Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Hutan UU 411999

Dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan dinyatakan bahwa, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak untuk perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyaaannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Secara implisit bunyi pasal ini mengandung makna bahwa hak-hak masyarakat yang mendapatkan kemanfaatan hutan selama ini berdasarkan hukum adat harus mengalah demi univifikasi hukum peraturan perundangan, yang tentu saja bersifat tertulis. Adanya kata-kata dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, bahwa ”Undang-undang Pokok Kehutanan ini merupakan suatu langkah pula untuk menuju kepada univikasi hukum nasional dibidang kehutanan dan merupakan induk peraturan perudangan yang mengatur berbagai-bagai bidang dalam kegiatan kehutanan”, 187 dan adanya pernyataan, ”Menurut perkembangannya hak ulayat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah” 188 . Semakin kentaralah bahwa orientasi dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 ini tidak hanya sebagai strategi pembatasan hak-hak ulayat, tetapi juga sekaligus bermaksud meniadakan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat atas kawasan hutannya.

2. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Hutan UU 411999

187 Lihat; Penjelasan Umum Undang‐undang Nomor 5 Tahun 1967. 188 Lihat; Penjelasan Umum Undang‐undang Nomor 5 Tahun 1967. Universitas Sumatera Utara Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang dibentuk pada masa reformasi telah melakukan perubahan pemikiran terhadap paham dan strategi pembatasan pelaksanaan hak-hak ulayat oleh masyarakat hukum adat. Undang-undang Kehutanan ini dalam penjelasannya menyatakan bahwa: mengantisipasi perkembangan aspirasi masyarakat, maka dalam undang-undang ini hutan di Indonesia digolongkan ke dalam hutan negara dan hutan hak. Hutan negara ialah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak-hak atas tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, termasuk di dalamnya hutan-hutan yang sebelumnya dikuasai masyarakat hukum adat yang disebut hutan ulayat, hutan marga, atau sebutan lainnya. Dimasukkannya hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dalam pengertian hutan negara, adalah sebagai konsekuensi adanya hak menguasai dan mengurus oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat dalam prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan demikian, masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, dapat melakukan kegiatan pengelolaan hutan dan pemungutan hasil hutan. Sedangkan hutan hak adalah hutan yang berada pada tanah yang telah dibebani hak atas tanah menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Hak-hak atas tanah, menurut Pasal 16 Undang-undang Pokok Agraria adalah : hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain. Antara Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan dengan Pasal 3 dan Pasal 16 UU Pokok Agraria terdapat ketentuan yang berbenturan. Hutan negara dalam pengertian UU Kehutanan UU 411999 adalah hutan yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan Universitas Sumatera Utara dalam UU Pokok Agraria UU 51960 ditegaskan adanya pengakuan terhadap pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat-masyarakat hukum adat, termasuk; hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan, dan hak-hak lain. Ini berarti, hak ulayat juga termasuk hak atas tanah, yang karenanya hutan adat harus dikeluarkan dari pengertian dan pengaturan hutan negara. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, ditegaskan bahwa, pengurusan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan di atas, baik yang termuat dalam Pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang mengharuskan negara memperhatikan hak masyarakat hukum adat maupun yang dinyatakan dalam Penjelasan Umumnya mengenai hutan-hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat sebagai hutan negara, dapat dikatakan merupakan dua kalimat yang valid mewakili sikap Pemerintahan Reformasi, berupa pengakuan terhadap masyarakat hukum adat beserta haknya atas sumberdaya hutan. 189 Jika kita bandingkan ketentuan-ketentuan tentang pengakuan hak ulayat dan masyarakat hukum adat yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 produk Pemerintahan Reformasi dengan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang hal yang sama, dapatlah dipahami adanya perubahan mendasar yang berupa tambahan rumusan redaksional dan substansial. 189 Undang‐undang ini dibentuk dan disahkan pada masa awal Pemerintahan Reformasi dibawah pimpinan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie, dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Muladi pada tanggal 30 September 1999. Universitas Sumatera Utara Beberapa kemajuan ketentuan tentang hak ulayat dan masyarakat hukum adat yang dapat diketemukan dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut; Pertama, dicantumkannya secara tersurat istilah ”hutan adat” dalam Pasal 1, yang berbunyi, hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Ini merupakan pengakuan juridis akan masih adanya eksistensi hutan adat dan masyarakat hukum adat di Indonesia. Sedangkan di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 sama sekali tidak pernah disebutkan secara tersurat tentang hutan adat. Sehingga dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada masa Pemerintahan Orde Baru ada upaya-upaya untuk mengeliminasi keberadaan hutan-hutan adat dan masyarakat hukum adat demi univikasi hukum peraturan perundangan, serta terlebih lagi demi pembangunan melalui percepatan pertumbuhan ekonomi pendapatan devisa negara dari sektor kehutanan. 190 Kedua, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak lagi disebutkan adanya maksud univikasi hukum peraturan perundangan, sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967. Ini berarti, Undang-undang Kehutanan produk Pemerintahan Reformasi mengakui keberadaan hukum adat. Dan pula, dengan tidak lagi disebutkan pernyataan bahwa lambat-laun hak ulayat akan lemah dan menghilang sebagaimana kita dapati dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 190 Mas Achmad Santosa, mengemukakan dalam papernya, bahwa pengelolaan sumber daya alam yang dijalankan selama Orde Baru berlangsung lebih didasarkan kepada kepentngan kebutuhan investasi dalam rangka pemulihan kondisi ekonomi pada awal‐awal pemerintahan Orde Baru pasca 1966. Sumber daya alam hutan, tambang, sumber daya air dan mineral dipandang serta dipahami dalam konteks “economic sense” dan belum dipahami sebagai “ecological and sustainable sense”. Lihat, Reformasi Hukum dan Kebijaksanaan di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam, dalam Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, ICEL, Jakarta, 1999, hlm. 21. Universitas Sumatera Utara Tahun 1967, secara implisit, dapat dimaknai adanya pengakuan oleh negara terhadap keberadaan hak ulayat dan masyarakat hukum adat. Disisi lain, adanya pengakuan sedemikian itu, dapat pula dipahami sebagai mulai bangkitnya penguatan terhadap hak-hak rakyat sebagai akibat gerakan-gerakan rakyat yang menolak keberlangsungan pemerintahan sentralistik era Orde Baru. Dalam masa reformasi, rakyat tidak lagi dipandang sebagai objek yang harus mengalah demi pembangunan pertumbuhan ekonomi. Hak-hak rakyat yang merupakan warisan leluhurnya kembali mendapat pengakuan dan penghormatan dari negara. Sehingga selama masa reformasi ini tidak lagi ditemukan kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat adat sebagaimana telah terjadi pada masa Orde Baru. Hal sedemikian ini, bahkan mendapat penegasannya dalam Perubahan Kedua 2000 UUD 1945, yaitu Pasal 18 B ayat 2, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Di bawah kekuasan Orde Baru, jumlah korban kekerasan dan konflik mencapai 1.189.482 KK. Pada tahun 1970-an, misalnya, Suku Dayak Punan di sebelah utara Kalimantan Timur direlokasi ke tempat-tempat baru lewat program Pembinaan Kesejahtaraan Sosial Masyarakat Terasing PKSMT yang dikoordinir oleh Departemen Sosial. 191 . Pada dekade yang sama, nasib serupa juga dialami oleh orang Mentawai di Kampung Rogdog, Kabupaten Mentawai, akibat pengkaplingan pulau Siberut oleh 4 191 Yekti Maunati,’ Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan’, Jakarta, LKIS, 2004., hal. 21. Universitas Sumatera Utara konsesi HPH serta penetapan Taman Nasional Siberut seluas 192.655 Ha, pada tahun 1993. Begitu juga Orang Moronene di Taman Nasional Rawa Ope di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, yang terkena proyek relokasi di tahun 1980-an dan pengusiran paksa lewat Operasi Sapu Jagat sepanjang tahun 1997-2002. Kekerasan tersebut bahkan masih berlanjut selepas pemerintahan Orde Baru. Salah satu yang terbesar adalah ditembaknya 6 orang penduduk Kampung Tangkul, Kecamatan Poco Ranaka, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Penembakan di bawah Operasi Pelaksanaan Pengamanan Kawasan Hutan Lindung tersebut, selain memakan korban nyawa, seluruh kebun kopi Orang Tangkul ditebang habis. 192 Ketiga, ditegaskannya kewajiban untuk tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat dalam hal penguasaan hutan oleh negara, sebagaimana terdapat dalam pasal 4 ayat 3 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu ; penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih dan diakui keradaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Ketentuan ini mengandung makna bahwa dalam melakukan penguasaan terhadap hutan, negara harus tetap mempertimbangkan keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat. Ketentuan seperti ini tidak diketemukan didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1967. Sehingga mengisyaratkan Undang-undang Pokok Kehutanan produk Orde Baru tidak memperdulikan keberadaan hak-hak masyarakat hukum adat. Namunpun demikian, adanya kata-kata ”sepanjang kenyataannya masih ada” dan ”diakui keberadaannya” dapat menimbulkan pertanyaan tentang indikasi keberadaan hak 192 Rikardo Simarmata, Pilihan Hukum Pengurusan Hutan oleh Masyarakat, paper tidak dipublikasi, 2004, hlm. 3. Universitas Sumatera Utara ulayat dan pengakuan terhadapnya. Pernyataan ini menimbulkan implikasi pada pelaksanaan Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Kehutanan, yaitu untuk mendapatkan hak memungut, hak mengelola, dan mendapatkan pemberdayaan maka masyarakat hukum adat terlebih dahulu harus diakui keberadaannya sebagai masyarakat hukum adat. Dan, untuk mendapatkan status sebagai masyarakat hukum adat harus dikukuhkan dengan peraturan daerah atau qanun di Aceh. Kriteria untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat dapat ditemukan dalam Penjelasan Pasal 67 undang-undang tersebut. Penguasaan hutan oleh negara bukan merupakan pemilikan. Hal ini ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999. Penguasaan tersebut bermakna adanya kewenangan yang diberikan oleh negara kepada pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan kawasan hutan dan atau mengubah staus kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan hukum antara orang dengan hutan atau kawasan hutan dan hasil hutan; serta mengatur perbuatan hukum mengenai kehutanan. Selanjutnya pemerintah mempunyai wewenang untuk memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan dibidang kehutanan. Namun demikian, untuk hal-hal tertentu yang sangat penting, berskala dan berdampak luas, serta bernilai strategis, Pemerintah harus memperhatikan aspirasi rakyat melalui persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. 193 193 Penjelasan Umum Undang‐undang Nomor 41 Tahun 1999. Universitas Sumatera Utara

BAB III KONDISI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN

DI PROVINSI ACEH A. Kondisi dan Karakteristik Hutan Aceh Hutan Aceh terbentang dari ujung Provinsi Aceh yang dimulai dari Pulau Weh hingga wilayah Selatan Aceh di Kabupaten Singkil termasuk Pulau Simeulue. Kondisi hutan Aceh berbeda-beda di tiap kabupaten, baik dari segi fungsi dan peruntukannya maupun kondisi aktual di lapangan. Wilayah pesisir Aceh umumnya merupakan dataran rendah yang datar dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi dan mempunyai wilayah hutan yang tidak begitu luas. Sedangkan sebagian besar wilayah dataran tinggi Aceh merupakan areal hutan yang sangat luas terbentang dari wilayah Ulu Masen di Utara dan Barat hingga Kawasan Ekosistem Leuser di Selatan dan Tenggara Aceh. 194 Secara ekologis, hutan Aceh mempunyai keanekaragaman ekosistem yang sangat kaya. Keanekaragaman hayati Kawasan Leuser, khususnya Taman Nasional Gunung Leuser telah diakui dunia, sehingga Taman Nasional Gunung Leuser ditetapkan oleh UNESCO sebagai World Heritage atau dikenal sebagai warisan dunia. 195 Selain Gunung Leuser, semua kawasan lindung dan hutan Aceh pada umumnya menyimpan keanekaragaman hayati yang sangat kaya, baik tumbuhan dan hewan. 194 Wilayah Ulu Masen adalah suatu nama baru yang diberikan oleh Flora Fauna International untuk kawasan hutan yang berada di pesisir Provinsi Aceh yang meliputi Kabupaten Aceh Besar, Aceh Jaya, Aceh Barat, Pidie, Pidie Jaya, dan Bireun. Nama Kawasan Ulu Masen diambil dari nama gunung tertinggi di Kabupaten Aceh Jaya. Hingga penelitian ini dilakukan Ulu Masen belum dikukuhkan oleh pemerintah sebagai suatu kawasan hutan. Sedangkan Kawasan Ekosistem Leuser telah dikukuhkan dengan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. 195 Saodah Lubis, Strategi Konservasi Dalam Pengelolaan SDA yang Berkelanjutan, makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Multi Pihak Mendorong Pengelolaan SDA yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat, diselenggararakan oleh WWF Indonesia dan BKSDA Prov. NAD, Banda Aceh , 12 – 15 Mei 2004. Universitas Sumatera Utara Hutan Aceh diyakini menjadi areal penyerapan debu dan karbon yang cukup besar sehingga keberadaannya memberikan konstribusi dalam mengurangi dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Karena itulah, banyak donor yang memberikan dukungan dana untuk menjamin kelestarian kawasan-kawasan lindung di Aceh, khususnya Kawasan Ekosistem Leuser dan Kawasan Ulu Masen. Selama berpuluh-puluh tahun sejak Orde Baru, kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan adalah menjadikan hasil hutan kayu sebagai prioritas utama produk hutan yang dikomersilkan. Pola pendekatan yang hanya melihat kayu sebagai produk hutan merupakan paradigma konvensional dari pola pengelolaan hutan di dunia. Pengelolaan hutan tanpa memenuhi prinsip-prinsip kelestarian hanya akan menimbulkan dampak buruk, berupa berbagai kerusakan dan degradasi hutan yang berakibat hilangnya keanekaragaman hayati dan sumber nabati lainnya. Hingga saat ini, rujukan hukum dalam pemantapan kawasan hutan di Aceh adalah Surat Keputusan Gubernur Nomor 19 Tanggal 19 Mei 1999 tentang Arahan Fungsi Hutan dan Perairan. Kemudian diikuti dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 170Kpts-II2000 tentang Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Aceh. Menurut Surat Keputusan Gubernur Aceh Nomor 19 Tanggal 19 Mei 1999, luas total hutan Aceh adalah 3.335.613 hektare. Secara lebih detil pembagian kawasan hutan Aceh atau arahan fungsi hutan Aceh menurut surat keputusan tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini. Secara keseluruhan, wilayah hutan Aceh mencapai 60,22 dari total luas daratan Nanggroe Aceh Darussalam 5.539.000 ha. Tabel 1. Luas Hutan Provinsi Aceh Universitas Sumatera Utara Sebagian besar kawasan hutan tersebut berfungsi sebagai kawasan lindung 80,86 yang terdiri dari hutan lindung 55,30 dan hutan konservasi 25,56. Sedangkan sisanya sebagai kawasan budidaya 19,14 yang terdiri dari hutan produksi tetap 18,03 dan hutan produksi terbatas 1,11. Secara umum, sebagian besar kawasan hutan di atas belum dikukuhkan, sehingga masih dijumpai ketidakpastian klaim penguasaan kawasan hutan negara akibat adanya klaim kepemilikan hutan, baik kepemilikan individu maupun komunal masyarakat. Berdasarkan laporan dari tiap-tiap kabupatenkota terhadap kebutuhan kayu per tahunnya adalah 394.511 m3 kayu olahan atau kayu bulat. Kebutuhan tersebut, tidak termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata. Kebutuhan kayu terbesar adalah Kota Banda Aceh 75.000 m3 kayu olahan kemudian diikuti oleh Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Tamiang 54.000 m3 dan 30.000 m3 kayu olahan. Kabupaten yang memerlukan kayu dalam jumlah terkecil adalah Kabupaten Langsa 2.500 m3 kayu olahan, diikuti oleh Kabupaten Aceh Barat Daya dan Kota Sabang 3.250 m3 kayu olahan lihat tabel 2. Fungsi Hutan Luas ha Persen 1. Kawasan Lindung 2.697.033 80,86 A. Hutan Konservasi 852.533 25,56 a. CA Pinus Janthoe 16.640 4,98 b. CA Serbajadi 300 0,01 c. SM Rawa Singkil 102.370 3,06 d. Tahura Pocut Meurah Intan 6.220 0,18 e. TN Gunung Leuser 623.987 18,71 f. TWA Iboih 1.200 0,04 g. TWA Kepulauan Banyak 15.000 0,45 h. TWA Lhok Asan PLG 112 0,003 i. TB Lingga Isak 86.704 2,60 B. Hutan Lindung 1.844.500 55,30 2. Kawasan Budidaya 638.580 19,14 Hutan Produksi 638.580 19,14 a. Hutan Produksi Terbatas 37.300 1,11 b. Hutan Produksi Tetap 601.280 18,03 Total luas hutan Aceh 3.335.613 100 Sumber : SK Menteri Kehutanan RI No. 170Kpts-II2000 SK Gubernur Aceh No. 19, tanggal 19 Mei 1999 Universitas Sumatera Utara Tabel 2. Rekap Kebutuhan Kayu per KabupatenKota di Provinsi Aceh untuk tahun 2008 No KabupatenKota Kebutuhan kayu Keterangan Kayu olahanm3 Kayu bulatm3 1 Banda aceh 75.000 150.000 - 2 Sabang 3.500 7.000 - 3 Aceh Besar 7.500 15.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 4 Pidie 11.950 23.900 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 5 Bireun 20.000 41.162 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 6 Aceh Utara 54.000 90.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 7 Lhokseumawe 13.500 22.500 - 8 Langsa 2.500 5000 - 9 Aceh Timur 27.633 46.089 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 10 Aceh Tamiang 30.000 60.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 11 Bener Meriah 7.000 14.000 - 12 Aceh Tengah 13.334 26.668 - 13 Gayo Lues 15.000 30.000 - 14 Aceh Tenggara 18.000 34.000 - 15 Aceh Jaya 16.023 32.046 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 16 Aceh Barat 28.800 41.400 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 17 Nagan Raya 10.500 21.000 Belum termasuk kebutuhan kayu bakar untuk pabrik bata 18 Aceh Barat Daya 3.250 6.500 - 19 Aceh Selatan 13.440 20.677 - 20 Aceh Singkil 10.500 21.000 - 21 Simeulu 12.500 25.000 - Total 394.511 732.942 Sumber : Dinas Kehutanan Provinsi Aceh 2008 Hutan merupakan suatu ekosistem. Dalam bentuk fisik, hutan adalah kesatuan bentang alam yang menyediakan barang dan jasa bagi kehidupan. Ekosistem menyediakan produk seperti makanan dan air serta jasa seperti pengaturan atau pengendalian banjir, kekeringan, dan Universitas Sumatera Utara penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan tanah dan siklus hara, jasa kebudayaan seperti rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat bukan-material lain. Sumberdaya hutan di satu sisi dapat menjadi aset ekonomi dan di sisi lain berperan sebagai daya dukung kehidupan. Di dalam ekosistem, sumberdaya hutan dapat digolongkan menjadi 1 bentang alam berupa cadangan stock atau modal alam natural capital dan 2 sumberdaya alam SDA berupa barangkomoditi seperti kayu, rotan, air, dan jasa lingkungan lain. Sumberdaya hutan dalam bentuk cadangan atau modal alam menghasilkan fungsi-fungsi yang dapat dirasa dan dilihat. Fungsi ini meliputi menyimpan air dan mencegah banjir di musim hujan dan mengendalikan kekeringan di musim kemarau, menyerap karbon di udara, mempertahankan kesuburan tanah, mengurai berbagai bahan beracun, maupun sebagai sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan budaya masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut berguna bagi publik, sehingga tidak dapat dibagi-bagikan kepada perorangan dan tidak pula dapat dimiliki perorangan, meskipun setiap orang memerlukannya. Setiap jenis komoditi yang diambil dari sumberdaya alam berupa stock akan mempengaruhi produktivitas jenis komoditi lain serta fungsi-fungsi sumberdaya alam secara keseluruhan. Berbagai pengaruh tersebut terjadi dalam bentangan tertentu, misalnya wilayah daerah aliran sungai DAS apabila berkaitan dengan air, atau wilayah eco-region apabila berkaitan dengan hubungan antar ekosistem, misalnya ekosistem darat dan laut. Dengan demikian bentang alam hutan tidak dapat dibatasi wilayah-wilayah administratif karena merupakan suatu wilayah dimana hubungan antara barang dan jasa dari sumberdaya alam berkaitan sangat erat. Pemahaman akan karakteristik ekosistem hutan ini dapat menjadi dasar bagi analisis kelembagaan. Universitas Sumatera Utara Identifikasi karakteristik hutan Aceh, ditujukan untuk mengetahui kondisi dan manfaat serta hubungan dan keterkaitan serta ketergantungan antar kelompok masyarakat di dalam dan antara masyarakat Aceh dengan di luar Aceh terhadap keberadaan hutan di Aceh. Secara umum, baik berdasarkan pendekatan konseptual maupun kondisi lapangan, karakteristik hutan Aceh adalah sebagai berikut: 196 a. Berdasarkan kondisi bio-fisik wilayah hutan Aceh – sebagian besar berupa kawasan perlindungan – dapat ditunjukkan bahwa manfaat jasa lingkungan dapat dianggap sebagai unsur dominan. Hal ini menentukan bentuk kelembagaan yang memungkinkan, mewujudkan keadilan manfaat hutan bagi masyarakat Aceh, dan mewujudkan mekanisme aliran manfaat secara seimbangan antar masyarakat di luar Aceh – termasuk masyarakat internasional – dengan masyarakat Aceh. b. Keberadaan kawasan hutan negara yang belum mempunyai status secara definitif menjadi disinsentif bagi upaya-upaya pengelolaan dan pemanfaatan hutan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan oleh adanya ketidak-pastian bagi para pengelola maupun pelaku usaha. Kondisi demikian ini mengarahkan bentuk kelembagaan yang dapat mewujudkan penguatan pengelolaan wilayah management authority dan bukan sekedar memastikan fungsi lembaga-lembaga kehutanan daerah sebagai pelaksana administrasi administrtive authority. c. Dari informasi mengenai pemanfaatan sumberdaya hutan yang selama ini telah berjalan, dapat ditunjukkan bahwa kebijakan perizinan secara umum masih berpegang pada kebijakan nasional yang berciri tidak efisien dan mengandung ekonomi biaya tinggi. Hal ini mengindikasikan pentingnya teknologi informasi dan prosedur perizinan yang efisien namun efektif sebagai instrumen pengendalian; d. Perimbangan pemanfaatan sumberdaya hutan untuk tujuan ekonomi, komersial dan pelestarian jasa lingkungan, serta dengan memperhatikan hak maupun akses masyarakat adat 196 Hariadi Kartodihardjo, Hutan Aceh dan Karakteristiknya, Bahan diskusi Workshop Kebijakan dan Pengelolaan Kehutanan di Provinsi Aceh, BRR, Banda Aceh, 30 April 2008. Universitas Sumatera Utara dan masyarakat lokal lainnya terhadap manfaat sumberdaya hutan, belum tercermin dari pola penataan-gunaan kawasan hutan di Aceh. Untuk mengakomodasikan kondisi demikian ini di dalam kebijakan kehutanan Aceh ke depan, diperlukan kerangka pemikiran baru sebagai landasan pembaharuan kebijakan kehutanan, terutama yang terkait dengan kebijakan kehutanan nasional.

B. Pemanfaatan Sumber Daya Hutan Aceh 1. Pemanfaatan Hutan dan Kayu Tanah Milik