Peran dan Fungsi Lembaga Adat Hutan

Adapun yang berkenaan dengan tapal batas antarkecamatan, diselesaikan oleh pihak-pihak yang berkompeten di tingkat kecamatan, demikian juga antar kabupaten. 358 Dalam pengambilan hasil hutan tersebut pawang uteuen telah memberlakukan aturan- aturan adat, seperti; tidak menebang kayu melebihi kapasitas yang telah ditetapkan dalam keputusan adat. Keputusan adat uteun membenarkan pemotongan kayu bagi masyarakat di wilayah ulayat hukum adat uteun untuk keperluan membuat rumah atau meunasah dan lain sebagainya, tetapi bukan untuk tujuan diperdagangkan secara berlebihan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan di Kabupaten Aceh Barat masih dikonservasi oleh pawang uteun melalui pantangan dan adat-istiadat uteuen. Ada beberapa tempat di kabupaten Aceh Barat, seperti: di Kecamatan Sungai Mas, Kecamatan Woyla Barat, dan Kecamatan Woyla Timur melakukan pembukaan lahan perkebunan secara berpindah-pindah, dengan alasan mencari tempat yang lebih subur serta membiarkan lahan lama dalam tempo tertentu untuk mengembalikan kesuburannya. Namun usaha yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tersebut harus diketahui oleh pawang uteuen sebagai pemegang otoritas lembaga adat uteuen dalam mengatur ulayat adat uteuen.

3. Peran dan Fungsi Lembaga Adat Hutan

Dalam masyarakat Aceh dikenal beberapa lembaga adat, yang masing-masingnya berfungsi sektoral mengurusi urusan tertentu. Lembaga-lembaga dimaksud telah eksis, diakui dan dipatuhi oleh masyarakatnya sejak dahulu hingga sekarang. Lembaga adat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang mempunyai peranan penting dalam membina nilai-nilai budaya, norma-norma adat dan aturan untuk 358 Wawancara dengan M. Yusuf, tokoh adat Gampong Utee Pulo Kecamatan Woyla Barat, tanggal 11 Mei 2007 Universitas Sumatera Utara mewujudkan keamanan, ketertiban, ketentraman, kerukunan dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh sesuai dengan nilai-nilai islami. Dimaksudkan dengan lembaga Adat adalah suatu organisasi kemasyarakatan adat yang dibentuk oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu yang mempunyai wilayah tertentu dan mempunyai harta kekayaan tersendiri serta berhak dan berwenang untuk mengatur dan mengurus serta menyelesaikan hal-hal yang berkaitan dengan adat Aceh. 359 Dewasa ini, keberadaan lembaga-lembaga adat Aceh telah diakui dan dikukuhkan di dalam ketentuan suatu undang-undang dan qanun tersendiri. Dalam Pasal 98 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, telah tegas disebutkan bahwa; 1 Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. 2 Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui lembaga adat. 3 Lembaga adat sebagaimana dimaksudkan pada ayat 1 dan ayat 2, meliputi : a. Majelis Adat Aceh; b. Imeum mukim atau nama lain; c. Imeum chik atau nama lain; d. Keuchik atau nama lain; e. Tuha peut atau nama lain; f. Tuha lapan atau nama lain; g. Imeum meunasah atau nama lain; h. Kejreun blang atau nama lain; i. Panglima laot atau nama lain; j. Pawang glee atau nama lain; k. Peuta seunebork atau nama lain; l. Haria peukan atau nama lain; 359 Lihat Pasal 1 angka 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Universitas Sumatera Utara m. Syahbanda atau nama lain; 4 Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2, dan ayat 3 diatur dengan Qanun Aceh. Mencermati dengan seksama bunyi Pasal 98 ayat 1 dan 2 UUPA, dapat dipahami seakan-akan keberadaan lembaga-lembaga adat sebagaimana yang ditegaskan dalam ayat 3 berperan sebagai wahana partisipasi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota. Benarkah maksudnya demikian? Hal ini patut dipertanyakan, karena menurut sejarahnya, keberadaan lembaga-lembaga adat tersebut, minus Majelis Adat Aceh, merupakan satuan kerja perangkat Pemerintahan Mukim SKPM. Keberadaan lembaga- lembaga adat tersebut bagaikan dinas-dinas yang tunduk pada imeum mukim, yang membidangi urusan fungsional dan sektoral sesuai dengan letak geografis mukim yang bersangkutan, Karenanya, bisa jadi, tidak semua lembaga adat tersebut ada pada satu mukim, tetapi keberadaannya dapat merupakan urusan wajib atau urusan pilihan. Pawang glee dan Peutua Seuneubok, misalnya, hanya ada pada mukim yang memiliki wilayah perbukitan glee. Panglima laot dan syahbanda hanya ada di mukim yang memiliki wilayah ulayat laut. Kejruen blang hanya ada pada mukim yang memiliki areal persawahan. Sedangkan haria peukan hanya ada pada mukim yang memiliki pasar peukan sebagai pusat perdagangannya, baik secara harian maupun mingguan uro peukan atau uro ganto. Semua ketua lembaga adat ini, sekalipun ada yang dipilih oleh anggota komunitasnya dan ada pula yang ditunjuk langsung oleh imeum mukim, namun semua mereka berkoordinasi dan bertanggungjawab kepada imeum mukim sebagai kepala pemerintah mukim. Saat ini, eksistensi fungsional dan structural dari lembaga-lembaga adat Aceh tersebut memprihatinkan, dan bahkan nyaris sirna ditelan rejim Orde Baru. Sehingga sekarang, jangankan Universitas Sumatera Utara untuk membantu Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota, untuk melengkapi struktur pemerintah mukim pun kesulitan dan harus diberdayakan kembali secara optimal. Karenanya, untuk melaksanakan amanah yang dinyatakan dalam ayat 1 Pasal 98 UUPA, diusulkan, agar setiap kabupatenkota merekontruksi dan merevitalisasi fungsi dan struktur dari lembaga-lembaga adat tersebut yang merupakan warisan leluhur indatu Aceh. Struktur dan fungsi lembaga-lembaga adat tersebut dapat dijabarkan pengaturannya dalam masing-masing Qanun Kabupaten tentang Pemerintahan Mukim. Penjabaran keberadaan lembaga-lembaga adat dalam pengaturan yang lebih spesifik menurut kekhasan masing-masing kabupaten merupakan amanah Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh UUPA ke kabupatenkota. Dalam Pasal 114 UUPA disebutkan, dalam wilayah kabupatenkota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong. Ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupatenkota. Fakta saat ini, sekalipun UUPA sudah memasuki usianya yang ketiga, tetapi Qanun Kabupaten tentang Pemerintah Mukim masih minim sekali. Padahal eksistensi lembaga-lembaga adat tersebut baru akan mendapat ruang justifikasi dan implementasi jika dikukuhkan dalam Qanun Kabupaten tentang Pemerintahan Mukim. Telah berulangkali ditegaskan perlunya Qanun Kabupaten tentang Pemerintahan Mukim. Maksudnya, ingin menyatakan bahwa mukim jangan lagi hanya dipandang sebagai lembaga adat saja. Mukim jangan dipandang hanya melulu sebagai bagian dari sejarah masa lalu. Tetapi mari memandang mukim sebagai warisan budaya sistem pemerintahan khas Aceh yang masih layak diimplementasikan pada masa kini. Universitas Sumatera Utara Mukim adalah pemerintahan, yang mengacu pada system hukum adat. Dan system hukum adat lebih dekat dengan paradigma anglo saxon common law ketimbang continental yang civil law. Sistem ini lebih dapat memberikan keharmonisan dan rasa keadilan dibandingkan sistem civil law yang mengutamakan kepastian hukum. Adalah pemahaman yang keliru dan sesat, jika berasumsi bahwa sistem hukum adat adalah kolot dan ketinggalan zaman. Norma- norma yang dikandung dalam hukum adat selalu fleksible mengiringi perkembangan zaman. Saat ini memang telah ada Qanun Aceh qanun provinsi yang mengatur tentang lembaga-lembaga adat yaitu Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008. Sebaiknya, materi aturan dalam qanun ini dapat dijadikan pedoman untuk disesuaikan dengan tugas dan fungsi lembaga- lembaga adat sesuai kekhasan masing-masing yang akan diatur di dalam Qanun Kabupaten tentang Pemerintahan Mukim. Idealnya, eksistensi tugas dan fungsi lembaga-lembaga adat cukup tampak kinerja produktifitasnya pada tingkat mukim di setiap kabupatenkota. Oleh karena itu, perlu pula pengaturannya pada tingkat kabupatenkota. Hemat saya, untuk tingkat kabupatenkota, pengaturan mengenai lembaga-lembaga adatnya tidak usah diatur dengan qanun tersendiri, tetapi dapat diatur sebagai satu kesatuan dalam Qanun Kabupaten tentang Pemerintahan Mukim. Hal ini dimaksudkan demi integrasi dan efesiensi pengaturan. Jika lembaga-lembaga adat tersebut telah cukup eksis membantu pemerintahan mukim, maka barulah dapat dikatakan ia sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupatenkota sebagaimana diinginkan oleh ayat 1 Pasal 98 UUPA. Universitas Sumatera Utara Saat ini, ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat dan pembinaan kehidupan adat istiadat, sebagai tindaklanjut dari Pasal 98 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Pemerintahan Aceh, telah pula diundangkan dua Qanun Aceh, yaitu : 1. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, dan 2. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga-lembaga Adat. Pembinaan kehidupan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berlandaskan pada nilai-nilai syariat dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe. Adapun lembaga-lembaga adat dimaksud, dan yang masing-masingnya dipimpin oleh tokok-tokoh yang cakap dibidang tertentu, yang dipilih dalam suatu musyawarah anggota komunitasnya, meliputi yaitu : NO LEMBAGA ADAT PIMPINAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 PEMERINTAHAN MUKIM HAL IBADAH DI MUKIM MUSYAWARAH MUKIM PEMERINTAHAN GAMPONG HAL IBADAH DI GAMPONG MUSYAWARAH GAMPONG PERSAWAHAN LAUT PASAR DAN PERDAGANGAN PELABUHAN PERKEBUNAN HUTAN IMEUM MUKIM IMEUM CHIK TUHA LAPAN KEUCHIK IMUM MEUNASAH TUHA PEUT KEJRUEN BLANG PENGLIMA LAOT HARIA PEUKAN SYAHBANDA PEUTUA SEUNEUBOK PANGLIMA UTEUN GLEE Masing-masing lembaga adat tersebut menyelenggarakan tugas dan fungsinya masing- masing, yaitu : Universitas Sumatera Utara 1 Imeum Mukim bertindak sebagai Kepala Pemerintahan Mukim, yang membawahi beberapa gampong. 2 Imum Mesjid atau Imum Chik adalah figur yang mengepalai urusan syariat dan peribadatan pada tingkat wilayah kemukiman. 3 Tuha LapanPeut Mukim adalah figur yang terdiri dari tokoh-tokoh warga kemukiman anggota musyawarah kemukiman, yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada Imum Mukim dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan mukim. 4 Keuchik adalah Kepala gampong, yang memimpin dan mengetuai segala urusan tata kelola pemerintahan gampong. 5 Imeum Meunasah Teungku Gampong adalah pemimpin dan pembina bidang agama Islam, yang sekaligus bertindak selaku pemimpin upacara kematian di gampong. 6 Tuha Peut Gampong adalah para ureung tuha anggota musyawarah gampong yang bertugas dan berfungsi memberikan nasehat, saran, pertimbangan, atau pendapat kepada keuchik dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan gampong. 7 Keujrun Blang adalah ketua adat dalam urusan pengaturan irigasi, pengairan untuk persawahan, menentukan mulainya musim tanam, membina para petani, dan menyelesaikan sengketa persawahan. 8 Panglima Laot adalah ketua adat yang memimpin urusan bidang penangkapan ikan di laut, membina para nelayan, dan menyelesaikan sengketa laot. 9 Haria Peukan adalah pejabat adat yang mengatur ketertiban, kebersihan dan pengutip retribusi pasar. Universitas Sumatera Utara 10 Syahbanda adalah pejabat adat yang mengatur urusan kepelabuhanan, tambatan kapal perahu, lalu lintas angkutan laut, sungai dan danau. 11 Peutua Seuneubok adalah ketua adat yang mengatur tentang pembukaan hutan perladangan perkebunan pada wilayah gunung lembah-lembah, dan menyelesaikan sengketa perebutan lahan. 12 Panglima Uteun atau pawang glee adalah ketua adat yang memimpin urusan pengelolaan hutan adat, baik kayu maupun non kayu madu, getah rambung, sarang burung, rotan, damar, dll, meurusa, memungut wasee glee, memberi nasehatpetunjuk pengelolaan hutan, dan menyelesaikan perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Berkaitan dengan lembaga adat uteun, di dalam Pasal 30 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 menegaskan tentang keberadaan pawang glee atau nama lain dipilih oleh masyarakat kawasan hutan, serta tatacara pemilihan dan persyaratan menjadi pawang glee atau nama lain ditetapkan melalui musyawarah masyarakat kawasan hutan. Berdasarkan hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa terdapat penggunaan istilah yang berbeda-beda untuk pemimpin lembaga adat hutan di Aceh. Di Kabupaten Aceh Besar digunakan istilah pawang glee, 360 di Kabupaten Pidie digunakan istilah kejruen glee. Sedangkan di Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Aceh Barat, dan Aceh Selatan digunakan istilah panglima uteun dan pawang uteun. Sementara di Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Luwes, dan Aceh Tenggara mereka, menyebutnya dengan peung ulu uteuen. Dalam Pasal 31 Qanun Aceh tentang Lembaga Adat ditegaskan bahwa ketua lembaga adat uteun yaitu pawang glee atau nama lain memiliki tugas sebagai berikut: 360 Istilah pawang glee juga digunakan dalam Undang‐Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Universitas Sumatera Utara a memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan; b membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan; c menegakkan hukum adat tentang hutan; d mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan hutan; dan e menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Selama beberapa dekade belakangan ini – sejak tahun 1970-an hingga tahun 2008 -- keberadaan lembaga adat uteun, walaupun lembaganya masih ada tetapi dalam kenyataannya kurang berfungsi. Kalaupun ada usaha ke arah kebijakan dan memberi sanksi terhadap pelanggar adat uteuen, namun para pemangku adat uteuen masa itu tidak mempunyai wewenang penuh untuk menerapkan hukum adat hutan. Jika pawang uteuen dan tokoh-tokoh adat bersikeras menerapkan hukum adat pada lembaga adat uteuen maka mereka akan menghadapi resiko yang berat, harus berhadapan dengan aparat pemerintah. 361 Penjelasan yang sama disampaikan oleh tokoh adat uteun di Kecamatan Woyla Timur, Kecamatan Woyla Barat, Kecamatan Samatiga, dan Kecamatan Kaway XVI Kabupaten Aceh Barat. Fauzi, misalnya, salah seorang tokoh adat Kecamatan Woyla Timur mengatakan bahwa keberadaan lembaga adat uteuen di wilayahnya dalam beberapa dekade ini tidak berfungsi; lembaga adat tidak memiliki kekuatan dalam menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakatnya, terutama konflik tapal batas dan masalah penebangan kayu illegal di ulayat hutan adat. Penyebab lemahnya penerapan hukum adat hutan menurut beberapa tokoh adat uteun karena para pemangku adat hutan tidak berani menghadapi tekanan dan ancaman dari pihak- 361 Wawancara dengan M. Husein, pawang uteuen Kemukiman Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, Kabupaten Aceh Barat, tanggal 8 Mei 2007. Universitas Sumatera Utara pihak pelaku illegal logging. Pada masa Aceh belum damai, 362 pelaku illegal logging adalah pihak-pihak yang mendapat dukungan becking dari pihak bersenjata, baik TNIPolri maupun Gerakan Aceh Merdeka GAM, sehingga para panglima uteun dan imeum mukim tidak berani menghadapinya. Karenanya, ketika para warga masyarakat gampong dan panglima uteun mengetahui adanya suara mesin gergaji kayu shinsaw di tengah hutan, mereka tidak berani mencegah dan melarangnya. Kepada penulis, panglima uteun tersebut mengungkapkan kata-kata, kamoe manteung hawa udeup, kamoe hana glak keu nyawoeng, kamoe manteung teuingat keu aneuk ineung. Artinya kami masih mau hidup, kami belum bosan kepada nyawa kami, kami masih ingat anak isteri. Kemudian mereka menjelaskan lagi, bahwa mereka bukan tidak mau menghalangi penebangan hutan secara bebas dan memberi sanksi bagi si pelanggar adat uteuen, tapi karena para pelaku illegal logging selalu membawa senjata beudee geunapiet, sehingga para warga gampong tidak mau mencari-cari masalah. 363 Sebenarnya, selain karena alasan konflik, penyelenggaraan lembaga adat uteun sudah mulai memudar sejak tahun 1970-an. Hal ini seiring dengan mulai diterapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan, yang telah meniadakan atau tidak mengakuinya keberadaan hutan adat. Sebagai tindaklanjut dari Undang-undang Pokok Kehutanan ini, diterbitkanlah serangkaian peraturan pemerintah yang mempermudah bagi perusahaan untuk mendirikan dan mengembangkan industri pengusahaan hutan. Diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pengusahaan Hasil Hutan HPH, yang 362 Maksudnya adalah masa sebelum ditandatanganinya Memorandum of Understanding MoU Helsinki antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. Bagi warga Aceh, menurut beberapa responden, tanggal ini merupakan tonggak sejarah yang harus diingat. 363 Wawancara dengan Fauzi, tokoh adat Kecamatan Woyla Timur, tanggal 10 Mei 2007 Universitas Sumatera Utara kemudian dilanjuti dengan diberikannya izin Hak Pengusahaan Hutan HPH kepada 19 perusahaan HPH di Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 364 senyatanya telah menimbulkan permasalahan bagi keberadaan hutan adat uteun mukim di Aceh. Diberlakukannya undang- undang yang sentralistik untuk mengatur pemerintahan daerah dan pemerintahan desa, 365 semakin melengkapi upaya eliminisasi hutan adat beserta keberadaan masyarakat hukum adat mukim di Aceh. Berkaitan dengan keberadaan perusahaan-perusahaan yang memiliki izin hak pengusahaan hutan HPH di Aceh, Imeum Mukim Krueng Sabee, Keuchik Gampong Paya Seumantok, dan Keuchik Gampong Buntha Kabupaten Aceh Jaya, mengemukakan ada dua persoalan utama dari berkiprahnya perusahaan-perusahaan HPH di wilayah mereka, yaitu : Pertama, hilangnya hak kullah mukim yang sejak dahulu diklaim sebagai hutan hak masyarakat hukum adat mukim uteun mukim akibat adanya izin Hak Pengusahaan Hutan HPH yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahan-perusahaan tersebut tanpa mempertimbangkan keberadaan hak ulayat mukim. Dengan diberikannya izin tersebut, wilayah- wilayah hutan yang dulunya di bawah kekuasaan mukim menjadi wilayah HPH, sehingga anggota masyarakat mukim tidak boleh lagi masuk memanfaatkan hasil hutan ulayatnya. Kedua, hadirnya perusahaan-perusahaan yang mendapat izin hak pengusahaan hutan HPH, selain telah menguasai uteun mukim, juga tidak mengakui hak masyarakat hukum adat mukim dan bahkan melarang para warga mukim untuk memungut hasil hutannya. Sehingga, 364 Perusahaan‐perusahaan tersebut dapat dilihat pada table 3 Bab III disertasi ini. 365 Undang ‐undang dimaksudkan adalah Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan di Daerah dan Undang‐undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Kedua undang‐undang tersebut bersifat sentralistik dan berupaya menyeragamkan sistem pemerintahan daerah dan pemerintahan desa. Dengan berlakunya kedua undang‐undang ini, maka tidak diakuinya lagi keberadaan system pemerintahan asli dari masyarakat suatu daerah, sehingga system pemerintahan mukim pun ditiadakan. Sedangkan sistem pemerintahan gampong di Aceh diseragamkan dengan system pemerintahan desa secara nasional. Akibatnya, semua lembaga‐ lembaga adat yang dahulunya bertugas membantu imeum mukim menyelenggarakan pemerintahan menjadi tidak lagi berfungsi. Universitas Sumatera Utara jangankan untuk menebang pohon dalam wilayah HPH, untuk mengambil lebah uno dan berburu rusa meurusa saja pun dilarang oleh pihak perusahaan HPH. Akibatnya, selama berkiprahnya perusahaan-perusahaan HPH di wilayah Mukim Krueng Sabee, tidak memberikan manfaat apapun bagi masyarakat setempat. Yang terjadi justru kemudharatan berupa hilangnya mata pencaharian masyarakat, serta berubahnya warna, bau, menimbulkan gatal-gatal, dan dangkalnya air sungai Krueng Sabee akibat rusaknya hutan oleh kegiatan beberapa perusahaan HPH. 366 Apa yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh masyarakat Kemukiman Krueng Sabee Kabupaten Aceh Jaya, senada dengan yang diungkapkan oleh tokoh masyakarat Mukim Reukih, Mukim Krung Kala, dan Mukim Blangmee Lhoong Kabupaten Aceh Besar. Ternyata, apa yang dikemukakan oleh para tokoh adat di atas, senada pula dengan apa yang dituliskan oleh Amiruddin A. Wahab dalam laporan penelitiannya, yaitu dengan adanya perusahaan HPH maka masyarakat hukum adat tidak lagi leluasa dapat memungut hasil hutan yang ada di dalam dan sekitar wilayahnya, terutama kayu. Sehingga, walaupun ketentuan perundang-undangan secara juridis formal telah mengakui hak masyarakat hukum adat untuk memungut hasil hutan. Tetapi jika kawasan hukum adat tersebut telah diberikan izin HPH hak pengusahaan hutan, maka hak masyarakat hukum adat diharuskan mengalah untuk kepentingan pihak yang secara formal telah mendapatkan hak atas kawasan tersebut. 367 Setelah ditandatanganinya Nota Kesepahaman Memorandum of Understanding antara Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah Indonesia pada tanggal 15 Agustus 2005, yang kemudian disusul dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang 366 Wawancara dengan Tgk Mohd Rasyid, Imeum Mukim Krueng Sabee, Tgk Razak, Keuchik Gampong Buntha, dan Abdul Wahab, Keuchik Gampong Paya Seumantok, tanggal 27 April 2008. Perusahaan‐perusahaan HPH yang beroperasi di wilayah mereka adalah; PT. Lamuri, PT Aceh Inti Timber, dan PT. Bosowa. 367 Lihat, Amiruddin A. Wahab, dkk. Hak‐Hak Masyarakat Hukum Adat terhadap Hasil Hutan di Kecamatan Lhoknga Leupung Aceh Besar. Jurnal Ilmu Hukum KANUN, No. 23 Tahun IXAgustus 1999, FH Unsyiah. Universitas Sumatera Utara Pemerintahan Aceh, yang secara tegas eksplisit mengakui kembali lembaga-lembaga adat Aceh, termasuk lembaga adat uteun. Namun fakta masih lemahnya peranan panglima uteun sebagaimana digambarkan di atas, baik dalam menyelenggarakan dan menegakkan hukum adat hutan maupun dalam memberantas illegal logging terus berlanjut hingga dikeluarkannya Instruksi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5INSTR2007 tentang Moratorium Logging Penghentian Sementara Penebangan Hutan di Nanggroe Aceh Darussalam. Sekarang ini, dengan dikeluarkannya kebijakan berupa Instruksi Gubernur tentang Moratorium Logging, serta telah pula diundangkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, maka eksistensi lembaga adat uteun telah mulai tampak lagi. Hasil penelitian di beberapa kemukiman di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Aceh Barat, dapat dikemukakan bahwa saat ini, setelah diberlakukannya Undang- Undang Pemerintahan Aceh, panglima uteun mempunyai peranan yang signifikan dalam menyelenggarakan lembaga adat uteun, termasuk dalam meyelesaikan sengketa uteun di ulayat hutan adat di Aceh. Otoritas yang diberikan kepada lembaga ini antara lain melakukan musyawarah anggota, merumuskan aturan adat uteun, mensosialisasikan hukum adat uteun, menjaga eksistensi adat uteun, mengatur tapal batas dan ulayat hukum adat uteun, menyelesikan konflik uteun, memelihara atau menjaga hutan lindung, dan menjadi penengah dalam penyelesaian konflik uteun sebagai hakim perdamaian.

4. Hubungan Lembaga Adat Hutan dengan Lembaga Adat Lain