yaitu 1 variabel penguasaan atas pengelolaan hutan adat, dan 2 variabel masyarakat hukum adat.
1. Penguasaan atas Pengelolaan Hutan Adat
Mengacu pada teori penguasaan negara terhadap sumberdaya alam dan Doktrin Panca Fungsi Pemerintah sebagaimana ditemukan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
dalam pengujian terhadap beberapa undang-undang mengenai sumberdaya alam,
57
maka makna penguasaan dapat dirumuskan sebagai :
1. merumuskan kebijakan beleid,
2. melakukan pengaturan regelendaad,
3. melakukan pengurusan bertuursdaad,
4. melakukan pengelolaan beheersdaad, dan
5. melakukan pengawasan toezichthoundendaad.
Terkait dengan penguasaan hutan, dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa:
1 Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
2 Penguasaan hutan oleh negara memberi wewenang kepada pemerintah untuk:
a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan,
b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan, dan
57
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058‐059‐060‐063PUU‐II2004 dan Nomor 008PUU‐ III2005
mengenai Pengujian Undang‐Undang Sumberdaya Air.
c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan.
3 Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat
sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.
Esensi dari penguasaan hutan oleh negara yang diselenggarakan oleh pemerintah adalah adanya kewenangan merumuskan kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan
mengawasi. Pemerintah dimaksud meliputi pula pemerintah daerah dan pemerintah masyarakat hukum adat.
58
Dengan demikian, pemerintah mukim selaku pemerintah otonom dari masyarakat hukum adat di Aceh juga memiliki otonomi untuk menguasai
sumberdaya alamnya, termasuk hutan. Kekuasaan mukim dalam menguasai dan mengelola hutannya, bukan dalam arti memiliki, tetapi dalam makna adanya kewenangan
mukim sebagai pemerintahan untuk : merumuskan kebijakan beleid, melakukan pengaturan regelendaad, melakukan pengurusan bertuursdaad, melakukan
pengelolaan beheersdaad, dan melakukan pengawasan toezichthoundendaad. Hutan adat menurut Hukum Adat Aceh adalah hutan ulayat mukim uteun
mukim yang merupakan harta kekayaan mukim yang telah ada sejak dahulu kala, yang berada di dalam wilayah kemukiman bersangkutan ataupun yang letaknya paling jauh
sehari pergi pulang dari pusat kemukiman. Menurut Pasal 18 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, harta kekayaan mukim adalah harta kekayaan
yang telah ada, atau yang dikuasai mukim; berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau,
laut, gunung, rawa, paya, dan lain-lain yang menjadi ulayat mukim sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jadi, menurut qanun
ini uteun mukim merupakan hak ulayat masyarakat kemukiman yang bersangkutan.
58
Darmansyah, op. cit, hal. 193.
Hak ulayat menurut Boedi Harsono adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan
ulayatnya, sebagai labensraum ruang kehidupan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, yang ada dalam wilayah tersebut.
59
Hak ulayat merupakan salah satu tiang hukum adat. Tanah ulayat mempunyai ciri dan batasan
yang sama di seluruh Indonesia, namun dalam pelaksanaannya berbeda antara satu daerah persekutuan hukum dengan persekutuan hukum lainnya. Sebagaimana disebutkan dalam
hukum adat; lain lubuk lain ikannya, lain lalang lain belalangnya.
60
Berkaitan dengan hak ulayat, Muhammad Yamin dan Abd Rahim Lubis menegaskan,
61
dalam pada itu harus diingat bahwa konsepsi umum hutan tanah ulayat yang dikenal di negara ini adalah bersumber dari teori klasik, yang menjelaskan bahwa
tanah adalah milik raja. Terbaginya tanah menjadi hutan tanah ulayat bagi masing- masing kesatuan masyarakat hukum adat semata-mata merupakan kedermawanan sang
raja. Sehingga pemanfaatan dan penggunaannya haruslah sedemikian rupa dan harus memenuhi ketentuan adat.
Di Aceh, sumber penguasaan tanah bukanlah pada raja, melainkan adalah Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa. Sehubungan dengan subjek yang menguasainya, dalam
59
Boedi Harsono, Op. Cit., hlm. 57. Menurutnya, hak ulayat adalah nama yang diberikan oleh undang
‐undang dan para ahli hukum pada lembaga hukum dan hubungan hukum antara suatu masyarakat
hukum adat tertentu dengan suatu wilayah tertentu, yang merupakan lingkungan hidup dan penghidupan
para warganya sepanjang masa. Masyarakat hukum adatnya sendiri tidak memberikan nama
pada lembaga tersebut. Dalam hukum adat yang dikenal adalah sebutan tanahnya yang merupakan wilayah
lingkungan masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
60
Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat, Alumni, Bandung, 1987, hlm. 59.
61
Muhammad Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa
Press, Medan, 2004, 153.
sebutan sehari-hari orang Aceh membedakan tiga macam tanah, masing-masing “tanoh droe, tanoh gob, dan tanoh hak kullah”.
Sebutan tanoh droe dipakai untuk sebidang tanah yang dipunyai oleh seseorang. Istilah tanoh gob dipakai bagi sebidang tanah kepunyaan orang lain. Baik yang disebut
tanoh droe maupun tanoh gob adalah tanah-tanah yang sedang berada dalam kekuasaan seseorang individu. Penguasaan mana oleh para individu berdasarkan titel-titel hak
tertentu menurut hukum adat. Sedangkan Tanoh hak kullah maksudnya tanah milik Allah, yaitu sebidang tanah dalam kawasan mukim yang belum digarap. Kalaupun tanah
tersebut sudah digarap tetapi sudah ditinggalkan oleh penggarapnya dan menjadi rimba kembali.
62
Semua tanah yang berada dalam wilayah mukim selama belum berada dalam kekuasaan seseorang dinamakan tanoh hak kullah hak Allah. Jenis tanah ini
dimanfaatkan serta dikuasai bersama sebagai realisasi kekuasaan ke dalam. Hutan dikuasai dan dimanfaatkan bersama oleh warga masyarakat mukim. Setiap orang warga
masyarakatnya dapat dengan leluasa menebang kayu sekedar untuk bahan perumahannya, mengambil hasil hutan, berburu binatang dan mencari ikan. Apabila hal ini dilakukan
sebagai mata pencaharian maka ada kewajiban memberikan sebagian hasil untuk mukimnya.
63
2. Masyarakat Hukum Adat mukim