Pengertian Hutan Negara dan Hutan MukimGampong

Penggunaan istilah penguasaan harus dibedakan dengan istilah pengelolaan. Pembahasan tentang penguasaan, berarti mendiskusikan aspek legalitas terhadap suatu objek. Sedangkan pengelolaan merupakan aspek manajerialnya. Mukim memiliki otorita terhadap seluruh wilayah teritorialnya, baik darat maupun laut. Sehubungan dengan kekuasaan Mukim terhadap hutan di wilayahnya, yang dinamakan dengan uteun mukim, 285 Prof Teuku Djuned -- Guru Besar Hukum Adat Aceh -- menegaskan bahwa kriteria pokok masyarakat hukum adat, bukanlah hanya pada adanya kewenangan memungut hasil hutan, melainkan yang lebih penting daripada itu adalah pada kewenangan menguasai dan memanfaatkan lingkungan hidup dan sumber daya alam, terutama untuk kepentingan warganya. 286 Berikut ini dibahas beberapa temuan berkaitan dengan penguasaan hutan adat uteun mukim di Aceh.

1. Pengertian Hutan Negara dan Hutan MukimGampong

Guna membedakan secara jelas pengertian antara hutan negara dengan hutan mukim atau hutan gampong, maka perlu terlebih dahulu dilihat rumusan yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan mengenai hal tersebut. Di dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, telah ditegaskan bahwa hutan negara adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Kehutanan di atas, dapat dipahami adanya keterkaitan yang erat dengan pengaturan mengenai pertanahan, sebagaimana yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UU Agraria. 285 Setiap hutan mukim uteun mukim memiliki sebutannya masing‐masing dikalangan masyarakat mukim setempat, misalnya Uteun Glingka, Uteun Ie Treun, Glee Pancu, Uteun Ceudah, dan lain‐lain. 286 T. Mohd Djuned, Pandangan dan Masukan kepada Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat, makalah diskusi tentang hutan adat, diselenggarakan oleh WALHI, Banda Aceh 12 Januari 2004. Universitas Sumatera Utara Menurut Pasal 16 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- pokok Agraria UU Agraria, hak-hak atas tanah adalah : h. hak milik, i. hak guna usaha, j. hak guna bangunan, k. hak pakai, l. hak sewa, m. hak membuka tanah, n. hak memungut hasil hutan, o. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas. Hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud oleh Pasal 16 UU Pokok Agraria tersebut, menurut Pasal 4 ayat 1-nya, merupakan macam-macam hak yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum. Sedangkan Pasal 3 UU Agraria menegaskan bahwa, dengan mengingat ketentuan- ketentuan dalam Pasal 1 dan Pasal 2, pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi. Tanah-tanah yang termasuk dalam pengertian tanah yang dikuasai negara ialah tanah yang di atasnya sudah ada sesuatu hak pihak lain atau belum ada sesuatu hak. Tanah yang diatasnya sudah ada sesuatu hak, seperti hak milik disebut tanah milik, maksudnya tanah yang dikuasai negara juga, tetapi penguasaannya secara tidak langsung. Bagi tanah yang diatasnya Universitas Sumatera Utara belum ada sesuatu hak, kekuasaan negara adalah langsung dan inilah yang termasuk dalam pengertian tanah negara. 287 Disamping istilah tanah negara, di Aceh terdapat pula istilah tanah desa tanoh gampong dan tanah mukim. Sehingga karenanya dikenal pula istilah uteun gampong dan uteun mukim. Tanah mukim adalah tanah yang dikuasai atau tanah-tanah yang termasuk dalam kekuasaan mukim. Mukim menguasai tanah-tanah yang berada diwilayahnya. Penguasaan mukim terhadap tanah meliputi, baik terhadap tanah yang sudah digarap maupun belum. Bagi tanah yang sudah digarap, kekuasaan mukim atau desa menjadi lemah, dan lazim disebut dengan tanah perseorangan individu tanoh po ureung tertentu. Terhadap tanah yang belum digarap, ataupun tanah yang pernah digarap tetapi sudah menjadi rimba kembali selama letaknya dalam kawasan suatu mukim atau desa termasuk dalam kategori tanah atau hutan tanoh atau uteun gampong atau uteun mukim. Dengan demikian, dimaksudkan dengan uteun mukim adalah hutan dalam wilayah territorial kemukiman yang jaraknya sehari pulang-pergi dari batas gampong terluar, dan belum dimiliki oleh seseorang. Uteun mukim ini merupakan hutan ulayat hak kullah dari mukim yang bersangkutan. Di dalam Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, dijelaskan bahwa, 288 hutan ulayat adalah hutan sejauh sehari perjalanan pulang pergi, di hutan ini semua penduduk boleh memungut dan mencari hasil hutan, dengan pembagian hasil disepakati antara pencari dan Imuem Mukim.

2. Mukim berkuasa atas Hutan Ulayatnya