ulayat sebagai penanda keberadaan masyarakat adat, direduksi menjadi persoalan tata pemerintahan. Keistimewaan kerajaan lama dan susunan persekutuan masyarakat asli dihormati dalam rangka menopang pemerintahan pusat. Yaitu pemerintahan bawahan yang menyatu dengan pemerintahan atasan. Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tidak hanya menghadirkan suatu kebaruan dalam bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan lama ke dalam masa transisi. Konsep tentang hubungan negara dengan sumberdaya alam, atau hak masyarakat atas sumberdaya alam menguat pada tahap pewacanaan dan gerakan. Paket empat kali amandemen UUD 1945 1999-2002 menjadi ruang dimana pertarungan ide berlangsung. Setidaknya ada dua komponen yang berkaitan dengan sumber daya alam, yaitu relasi antara masyarakat hukum adat dengan sumberdaya alam hak ulayat, dan relasi antara negara dengan sumberdaya alam. Kedua-dua relasi tersebut mesti dilihat sebagai suatu keterkaitan. 109 Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan setelah hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan: 1 Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 2 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan 109 Lihat; Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta, 2006, hal 309. Universitas Sumatera Utara perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan di atas memisahkan antara persoalan tata pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan UU Pasal 18B ayat 1 dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya Pasal 18 ayat 2. Selama ini, persoalan ulayat sering dikaitkan dengan hak-hak atas sumberdaya alam yang ditarik dari sistem kerajaan pada masa lalu. Pemisahan itu memberi arti penting untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat hukum adat dengan pemerintahan “kerajaan” lama yang masih hidup dan dapat bersifat istimewa. Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat berserta hak ulayatnya secara deklaratif, Pasal 18B ayat 2 mengkaitkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat beserta hak ulayat yang dapat dinikmatinya secara aman. Persyaratan-persyaratan itu secara kumulatif adalah: a. Sepanjang masih hidup b. Sesuai dengan perkembangan masyarakat c. Sesuai dengan prinsip NKRI d. Diatur dalam Undang-undang Rikardo Simarmata 110 menyebutkan bahwa persyaratan terhadap masyarakat adat dan hak ulayatnya yang dilakukan oleh UUD 1945 Pasca Amandemen memiliki sejarah yang dapat dirunut dari masa kolonial. Aglemene Bepalingen 1848, Reglemen Regering 1854 dan Indische Staatregeling 1920 dan 1929 mengatakan bahwa orang pribumi dan timur asing yang tidak mau tunduk kepada hukum Perdata Eropa, diberlakukan 110 Rikardo Simarmata, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara undang-undang agama, lembaga dan adat kebiasaan masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang keadilan. Pengakuan bersyarat itu dalam sejarah Republik Indonesia dimulai pada UUPA, UU Kehutanan lama, UU Pengairan UU Kehutanan baru dan beberapa peraturan departemen dan lembaga pemerintahan. Pencantuman persyaratan di dalam UUD 1945 diikuti oleh berbagai UU yang lahir setelah amandemen UUD 1945, antara lain oleh UU Sumberdaya Air, UU Perikanan dan UU Perkebunan. Pengakuan bersyarat ini mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum bersungguh-sungguh membuat ketentuan yang jelas untuk menghormati dan mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang masyarakat adat dan hak ulayatnya sampai hari ini masih bersifat tidak jelas dan tidak tegas. Tidak jelas karena belum ada aturan yang konkret tentang apa saja hak-hak yang terkait dengan keberadaan masyarakat yang dapat dinikmatinya. Dikatakan tidak tegas karena belum ada mekanisme penegakan yang dapat ditempuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat, yang dapat dituntut dimuka pengadilan justiciable. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan dan ketidakmauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat. Ketidakmampuan ini dikarenakan persekutuan masyarakat adat di Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, sistem sosial, antropologis dan agama. Sedangkan ketidakmauan dapat mengakibatkan lahirnya pengaturan yang kabur tentang masyarakat, yang akan memberikan ruang diskresi dan hegemoni yang dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya alamnya, yang selama ini menjadi penanda keberadaan Universitas Sumatera Utara masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat. Persyaratan dalam Pasal 18B ayat 2 berserta dengan serangkaian persyaratan yang dilanjutkan oleh beberapa UU Sumberdaya Alam menunjukkan bahwa negara melalui pemerintah baru bisa mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat adat secara deklaratif, belum sampai pada tindakan hukum untuk melindungi dan memenuhi agar hak ulayat masyarakat adat dapat terpenuhi. Bahkan sama sekali belum meyentuh mekanime penegakan hukum nasional bila terjadi pelanggaran terhadap hak ulayat yang sudah dianggap sebagai hak asasi manusia. Pasal 18 B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republic Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UUPA Pasal 3 UUPA menegaskan, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara Pengakuan tersebut disertai 2 dua syarat, yaitu mengenai kenyataan eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. 111 Hak ulayat diakui keberadaannya, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Adapun pelaksnaannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berlandaskan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. UUPA membiarkan hak ulayat tetap berlangsung menurut ketentuan hukum adat setempat masyarakat hukum adatnya masing-masing. Dalam penjelasan UUPA ditegaskan, bahwa kepentingan masyarakat hukum adat harus mengalah pada kepentingan nasional yang lebih luas. Tetapi secara tegas dinnyatakan pula bahwa hal itu tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali….. Dalam pemberian suatu hak atas tanah misalnya yang semula meruapakan tanah hak ulayat masysrakat hukum adat yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie” yang memang ia berhak menerimanya. 112 Untuk keperluan proyek-proyek pembangunan, baik pemerintah maupun swasta, dimungkinkan penguasaan dan penggunaan bagian-bagian tanahhutan ulayat yang tersedia. Tetapi sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut ketentuan hukum adatnya, penguasaan dan penggunaannya harus melalui tatacara hukum asetempat yang berlaku. Yaitu melalui izin penguasa adatnya, dan pemberian “recognitie” sebagai pengisi adat. Hal itu dicapai melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan bagian tanahulayat yang diperlukan dan “recognitie”-nya. Hal yang sama 111 Boedi Harsono, Hutan Ulayat dalam Perspektif Hukum, makalah disajikan pada Seminar Tanah Ulayat dan Hutan Ulayat, diselenggarakan oleh LPHET, Jakarta, 11 Mei 2001. 112 Lihat Penjelasan Umum UU Pokok Agararia UU 51960. Universitas Sumatera Utara juga berlaku terhadap bagian tanahhutan ulayat yang diperlukan, jika sudah dihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan dengan para warga yang mempunyainya masing-masing. Jadi, tidak cukup berhubungan dengan penguasa adatnya saja. 113 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Berkaitan dengan keberadaan masyarakat hukum adat beserta dengan hak-hak ulayat mereka, sekarang ini telah mendapat pengakuan hukum yang tegas sebagai suatu hak asasi. Pengaturan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan : 1 Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; 2 Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat, selaras dengan perkembangan zaman. Setelah sekian lama tak terdengar, bahkan pengakuan terhadapnya pun nyaris sirna, kini, dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebutan masyarakat hukum adat kembali mendapatkan penegasannya. Adanya sebutan dalam Pasal 6 undang-undang ini dapat dimaknai sebagai pengakuan kembali secara juridis politis atas keberadaannya. Sehingga dengan pengakuan juridis ini – sebagai penjabaran dari Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen-- posisi masyarakat hukum adat telah kembali diakui keberadaannya dalam sistem hukum 113 Boedi Harsono, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara nasional, setelah terbelenggu selama tiga dekade semasa berkuasanya rezim Orde Baru 1966-1998. Semasa Orde Baru, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai yang mempersulit keberadaan masyarakat hukum adat, yaitu antara lain: 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan HPH, dan lain-lain, 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Istilah masyarakat hukum adat, kembali disebutkan lagi secara tegas dalam undang-undang ini, setelah nyaris terhapuskan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, yang merupakan produk rezim Orde Baru. 114 Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, dalam Undang- 114 Lihat, Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐Pokok Kehutanan. Pernyataan dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum dari UU Nomor 5 Tahun 1967 UUPK, jelas sekali menegaskan orientasi keberadaan undang‐undang ini yang lebih difokuskan dalam upaya‐upaya pengembangan ekonomi, bukan pertimbangan ekologi. Keyakinan bahwa lambat laun hak ulayat pasti akan lemah dan lenyap, serta larangan agar hak ulayat tidak boleh dihidupkan kembali, mendorong pembuat UU Nomor 5 Tahun 1967 UUPK berani menargetkan unvikasi hukum nasional yang mengatur kehutanan. Itu pula yang mendasari dimasukannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat hutan adat ke dalam kategori hutan negara. Selain didasari oleh hal itu, pikiran UUPK yang memasukan hutan adat ke dalam lingkup hutan negara sebenarnya masih meneruskan tradisi berpikir UUPA. Dalam logika UUPA bersamaan dengan berdirinya Republik Indonesia, maka suku‐suku bangsa dan masyarakat hukum tidak lagi mandiri melainkan sudah merupakan bagian dari Republik Indonesia. Akibatnya, wewenang berdasarkan hak ulayat yang dahulu ada di tangan kepala adatsuku sebagai penguasa tertinggi di wilayahnya, dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi. Universitas Sumatera Utara Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan dalam Pasal 1 angka 6- nya, bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Jika ditilik konsideran menimbang dan penjelasan umum antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dengan konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ditemukan perbedaan paradigmatik yang mencolok. Dalam konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat serba guna yang mutlak dibutuhkan oleh ummat manusia sepanjang masa. Sementara itu, dalam Penjelasan Umumnya dinyatakan pula, Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif adalah merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 115 Sehingga, pernyataan dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 di atas, jelas sekali menegaskan orientasi keberadaan undang-undang ini yang lebih difokuskan dalam upaya-upaya pengembangan ekonomi, bukan pertimbangan ekologi. Sedangkan dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, a. hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, Keterangan mengenai hal ini bisa dilihat pada Imam Soetiknjo, ‘Politik Agraria Nasional’, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994 dan Notonagoro, ‘Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia’, Jakarta, Bina Aksara, 1984. Dalam kasus hutan, maka kawasan hutan yang dahulu berada dalam wilayah hak ulayat hutan adat dengan sendirinya menjadi hutan negara, yang berada dalam cakupan hak ulayat bangsa. 115 Lihat Penjelasan Umum Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan‐ketentuan Pokok Kehutanan, pada alinea kedua. Universitas Sumatera Utara diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; dan b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat. Selanjutnya, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan, 116 Hutan sebagai modal pembangunan nasional mamiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, social budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Merujuk pada materi pertimbangan dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dapat dipahami bahwa fokus orientasi undang-undang ini tidak lagi melulu pada manfaat ekonomi yang dihasilkannya, tetapi lebih mementingkan aspek ekologi sebagai sistem penyangga kehidupan bagi generasi sekarang maupun mendatang. 116 Lihat Penjelasan Umum Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999, alinea kedua. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang masyarakat hukum adat dan hutan adat, yaitu : 1 Pasal 4 1 Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2 Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberi wewenang kepada pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. 3 Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. 2 Pasal 5 1 Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. 2 Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat. Universitas Sumatera Utara 3 Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. 4 Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. 3 Pasal 17 1 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: i. provinsi, ii. kabupatenkota, dan iii. unit pengelolaan. 2 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. 3 Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri. 4 Pasal 34 Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada: a. masyarakat hukum adat, Universitas Sumatera Utara b. lembaga pendidikan, c. lembaga penelitian, d. lembaga sosial dan keagamaan. 5 Pasal 37 1 Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. 2 Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. 6 Pasal 67 1 Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. 2 Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dicantumkan mengenai masyarakat hukum adat dalam suatu bab tersendiri, yaitu Bab IX, menujukkan semakin menguatnya perhatian dan kepedualian pemerintahan Universitas Sumatera Utara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayat yang telah dimilikinya sejak dahulu kala. Perhatian dan kepedulian ini merupakan bagian dari politik pemerintahan presiden dan DPR dalam mengisi reformasi bidang hukum peraturan perundnag-undangan. Hal ini merupakan pula amanah dari TAP MPR IX2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini sebagai landasan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor, demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip, antara lain: j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrariasumber daya alam. Pada Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat, yaitu; a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban rechsgemeenschap; b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jika dibandingkan antara isi Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dengan isi Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 ditemukan perbedaan sikap politik terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam pasal 17 Undang-Undang Universitas Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan- tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Adanya penegasan seperti ini menujukkan, pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat tdak boleh berlawanan dengan kepentingan ekonomi nasional yang ingin dicapai melalui penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967. Berbeda dengan Pasal 17 Undang-Undang Pokok Kehutanan produk Orde Baru, sedangkan Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang produk Era Reformasi, yaitu Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999, mengakomodir kembali hak-hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pemungutan hasil hutan guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan, dan melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Selanjutnya, dalam Pasal 67 ayat 2 ditegaskan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dalam ketentuan ini tidak ditegaskan apakah yang dimaksudkan dengan peraturan daerah itu merupakan peraturan daerah propinsi atau peraturan daerah kabupatenkota. Dengan demikian, ini berarti, keberadaan masyarakat hukum adat dapat dikukuhkan dengan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupatenkota. 117 117 Menurut Pasal 1 angka 7 Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan, peraturan daerah adalah peraturan perundang‐undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan penjabaran dari Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dari hasil penelitian Departemen Sosial tahun 2008, ternyata masih sedikit daerah yang menindaklanjuti pengaturan mengenai pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat kedalam peraturan daerahnya masing-masing. Dari 14 provinsi yang distudi, ternyata hanya beberapa provinsi saja yang telah memiliki peraturan daerah yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak ulayatnya. 118 Berikutnya akan dibahas sesuai dengan hierarkhinya, yaitu setelah pembahasan terhadap peraturan presiden atau peraturan perundang-undangan setingkat dengannya. Satu hal yang belum dilaksanakan oleh pemerintah sehubungan dengan perintah Undang-Undang tentang Kehutanan, yaitu hingga akhir 2008 pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 67 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Padahal rancangan peraturan pemerintah tentang hal ini sudah disiapkan sejak tahun 2002, bahkan sudah beberapa kali didiskusikan dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat beserta organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN.

5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh

Dalam bagian menimbang Undang-Undang tentang Penyelenggaaan Keistimewaan Aceh dinyatakan, a. bahwa sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan yang religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam 118 LIhat, Departemen Sosial RI, penelitian, Inventarisasi Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat, Direktorat Pembinaan Komunitas Adat Terpencil, Jakarta, 2008. Universitas Sumatera Utara menghadapi kaum penjajah; b. bahwa kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri; c. bahwa kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan; d. bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut serta untuk penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memerlukan adanya jaminan kepastian hukum dalam melaksanakan segala urusan, perlu dibentuk Undang- undang tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Dari latar belakang sejarah yang cukup panjang masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari mereka, masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran agama Islam dalam Jangka panjang itu melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat itu lahir dari renungan para ulama. kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi adat bak Poteumeureuhom. hukom bak Syiah Kuala. Qanun bak Putroe Phang. Reusam bak Laksamana. Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujudan syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. 119 119 Lihat Penjelasan Umum Undang‐Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya dalam Pasal 2 undang-undang ini, ditegaskan kewenangan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, yaitu untuk mengembangkan dan mengatur Keistimewaan yang dimilikinya. Keistimewaan ini merupakan pengakuan bangsa lndonesia yang diberikan kepada Propinsi Daerah Istimewa Aceh karena perjuangan dan nilai-nilai hakiki masyarakat yang tetap dipelihara secara turun-temurun sebagai landasan spiritual. moral, dan kemanusiaan. 120 Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh menurut Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, meliputi : a. penyelenggaraan kehidupan beragama; b. penyelenggaraan kehidupan adat; c. penyelenggaraan pendidikan; dan d. peran ulama dalam penetapan kebijakan Daerah. Dalam Bab tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat dari Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, ditegaskan bahwa daerah 121 dapat menetapkan berbagai kebijakan dalarn upaya pemberdayaan, pelestarian, dan pengembangan adat serta lembaga adat di wilayahnya yang dijiwai dan sesuai dengan syariat Islam. Sehingga, sehubungan dengan upaya ini, menurut Pasal 7-nya, Daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di Propinsi, KabupatenKota, Kecamatan, Kemukiman, dan KelurahanDesa atau Gampong. Berbagai kebijakan sebagaimana dimaksudkan di atas adalah kebijakan daerah, berupa peraturan daerah atau keputusan gubernur yang bersifat mengatur dan mengikat 120 Lihat Pasal 3 UU Nomor 44 Tahun 1999. 121 Dimaksudkan dengan daerah dalam undang‐undang ini adalah Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Lihat, Pasal 1 angka 1 UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimwaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh. Universitas Sumatera Utara dalam penyelenggaraan keistimewaan. 122 Sehubungan dengan tindaklanjut dari undang- undang ini, khususnya pada materi ketentuan penyelenggraan kehidupan adat, telah pula diundangkan beberapa peraturan daerah yang materi pengaturannya berkaitan dengan hal itu, yaitu : 1 Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim; 2 Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong; 3 Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; 4 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat; 123 5 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Pembahasan terhadap berbagai peraturan daerah atau qanun tersebut di atas akan dilakukan secara hierarkhi mengacu pada tata urutan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan.

6. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua

Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua sarat dengan pengaturan mengenai hak-hak masyarakat hukum adat. Pada 122 Lihat Pasal 1 angka 9 UU Nomor 44 Tahun 1999. 123 Qanun ini mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Daerah Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 7 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Kehidupan Adat. Universitas Sumatera Utara Penjelasan Umum Undang-Undang Otonomi Khusus Papua, antara lain ditegaskan tentang, pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua serta pemberdayaannya secara mendasar dan strategis, dimana Majelis Rakyat Papua MRP sebagai representasi kultural penduduk asli Papua yang diberi kewenangan tertentu. Undang-undang ini mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak atas sumber daya alam, sebagai berikut : 1 Pengakuan keterwakilan masyarakat hukum adat dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan ulayat, adat, masyarakat hukum adat dan hukum adat. Pengakuan ini dinyatakan dengan menjadikan wakil- wakil masyarakat hukum adat sebagai salah satu unsur dalam Majelis Rakyat Papua MRP. 2 Perlindungan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, pasal 43 dan pasal 44. Hak atas tanah meliputi hak bersama atau hak ulayat dan hak perorangan penjelasan pasal 43 ayat 2. Namun pengakuan terhadap hak ulayat disertai dengan catatan, yaitu : a Subjek hak ulayat adalah masyarakat hukum adat bukan penguasa adat, dan b Penguasa adat hanya bertindak sebagai pelaksana dalam mengelola hak ulayat. 3 Pengakuan terhadap peradilan adat pasal 51 Undang-Undang Otonomi Khusus Papua meletakkan peradilan adat sebagai peradilan perdamaian yang tidak boleh menjatuhkan hukuman pidana, penjara atau kurungan. Universitas Sumatera Utara 4 Undang-Undang ini juga mewajibkan pemerintah Provinsi Papua untuk menghormati hak-hak masyarakat hukum adat dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup Pasal 64. Berdasarkan beberapa butiran pengaturan dalam Undang-Undang tentang Otonomi Khusus Papua, dapat dipahami bahwa masyarakat hukum adat menjadi bagian dari warga bangsa Indonesia yang kebutuhan, hak-hak atas tanah dan hak-hak lainnya, identitas budaya dan hak-hak tradisionalnya harus diperhatikan dan dilindungi oleh Negara dan Pemerintah. Hal ini menunjukkan, bahwa Negara dan Pemerintah memiliki komitmen yang besar, bahwa masyarakat hukum adat tidak boleh tertinggal dan tidak dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan. 124

7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air

Mengenai keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya juga mendapat pengakuan di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air. Dalam Pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan: 1 Sumberdaya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2 Penguasaan sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diselenggarakan oleh Pemerintah danatau pemerintah daerah dengan tetap mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat setempat dan hak yang serupa dengan itu, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan. 124 Departemen Sosial, Op. Cit, hal. 79. Universitas Sumatera Utara 3 Hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air sebagaimana dimaksud pada ayat 2 tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. 4 Atas dasar penguasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditentukan hak guna air.

8. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terdapat dua ketentuan yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak- hak ulayat atau hak-hak tradisonal mereka, yaitu; 1 Pasal 2 ayat 9 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dinyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2 Pasal 203 ayat 3 Pemilihan kepala desa dalam kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan yang diakui keberadaannya berlaku ketentuan hukum adat setempat yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah dan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah. Undang-undang ini pengganti dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah. Pemerintahan daerah Universitas Sumatera Utara dalam rangka meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, perlu memperhatikan hubungan antarsusunan pemerintahan dan antarpemerintahan daerah, potensi dan keanekaragaman daerah. Aspek hubungan wewenang memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Desa berdasarkan Undang-Undang ini adalah desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas- batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui danatau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupatenkota, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepada desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Bagi Propinsi Nannggroe Aceh Darussalam, desa sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini, dikenal dengan istilah gampong. Pengaturan mengenai Gampong diatur dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Pengaturan Pemerintahan Gampong ini merupakan aturan pelaksanaan dari atau didasarkan pada : 125 125 Lihat bagian mengingat Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Universitas Sumatera Utara 1 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah; 2 Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh; 3 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sekarang, dua diantara tiga undang-undang yang menjadi dasar keberadaan Qanun tentang Pemerintahan Gampong sudah dicabut dan diganti dengan undang-undang lain, yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menggantikan Undang-Undang Nimor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh mengantikan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001.

9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh

Pada tanggal 9 Agustus 2001 diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114. Undang-undang tersebut lahir sebagai upaya dalam kerangka semangat penyelesaian konflik Aceh yang berkepanjangan, berupa pergolakan mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, telah menampung kembali tatanan luhur nilai-nilai masyarakat Aceh yang unik, egaliter, dan berkeseimbangan duniawi – ukhrawi. 126 Namun dalam pelaksanaannya selama lima tahun, ternyata Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tersebut tidak cukup memadai untuk mengakhiri konflik, dan menampung aspirasi dan kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. 126 Lihat, Penjelasan Umum UU Nomor 18 Tahun 2001, alinea ketiga dan kelima. Universitas Sumatera Utara Sehingga Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dicabut dan diganti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasca tsunami 127 dan MoU Helsinki. 128 Mengenai pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta lembaga-lembaga adatnya di dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, terdapat beberapa ketentuan yang mengaturnya, yaitu : 1 Pasal 149 ayat 1 ditegaskan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berkewajiban melakukan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu dengan memperhatikan tata ruang, melindungi sumber daya alam hayati, sumber daya alam nonhayati, sumber daya buatan, konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, cagar budaya, dan keanekaragaman hayati dengan memperhatikan hak-hak masyarakat adat dan untuk sebesar-besarnya bagi kesejahteraan penduduk. 2 Pasal 98, Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. Lembaga adat sebagaimana dimaksud, meliputi: a. Majelis Adat Aceh; 127 Gempa dasyat berkekuatan 9,3 Skala Richter disusul tsunami menghantam sebagian besar Kota Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Siemelu, Pidie, Bireun, Lhokseumawe, dan Kota Sabang telah merenggut nyawa tewas ataupun hilang lebih kurang 300.000 penduduk Propinsi Nanggoe Aceh Darussalam. 128 MoU Memorandum of Understanding Helsinki adalah sebutan sehari‐hari masyarakat Aceh terhadap Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka yang ditandangani di Helsinki, Finlandia, tanggal 15 Agustus 2005 oleh Hamid Awalluddin mewakili Pemerintah Indonesia dan Malik Mahmud mewakili Gerakan Aceh Merdeka. MoU ini menegaskan komitmen kedua belah pihak Pemerintah RI dan GAM untuk penyelesaian konflik Aceh secara damai, menyeluruh, berkelanjutan dan bermartabat bagi semua. Universitas Sumatera Utara b. imeum mukim atau nama lain; c. imeum chik atau nama lain; d. keuchik atau nama lain; e. tuha peut atau nama lain; f. tuha lapan atau nama lain; g. imeum meunasah atau nama lain; h. keujreun blang atau nama lain; i. panglima laot atau nama lain; j. pawang glee atau nama lain; k. peutua seuneubok atau nama lain; l. haria peukan atau nama lain; dan m. syahbanda atau nama lain. Selain istilah masyarakat hukum adat, dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh juga disebutkan secara berkali-kali istilah masyarakat hukum. Dalam Pasal 1 angka 2, angka 3, angka 19, angka 20 masing-masing menyebutkan : 1 Aceh adalah daerah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang gubernur. 2 Kabupatenkota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan dalam sistem dan prinsip Negara Universitas Sumatera Utara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupatiwalikota. 3 Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan berkedudukan langsung di bawah camat. 4 Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri. Menurut undang-undang ini, baik Propinsi Aceh, kabupatenkota, mukim, maupun gampong ditegaskan sebagai masyarakat hukum. Berbeda halnya dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara tersirat memberikan kriteria tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat hukum, yaitu 1 memiliki batas-batas wilayah, 2 berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, 3 berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat, dan 4 diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Republik Indonesia. 129 Masyarakat hukum yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ditujukan pada daerah otonom dan desa atau nama lain. Sedangkan Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, secara tegas menentukan bahwa masyarakat hukum itu adalah Aceh sebagai provinsi, kabupatenkota, mukim, dan gampong. Masing-masing tingkatan pemerintahan tersebut memiliki sifat dan kewenangannya masing-masing. 129 Kriteria ini ditarik dari bunyi Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yaitu Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batasbatas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam system Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Universitas Sumatera Utara Berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengelolaan hutan, dalam Pasal 148 Undang-Undang Pemerintahan Aceh ditegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan. Masyarakat berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup. Gampong dan mukim di Aceh, bukan hanya merupakan masyarakat hukum sebagaimana dipersamakan secara nasional dengan desa di Jawa, tetapi menurut HM Zainuddin, merupakan Atjeche Organitatie, 130 yaitu pemerintahan khas Aceh.

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat telah disebutkan secara tegas. Ini berarti, telah mendapat pengakuan dan penghargaan juridis formal, yang tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal merupakan penjabaran dari semangat otonomi daerah yang dicantumkan dalam poin c Bagian Menimbang Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu; bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa 130 Lihat, H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Penerbit Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, hal. 316. Universitas Sumatera Utara perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 telah secara tegas dinyatakan bahwa kearifan lokal merupakan salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat, termasuk hak ulayat. Karenanya, setiap kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupatenkota harus memperhatikan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang berlaku pada masing-masing daerah. Selanjutnya, jabaran dari asas kearifan lokal dapat pula ditemukan pada ketentuan-ketentuan berikutnya, yaitu Pasal 10 dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 10 undang-undang tersebut menyatakan bahwa rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup RPPLH disusun oleh menteri, gubernur, atau bupatiwalikota sesuai dengan kewenangannya. Penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup RPPLH, memperhatikan : a. Keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. Sebaran penduduk; c. Sebaran potensi sumber daya alam; d. Kearifan lokal; e. Aspirasi masyarakat, dan f. Perubahan iklim. Universitas Sumatera Utara Pasal 63 ayat 1t dan 2n undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Kebijakan yang dimaksudkan pada ayat ini adalah kebijakan tingkat nasional dan tingkat provinsi, yang menjadi pedoman bagi pemerintah kabupatenkota untuk melaksanakan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Sedangkan dalam Pasal 63 ayat 3k dinyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupatenkota bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten. Dengan demikian, pemerintah kabupatenkota tidak berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat, melainkan pemerintah kabupatenkota melaksanakan kebijakan tersebut sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Bagi Provinsi Aceh, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam telah dinyatakan dalam Pasal 15 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, yaitu 1 Pengelolaan Sumber Daya Alam pada suatu kawasan harus dilaksanakan dengan mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atau masyarakat setempat serta mengakui hukum adat yang berlaku pada kawasan tersebut, dan 2 Ketentuan lebih Universitas Sumatera Utara lanjut mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dan hukum adat setempat dapat ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur. 131 11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 132 Peraturan Pemerintan Nomor 6 Tahun 2007 ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Sementara itu, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 jontho Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan merupakan peraturan yang secara legal formal telah membelenggu keberadaan masyarakat hukum adat pada era Orde Baru. Dalam Pasal 6 131 Hingga tahun 2008, belum dilahirkan Keputusan Gubernur tentang Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak‐hak dan hukum adat, sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 15 Qanun NAD Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Studi Evaluasi terhadap Perda dan Qanun NAD sebelum Lahirnya Undang‐Undang Pemerintahan Aceh, Banda Aceh, Desember 2008. 132 Peraturan Pemerintah ini telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Perubahan yang dilakukan oleh PP Nomor 3 Tahun 2008 terhadap PP Nomor 6 Tahun 2007 tidak bersifat menyeluruh, sehingga PP Nomor 6 Tahun 2007 masih berlaku. Universitas Sumatera Utara Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan HPH disebutkan bahwa, hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan yang bersangkutan. Pelaksanaan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat harus seizin Pemegang HPH yang bersangkutan. Dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas hak ulayat itu dapat “dibekukan”. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat dilakukan melalui keputusan Menteri Kehutanan. Satu diantaranya adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 251Kpts-II93 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan. Selain menegaskan pengakuan dengan syarat sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, Keputusan Menteri Kehutanan ini juga memberlakukan syarat-syarat prosedural tambahan. Pertama, menegaskan kembali keharusan untuk memperoleh izin dari pemegang hak pengusahaan. Kedua, masyarakat hukum adat yang mengajukan hak memungut hasil hutan adalah masyarakat adat yang diakui keberadaanya oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II sekarang Bupati. Ketiga, hak pemungutan hasil hutan hanya diberikan pada areal Hak Pengusahaan Hutan di luar blok tebangan tahunan. Keempat, pemungutan hasil hutan baru bisa dilakukan bila mendapatkan izin dari Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Dati I sekarang propinsi. Kelima, hasil hutan yang dipungut wajib membayar pungutan serta diangkut dengan Universitas Sumatera Utara dokumen yang sah. Selain kelima syarat prosedural tersebut, keputusan tersebut juga hanya membolehkan pemungutan kayu dan non kayu untuk keperluan dipakai sendiri danatau keperluan sosial, tidak untuk diperdagangkan. Dengan demikian, peraturan organik dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan telah difungsikan untuk mengatur persyaratan- persyaratan prosedural pemberian hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan. Persyaratan prosedural yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tersebut merupakan persyaratan tambahan dari persyaratan yang sebelumnya sudah dirumuskan oleh undang-undang. Selain banyak, persyaratan prosedural tersebut juga disusun secara berlapis. Susunan lapisan itu kira-kira sebagai berikut: A. Persyaratan untuk Mendapatkan HakIzin: 1. diakui oleh Bupati sebagai kategori masyarakat hukum adat; 2. mendapatkan izin dari pemegang hak pengusahaan hutan; dan 3. mendapatkan izin pemungutan dari Kepala Dinas Kehutanan. B. Persyaratan Kegiatan Pemungutan 1. dilakukan di luar blok tebangan tahunan hak pengusahaan hutan; 2. dilakukan untuk keperluan sendiri dan bukan untuk diperdagangkan; 3. menjual dengan dokumen yang sah; dan 4. membayar pungutan. Begitu banyak dan berlapisnya persyaratan pemberian hak tersebut sehingga menyerupai dengan larangan atau meniadakan mengingkari. Analisis ini wajar saja karena sudah membayangkan tingkat kesulitan masyarakat hukum adat untuk memenuhi seluruh persyaratan tersebut. Padahal, memenuhi seluruh persyaratan prosedural belum Universitas Sumatera Utara menjamin bisa mendapatkan hakizin atau bisa menggunakan hakzin tersebut. Kenapa? Karena di atas persyaratan prosedural tersebut masih adalah persyaratan lain, yakni hanya boleh mengambil kayu diluar areal blok tebangan tahunan HPH. Selain itu, masyarakat hukum adat baru boleh melakukan penebangan kayu dalam wilayah hukum adatnya apabila memenuhi persyaratan umum yang absurd, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umumnegaranasional dan peraturan perundangan yang sedang berlaku. Nampaknya, dengan dengan muatan pengaturan yang demikian pada masa Orde Baru, Undang-Undang Pokok Kehutanan beserta peraturan pelaksananya telah menuangkan dengan sempurna kandungan ajaran atau doktrin Hak Milik Negara HMN. 133 Sekarang dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, dan seiring dengan menguatnya otonomisasi daerah, maka penindasan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayatnya relative telah berkurang, walaupun pada daerah-daerah tertentu masih juga terjadi konflik antar masyarakat hukum adat dengan negara dalam kaitannya dengan penguasaan terhadap hak ulayat hutan adat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nurul Firmansyah, 134 yang menengarai masih ada konflik antara masyarakat hukum adat nagari dengan negara pemerintah danatau pemilik modal, seperti; konflik nagari-nagari dengan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS di pesisir selatan, konflik perkebunan kelapa sawit di 133 Rikardo Simarmata, Pilihan Hukum Pengurusan Hutan oleh Masyarakat Adat, paper tidak dipublikasi, 2004, hal. 7. 134 Baca, Nurul Firmansyah, Nasib Hak Ulayat atas Tanah dan Hutan Refleksi Persoalan Hak Ulayat di Sumatera Barat untuk Tahun 2009, www.legalitas.org , 23 Januari 2009. Universitas Sumatera Utara Kampung Aie Maruok Kabupaten Pasaman Barat, dan berbagai konflik lainnya yang melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat nagari. Sebagai implementasi dari otonomi daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengakui kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3, yaitu : 1 Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah. 2 Seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri dari 3 tiga fungsi pokok hutan, yaitu; a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi. 3 Kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH, yang menjadi bagian dari penguatan system pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenkota. Berkaitan dengan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat, peraturan pemerintah ini bukan mengakui keberadaannya sebagai sesuatu yang telah ada secara alami dalam masyarakat hukum adat, tetapi memerlukan adanya penetapan dari pemerintah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 ayat 2, yaitu ada areal tertentu dalam kawasan hutan yang dapat ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa atau kawasan hutan dengan tujuan khusus KHDTK. Hutan kemasyarakatan menurut peraturan pemerintah ini adalah hutan kemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 23 adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Sementara itu, hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izinhak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa Pasal 1 angka 24. Sedangkan mengenai hutan adat tidak Universitas Sumatera Utara ditegaskan pengertiannya. Jika dicermati bunyi Pasal 11, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan hutan desa ataupun hutan kemasyarakatan bukanlah hutan adat. Rencana pengelolaan hutan menurut Pasal 13, harus mengacu mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupatenkota dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Adanya penegasan harus memperhatikan aspirasi dan nilai budaya setempat, disatu sisi merupakan pengakuan tersirat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak- hak ulayat dengan segala kearifan lokalnya. Namun disisi lain, adanya pengaturan yang mengharuskan adanya penetapan pemerintah terhadap hutan adat merupakan aturan yang tidak seirama. Selanjutnya, berkaitan dengan pengakuan tersirat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, juga ditentukan dalam Pasal 80 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, yaitu pemungutan provisi sumber daya hutan PSDH tidak berlaku bagi a. hasil hutan yang berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan. Pengenaan dana reboisasi tidak berlaku bagi : b. hasil hutan yang berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan. Selain kedua ayat ini, tidak diketemukan ketentuan lain dalam peraturan pemerintah ini yang memberi pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat beserta dengan hak ulayat hutan adatnya. 12. Peraturan Menteri Negara Agraria PMNAKa BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Universitas Sumatera Utara Hingga saat ini Peraturan Menteri Negara AgariaKepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 merupakan peraturan yang mengatur secara khusus tentang pedoman penyelesaian masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya, terutama hak ulayat atas tanah adat. Adapun pertimbangan ditetapkannya peraturan ini adalah bahwa: 1 hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada; 2 dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya; dan 3 bahwa akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut, baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya. 135 Dimaksudkan dengan masyarakat hukum adat oleh paraturan ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1-nya, adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Sedangkan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 135 Lihat Bagian Menimbang Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, ditetapkan tanggal 24 Juni 1999. Universitas Sumatera Utara Sementara itu, tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Menilik materi yang dikandung dalam Pasal 1 peraturan tersebut dapat ditengarai bahwa antara masyarakat hukum adat, dengan hak ulayat dan tanah ulayat adalah bagaikan mata hitam di dalam mata putih. Artinya, hak ulayat hanya ada di dalam masyarakat hukum adat. Sehingga tanpa ada masyarakat hukum adat, maka tak ada hak ulayat. Dalam hal ini Mahadi menyebutkan, 136 masyarakat hukum adat itu in heren dengan adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima pernyataan, bahwa tidak adanya masyarakat hukum adat, berarti tidak adanya hak ulayat. Unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai masyarakat hukum adat menjadi acuan penting dalam menentukan unsur-unsur yang harus terpenuhi keberadaan hak ulayat, yaitu adanya: 1 kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat; 2 wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya; 3 hak untuk mengambil manfaat dari sumber daya alamnya; 4 hubungan turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya, Pasal 2 peraturan menteri tersebut menegaskan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1 terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang 136 Muhammad Yamin dan Abd. Rahman Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Perss, Medan, 2004, hal. 156. Universitas Sumatera Utara mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. 2 terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. 3 terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Selain menentukan kriteria-kriteria hak ulayat yang masih ada, dalam Pasal 3 peraturan menteri tersebut menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya, dalam Pasal 5 ditegaskan bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

13. Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.75Menhut II2004 tanggal 12 Maret 2004

Perihal Masalah Hukum Adat dan Tuntutan KompensasiGanti Rugi oleh Masyarakat Hukum Adat. Surat Edaran yang dikeluarkan pada tanggal 12 Maret 2004 tersebut ditujukan kepada gubernur dan bupatiwalikota seluruh Indonesia, yang berisikan perihal masalah hukum adat dan tuntutan kompensasiganti rugi oleh masyarakat hukum adat. Kemunculan surat edaran tersebut dalam rangka mengakomodasi tuntutan oleh masyarakat hukum adat terhadap keberadaan Hak Pengusahaan Hutan HPH dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK. Universitas Sumatera Utara Dalam surat edaran tersebut, 137 secara tegas dimintakan kepada gubernur atau bupatiwalikota untuk melakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1 Apabila di wilayah Saudara terdapat tuntutan oleh masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan yang selama ini telah dibebani dengan Hak Pengusahaan HutanIzin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu IUPHHK, maka terhadap permohonan atau tuntutan tersebut perlu sebelumnya dilakukan penelitian oleh pakar hukum adat, tokoh masyarakat yang ada di daerah yang bersangkutan, instansi atau pihak lain yang terkait serta memperhatikan aspirasi masyarakat setempat untuk menentukan apakah permohonan yang bersangkutan masih merupakan masyarakat hukum adat atau bukan. Penelitian tersebut harus mengacu kepada kriteria keberadaan masyarakat hukum adat sebagaimana ditentukan dalam penjelasan Pasal 67 ayat 1 UU Nomor 41 Tahun 1999. 2 Untuk menetapkan hutan negara sebagai hutan adat yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat hukum adat rechtsgemeenschap setempat, BupatiWalikota melakukan pengusulan hutan negara tersebut untuk ditetapkan sebagai hutan adat dengan memuat letak, luas hutan serta peta hutan adat yang diusulkan kepada Menteri Kehutanan dengan rekomendasi Gubernur, dengan ketentuan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada de facto dan diakui keberadaannya de yure. 137 Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE. 75Menhut II2004 dikeluarkan pada masa Muhammad Prakosa sebagai Menteri Kehutanan. Universitas Sumatera Utara 3 Apabila berdasarkan hasil penelitian permohonan tersebut memenuhi syarat, maka agar masyarakat hukum adat tersebut dapat ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi. 4 Peraturan Daerah tentang keberadaan masyarakat hukum adat selanjutnya disampaikan kepada Menteri Kehutanan untuk diajukan permohonan penetapannya sebagai hutan adat. Atas permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima atau menolak penetapan hutan adat. 5 Apabila berdasarkan permohonan tersebut Menteri Kehutanan dapat menerima maka akan ditetapkan hutan adat untuk masyarakat yang bersangkutan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang penetapan hutan adat tersebut, yang akan dikirimkan kepada Saudara, maka kami minta bantuan Saudara untuk dapat memfasilitasi pertemuan antara masyarakat hukum adat yang telah ditetapkan dengan pemegang HPHIUPHHK. 6 Berkaitan dengan tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPHIUPHHK yang melakukan kegiatanoperasi di wilayah masyarakat hukum adat tersebut, maka ganti rugi atau kompensasi tidak harus berbentuk uang, tetapi dapat berupa bentuk mata pencaharian baru atau keterlibatan dalam usaha pemanfaatan hutan disekitarnya atau pembangunan fasilitas umumsosial yang bermanfaat bagi masyarakat hukum adat setempat dan dalam batas kewajarantidak berlebihan, serta tidak bertendensi pemerasan dan Universitas Sumatera Utara bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat hukum adat setempat. 7 Dengan adanya tuntutan ganti rugi atau kompensasi oleh masyarakat hukum adat terhadap para pemegang HPHIUPHHK, Gubernur atau BupatiWalikota dapat memfasilitasi pertemuan antara pihak yang bersangkutan untuk penyelesaian dengan cara musyawarah dan mufakat. Namun apabila mengalami jalan buntu, maka penyelesaiannya disarankan dilakukan melalui proses pengadilan dengan mengajukan gugatan secara perdata melalui Peradilan Umum.

14. Peraturan Daerah-Peraturan Daerah yang mengatur tentang Masyarakat Hukum Adat.

Hingga akhir tahun 2008, sebagai tindak lanjut dari berbagai peraturan perundang-undangan di atas, dapat dikemukakan beberapa peraturan daerah provinsi dan peraturan kabupatenkota, antara lain yaitu :

1. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Terdapat beberapa qanun yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat beserta dengan lembaga-lembaga adatnya, yaitu : a. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. b. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong. Universitas Sumatera Utara c. Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2004 tentang Pembentukan. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Majelis Adat Aceh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. d. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang penyelenggaraan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. e. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. 2 Provinsi Sumatera Utara. Di Propinsi Sumatera Utara belum ditemukan adanya peraturan daerah yang secara khusus mengatur keberadaan masyarakat hukum adat atau hak- hak ulayatnya. Namun demikian, Pada tahun 2001 Kesultanan Deli dan Forum Peta Umat mengajukan surat kepada Menteri Dalam Negeri dan DPR RI, yang intinya mengklaim tanah-tanah perkebunan yang tebentang luas di Sumatera Timur sebagian besar diusahakan di atas lahan hak ulayat masyarakat Melayu. Sultan Deli mengklaim tanah eks-konsesi Kesultanan Deli yang sekarang merupakan lahan perkebuan tembakau, kepala sawit dan tebu PTPN II adalah tanah ulayat mereka. Atas desakan berbagai pihak, Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menerbitkan dua Surat Keputusan Bupati Deli Serdang, yakni SK No. 112 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Universitas Sumatera Utara Masyarkat Hukum Adat di Kabupaten Deli Serdang, dan SK Bupati Deli Serdang No 615 tahun 2001 tentang Adat di Kabupaten Deli Serdang. 138 3 Provinsi Riau Komitmen pengaturan terhadap masyarakat hukum adat beserta dengan segala kelembagaan adatnya di Provinsi Riau ditemukan di Kabupaten Bengkalis. Komitmen Daerah Kabupaten Bengkalis ini dimaksudkan dalam upaya pemberdayaan masyarakat hukum adat, diwujudkan dengan terbitnya Peraturan Daerah Perda Nomor 39 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian Adat Istiadat Melayu dan Pengembangan Kebiasaan-Kebiasaan, Masyarakat serta Lembaga Adat di Kabupaten Bengkalis. Di dalam peraturan daerah tersebut mengatur model dan strategi pemberdayaan masyarakat dan lembaga adatnya, agar anggota persekutuan hukum adat dapat mencapai taraf kehidupan yang lebih sejahtera. 4 Provinsi Sumatera Barat Propinsi sumatera barat menangkap peluang itu dengan mencoba merekonstruksi ulang nagari sebagai basis pemerintahan dan kesatuan masyarakat adat melalui Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 9 Tahun 2000 sebagaimana di rubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 2 Tahun 2007 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan 138 LIhat, Departemen Sosial RI, penelitian, Inventarisasi Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat, Direktorat Pembinaan Komunitas Adat Terpencil, Jakarta, 2008. hal. 23. Universitas Sumatera Utara Nagari Perda Pemerintahan nagari, sejak itulah semangat kehidupan bernagari bergeliat. 139 Dalam Perda Pemerintahan Nagari secara jelas menyebutkan ulayat nagari sebagai bagian dari harta nagari yang bisa dikelola dan dimanfaatkan sesuai dengan hukum adat yang ada di nagari., yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Propinsi Sumatera Barat Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya Perda TUP. Di Provinsi Sumatera Barat dikenal 3 tiga jenis tanah ulayat, yaitu tanah ulayat nagari, tanah ulayat suku, dan tanah ulayat kaum. Tanah Ulayat Nagari adalah Tanah Ulayat yang merupakan kekayaan nagari, yang pengelolaannya berada pada Kerapatan Adat Nagari KAN dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, sedangkan pengaturan dan pemanfaatannya dilakukan oleh Pemerintah Nagari. Tanah Ulayat Suku adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan Suku yang penguasaannya berada pada Penghulu Suku dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama. Tanah Ulayat Kaum adalah Tanah Ulayat yang merupakan kepunyaan masing-masing kaum dalam suatu suku yang pengaturannya berada pada Mamak Kepala Waris. 5 Provinsi Jambi Secara yuridis belum ada Peraturan Daerah Perda Provinsi maupun Kabupaten se Provinsi Jambi yang secara khusus mengatur hak-hak Masyarakat hukum adat. Meskipun demikian secara informal Pemerintah 139 lihat ; Nurul Firmansyah, Nasib Hak Ulayat atas Tanah dan Hutan di Sumatera Barat, www.legalitas.org , 23 Januari 2009. Universitas Sumatera Utara Daerah tetap masih mengakui eksistensi Masyarakat hukum adat dengan hak- hak mereka atas tanah, lembaga dan hukum adat dalam menyelesaikan permasalahan antara warga masyarakat. Masyarakat hukum adat menguasai wilayah adat yang kepemilikannya secara kolektif dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan bersama. 140 Namun demikian, terdapat dua keputusan bupati di Provinsi Jambi yang secara tegas berisikan pengukuhan terhadap hutan adat, yaitu : a. Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kerinci Nomor 176 Tahun 1992 tentang Pengembangan dan pembangunan Hutan Adat untuk Pengelolaan DaerahDesa Penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat Kabupaten Daerah Tingkat II Kerinci. b. Keputusan Bupati Bungo Provinsi Jambi Nomor 1249 Tahun 2002 tentang Pengukuhan Hutan Adat Desa Batu Kerbau Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo. Keputusan ini mengukuhkan lahan seluas 200 hektar sebagai hutan adat dan hutan lindung. c. Keputusan Bupati Marangin Provindi Jambi Nomor 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat masyarakat hukum adat Desa Guguk Kecamatan Sungai Manau Kabupaten Merangin. Keputusan Bupati Marangin tersebut telah mengukuhkan lebih kurang 800 hektar sebagai hutan adat masyarakat hukum adat Desa Guguk. 140 Lihat, Departemen Sosial, Op. Cit., hal. 34. Universitas Sumatera Utara 6 Provinsi Kalimantan Timur Walaupun belum ada Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur yang mengatur masyarakat hukum adat, tetapi pada pemerintahan kabupaten, telah dundangkan Peraturan Daerah Kabupaten Pasir Nomor 3 Tahun 2000 tentang Pemberdayaan, pelestarian, Perlindungan dan Pengembangan Adat istiadat dan Lembaga Adat. Pada Pasal 13 ayat 1 Perda tersebut mengatur mengenai adanya wilayah adat yang diakui oleh masyarakat adat. Sehingga dengan adanya ketentuan ini mengisyaratkan Pemerintah Daerah Kabupaten Pasir mengakui keberadaan masyarakat adat. Selain peraturan daerah kabupaten di atas, di Provinsi Kalimantan Timur juga ditemukan peraturan kabupaten lainnya yang juga mengakui keberadaan hutan sebagai hak ulayat masyarakat, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Kutai Barat Nomor 12 Tahun 2003 tentang Kehutanan Masyarakat. Peraturan daerah ini intinya berisikan pengakuan pemerintah daerah terhadap pengelolaan hutan oleh masyarakat. 7 Provinsi Kalimantan Tengah Berkaitan dengan pengakuan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak ulayatnya, di Provinsi Kalimantan Tengah telah dikeluarkan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 14 Tahun 1998 tentang Kedamangan di Provinsi Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah. Kedamangan adalah kesatuan masyarakat hukum adat dalam Provinsi Kalimantan Tengah yang terdiri dari himpunan beberapa Universitas Sumatera Utara DesaKelurahanKecamatan yang mempunyai wilayah tertentu yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Hak adat adalah hak untuk memanfaatkan sumber daya yang ada dalam lingkungan hidup warga masyarakat sebagaimana tercantum dalam lembaga dat, yang berdasarkan hukum adat dan yang berlaku dalam masyarakat atau persekutuan hukum adat tertentu. Hukum Adat Dayak di Kalimantan Tengah adalah hukum yang benar- benar hidup dalam kesadaran hati nurani warga masyarakat Dayak di Kalimantan Tengah dan tercermin dalam pola-pola tindakan mereka sesuai dengan adat istiadatnya dan pola-pola sosial budayanya yang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Dama Kepala Adat adalah pimpinan adat dari satu Kedamangan yang diangkatdipilih berdasarkan hasil pemilihan oleh beberapa Desa atau Kelurahan atau Kecamatan yang termasuk dalam wilayah kedamangan tersebut. Mantir Adat adalah perangkat adat atau gelar bagi seorang yang Universitas Sumatera Utara duduk di Majelis Adat. Majelis Adat adalah Dewan Adat yang mengemban tugas tertentu di bidang pemberdayaan dan pelestarian serta pengembangan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan masyarakat, lembaga adat dan hukum adat di daerah. 8 Provinsi Banten Pada tingkat pemerintahan provinsi tidak ditemukan adanya pengaturan terhadap masyarakat hukum adat di Provinsi Banten. Namun pada pemerintahan kabupaten terdapat pengaturannya terhadap hal ini, sebagaimana dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak. Pemerintah Kabupten Lebak memperhatikan dengan sungguhsungguh keberadaan Masyarakat Baduy sebagai masyarakat hukum adat. Perhatian Pemerintah Kabupaten Lebak diwujudkan melalui : a. Peraturan Daerah Perda Nomor 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat Baduy. b. Peraturan Daerah Kabupaten Lebak Provinsi Banten Nomor 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan Hak Ulayat Masysrakat Baduy. c. Keputusan Bupati Lebak Nomor 590Kep.233Huk2003 tentang Penetapan Batas-Batas Wilayah Detail Tanah Ulayat Masyarakat hukum adat Baduy. Dalam Keputusan ini ditegaskan bahwa luas Desa Kanekes sama luasnya dengan luas tanah ulayat yang didiami oleh Masyarakat Baduy, yaitu 5.136,58 Ha. Artinya, batas-batas wilayah Desa Kanekes sama dengan batas-batas wilayah tanah ulayat Masyarakat Baduy. Universitas Sumatera Utara 9 Provinsi Sulawesi Selatan Di Provinsi Sulawesi Selatan pengaturan mengenai masyarakat hukum adat dan lembaga adatnya, tidak ditemukan pada peraturan daerah provinsi, melainkan pada peraturan daerah kabupaten, yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Sidenreng Rappang Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pemberdayaan, Pelestarian dan Pengembangan Adat Istiadat dan Lembaga Adat. Pengakuan secara tertulis tehadap eksistensi adat istiadat dan lembaga adat tersebut tidak secara jelas mengatur wilayah masyarakat hukum adat. Dalam Pasal 5 ayat 1 peraturan daerah ini dinyatakan bahwa lembaga adat berkedudukan sebagai wadah atau organisasi permusyawaratan permufakatan kepala adatketua adat atau pemuka adat lainnya yang berada di luar organisasi pemerintah. Pada ayat 2 disebutkan, bahwa Lembaga Adat mempunyai tugas, yaitu : a. Menampung dan menyalurkan pendapat masyarakat kepada pemerintah serta menyelesaikan perselisihan menyangkut hukum adat-istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. b. Memberdayakan, melestariakan dan mengembangkan adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam rangka memperkaya budaya daerah serta memberdayakan masyarakat dalam menunjang penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. c. Menciptakan hubungan yang demokratis dan harmonis serta obyektif antara kepala adatpemangku adat dan pemuka adat dengan aparat pemerintah di daerah. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya pada Bab V Pasal 6 ayat 1 ditegaskan, bahwa Lembaga Adat mempunyai hak dan kewajiban, yaitu : a. Mewakili masyarakat hukum adat dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan masyarakat hukum adat. b. Mengelola hak-hak adat dan atau harta kekayaan adat dan meningkatkan kemajuan dan taraf hidup masyarakat menjadi lebih baik. c. Menyelesaikan perselisihan yang mencakup perkara adat istiadat dan kebiasaan-kebiasan masyarakat sepanjang penyelesaian itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada ayat 2 ditegaskan, bahwa Lembaga Adat berkewajiban : a. Membantu kelancaran penyelenggaraan pemerintah pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan, terutama dalam pemanfaatan hak-hak adat dan harta kekayaan lembaga adat dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat hukum adat setempat. b. Memelihara stabilitas nasional yang sehat dan dinamis yang dapat memberikan peluang yang luas kepada aparat pemerintah terutama, pemerintah desa atau kelurahan dalam melaksanakan tugas-tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa, pelaksanaan pembangunan yang lebih berkualitas dan pembinaan masyarakat yang adil dan demokratis. c. Menciptakan suasana yang dapat menjamin terpeliharanya kebhinekaan adat dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa. Universitas Sumatera Utara 10 Provinsi Bali Masyarakat hukum adat di Bali tinggal dalam suatu desa adat yang dikenal dengan Desa Pakraman. Eksistensi desa adat ini telah memperoleh pengakuan dari pemerintah Provinsi Bali melalui Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2001 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 3 Tahun 2003 tentang Desa Pakraman. Peraturan daerah tersebut, antara lain mengatur tentang fungsi desa adat untuk membantu pemerintah dalam menjaga, memelihara dan memanfaatkan kekayaan desa adat untuk kesejahteraan masyarakat desa adat. Selain itu, juga mengatur bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan. Pemerintah Daerah menjamin setiap orang bebas menjalankan ibadah sesuai dengan ajaran Hindu, dan menghormati masyarakat untuk melakukan ritual pada hari-hari tertentu sesuai dengan aturan yang berlaku di dalam ajaran Hindu. Di dalam Peraturan Daerah Perda tentang Desa Pakraman ditegaskan satu fungsi desa adat adalah membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya, dan kebudayaan Bali pada khususnya, berdasarkan paras paros salungkung sabayantaka atau musyawrah untuk mufakat. Berdasarkan inventarisasi terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai masyarakat hukum adat, dapat dikemukakan beberapa hal; Pertama, selama Universitas Sumatera Utara berkuasanya Pemerintahan Orde Baru, tidak ditemukan peraturan perundang-undangan yang dihasilkannya yang mengatur mengenai pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat. Ini membuktikan, Pemerintahan Orde Baru dengan politik hukumnya yang unifikasi dan sentralistik tidak memberi peluang bagi eksisnya masyarakat hukum adat sebagai suatu masyarakat yang khas dengan system pemerintahan dan hak-hak tradisonalnya tersendiri. Kedua, kecuali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Agraria, yang merupakan produk hukum masa Pemerintahan Orde Lama, selebihnya semua peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai keberadaan masyarakat hukum adat adalah produk hukum rezim Pemerintahan Reformasi. Pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, utamanya ditegaskan dalam Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada tahun 2000. Tepatnya, hal tersebut dapat ditemukan pada Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 yaitu, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang- undang. Sekalipun secara kronologis pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat lebih dahulu dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, namun dengan ditegaskannya pengakuan dan penghormatan terhadap Universitas Sumatera Utara masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya di dalam Undang-Undang Dasar merupakan ketentuan payung yang telah menimbulkan dampak yang lebih kuat bagi pembentukan undang-undang di tahun-tahun berikutnya. Ketiga, walaupun hingga saat ini ternyata masih banyak provinsi yang belum memiliki peraturan daerah yang mengatur tentang keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayatnya. Tetapi ini tidak berarti, provinsi-provinsi tersebut tidak mengakui adanya masyarakat hukum adat sebagai bagian dari masyarakatnya. Pada provinsi- provinsi seperti ini, keberadaan masyarakat hukum dan hak ulayatnya diakui secara hukum adat sebagai hukum yang tidak tertulis yang belum dieksplisitkan baik di dalam peraturan daerah ataupun peraturan gubernur atau peraturan bupati.

C. Sifat Masyarakat Hukum Adat

Antara masyarakat hukum adat dan hak ulayat merupakan dua hal tak terpisahkan. Artinya, setiap masyarakat hukum adat selalu memiliki hak ulayatnya. Sehingga, eksis- tidaknya suatu hak ulayat sangat tergantung pada eksistensi masyarakat hukum adatnya. Hak ulayat adalah hak komunal suatu masyarakat hukum adat terhadap sumberdaya alamnya yang diwarisi oleh para leluhurnya secara turun temurun, berupa; tanah, air, hutan, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan segala yang ada di dalam bumi wilayah adat. Issu masyarakat adat menjadi populer secara internasional berawal dari gerakan protes masyarakat asli native peoples di Amerika Utara, yang meminta keadilan pembangunan akibat kehadiran sejumlah perusahaan transnasional di bidang pertambangan yang beroperasi di wilayah kelola mereka. Pengembangan sejumlah Universitas Sumatera Utara wilayah konservasi oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Kanada di wilayah masyarakat adat mereka, pun memicu timbulnya gerakan protes. Gerakan protes masyarakat adat Amerika Utara dan Kanada mendapat respon positif dari Organisasi Buruh Internasional International Labour Organitation pada tahun 1950-an dalam upaya melindungi tenaga kerja. Melalui lembaga ini ILO, istilah dan issu masyarakat adat mulai dipopulerkan dengan sebutan indigenous peoples. Setelah dihembuskan oleh ILO sebagai issu global di lembaga PBB, Bank Dunia World Bank juga mengadopsi issu tersebut untuk proyek pendanaannya di sejumlah negara berkembang, seperti di Amerika Latin, Afrika, dan Asia Pasifik. Di Negara Bagian Alaska, misalnya, komunitas Inuit, merupakan korban dari ketidak-adilan pembangunan industri pertambangan di Amerika Serikat. Pembangunan Taman Nasional Missisipi Amerika Serikat juga merampas hak kelola komunitas pribumi Indian, seperti Mohak. Sedangkan pembangunan Taman Nasional Rocky Mountain di sebelah barat Amerika Serikat juga mengancam kehidupan komunitas Indian Appache. Sementara itu di Kanada, komunitas Inuit yang masuk dalam wilayah negara tersebut juga memprotes kebijakan Pemerintah Kanada yang memaksa mereka harus meninggalkan wilayahnya untuk menuju desa-desa di pinggiran kota, karena perusahaan- perusahaan minyak, gas dan batubara akan mengelola wilayah tersebut. Berbagai protes dari komunitas masyarakat adat indigenous people Amerika Serikat dan Kanada telah menimbulkan reaksi Organisasi Buruh Internasional ILO sehingga pada tahun 1957 organisasi ini menerbitkan Konvensi Nomor 107 dan Rekomendasi Nomor 104 tentang Perlindungan dan Integrasi Penduduk Asli dan Masyarakat Suku. Kemudian, pada tahun 1989, ILO memperbaharui konvesi tersebut Universitas Sumatera Utara menjadi Konvensi Nomor 169. 141 Sekarang, istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People pada tahun 2007. 142 Di Indonesia, istilah indigenous peoples diterjemahkan dengan masyarakat adat. Pada tahun 1993, istilah “masyarakat adat” disepakati sebagai suatu istilah umum pengganti sebutan yang beragam, 143 dan mulai disosialisasikan oleh sekelompok orang yang menamakan dirinya Jaringan Pembelaan Hak-hak Masyarakat Adat JAPHAMA, yang terdiri dari tokoh-tokoh adat, akademisi dan aktivis organisasi non pemerintah Ornop. Selanjutnya, sebagaimana ditetapkan dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara KMAN pertama yang diselenggarakan pada bulan Maret 1999, disepakati bahwa masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur secara turun temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. 144 Sekalipun istilah masyarakat adat baru dipopulerkan di Indonesia pada tahun 1990- an, itu tidak berarti masyarakat adat pun baru eksis pada era tersebut, karena jauh sebelum diperkenalkan istilah masyarakat adat, kita telah mengenal istilah masyarakat hukum adat yang disebutkan dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Masyarakat adat atau masyarakat hukum adat telah ada beratus-ratus tahun yang lalu, jauh sebelum lahirnya negara ini. Mereka telah memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya. Aspek penting yang harus diketahui oleh pihak-pihak yang ingin memahami permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat adat adalah kenyataan tentang keragaman 141 Azmi Siradjudin, Pengakuan Masyarakat Adat dalam Instrumen Hukum Nasional, http:www.ymp.or.id , April 2004. 142 Yance Arizona, Jaminan Hukum Masyarakat Adat, http:www.huma.or.id . Juni 2008. 143 Pada saat itu, terdapat sebutan yang beragam, misalnya; masyarakat terasing, suku terpencil, masyarakat hukum adat, masyarakat suku, orang asli, peladang liar, dan lain‐lain. 144 Lihat Keputusan Kongres Masyarakat Adat Nusantara No. 01KMAN1999. Universitas Sumatera Utara mereka. Keragaman ini dapat dilihat dari budaya, agama dan atau kepercayaan, serta organisasi sosial ekonominya. Dalam kaitannya dengan permasalahan lingkungan hidup, sebagian kelompok memposisikan mereka sebagai kelompok yang diidealkan dalam berhubungan dengan alam, yang menekankan pada realita adanya hubungan spiritalitas dari masyarakat-masyarakat adat dengan alamnya. Sedangkan bagi kelompok lain, mereka seringkali dianggap sebagai penghambat utama dari perkembangan kemajuan, khususnya dari segi ekonomi. Di Indonesia, menurut Sandra Moniaga, kita seharusnya merasa beruntung dengan adanya masyarakat-masyarakat adat yang jumlahnya lebih dari seribu komunitas. Keberadaan mereka merupakan suatu kekayaan bangsa, karena ada lebih dari seribu ragam ilmu pengetahuan yang telah mereka kembangkan. Dan, ada lebih dari seribu bahasa yang telah dimanfaatkan dan dapat membantu pengembangan khasanah Bahasa Indonesia dan masih banyak lagi hal-hal lain yang mereka sumbangkan. 145 Dalam hubungannya antara masyarakat adat dan lingkungan hidup, dari perspektif socio-ekologis mereka dapat dikategorikan dalam beberapa varian komunitas, yaitu : Pertama adalah, kelompok masyarakat adat yang masih kukuh berpegang pada prinsip yang menempakan diri sebagai “pertapa bumi” dengan sama sekali tidak mengubah cara hidup mereka. Kelompok Masyarakat Kenekes di Banten dan Masyarakat To Kajang Kajang Dalam di Bulukumba Sulawesi Selatan yang menempatkan diri sebagai “pertapa bumi”, mempercayai bahwa mereka adalah kelompok masyarakat terpilih yang bertugas memelihara kelestarian bumi dengan berdoa dan hidup prihatin. Pilihan hidup prihatin mereka dapat dilihat dari adat tentang bertani, berpakaian, pola makan mereka, dan lain lain. Bahkan mereka tetap eksis dengan tidak berhubungan dengan pihak luar, 145 Sandra Moniaga, Hak‐hak Masyarakat Adat dan Masalah Kelestarian Lingkungan Hidup, Wacana HAM, Jakarta, No. 10Tahun II12 Juni 2002. Universitas Sumatera Utara dan mereka memilih menjaga sumberdaya alam dan lingkungannya dengan kearifan tradisonalnya. Kedua adalah, antara lain, kelompok masyarakat adat yang masih ketat dalam memelihara adatnya, tetapi mau membuka ruang bagi adanya hubungan dengan pihak luar. Masyarakat Kasepuhan Banten Kidul dan Masyarakat Suku Naga di Jawa Barat merupakan komunitas yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat adat kelompok kedua, yang juga cukup ketat dalam memelihara dan menjalankan adat tetapi masih membuka ruang cukup luas bagi adanya hubungan-hubungan ‘komersil’ dengan dunia luar. Ketiga adalah, Masyarakat-masyarakat adat yang hidup tergantung dari alam hutan, gunung, sungai, laut dan mengembangkan sistem pengelolaan yang unik tetapi tidak mengembangkan adat yang ketat dalam hal bentuk dan bahan untuk perumahan maupun pemilihan jenis tanaman jika dibandingkan dengan komunitas masyarakat kelompok pertama dan kedua. Masuk dalam kelompok ini, misalnya; Masyarakat Adat Dayak dan Masyarakat Penan di Kalimantan, Masyarakat Pakava dan Lindu di Sulawesi Tengah, Masyarakat Dani dan Masyarakat Deponsoro di Papua Barat, Masyarakat Krui di Lampung dan Masyarakat Kei maupun Masyarakat Haruku di Maluku. Pada umumnya mereka memiliki pengetahuan tentang sistim pengelolaan sumber daya alam yang arif, sehingga dekat sekali dengan alam. Di Maluku dan Papua masyarakat adat yang tinggal di pulau-pulau kecil maupun di wilayah pesisir memiliki sistem ‘sasi’ atau larangan memanen atau mengambil dari alam pada waktu-waktu tertentu. Sasi ikan lompa di Pulau Haruku sangat terkenal sebagai satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon yang menunjukkan salah satu bentuk kearifan tradisional dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang semacam polisi adat di Maluku Tengah, maka siapapun tidak Universitas Sumatera Utara berhak untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya pengembang-biakan dan membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika sasi dibuka lagi. Keempat adalah, kelompok masyarakat adat yang sudah tercerabut dari tatanan pengelolaan sumber daya alam yang “asli” sebagai akibat dari penjajahan yang telah berkembang selama ratusan tahun. Mereka yang dapat dimasukkan dalam kelompok ini adalah, misalnya, masyarakat Betawi di Jakarta dan Masyarakat Melayu Deli yang mendiami wilayah perkebunan tembakau di Sumatera Utara. 146 Menyadari realitas keragaman masyarakat adat, yang tampaknya dapat ditemui di setiap provinsi, dan bahkan dalam kabupaten tertentu di Indonesia, 147 sebenarnya, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengakui dengan tanpa syarat terhadap eksistensi masyarakat adat, baik secara politik maupun hukum. Perlu pula dikemukakan, bahwa sekalipun secara populer bahwa istilah “indigenous people” telah disepakati oleh Kongres Aliansi Majelis Adat Nusantara pada tahun 1999 yang diterjemahkan dengan “masyarakat adat”. Tetapi, dalam terminology peraturan perundang-undangan istilah masyarakat adat belum sering digunakan. Hingga sekarang, istilah “masyarakat hukum adat” yang merupakan padanan dari istilah “rechtgemeinschaapt” merupakan istilah yang lebih lazim digunakan dalam berbagai peraturan perundang-undangan. 148 Kami berpendapat, baik istilah masyarakat adat maupun istilah masyarakat hukum adat memiliki kesamaan esensi dan kriteria, sehingga tidak perlu diperdebatkan. 146 Sandra Moniaga, Ibid. Lihat juga, Azmi Siradjudin, Op. Cit. 147 Misalnya, di Kabupaten Aceh Selatan ditemukan Masyarakat Adat Kluet, Masyarakat Aneuk Jamee, dan Masyarakat Aceh. 148 Istilah masyarakat hukum adat ditemukan pada UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok ‐pokok Agraria, UU No. 5 Tahun 1967 tentang Pokok Kehutanan, UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dan peraturan perundang‐undangan lainnya. Sedagkan dalam UU No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, digunakan istilah masyarakat adat. Universitas Sumatera Utara Keberadaan wilayah masyarakat hukum adat di Indonesia dinyatakan dalam beberapa pustaka antara lain: Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Van Vollenhoven yang dilakukan antara tahun 1906 sampai dengan tahun 1918. Dalam karyanya Adatrecht van Nederlandsch-Indie, van Vollenhoven menyimpulkan bahwa di wilayah nusantara terdapat 19 wilayah hukum adat, yaitu daerah 1 Aceh meliputi; Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Siemelu. 2 Gayo, Alas, dan Batak, meliputi; Gayo Luwes, Tanah Alas, Tanah Batak; Tapanuli Utara Batak PapakBarus, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Toba, Tapanuli Selatan Padang Lawas, Angkola, Mandailing dan Nias. 3 Minangkabau Padang, Agam, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, Tanah Kampar, dan Korintji , dan Mentawai, 4 Sumatera Selatan, meliputi; Bengkulu Redjang, Lampung Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang, Palembang Anak Lakitan, Djelma Daja, Kubu, Pasemah, Samendo, Djambi Batin dan Penghulu 5 Melayu Lingga Riau, Indragiri, Sumatera Timur. 6 Bangka, Belitung, 7 Kalimantan, meliputi; Dayak, Kapuas Hulu, Mahakam Hulu, Pasir, Dayak Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Landak, Dayak Tajan, Dayak Lawangan, Lepo-Alim, Lepo-Timai, Long Glat, Dayak Maanjai Patai, Dayak Maanjai Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot-Danum, Dayak Penyabung Punan. 8 Minahasa, Manado 9 Gorontalo, meliputi; Bolaang, Mongondow, Boalemo. 10 Tanah Toraja, meliputi; Toradja, Toradja Baree, Toradja Barat, Sigi, Kaili, Tawaili, Toradja Sadan, To Mori, To Lainang, Kepulauan Banggai. 11 Sulawesi Selatan, meliputi; Bugis, Bone, Gowa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Salaisar, Muna. 12 Kepulauan Ternate, meliputi; Ternate, Tidore, Halmaheira, Tobelo, Kepulauan Sula. 13 Maluku Ambon, meliputi; Ambon, Hitu, Banda, Kelupalaun Uliasar, Saparna, Buru, Seram, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, Kisar. 14 Irian 15 Kepulauan Timor, meliputi Kepulauan Timor, Timor, Timor Tengah, Mollo, Sumba, Sumba Tengah, Sumba Timor, Kodi, Flores, Ngada, Rote, Savu, Universitas Sumatera Utara Bima. 16 Bali dan Lombok, meliputi; Tanganan pagringsingan, Kastala, Karangasem, Buleleng, Djembrana, Lombok, Sumbawa. 17 Jawa Tengah, Jawa Timur, Madura, meliputi; Jawa Tengah, Kedu, Purwokerto, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura. 18 Daerah Kerajaan Solo, Yogyakarta, 19 Jawa Barat, meliputi; Priangan, Sunda, Jakarta, dan Banten. 149 Selanjutnya dalam Penjelasan Bab VI UUD 1945 dinyatakan bahwa dalam teritori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurende land-schappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Persekutuan hukum adat di Aceh disebut dengan gampong. 150 Menurut T. Djuned, gampong merupakan persekutuan masyarakat hukum adat yang bersifat territorial. 151 Daerah-daerah ini mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingat hak-hak asal usul daerah tersebut. Di Provinsi Lampung saja, misalnya, terdapat sebanyak 76 kesatuan masyarakat hukum adat yang disebut Marga. Keberadaan marga-marga tersebut diakui oleh Gubernur melalui SK No. G362B.IIHK96. Dasar keputusan Gubernur Lampung dalam mengesahkan 76 masyarakat hukum adat di Lampung adalah hasil-hasil penelitian pakar- pakar dalam adat dan kebudayaan Lampung. 152 Sedangkan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jika mukim dan gampong dikategorikan sebagai kesatuan masyarakat 149 Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Rangkaian Publikasi Hukum Adat dan Etnografi, Balai Buku Ichtiar, Jakarta, 1961, hal. 89‐91. 150 Ter Haar, Asas‐asas dan Susunan Hukum Adat, Pradya Paramita, Jakarta, 1960, hal. 17. 151 T. Djuned, dkk, Inventarisasi Hukum Adat dan Adat di Aceh, Laporan Penelitian, kerjasama FH Unsyiah dan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2001. 152 Martua Sirait, Chip Fay dan A. Kusworo, Bagaimana Hak‐hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumberdaya Alam diatur, ICRAF Southeast Asia Policy Research Working Paper, Bogor, 2002 Universitas Sumatera Utara hukum adat, maka pada tahun 2006 terdapat 669 Mukim dan 5958 gampong. 153 Keberadaan mukim dan gampong sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, telah ditetapkan dengan Qanun Aceh Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dari keterangan di atas diketahui bahwa masyarakat hukum adat, memang benar benar ada dan hidup di Indonesia. Dari empat contoh diatas dapat dilihat bahwa informasi yang disajikan pada awal abad ke 19 oleh peneliti Belanda merupakan informasi yang sangat umum tentang keberadaan masyarakat hukum adat di Indonesia, demikian pula dalam Undang-undang dasar 1945 pasal 18 sebelum diamandemen menyatakan keberadaan kurang lebih 250 Zelfbestuurende land-schappen yang merupakan wilayah-wilayah kesultanankerajaan yang bersifat otonom daerah swapraja. Akan tetapi kesatuan kesultanankerajaan ini bukan yang dimaksud dengan persekutuan masyarakat hukum adat. Persekutuan masyarakat adat yang dimaksud adalah Volksgemeen-schappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, gampong dan mukim di Aceh, dan sebagainya. Kesatuan masyarakat adat ditingkat kampung yang mempunyai sistem sosial sendiri dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan pengelolaan sumber daya alamnya, jumlahnya tidak terbatas. Sehingga hilangnya daerah swapraja zelfbestuurenden landschappen tidak berarti hilangnya masyarakat adat volksgemeen- schappen beserta hak-haknya. Menurut rumusan Ter Haar, masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang teratur, yang bertingkah laku sebagai sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa 153 Lihat, Aceh Dalam Angka 2006, Kerjasama BPS dan BAPPEDA NAD, Banda Aceh, 2007, hal. 13 Universitas Sumatera Utara benda yang berwujud ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing- masing mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk selama-lamanya. 154 Masyarakat adat, menurut Soetandyo Wignyosoebroto, merupakan suatu kesatuan masyarakat yang bersifat otonom dan sekaligus otohton. Bersifat “otonom”, karena mereka mengatur sendiri sistem kehidupannya, baik dalam lapangan hukum, politik, ekonomi dan sebagainya. Selain itu, masyarakat ini juga bersifat “otohton”, yaitu suatu kesatuan masyarakat yang lahirdibentuk oleh masyarakat itu sendiri, bukan dibentuk oleh kekuasaan lain. Kehidupan komunitas-komunitas masyarakat adat kini tidak sepenuhnya otonom dan terlepas dari pengoperasian pengintegrasian ke dalam kesatuan organisasi kehidupan negara bangsa yang berskala besar dan berformat nasional. 155 Mengenai pentingnya pemahaman terhadap masyarakat hukum adat, Bushar Muhammad mengemukakan, berangsiapa yang hendak mengerti inti berbagai lembaga hukum yang ada dalam suatu masyarakat, seperti lembaga hukum tentang perkawinan, lembaga hukum tentang warisan, lembaga hukum tentang jual beli barang, tentang milik tanah, dan lain-lain, harus mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat menentukan system hukum yang berlaku di masyarakat itu. Terdapat beberapa tipe struktur masyarakat hukum adat, yaitu masyarakat yang berdasarkan ukuran kriterium asas kedaerahan territorial dan yang berdasarkan ukuran asas keturunan geneologis. Penggolongan menurut kedua tipe ini hanya mempunyai nilai teoritis belaka. Sedangkan praktiknya, menurut kenyataannya, setiap masyarakat 154 Bushar Muhammad, Op. Cit. hal. 207. 155 Soetandyo Wignyosoebroto, Masyarakat Adat di Tengah Perubahan, makalah pada roundtable discussion Pemulihan Hak‐hak Masyarakat Adat, Jakarta, 24 Maret 1999. Universitas Sumatera Utara hukum adat memuat dalam strukturnya unsur-unsur kedaerahan maupun unsur-unsur keturunan sekaligus. Sehingga, setiap masyarakat hukum adat mempunyai suatu struktur yang sifatnya teritorial-geneologis, yatu unsur-unsur territorial lebih kuat daripada unsur-unsur geneologis, atau mempunyai struktur yang sifatnya geneologis-teritorial, dalam hal mana unsur-unsur geneologis-nya lebih kuat daripada unsur-unsur territorial. Masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat geneologis menurut asas kedarahan keturunan ialah masyarakat hukum adat yang anggota-anggotanya terikat dalam suatu ketertiban berdasarkan kepercayaan bahwa mereka semua berasal dari satu keturunan yang sama. Dengan kata lain, seseorang menjadi anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan karena ia merupakan keturunan dari seorang ayah-asal nenek moyang laki-laki tunggal, menurut garis keturunan laki-laki, atau seorang ibu-asal nenek moyang perempuan tunggal, melalui garis keturunan perempuan. Sehingga dengan demikian, menjadilah semua anggota masyarakat yang bersangkutan itu suatu kesatuan dantunduk pada peraturan-peraturan hukum adat yang sama. Sedangkan pada masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat territorial, merupakan masyarakat hukum adat yang disusun berasaskan lingkungan daerah, dimana para anggotanya merasa bersatu, dan oleh sebab itu merasa bersama-sama merupakan kesatuan masyarakat hukum adat yang bersangkutan, karena ada ikatan antara mereka masing-masing dengan tanah tempat tinggal mereka. Landasan yang mempersatukan para anggota masyarakat hukum adat yang strukturnya bersifat territorial adalah ikatan antara orang anggota masing-masing masyarakat tersebut dengan tanah yang didiami sejak kelahirannya, yang didiami oleh orang tuanya, yang didiami oleh neneknya, yang didiami Universitas Sumatera Utara oleh nenek moyangnya, secara turun temurun. Jadi, ikatan dengan tanah merupakan inti asas teritorial. 156 Menurut Maria Sumardjono, kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat dihubungkan dengan keberadaan hak ulayat tersebut adalah: a. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu sebagai subyek hak ulayat; b. Adanya tanahwilayah dengan batas-batas tertentu sebagai lebensraum ruang hidup yang merupakan obyek hak ulayat; c. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang berhubungan dengan tanah, sumber daya alam lain serta perbuatan- perbuatan hukum. Persyaratan tersebut di atas tidak perlu dipenuhi secara kumulatif, hal itu merupakan petunjuk bahwa hak adat atas tanah dan sumber daya alam di kalangan masyarakat adat tersebut masih ada. Kriteria ini diharapkan bukan menjadi pembatas suatu komunitas dikatakan bukan masyarakat adat, tapi membantu para pengambil keputusan untuk menerima keberadaan suatu masyarakat adat. 157 Dapat dipertegas kembali mengenai kriteria Masyarakat Adat sebagai Subjek Hukum, Objek Hukum dan Wewenang Masyarakat Adat sebagai-berikut: Subyek hak masyarakat atas wilayah adatnya hak ulayat dalam perundang-undangan nasional yang digunakan adalah masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat yang ada di Indonesia merupakan masyarakat atas kesamaan tertorial wilayah, Genealogis keturunan, dan teritorial-genealogis wilayah dan keturunan, sehingga terdapat 156 Bushar Muhammad, Op. Cit., hal. 213. 157 Maria SW Sumardjono, Pengakuan Keberadaan Hutan Adat dalam Rangka Reformasi Agraria, makalah pada Lokakarya Keberadaan Hutan Adat, Jakarta, 1999. Universitas Sumatera Utara keragaman bentuk masyarakat adat dari suatu tempat ke tempat lainnya. 158 Obyek hak masyarakat atas wilayah adatnya hak ulayat adalah tanah, air, hutan, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan segala yang ada di dalam bumi wilayah adat. Wilayah hak ulayat mempunyai batas-batas yang jelas, baik secara faktual batas alam atau tanda-tanda di lapangan maupun simbolis bunyi gong yang masih terdengar, yang masing-masing daerah berbeda. Mengatur dan menetukan hubungan dapat terlihat dengan mudah apakah transaksi-transaksi mengenai tanah dilakukan oleh aturan dan kelembagaan adat. Misalnya, transasksi tanah di dalam wilayah gampong di Kabupaten Aceh Besar, harus diketahui danatau disaksikan serta ditandatangainya akta jual beli tanah oleh Imeum Mukim. Wewenang Masyarakat Adat atas Tanah dan Sumber Daya Hutan yang dimaksud umumnya mencakup; 1 Mengatur dan menyelenggarakan penggunaan tanah untuk pemukiman, bercocok tanam, dan lain-lain, ataupun persediaan lahan dalam rangka pembuatan pemukiman atau percetakan persawahan baru, dan juga mengatur tentang pemeliharaan tanah. 2 Mengatur dan menentukan hubungan hukum antara orang dengan tanah serta memberikan hak tertentu kepada subyek tertentu. 3 Mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan- perbuatan hukum yang berkenaan dengan tanah, misalnya; jual beli, hibah, gadai, warisan dan lain-lain. Wewenang masyarakat adat tidak sekedar atas obyek tanah, tetapi juga atas obyek- obyek sumber daya alam lainnya yaitu semua yang ada di atas tanah berupa pepohonan, binatang, bebatuan yang memiliki makna ekonomis; didalam tanah, berupa; bahan- 158 Titahelu, R.Z., Masyarakat Adat dan Pembangunan; Menuju Keutuhan Makna Pembangunan Manusia dan Masyarakat Indonesia, Orasi Dies Natalis UNPATTI ke‐32, Ambon, 18 Mei 1996. Universitas Sumatera Utara bahan galian, dan juga sepanjang pesisir pantai, juga diatas permukaan air, di dalam air maupun bagian tanah yang berada didalamnya. 159 Pada masa penjajahan Belanda, banyak dibuat perjanjian dengan raja-raja atau penduduk setempat yang pada hakekatnya menegasikan secara sistematis hak-hak masyarakat adat atas sumber–sumber daya alam mereka. Walaupun demikian masih banyak juga tantangan atas keberatan hal tersebut, sehingga Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijaksanan yang dikenal dengan nama Pernyataan Domein Domein Verklaring untuk membedakan mana obyek sumber daya alam tanah yang akan dihaki oleh Negara dan mana yang akan tetap berada dalam tangan Masyarakat Adat dikenal dengan sebutan vrij lands domein dan onvrij lands domein. Akan tetapi sampai akhir pendudukan Belanda di Indonesia, tidak semua wilayah Indonesia jatuh kedalam jurisdiksi Belanda. Untuk wilayah-wilayah yang tidak tunduk kepada pendudukan Belanda, Domein Verklaring tidak dapat digunakan. Yang digunakan adalah Korte Verklaring atau kesepahaman antar dua negara. Sehingga pada saat penyerahaan kekuasaan Belanda, tidak semua wilayah Jajahan Belanda yang dinyatakan sebagai tanah Negara diluar Privat secara otomatis menjadi Tanah Negara. Status tanah dari setiap wilayah di Indonesia perlu diklarifikasikan dahulu melalui dokumen serah terima kekuasaan. Masyarakat hukum adat senantiasa mengidentifikasikan dirinya sebagai bagian yang terintegrasi dengan alam semesta dalam hubungan yang saling terkait, tergantung, dan saling mempengaruhi. Yang paling utama adalah bagaimana menciptakan hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang, sehingga tercipta suasana harmoni antara manusia dengan lingkungannya. Jadi, secara bersahaja dapat dikatakan bahwa citra lingkungan 159 Martua Sirait, dkk., Op. Cit. hal. 5. Universitas Sumatera Utara manusia Indonesia terbentuk dan terbina dari citra lingkungan masyarakat hukum adat. 160 Secara empiris dapat dicermati bahwa citra lingkungan masyarakat hukum adat sering tampaknya tidak rasional, bersifat mistis, karena selain bertalian dengan kehidupan di alam nyata skala juga erat kaitannya dengan pemeliharaan keseimbangan hubungan dalam alam gaib niskala. Namun demikian, citra lingkungan tradisional tidak berarti menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan hidup, tetapi justru menciptakan sikap dan perilaku manusia yang serba religius dan magis terhadap lingkungannya, dalam bentuk praktik-praktik pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang bijaksana dan bertanggungjawab. Inilah esensi dan ekspresi dari kearifan masyarakat hukum adat terhadap lingkungan hidupnya. Kearifan lingkungan masyarakat adat pada hakikatnya berpangkal dari sistem nilai dan religi yang dianut dalam komunitasnya. Ajaran agama dan kepercayaan masyarakat lokal menjiwai dan memberi warna serta mempengaruhi citra lingkungannya dalam wujud sikap dan perilaku terhadap lingkungannya. Hakikat yang terkandung di dalam agama adalah memberi tuntunan kepada manusia untuk berperilaku yang serasi dan selaras dengan irama alam semesta, sehingga tercipta keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya. Kendatipun sering tampak tidak rasional dan tidak logis, tetapi secara nyata perilaku terhadap alam dengan pola-pola tindak yang bercorak mistis dan magis tersebut menciptakan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan hidup. Perilaku masyarakat yang menetapkan tempat-tempat tertentu di kawasan sungai, sumber air, danau, bukit, gunung, hutan, pohon besar, pantai, laut, dan lain-lain sebagai tempat yang angker, keramat, sakral, merupakan strategi yang efektif untuk melindungi dan melestarikan sumber daya 160 I Nyoman Nurjaya, Kearifan Lokal dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, Makalah, www.akhirnyaterbitjuga.com , Jurnal 40VIII2007. Universitas Sumatera Utara alam hayati maupun non hayati dari tindakan negatif manusia, sehingga fungsi hidro- orologis dari hutan, sungai, danau, sumber air dan penyedia sumber daya genetis bagi kehidupan subsisten manusia tetap terjaga secara berkelanjutan. Menurut alam pikir masyarakat adat yang bercorak religius-magis, alam semesta ini dihuni oleh roh-roh yang bertugas menjaga keseimbangan struktur, mekanisme, dan irama alam. Jika perilaku manusia menjadi serakah, merusak keseimbangan alam, atau sudah tidak akrab dan selaras lagi dengan irama alam, maka akan terjadi gangguan, ketidakselarasan, dan kegoncangan dalam alam semesta, dalam wujud gempa bumi, gunung meletus, wabah penyakit, angin topan, banjir, kekeringan, badai, tanah longsor, kebakaran, sambaran petir, dan lain-lain sebagai pengejawantahan dari kemarahan roh- roh penjaga alam tersebut. Fenomena alam seperti itu tentu dapat dipahami menurut alam pikir modern, karena secara ilmiah malapetaka tersebut wajar terjadi akibat dari perlakuan dan perilaku manusia yang buruk, tidak selaras, mencemari, atau merusak lingkungan hidup sehingga menimbulkan kegoncangan irama alam semesta. Secara empiris pola kepercayaan masyarakat adat seperti di atas mampu dan efektif untuk mengendalikan perilaku manusia yang cenderung serakah untuk menguasai dan mengeksploitasi sumber daya alam secara semena-mena. Karena itu, sungguh tidak bijaksana sebagian orang yang selalu mencela dan mendeskreditkan masyarakat adat yang secara sadar mempertahankan nilai, religi, tradisi, dan norma-norma hukum adat untuk menjaga keseimbangan magis dan keteraturan sosial dalam lingkungan komunitasnya. 161 Justru kita semestinya perlu empati dan belajar dari pola pikir dan pola tindak masyarakat adat dalam memperlakukan dan memanfaatkan alam lingkungannya, agar kinerja pengelolaan sumber daya alam dalam pembangunan lebih bernuansa manusiawi. 161 I Nyoman Nurjaya, Ibid. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan uraian di muka dapat dipahami sifat esensial dari masyarakat hukum adat, yaitu magis relegius, komunal, konkrit, dan visual.

D. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat