Perumusan masalah Asumsi Keaslian Penelitian

hutan yang ada di dalam dan sekitar wilayahnya, terutama kayu. Walaupun ketentuan perundang-undang secara juridis formal telah mengakui hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan di kawasan hutan adatnya, namun jika kawasan tersebut diberikan HPH hak pengusahaan hutan, maka hak masyarakat hukum adat diharuskan mengalah untuk kepentingan pihak yang secara formal telah mendapatkan hak atas kawasan tersebut. 23 Hak memungut hasil hutan adalah kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Kehutanan kepada masyarakat hukum adat, yang dijadikan kriteria adanya masyarakat hukum adat menurut versi perundang-undangan. Padahal menurut Teuku Djuned Guru Besar Hukum Adat Aceh, kriteria pokok masyarakat hukum adat, bukanlah hanya pada adanya kewenangan memungut hasil hutan, melainkan yang lebih penting adalah pada menguasai dan memanfaatkan lingkungan hidup dan sumberdaya alam, terutama untuk kepentingan warganya. 24

B. Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang dimuka, maka permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah : 1. Apasajakah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kehutanan dan masyarakat hukum adat. 23 Amiruddin A. Wahab, dkk, Hak‐Hak Masyarakat Hukum Adat terhadap Hasil Hutan di Kecamatan Lhoknga Leupung Aceh Besar, Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 23 Tahun IXAgustus 1999, FH Unsyiah, Banda Aceh . Tulisan ini diangkat dari hasil penelitian oleh anggota tim Pusat Studi Hukum Adat dan Islam Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, yang dilaksanakan oleh Prof. Dr. Amiruddin A. Wahab, SH., Prof. T. Mohd Djuned, SH., Abdullah Ahmad, SH., MAg., Drs. M. Yusuf Hasan, SH., MHum., dan Ilyas Ismail, SH, MH. 24 Teuku Djuned, Pandangan dan Masukan kepada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat, makalah diskusi tentang hutan adat, diselenggarakan oleh WALHI, Banda Aceh 12 Januari 2004. 2. Bagaimanakah kondisi dan karakteristik hutan Aceh, serta bagaimana pula kebijakan kehutanan di Provinsi Aceh saat ini. 3. Bagaimanakah penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat Aceh mukim.

C. Asumsi

1. Dengan diakuinya keberadaan masyarakat hukum adat dalam berbagai berbagai peraturan perundang-undangan yang diundangkan pada masa Reformasi sekarang ini, maka keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya akan lebih terjamin. 2. Dengan diberlakukannya peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang tepat dalam pengelolaan kehutanan, maka kerusakan hutan yang disebabkan oleh penebangan liar, perambahan hutan dan kebakaran hutan akan dapat diatasi. 3. Dengan diberlakukannya lembaga mukim yang memiliki kewenangan pemerintahan, penyelesaian sengketa serta kekuasaan atas hutan adatnya, maka pengelolaan hutan adatnya akan dapat berlangsung secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

D. Kerangka Teori dan Konsepsi

Relevansinya dengan analisis permasalahan penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh msyarakat hukum adat, maka teori 25 yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori penguasaan sumberdaya alam yang mengacu pada Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, digunakan sebagai grand theory. Selanjutnya, sebagai teori pendukung middle theory digunakan teori jenjang norma hukum stufentheorie oleh Hans Kelsen dan teori sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich dan Roscoe Pound yang menjelaskan hukum yang hidup living law dan fungsi hukum as social engineering di dalam masyarakat. Sedangkan sebagai applied theory digunakan teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman. 26 Hak untuk mengelola sumberdaya alam, termasuk hutan, merupakan salah satu hak ekonomi, sosial dan budaya yang melekat pada setiap manusia sejak dilahirkan. Karenanya, hak seperti ini dapat dikategorikan sebagai “hak alamiah” atau “hak bawaan” yang melekat secara kodrat pada setiap insan. 27 Menurut Garreth Hardyn, merujuk pada 25 Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai sesuatu faktor tertentu dari sebuah disiplin ilmiah. Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan penting, karena teori memberikan sarana untuk dapat merangkum serta memahami masalah yang dibicarakan secara lebih baik. Hal‐hal yang semula yang tampak tersebar dan berdiri sendiri dapat disatukan dan ditunjukkan kaitannya sata sama lain secara lebih bermakna. Lihat; Koentjaraningrat, Metode‐Metode Penelitian Masyarakat, Gramedia Pustaka Utama, 1997, hal. 21. Produk akhir dari proses pengkajian teori adalah perumusan hipotesis yang merupakan pangkal dan tujuan dari seluruh analisis. Hal ini tercermin bukan saja dalam struktur logika berpikir melainkan juga dalam struktur penulisan. Lihat: Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Sinar Harapan, Jakarta, 1999, hal. 235. 26 Istilah‐istilah: “grand theory”, “middle range theory”, dan “aplikatif theory” merujuk pada istilah yang digunakan Husni dalam disertasinya, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, Disertasi, Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 2004, hlm. 13. Sedangkan Idham menggunakan istilah‐istilah “grand theory”, “middle theory”, dan “lower Theory”. Lihat; Idham, Kajian Kritis Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan Dalam Perspektif Otonomi Daerah di Sumatera Utara, Ringk. Disertasi, Program Pascasarjana USU, Medan, 2004, hlm. 10. 27 Hak alamiah atau hak bawaan individual dalam pengeloaan sumberdaya alam dikemukakan oleh Amiruddin A. Wahab dalam Workshop Membangun Kesepahaman dan Strategi dalam Mewujudkan teori Common Property, sebetulnya sumberdaya alam yang ada di bumi ini merupakan sumberdaya yang bebas, dan terbuka untuk siapa saja serta dapat dimiliki bersama. Untuk pengelolaannya setiap individu dapat mengambil bagian dan akan berusaha memaksimalkan keuntungan yang didapat dari pengelolaan sumberdaya alam tersebut. Pada mulanya tidak ada aturan yang menghalangi siapapun untuk mengeksploitasi sumberdaya alam tersebut secara maksimal. Namun, ketika semua orang berupaya memaksimalisasi pengelolaan sumberdaya alam, maka sumberdaya alam tersebut menjadi berkurang, bahkan kemungkinan besar bisa habis. Karena itu perlu adanya pengaturan dalam pengelolaan sumberdaya alam. 28 Hak atau kekuasaan atas sumberdaya alam dapat dibedakan kedalam empat kategori, yaitu : 29 1. Open access, yaitu suatu sumberdaya yang tidak jelas penguasaannya. Akses terhadap sumberdaya ini tidak diatur dan terbuka bagi siapa saja. 2. State property, yaitu sumberdaya yang hak penguasaannya berada pada negara. 3. Communal property, yaitu sumberdaya yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat yang menggunakannya secara de facto dan diakui secara legal. 4. Private property, yaitu sumberdaya yang hak peguasaan dan pemilikannya pada perseorangan, yang secara de facto atau secara legal diperkuat oleh negara pemerintah. Pengakuan danPengelolaan Hutan Mukim yang dilaksanakan oleh Flora Fauna International dan Green Aceh Institute, Banda Aceh, 12 Agustus 2009. 28 Diyah Wara Restiyati, Pengelolaan Sumberdaya Alam berbasis Masyarakat Lokal; Sebuah Impian Semu?, http:sekitar kita.com200906. 29 Didik Suharjito, dkk, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pustaka Kehutanan Masyarakat, 2000, hal. 4. Lihat juga: Fikret Berkes edt, Common Property Resources: Ecoogy and Commnunity Based Suistanable Development, Belvalen Press, London, 1989, p. 7‐10. Dalam literatur ditemukan setidaknya tiga paham tentang hubungan penguasaan negara atas sumberdaya alam. 30 Pertama, Paham Negara Liberal Klasik. Akar pemikiran paham ini ditelusuri dari pemikiran Adam Smith dan John Locke. Paham ini menempatkan negara dalam posisi yang minimum untuk melancarkan laisser faire. Negara Penjaga Malam nightwatchman state hanya sebagai badan publik yang memastikan terpenuhinya hak dasar individu warga negara, yaitu hak kebebasan, hak hidup dan hak milik. Untuk memberikan kepastian hak milik bagi individu dan badan hukum privat, negara memfasilitasi melalui kewenangannya memberikan izin dan perjanjian. Hubungan hukum yang utama dalam konsepsi ini adalah kebebasan bersaing liberalisasi dan kebebasan berkontrak konsensual. Kedua, Paham Negara Kelas. Sejalan dengan pemikiran Karl Marx yang menganggap bahwa ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi antara borjuis dan proletar terjadi karena diadopsinya konsep kepemilikan individu, maka negara hadir sebagai suatu representasi kelas sosial yang merombak tatanan kepemilikan individu untuk dijadikan sebagai kepemilikan kolektif. Paham ini berpandangan bahwa hanya negara yang memiliki hak milik atas sumberdaya alam untuk memberikan keuntungan bersama, tidak bagi kepentingan individu. Ketiga, Paham Negara Kesejahteraan Welfare State. Paham ini mencoba menggabungkan antara paham negara liberal klasik dengan tujuan-tujuan yang ada dalam paham negara kelas. Suatu upaya konseptual yang pragmatis. Paham ini tidak lagi semata-mata memposisikan negara sebagai alat kekuasaan tetapi sebagai organ yang 30 Yance Arizona, Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme : Konstitusionalitas Penguasaan Negara atas Sumberdaya Alam dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, makalah disampaikan dalam Konferensi Warisan Otoritarianisme: Demokrasi Indonesia di Bawah Tirani Modal, FISIP Univ. Indonesia, Jakarta, 5 Agustus 2008, hal. 14. melakukan pelayanan an agency of service. Pelayanan oleh negara tidak terbatas pada bidang politik saja sebagaimana dalam paham liberal klasik, tetapi memasuki dimensi ekonomi untuk medorong pemberdayaan ekonomi kerakyatan dan jaminan sosial. Kekuasaan masyarakat hukum adat atas pengelolaan hutan adatnya sebagaimana pokok permasalahan penelitian disertasi ini merupakan derivasi dari kekuasaan negara atas hutan. Dan, kekuasaan negara atas hutan merupakan derivasi dari konsep kekuasaan negara atas sumberdaya alam. Pancasila, bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan landasan filosofis kekuasaan negara atas sumberdaya alam yang diselenggarakan oleh pemerintah. Kekuasaan ini merupakan penjabaran dari nilai-nilai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana terdapat dalam sila kelima Falsafah Pancasila. Teori kekuasaan negara atas sumberdaya alam merupakan jiwa dari sila kelima Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana sila kelima ini dijiwai dan menjiwai sila-sila Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusia yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, serta kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Dalam Falsafah Pancasila, harus dipahami bahwa antara sila yang satu dengan sila yang lainnya saling menjiwai dan dijiwai. Sehingga, antara sila-sila dari kelima sila tersebut terdapat hubungan yang saling bertautan dan komplementer sebagai satu kesatuan yang bulat dan utuh bagaikan sebuah piramida. 31 Sila Pertama, Ketuhanan 31 Sunarjo Wreksosuhardjo, Filsafat Pancasila secara Ilmiah dan Aplikatif, ANDI, Yogyakarta, 2004. Hal.43. Lihat juga, Darji Darmodihardjo dan Sidarta, Pokok‐Pokok Filsafat Hukum: Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004, hal. 243. Yang Maha Esa merupakan basis dari sila-sila lainnya, dan puncaknya adalah sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 32 Pancasila, khususnya sila kelima, merupakan sumber dari segala sumber hukum harus menjadi landasan teori utama dalam penguasaan sumberdaya alam Indonesia. Selain itu, teori ini juga merupakan landasan kebijakan bagi politik pengaturan hukum bidang-bidang sumberdaya alam dan sekaligus merupakan landasan politik ekonomi Indonesia, yang kemudian secara normative dinyatakan dalam Pasal 33 UUD 1945. 33 Kalau kita telusuri lebih dalam, rujukan formal penguasaan sumberdaya alam di Indonesia dapat ditemukan dasar normatifnya pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Inti dari pasal ini adalah dinyatakannya konsep penguasaan oleh negara terhadap sumberdaya alam. Negara sebagai organisasi tertinggi dari suatu bangsa, menurut Van Vollenhoven, diberi kekuasaan untuk mengatur segala-galanya dan negara berdasarkan kedudukannya memiliki kewenangan untuk membuat peraturan hukum. 34 Mohammad Hatta merumuskan tentang pengertian dikuasasi oleh negara adalah tidak berarti negara sendiri menjadi pengusaha, usahawan atau ordernemer. Tetapi lebih tepat dikatakan bahwa 32 Menurut saya, tamsilan yang lebih tepat terhadap rumusan rangkaian kesatuan sila‐sila Pancasila adalah bagaikan piramida terbalik stufenbau, dimana sila Ketuhanan berada pada posisi yang luas dan lebih tinggi, lalu menginspirasi sila‐sila di bawahnya. Dan sila Keadilan Sosial adalah sila yang paling “membumi” yang seharusnya mudah diwujudkan dalam tataran empirik. 33 Sunoto, Filsafat Pancasila; Pendekatan melalui Metafisika, Logika, dan Etika, Hinindita, Yogyakarta, 1989, hal. 116‐117. Menurut Sunoto, Pancasila bersifat normative yang merupakan ukuran bagi seluruh kegiatan kenegaraan, kemasyarakatan, dan perorangan. Karenanya, Pancasila harus dijadikan sebagai garis pengarah yang memberikan petunjuk untuk menuju arah yang sudah ditentukan. Karena tujuan yang hendak dicapai adalah masyarakat adil‐makmur, material‐spiritual berdasarkan Pancasila, maka Pancasila adalah tepat sekali sebagai garis pengarah, karena di dalam diri Pancasila terkandung nilai‐nilai yang berasal dari dirinya sendiri, maka nilai‐nilai tersebut selalu memancar keluar. 34 Notonagoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agraria, Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal. 99. kekuasaan negara terdapat pada membuat peraturan guna kelancaran ekonomi, dan peraturan yang melarang pula penghisapan orang yang lemah oleh orang bermodal. 35 Rumusan pengertian hak penguasaan negara menurut Pan Mohammad Faiz , ialah negara melalui pemerintah memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan, pemanfaatan dan hak atas sumberdaya alam dalam lingkup mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Oleh karena itu, terhadap sumberdaya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat orang banyak, karena berkaitan dengan kemaslahatan umum public utilities dan pelayanan umum, harus dikuasi negara dan dijalankan oleh pemerintah, dimana sumberdaya alam tersebut harus dapat dinikmati oleh rakyat secara berkeadilan, keterjangkauan, dalam suasana kemakmuran dan kesejahteraan umum yang adil dan merata. 36 Penafsiran mengenai konsep penguasaan negara dari Pasal 33 UUD 1945 juga dapat dicermati dalam Putusan Mahkamah Konstitusi pada kasus-kasus pengujian undang-undang terkait dengan sumberdaya alam. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan Perkara Undang-Undang tentang Minyak dan Gas, Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang tentang Sumberdaya Air, menafsirkan mengenai “hak menguasai negara HMN” bukan dalam makna memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara hanya merumuskan kebijakan beleid, melakukan pengaturan regelendaad, melakukan pengurusan bertuursdaad, melakukan pengelolaan beheersdaad, dan melakukan pengawasan toezichthoundendaad. 35 Mohammad Hatta, Penjabaran Pasal 33 Undang‐Undang Dasar 1945, Mutiara, Jakarta, 1977, hal. 28. 36 Pan Mohammad Faiz, Penafsiran Konsep Penguasaan Negara Berdasarkan Pasal 33 UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi, http:jurnalhukum.blogspot.com200610. Terhadap putusan Mahkamah Konstitusi di atas, saat ini dikenal dengan sebutan Doktrin Panca Fungsi Penguasaan Negara. Maksudnya, dengan putusannya tersebut Mahkamah Konstitusi mengkonstruksi 5 lima fungsi negara dalam menguasai cabang- cabang produksi penting yang menguasai hajat hidup orang banyak serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. 37 Dalam kaitanya dengan beberapa permasalahan hukum berkaiatan dengan penguasaan sumberdaya alam, Alvis Syahrin menyatakan, hukum seharusnya menjadi jembatan dalam mewujudkan apa yang dicita- citakan oleh bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. 38 Merujuk pada teori di atas, dapat dinyatakan bahwa pemerintah adalah penyelenggara kekuasaan negara terhadap sumberdaya alam. Masalahnya adalah siapakah yang dimaksudkan dengan pemerintah dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya hutan. Menurut Darmansyah, dalam era otonomi daerah, desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralisme daerah otonom dan pluralisme otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah seperti pada masa Orde Baru, melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Jenis, jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom otonomi daerah tidak lagi bersifat seragam seluruhnya, tetapi hanya yang bersifat wajib saja yang sama, sedangkan kewenangan pilihan diserahkan 37 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058‐059‐060‐063PUU‐II2004 dan Nomor 008PUU‐ III2005 mengenai Pengujian Undang‐Undang Sumberdaya Air. 38 Alvis Syahrin, Beberapa Masalah Hukum, Sofmedia, Jakarta, 2009, hlm. 2. sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya. 39 Pendapat di atas, secara tegas mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Tentu saja sebagai suatu daerah otonom, masyarakat hukum adat mempunyai pemerintahan tersendiri dengan segala tugas, fungsi dan kewenangannya sebagai otonomi daerah. Sehingga sehubungan dengan penguasaan negara untuk penyelenggaraan kehutanan, maka kewenangan tersebut tidak hanya pada pemerintah pusat, tetapi juga ada pada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupatenkota, dan juga pemerintah masyarakat hukum adat. Pengakuan terhadap otonomi masyarakat hukum adat telah pula mendapatkan penegasannya di dalam Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, yaitu Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Dalam konteks Aceh, dimaksudkan dengan daerah otonom yang memiliki otonomi daerah adalah Pemerintah Daerah Aceh, Pemerintah Daerah Kabupatenkota, Pemerintah Mukim, dan Pemerintah Gampong. 40 Mukim sebagai suatu pemerintahan otonom khas dan masyarakat hukum adat di Aceh senyatanya sejak dari zaman dahulu telah menguasai sumberdaya alam di dalam jangkauannya. 39 Darmansyah, Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi Daerah, dalam Otonomi Daerah; evaluasi proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa‐Partenrship, Jakarta, 2003, hal. 193. 40 Lihat Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Selanjutnya, selain mengacu pada teori kekuasaan atas sumberdaya alam berdasarkan Falsafah Pancasila sebagai grand theory, juga digunakan teori jenjang norma hukum stufentheorie yang diajukan oleh Hans Kelsen dan teori sociological jurisprudence yang dikemukakan oleh Eugen Erhlich dan Roscou Pound sebagai middle range theory. Kelsen berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarkhi tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar grundnorm. 41 Sehingga, norma yang lebih rendah memperoleh kekuatannya dari suatu norma yang lebih tinggi. Semakin tinggi suatu norma, akan semakin abstrak sifatnya, dan sebaliknya, semakin rendah kedudukannya, akan semakin konkrit norma tersebut. Norma yang paling tinggi, yang menduduki puncak piramida, disebut oleh Kelsen dengan nama Grundnorm norma dasar. Sistem hukum Indonesia pada dasarnya menganut teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen. 42 Hal ini tampak dalam rumusan hirarkhi peraturan perundangan-undangan Indonesia sebagaimana dapat kita temukan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam Pasal 7 41 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang‐undangan; Dasar‐Dasar dan Pembentukannya, Sekretariat KIH – UI, Jakarta, 1996, hal. 28. Dikutip dari Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russell Russell, 1945, hal. 35. 42 Darji Darmodihardjo dan Sidharta, Pokok‐Pokok Filsafat Hukum, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2004, hal. 115. undang-undang tersebut dinyatakan bahwa, Jenis dan hierarki Peraturan Perundang- undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarkhi sebagaimana dimaksudkan di atas. Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana disebutkan diatas, diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya, selain digunakan teori jenjang norma hukum stufentheorie, untuk memperkuat analisis penelitian ini, juga digunakan teori sociological jurisprudence yang dikembangkan oleh Eugen Ehrlich dan Roscou Pound. Teori ini menjelaskan tentang hukum yang hidup living law dan keefektifan hukum di dalam masyarakat yang menjalankan fungsi sebagai social engineering. Bagi penganut teori ini, keberadaan hukum yang penting bukanlah sebagaimana ia tertera dalam buku perundang-undangan law in book, melainkan adalah bagaimana senyatanya perilaku masyarakat sehubungan dengan keberadaan suatu hukum law in action. Inti pemikiran teori ini adalah, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. 43 Pemikiran yang terkandung dalam 43 Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar‐dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm. 66. Perlu ditengarai bahwa R. Pound berhasil mengembangkan teorinya di Amerika, yang teori ini menunjukkan adanya kompromi antara hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan sebagai kebutuhan demi adanya kepastian hukum dan hukum yang hidup dalam masyarakat living law berupa hukum adat atau hukum kebiasaan dalam pembentukan hukum. Sehingga menurut teori ini, hukum tidak melulu dapat dilihat dalam kaidah-kaidahnya yang normatif, melainkan harus pula dicermati dalam kehidupan pergaulan masyarakat itu sendiri. 44 Eugen Ehrlich menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dan bahwa perkembangan dari hukum bukanlah terletak pada badan-badan legislatif, keputusan-keputusan badan judikatif ataupun ilmu hukum, akan tetapi justru terletak di dalam masyarakat itu sendiri. 45 Hukum Indonesia, menurut Benda Beckmann, tunduk pada kekuatan-kekuatan sosial tertentu, berupa hukum adatnya. Oleh karena itu, ketertiban dalam masyarakat kemudian diikuti, dipraktik dan dikembangkan oleh Benyamin Cardozo, Holmes dan lain‐lain, termasuk oleh “murid‐murid” mereka berikutnya seperti, Lawrence M. Friedman, Wolfgang Friedmann, Julius Stone dan lain‐lain. Sedangkan di Eropa, mazhab ini dipelopori dan dikembangkan oleh Eugen Erlich pemikir hukum terkemuka Jerman yang kemudiaan diikuti oleh antara lain: Kantorowics dan Gurvitch. Mazhab ini hendaknya dibedakan dengan apa yang kita kenal Sosiologi Hukum. Karena Sosiologi Hukum merupakan merupakan cabang sosiologi yang mempelajari pengaruh masyarakat kepada keberadaan hukum. Sedangkan Hukum Sosiologis atau sociological jurisprudence merupakan suatu mazhab dalam filsafat hukum yang mempelajari pengaruh hukum kepada masyarakat. Sehingga, kalau hukum sosiologis cara pendekatannya bermula dari hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum melakukan pendekatan dari masyarakat ke hukum. 44 Lili Rasjidi dan Wyasa Putra, Hukum sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung, hal. 83. Dengan mengacu pada paradigma ini maka pembentuk undang‐undang harus mendapatan bahannya dari rakyat dan ahli hukum dengan mempertimbangkan perasaan hukum dan perasaan keadilan masyarakat. 45 “the centre of grafity of legal development lies not ini legislation, nor in juristic science, nor in judicial decision, but in society itself”, C. Morris, The Great Legal Philosophers, Univ. of Pennsylvania Press, Philadelphia, 1979, pp. 437. Lihat, Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hlm. 287. Lihat juga, Soerjono Soekanto, Pokok‐pokok Sosiologi Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, hlm. 36. Beliau menjelaskan bahwa, kebaikan dari analisa Ehrlich terletak pada usahanya untuk mengarahkan perhatian para ahli hukum pada ruang lingkup sistem sosial, dimana, akan dapat ditemukan kekuatan ‐kekuatan yang mengendalikan hukum. Teori Ehrlich pada umumnya berguna sebagai bantuan untuk lebih memahami hukum dalam konteks sosial. Akan tetapi sulitnya adalah, untuk menentukan ukuran ‐ukuran apakah yang dapat dipakai untuk menentukan bahwa suatu kaidah hukum benar‐benar merupakan hukum yang hidup dan dianggap adil. didasarkan pada pengakuan sosial terhadap hukum, dan bukan karena penetapannya secara resmi oleh negara. 46 Pound menganjurkan, perlu lebih memperhitungkan fakta-fakta sosial, baik dalam hal pembuatan hukum ataupun penafsiran serta penerapan peraturan-peraturan hukum. Ia menegaskan agar perhatian lebih diarahkan kepada efek-efek nyata dari institusi-institusi serta doktrin-doktrin hukum. Kehidupan hukum terletak pada pelaksananaannyalaw in action. 47 Tugas utama hukum menurut Pound adalah “social engineering”. 48 Tujuan social engineering adalah untuk membangun suatu struktur masyarakat, sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan, dengan seminimum mungkin benturan dan pemborosan. 49 Sehubungan dengan fungsi hukum sebagai sarana social engineering, Benda- Beckmann mengemukakan, hukum baru bermakna secara sosial jika perilaku orang- orang yang diatur berperilaku sesuai dengan perintah hukum tersebut dan jika orang- orang menggunakan hukum tersebut untuk mendukung perilakunya. 50 46 Franz and Keebet von Benda‐Beckmann, The Social Life of Living Law of Indonesia, Living Law; Considering Eugen Erhlich, Hart Pubishing, Onati International Series in Law and Society, Nederland, 2008, pp. 178. 47 Julius Stone, Social Dimension of law and Juitice, Maitland Publication, Sydney, Australia, 1966, pp. 63. menyatakan, “law in the books” and “law in action” which become the first item in Profeesor Pound’s programme and dominated the juristic concern of the last half‐century. 48 Pound, R., Law Finding Through Experience and Reason, Univ. of Georgia Press, Atlanta, USA, 1960, pp. 42. Ia menyatakan, “Elsewhere I have spoken of the task as one of social engineering. Engineering is thought of a process, as an activity, not merely as a body of knowledge or as a fixed order of construction. It is a doing of things, not a serving as passive instruments through which mathematical formulas and mechanical laws realize themselves in the eternally appointed way. 49 Lihat, Dias, Op. Cit., pp. 596. Dias menuliskan, Pound likened the task of the lawyer to engineering an analogy which he used repeatedly. The aim of social engineering is to built as efficient a structure of society as possible, which requires the satisfaction of the maximum of wants with the minimum of friction and waste. 50 Franz von Benda‐Beckmann, “Why Law Does not Behave; Critical and Constructive Reflction on The Social Significant of Law, paper presented to the symposium on folk law and legal pluralism, XIth International Congress of Antropological and Ethnological Sciences, Vancouver, Canada, 1983. “law can Mengacu pada teori di atas, dapat dipahami bahwa keberadaan mukim sebagai lembaga pemerintahan masyarakat hukum adat di Aceh, diakui oleh masyarakatnya bukan hanya karena ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan, tetapi lebih merupakan hukumnya yang asli yang telah hidup bersamanya sejak dahulu kala living law. Sehingga, sekalipun selama rezim Orde Baru, lembaga mukim tidak diakui sebagai lembaga pemerintahan, yang karenanya tidak lagi memiliki otonomi dalam penguasaan sumberdaya alamnya, namun bagi masyarakatnya keberadaan dan pengakuan terhadap lembaga mukim tidak sirna begitu saja. 51 Mukim sebagai pemerintahan masyarakat hukum adat di Aceh telah diakui keberadaannya sejak Islam masuk ke Aceh, dan telah melembaga dalam kehidupan rakyat Aceh sejak masa kejayaan Kerajaan Aceh Darussalam. Pemerintahan Mukim pada masa itu masa Kesultanan dipimpin oleh tiga pilar kekuasaan, yaitu imeum mukim memimpin urusan eksekutif, imeum chik memimpin urusan judikatif, dan tuha lapan memimpin urusan legislatif. Berdasarkan fakta sejarah, maka sangatlah beralasan apabila kemudian Snouck Hugronje berpendapat bahwa pembagian kewilayahan dalam bentuk mukim telah mapan di Aceh dan dengan cara yang seragam, baik di kawasan Aceh Rayeuk maupun di kenegerian-kenegerian di luarnya. 52 Berkaitan dengan hal ini, Zainuddin menyatakan bahwa mukim merupakan Atjehche Organisasi atau sebuah organisasi khas Aceh. 53 become significant socially when human behavior is influenced by law and when people make use of law in purposive conduct”. 51 Teuku Djuned, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, Kerjasama antara FH Unsyiah dan Pemprov NAD, Laporan Penelitian tentang Inventarisasi Hukum Adat dan Adat Aceh, Banda Aceh , Tahun 2001 52 Singarimbun et. al, Aceh Dimata Kolonialis, terjemahan dari The Achehnese, Snouck Hugronje,Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985, hal. 91‐93. 53 HM. Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, hal. 317. Mengingat telah mapannya sistem pemerintahan mukim dalam masyarakat Aceh masa lalu, maka segala produk hukum yang berkaitan dengan penguasaan sumberdaya alam di Aceh idealnya harus mempertimbangkan keberadaan pemerintahan mukim sebagai suatu fakta hukum yang hidup living law. Sehingga dengan demikian, keberadaan produk hukum yang proses pembentukannya mempertimbangkan living law dari masyarakat tempat hukum itu akan diberlakukan, maka hukum tersebut akan efektif dalam memfungsikannya sebagai sarana social engineering. Sebagai apllied theory untuk menganalisis penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat mukim di Aceh, digunakan teori sistem hukum yang diajukan oleh Lawrence M. Friedman. Dalam bukunya The Legal System, Freidman mengemukakan tiga faktor yang turut menentukan pengaktualisasian suatu sistem hukum dalam dunia empirik, yaitu struktur, substansi, dan kultur. 54 Komponen struktur berupa kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka mendukung teraktualisasinya hukum. Komponen substansi merupakan nilai, norma, ketentuan atau aturan-aturan hukum yang dibuat dan digunakan untuk mengatur perilaku manusia. Sedangkan komponen kultur menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Berkaitan dengan permasalahan penguasaan atas pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat mukim, dengan merujuk pada teori sistem hukum, dapat dikemukakan bahwa para pimpinan mukim beserta perangkat pemerintahan mukim 54 LM. Friedman, The Legal System; A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975, pp. 16. Secara tersurat ia menyatakan “A legal system in actual operation is a complex organism in which structure, substance, and culture interact”, merupakan aspek struktural kelembagaan dalam sistem hukum penguasaan atas pengelolaan sumberdaya alam pada pemerintahan mukim. Kelembagaan tersebut meliputi : 1. lembaga pemerintah mukim yang diketuai oleh imeum mukim, 2. lembaga keagamaan yang dipimpin oleh imeum meseujid, 3. lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan, 4. lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang, 5. lembaga adat laoet yang dipimpin oleh panglima laoet, 6. lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua seuneubok, 7. lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee, 8. lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda, dan 9. lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan. Sedangkan aspek substansialnya adalah tatanan nilai dan norma-norma anjuran dan pantangan yang berlaku dalam kaitannya dengan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam mukim. Secara normatif masyarakat mukim meyakini bahwa mereka sebagai kesatuan masyarakat hukum menguasai atas semua kekayaan yang ada di dalam wilayah dan jangkauannya, baik di darat maupun di laut communal property. Batasan hak penguasaan, tidak serta merta dihubungkan dengan dalam wilayah administratif atau teritorial mukim, tetapi lebih ditentukan oleh batas kemampuan riil mereka dalam menguasai wilayah tersebut secara fisik. Dalam beberapa mukim, batas jangkauan fisik ini dinyatakan dengan sejauh sehari pergi-pulang bagi penguasaan hutan, atau sejarak pukat darat untuk wilayah kelola laut. Batas wilayah jangkauan secara fisik inilah yang dikenal dengan istilah hak kullah bertuan, yang merupakan kekuasaan mukim atas sumberdaya alam, berupa hutan adat uteun mukim. Sedangkan di luar itu, sekalipun masih dalam wilayah adminitrasi mukim yang bersangkutan, tetapi tidak tergolong hak kullah bertuan mukim, melainkan hak kullah tak bertuan uteun poteu Allah atau rimba Tuhan, sehingga penguasaan dan pengelolaannya sepenuhnya merupakan kewenangan pemerintahan atasan pemerintahan kabupaten, pemerintahan provinsi, atau pemerintahan negara. 55 Dalam penguasaan sumberdaya alam, imuem mukim selaku ketua pemerintah masyarakat mukim memiliki kewenangan untuk menetapkan kebijakan, membuat aturan, memberikan izin, menetapkan pengelolaan, dan melakukan pengawasan terhadap semua kegiatan pengelolaan serta pemanfaatan sumberdaya alam di dalam wilayah jangkauannya. Kewenangan-kewenangan ini merupakan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab imeum mukim yang dibantu oleh para perangkat pemerintah mukim secara sektoral fungsional, yaitu ; panglima laoet untuk mengelola laut, syahbanda untuk mengelola pelabuhan, kejruen blang untuk mengelola persawahan, haria peukan untuk mengelola pasar dan perdagangan, peutua seuneubok untuk mengelola perkebunan, dan panglima uteun atau pawang glee untuk mengelola hutan. Dalam penguasaan dan pengelolaan sumberdaya hutan, imeum mukim yang dibantu oleh panglima uteun atau pawang glee memiliki seperangkat nilai dan norma yang merupakan warisan leluhur mereka peunebah indatu. Nilai dan norma tersebut, yang kemudian terekspresikan dalam hukum adatnya yang mereka patuhi sebagai suatu keharusan dalam hidup bermasyarakat. Dalam hal ini, pada masa lalu, imeum mukim dan pawang glee dengan kewibawaan yang ada padanya sekaligus berperan sebagai pelaksana pengelola dan penegak hukum adatnya. 55 T.I. Elhakimy, Suatu Studi tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, Pusat Studi Hukum Adat dan Hukum Islam, FH Unsyiah, Banda Aceh, 1985, hal. 33. Aspek kultural menurut Friedman melengkapi aktualisasi suatu sistem hukum, yang menyangkut dengan nilai-nilai, sikap, pola perilaku para warga masyarakat dan faktor nonteknis yang merupakan pengikat sistem hukum tersebut. Wibawa hukum melengkapi kehadiran dari faktor-faktor non teknis dalam hukum. Wibawa hukum memperlancar bekerjanya hukum sehingga perilaku orang menjadi positif terhadap hukum. Wibawa hukum tidak hanya berkaitan dengan hal-hal yang rasional, tetapi lebih daripada itu mengandung unsur-unsur spiritual, yaitu kepercayaan. Kewibawaan hukum dapat dirumuskan sebagai suatu kondisi psikologis masyarakat yang menerima dan menghormati hukumnya. 56 Dalam kaitannya dengan penguasaan atas pengelolaan hutan, masyarakat mukim memiliki budaya dan kearifan lokal tersendiri baik dalam hal penguasaan maupun pengelolaan hutannya. Dalam hal penguasaan hutan, para warga mukim harus melalui prosedur tertentu mulai dari hak dong tanoh, hak chah rimba, hak useuha hingga menjadi hak milek. Setiap tahapan dalam peningkatan status penguasaan selalu disertai dengan ritual tertentu sebagai bagian dari cerminan budaya masyarakatnya. Begitu pula halnya dalam kegiatan pengelolaan hutan, masyarakat mukim pun memiliki kearifan sebagai bagian dari budayanya. Hal ini dipraktekkan sejak dari pemilihan arah dan lokasi, penentuan jenis tanaman, pemilihan masa tanam, cara bertanam, teknis perawatan, dan lain sebagainnya. Sehubungan dengan kerangka teori di atas dikaitkan dengan permasalahan yang distudi, dapat dikemukakan bahwa terdapat dua variabel yang diteliti secara mendalam, 56 Satjipto Rahardjo, Peningkatan Wibawa Hukum Melalui Pembinaan Budaya Hukum, Makalah pada Lokakarya Pembangunan Bidang Hukum Repelita VII, BPHN, Jakarta, 1997. yaitu 1 variabel penguasaan atas pengelolaan hutan adat, dan 2 variabel masyarakat hukum adat.

1. Penguasaan atas Pengelolaan Hutan Adat

Mengacu pada teori penguasaan negara terhadap sumberdaya alam dan Doktrin Panca Fungsi Pemerintah sebagaimana ditemukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian terhadap beberapa undang-undang mengenai sumberdaya alam, 57 maka makna penguasaan dapat dirumuskan sebagai : 1. merumuskan kebijakan beleid, 2. melakukan pengaturan regelendaad, 3. melakukan pengurusan bertuursdaad, 4. melakukan pengelolaan beheersdaad, dan 5. melakukan pengawasan toezichthoundendaad. Terkait dengan penguasaan hutan, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa: 1 Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2 Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan 57 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058‐059‐060‐063PUU‐II2004 dan Nomor 008PUU‐ III2005 mengenai Pengujian Undang‐Undang Sumberdaya Air. c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. 3 Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Esensi dari penguasaan hutan oleh negara yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah adanya kewenangan merumuskan kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi. Pemerintah dimaksud meliputi pula pemerintah daerah dan pemerintah masyarakat hukum adat. 58 Dengan demikian, pemerintah mukim selaku pemerintah otonom dari masyarakat hukum adat di Aceh juga memiliki otonomi untuk menguasai sumberdaya alamnya, termasuk hutan. Kekuasaan mukim dalam menguasai dan mengelola hutannya, bukan dalam arti memiliki, tetapi dalam makna adanya kewenangan mukim sebagai pemerintahan untuk : merumuskan kebijakan beleid, melakukan pengaturan regelendaad, melakukan pengurusan bertuursdaad, melakukan pengelolaan beheersdaad, dan melakukan pengawasan toezichthoundendaad. Hutan adat menurut Hukum Adat Aceh adalah hutan ulayat mukim uteun mukim yang merupakan harta kekayaan mukim yang telah ada sejak dahulu kala, yang berada di dalam wilayah kemukiman bersangkutan ataupun yang letaknya paling jauh sehari pergi pulang dari pusat kemukiman. Menurut Pasal 18 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, harta kekayaan mukim adalah harta kekayaan yang telah ada, atau yang dikuasai mukim; berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya, dan lain-lain yang menjadi ulayat mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, menurut qanun ini uteun mukim merupakan hak ulayat masyarakat kemukiman yang bersangkutan. 58 Darmansyah, op. cit, hal. 193. Hak ulayat menurut Boedi Harsono adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan ulayatnya, sebagai labensraum ruang kehidupan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, yang ada dalam wilayah tersebut. 59 Hak ulayat merupakan salah satu tiang hukum adat. Tanah ulayat mempunyai ciri dan batasan yang sama di seluruh Indonesia, namun dalam pelaksanaannya berbeda antara satu daerah persekutuan hukum dengan persekutuan hukum lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam hukum adat; lain lubuk lain ikannya, lain lalang lain belalangnya. 60 Berkaitan dengan hak ulayat, Muhammad Yamin dan Abd Rahim Lubis menegaskan, 61 dalam pada itu harus diingat bahwa konsepsi umum hutan tanah ulayat yang dikenal di negara ini adalah bersumber dari teori klasik, yang menjelaskan bahwa tanah adalah milik raja. Terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat bagi masing- masing kesatuan masyarakat hukum adat semata-mata merupakan kedermawanan sang raja. Sehingga pemanfaatan dan penggunaannya haruslah sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat. Di Aceh, sumber penguasaan tanah bukanlah pada raja, melainkan adalah Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehubungan dengan subjek yang menguasainya, dalam 59 Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 57. Menurutnya, hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh undang ‐undang dan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum antara suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup dan penghidupan para warganya sepanjang masa. Masyarakat hukum adatnya sendiri tidak memberikan nama pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan tanahnya yang merupakan wilayah lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan. 60 Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 59. 61 Muhammad Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Press, Medan, 2004, 153. sebutan sehari-hari orang Aceh membedakan tiga macam tanah, masing-masing “tanoh droe, tanoh gob, dan tanoh hak kullah”. Sebutan tanoh droe dipakai untuk sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang. Istilah tanoh gob dipakai bagi sebidang tanah kepunyaan orang lain. Baik yang disebut tanoh droe maupun tanoh gob adalah tanah-tanah yang sedang berada dalam kekuasaan seseorang individu. Penguasaan mana oleh para individu berdasarkan titel-titel hak tertentu menurut hukum adat. Sedangkan Tanoh hak kullah maksudnya tanah milik Allah, yaitu sebidang tanah dalam kawasan mukim yang belum digarap. Kalaupun tanah tersebut sudah digarap tetapi sudah ditinggalkan oleh penggarapnya dan menjadi rimba kembali. 62 Semua tanah yang berada dalam wilayah mukim selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah hak Allah. Jenis tanah ini dimanfaatkan serta dikuasai bersama sebagai realisasi kekuasaan ke dalam. Hutan dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat mukim. Setiap orang warga masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk mukimnya. 63

2. Masyarakat Hukum Adat mukim

62 T.I. El Hakimy, Suatu Studi tentang Penguasaan Tanah pada Masyarakat Pedesaan di Aceh, Op. Cit., hal. 30. 63 T.I. El Hakimy, Hukum Adat Tanah Rimba di Kemukiman Leupung Aceh Besar, Pusat Studi Hukum Adat dan Islam, FH Unsyiah, Banda Aceh , 1984, hlm. 11. Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam berbagai peraturan perundangan-undangan, seperti dalam UU Pokok Agraria UU 51960, UU Pertambangan UU 111967, UU Kehutanan UU 411999, UU Pemerintahan Daerah UU 322004, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari rechtgemeenschapt. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu pada sejumlah kesepakatan internasional. Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigenuos people. Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan internasional, yaitu; Convention of International Labor Organization Concerning Indigenous and Tribal People in Independent Countries 1989, Deklarasi Cari-Oca tentang Hak-hak Masyarakat Adat 1992, Deklarasi Bumi Rio de Janairo 1992, Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai 1993, De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh United Nations World Connference on Human Rights 1993. Sekarang, istilah indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat United Nation Declaration on the Rights of Indigenous People pada tahun 2007. Sekalipun banyak para ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Dimana, konsep masyarakat adat merupakan pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis, yang menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah ulayat tempat tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin yang bertugas menjaga kepentingan kelompok ke luar dan ke dalam, dan memiliki tata aturan sistem hukum dan pemerintahan. 64 Namun dalam disertasi ini, konsep masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat, walaupun dalam penulisanya lebih sering digunakan istilah masyarakat hukum adat, sebagaimana lazim ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Menurut Teuku Djuned, setiap persekutuan masyarakat hukum adat mempunyai kewenangan hak asal usul, yang berupa kewenangan dan hak-hak: 65 1. Menjalankan sistem pemerintahan sendiri, 2. Menguasai dan mengelola sumberdaya alam dalam wilayahnya terutama untuk kemanfaatan warganya, 3. Bertindak ke dalam mengatur dan mengurus warga serta lingkungannya. Ke luar bertindak atas nama persekutuan sebagai badan hukum. 4. Hak ikut serta dalam setiap transaksi yang menyangkut lingkungannya, 5. Hak membentuk adat, 6. Hak menyelenggarakan sejenis peradilan, 64 Rikardo Simarmata mengungkapkan, Istilah masyarakat adat dipercaya memiliki dimensi yang luas dari sekedar hukum, meliputi dimensi kultural dan religi. Jadi, istilah masyarakat adat dan istilah masyarakat hukum adat memiliki sejarah dan pemaknaan yang berbeda. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan dirawat oleh pakar hukum adat yang difungsikan untuk keperluan teoritik‐akademis, guna memberi identitas kepada golongan pribumi yang memiliki sistem dan tradisi hukum sendiri untuk membedakannya dengan golongan Eropa dan Timur Jauh yang memiliki sistem dan tradisi hukum tertulis. Sedangkan istilah masyarakat adat mengemuka ketika pada awal dekade 90‐an berlahiran sejumlah Ornop yang memperjuangkan pengakuan hak‐hak masyarakat adat. Lihat, Rikardo Simarmata, Menyongsong Berakhirnya Abad Masyarakat Abad, www.huma.org .,19 September 2007. 65 Teuku Djuned, Kesiapan Sumberdaya Mukim dalam Mengemban Amanat UU No. 18 Tahun 2001 Otonomi Khusus NAD, Makalah disampaikan pada Diskusi Multipihak tentang Lembaga Mukim Dulu, Sekarang, dan Masa Akan Datang, diselenggarakan oleh LSM PUGAR, Banda Aceh , 3 Mei 2003 . Sedangkan menurut Penjelasan Pasal 67 UU 411999 tentang Kehutanan, masyarakat hukum adat diakui keberadaannya, jika menurut kenyataannya memenuhi unsur antara lain: 1. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban rechtsgemeenschap; 2. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; 3. ada wilayah hukum adat yang jelas; 4. ada pranata dan perangkat hukum peradilan adat yang masih ditaati; dan 5. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Mengacu pada kewenangan hak asal usul, baik yang dikemukakan oleh Teuku Djuned maupun berdasarkan Penjelasan Pasal 67 UU Kehutanan, dapatlah dipahami bahwa mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat, karena semua persyaratan tersebut dimiliki oleh lembaga mukim. Dengan disahkannya Qanun NAD Nomor 4 tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, tanggal 15 Juli 2003, maka keberadaan mukim baik sebagai masyarakat hukum adat maupun sebagai lembaga pemerintahan telah mendapat pengukuhan juridis formal.

E. Keaslian Penelitian

Sejauh diketahui, terutama, setelah melakukan studi literatur pada Perpustakaan Koesnadi Hardjasoemantri di Desa Mantren Yogyakarta, Perpustakaan Universitas Indonesia Jakarta, Perpustakaan Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan, dan Perpustakaan Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, dapat ditengarai bahwa ditinjau dari lokasi, sifat maupun lingkup bahasannya, penelitian tentang penguasaan dan pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat, belum pernah dilakukan secara mendalam pada tingkat disertasi. Namunpun demikian, terdapat penelitian terdahulu yang relevan untuk mendukung pentingnya dilakukan penelitian ini, antara lain: penelitian Amiruddin mengenai hak masyarakat hukum adat terhadap hasil hutan. Dalam penelitian tersebut, disimpulkan bahwa, sekalipun secara juridis formal telah mengakui hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan. Tetapi jika kawasan tersebut diberikan hak pengusahaan hutan HPH maka hak masyarakat hukum adat diharuskan mengalah demi kepentingan yang secara formal telah mendapat hak atas kawasan tersebut. Sehubungan dengan kesimpulan tersebut, disarankan oleh Amiruddin, agar diterbitkan ketentuan yang memuat antara lain tentang legitimasi secara konkrit terhadap hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan dan sekaligus menetapkan hak dan kewajiban warga dalam melaksanakan hak memungut hasil hutan tersebut. Sehingga dengan pengaturan tersebut diharapkan pemberdayaan masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan dan hasil hutan, yang karenanya, disamping terjaminnya kelestarian fungsi hutan juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat hukum adat setempat. 66

F. Tujuan Penelitian