Adat Pengelolaan Hutan Pengolalaan Hutan Adat di Aceh 1. Eksistensi Lembaga Adat Hutan di Aceh

2. Adat Pengelolaan Hutan

Tradisi pengelolaan hutan yang arif dan bijak telah dipraktekkan secara turun temurun dalam masyarakat Aceh. Tradisi ini dijabarkan melalui lembaga adat uteuen sebagai sumbangsih keutuhan hutan konservasi hutan, dan penyelamatan nilai adat budaya. Khazanah ini masih melekat dalam kehidupan masyarakat Aceh, bahkan telah menjadi sebuah kearifan lokal yang selalu harus dipertahankan. 336 Pemangku adat lembaga adat hutan di Aceh adalah panglima uteun atau pawang uteun atau pawang glee. Penggunaan istilah untuk pemangku lembaga adat hutan sangat bervariasi, misalnya: panglima uteuen, pawang uteuen atau pawang glee. Tugas dan wewenang kedua istilah ini berbeda. Di Kecamatan Samatiga dijelaskan bahwa panglima uteuen itu lebih tinggi posisinya dari pawang uteuen. Panglima uteuen mengurus uteuen secara keseluruhan, sedangkan pawang uteuen bertugas hanya mengurus hasil hutan saja. Namun demikian, di dalam Pasal 98 Undang ‐Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, istilah yang digunakan untuk lembaga ini adalah pawang glee atau nama lain. Masyarakat Aceh Barat merupakan bahagian dari masyarakat Aceh pada umumnya, mempunyai prinsip dan tanggung jawab terhadap penyelamatan hutan. Bagi mereka hutan merupakan milik rakyat dari Tuhan, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 337 Selama ini mereka yang berdomisili di kawasan hutan, selalu hidup damai dengan hasil hutan yang ada. Secara terbuka masyarakat dapat memiliki dan memanfaatkan hasil hutan menurut aturan adat yang ada. Artinya masyarakat diberi peluang sebesar-besarnya untuk memanfaatkan hutan, di bawah peraturan 336 Yanis Rinaldi, “Peran Lembaga Adat Dalam Pengelolaan lingkungan Hidup Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam”, Hasil penelitian, Banda Aceh: Satker BRR Revitalisasi dan Pengembangan Kebudayaan Aceh, 2006, hal. 2. 337 Wawancara dengan Nagsyahbandi, Imuem Mukim Woyla Tunong, Kabupaten Aceh Barat, pada tanggal 8 April 2007. Universitas Sumatera Utara yang berlaku anjuran dan pantangan pada lembaga adat uteuen setempat. Masyarakat dapat saja membuka hutan tersebut, kapan dan dimana saja asalkan tidak bertentangan dengan ulayat hukum adat uteuen yang telah diputuskan oleh pemangku adat setempat. Sebagai sebuah ruang terbuka, uteuen memiliki dimensi yang sangat luas, baik dimensi yang berhubungan dengan kepemilikan perseorangan maupun hak dan pemanfaatan kolektif. Sangat sulit untuk menegaskan kepemilikan mutlak atas ruang di uteuen, karena di dalam ruang yang dimiliki secara perorangan, juga melekat hak-hak masyarakat yang lain. Baik hak itu hanya sebatas menggunakan ruang untuk keperluan sesaat maupun yang bersifat permanen. Berdasarkan letak dan fungsinya, ruang di wilayah uteuen meliputi: 338 a. Ruang pemanfaatan berupa ulèe tanöh. Ulèe tanöh adalah bagian dari sebidang tanah berupa uteuen muda dan uteuen tuha, yang belum digarap. Ulèe tanöh bertungsi sebagai cadangan untuk perluasan ladanglampoh di kemudian hari. Ulee tanöh dari sebuah ladang disebut ulèe ladang dan ulèe tanöh dari sebuah lampöh disebut uleèe Iampöh. b. Ruang berupa ladang. Ladang yang dimaksudkan di sini adalah keseluruhan lahan yang sudah ditebang, dibersihkan dan ditanami tanaman mudapalawija, tidak termasuk tanah yang masih berupa hutan di dekatnya. Demikian pula halnya Iampöh, adalah keseluruhan lahan yang sudah ditebang atau dibersihkan dan ditanami tanaman tua. Tidak termasuk tanah yang masih berupa hutan di dekatnya. c. Ruang pemanfaatan bersama, meliputi peuniyöh tempat singgah, root jalan kecil, alue alur, dan rimba sekitar. Dalam pengelolaan uteun mukim yang akan digunakan sebagai kawasan perladangan baru untuk kemudiannya dijadikan lampoeh, harus ada koordinasi antara petua seuneubok dan panglima uteun atau pawang glee dengan imeum mukim. 339 338 Yanis Rinaldi, Op. Cit., hal. 65. Universitas Sumatera Utara Sistem pengelolaan uteuen berkaitan erat dengan fungsi dan peran unsur-unsur yang terdapat dalam seuneubok dan uteuen. Unsur-unsur tersebut terdiri dari: a. peutua pangkai orang yang menyediakan modal bagi usaha pembukaan seuneubok dalam wilayah uteuen dan peutua seuneubok orang yang memimpin aneukanggota seuneubok; b. peutua jaga orang yang dikirim ke daerah tertentu untuk mencarai lahan yang cocok bagi pembukaan seuneubok; c. peutua rayeuk orang yang menjadi peutua seuneubok yang lama dan membawahi beberapa seuneubok baru dan peutua cut orang yang menjadi peutua seuneubok baru yang berada di bawah kekuasaan peutua rayeuk; d. aneuk seuneubok orang yang menjadi anggota seuneubok. Biasanya satu kelompok yang berjumlah + 20 sampai dengan 25 orang diketuai oleh satu orang peutua seuneubok. Petua Seuneubök adalah orang-orang yang dianggap paham dengan seluk beluk kehidupan di hutan, serta arif dalam membimbing dan menyelesaikan masalah yang terjadi di tengah-tengah masyarakat uteuen. Peutua seuneubök juga orang yang mempunyai pengetahuan supra natural, karena bekerja di hutan akan bersinggungan dengan makhluk- makhluk lain, baik yang nampak maupun yang ghaib. Menurut istilah masyarakat kawasan hutan, peutua seunebö adalah oreung nyang meuphom cara téut keumeunyan orang yang tahu benar cara-cara bakar keumeunyan. Maksudnya, orang-orang yang memiliki pengetahuan supranatural atau ilmu ghaib ileumee. 340 339 Taqwaddin, Adat dalam Pelestarian Hutan Aceh, makalah disampaikan pada acara Seminar Sehari degan tema ”Moratorium Logging untuk Mewujudkan Hutan Aceh Lestari”, diselenggarakan oleh AJRC‐UNDP, Banda Aceh 17 Nopember 2008. 340 Wawancara dengan Marzuki, Geuchik Gampong Tungkop Mukim Tungkop, Kecamatan Sungai Mas, tanggal 11 Mei 2007. Universitas Sumatera Utara Seuneubok adalah suatu wilayah baru di luar gampong, yang pada mulanya berupa hutan yang dikemudian dijadikan ladang dan kebun. Pembukaan seuneubok harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubok dan lingkungan hidup itu sendiri. Sehingga, dalam pembukaan seuneubok untuk selanjutnya dijadikan kebun, terdapat aturan-aturan yang yang telah dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat, seperti larangan penebangan pohon dalam radius atau jarak sampai dengan : • Kira-kira 500 meter dari tepi danau atau waduk, • Kira-kira 200 meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai pada daerah rawa, • Kira-kira 100 meter dari kiri kanan tepi sungai, • Kira-kira 50 meter dari kiri kanan tepi anak sungai alue • Kira-kira dua kali kedalaman jurang dari tepi sungai. Ketentuan seperti di atas terdapat pula dalam adat pengelolaan pesisir laut laoet. Tengku Abdurrahman Kaoy, menjelaskan semua alam ini adalah milik Allah. Allah mewajibkan kita mengelola alam dengan baik. Dalam adat Aceh, bahwa berjarak lebih kurang 1200 depa tak boleh ditebang segala pohon bakau bak bangka yang ada di pinggir laut. Dan, 60 depa di pantai adalah hak ulayat milik umum yang tak boleh diganggu. Norma-norma adat berkaitan dengan konservasi terdapat tidak saja untuk lingkungan hutan, tetapi juga untuk wilayah laut. Sehubungan dengan keberadaan norma-norma adat dalam konservasi lingkungan, Badruzzaman Ismail mengemukakan, bagi saya kehilangan yang paling parah karena tsunami, bukanlah pada rusaknya fisik bangunan, melainkan pada kehilangan adat dan semangat keacehan. Karenanya, Universitas Sumatera Utara kita harus membangun kembali semangat terhadap kultur dan adat Aceh dalam segala nuansa kehidupan, termasuk bidang pengelolaan lingkungan dengan mengedepankan kekhasan Aceh. 341 Selanjutnya, dalam memilih lahan lokasi untuk membuka kebun, menurut adat seuneubeok perlu pula mempertimbangkan posisi letak kemiringan arah utara-selatan sesuai dengan siklus edar cahaya matahari. Dalam hal ini dikenal dengan ungkapan : • Tanoh siheet u timu, pusaka jeurat, miring ke timur pusaka kubur • Siheet u barat, pusaka papa, miring ke barat pusaka papa • Siheet u tunong,tanoh geulantan, miring ke utara tanah yang menang • Siheet u seulatan, pusaka kaya miring ke selatan pusaka kaya Dalam ungkapan petuah atau nasehat di atas, dianjurkan untuk memilih lokasi dan menjadikan arah depannya menghadap ke utara atau ke selatan, dan menghindari menghadap ke arah barat atau timur. Keyakinan terhadap arah letak posisi kebun ataupun tempat usaha lainnya diyakini berkaitan dengan ”keberkatan” atau ”keberuntungan” seseorang dalam berusaha. Sekalipun adat ini tidak lagi banyak diketahui oleh orang Aceh, terutama oleh generasi mudanya, namun menurut beberapa tokoh adat Samatiga Kabupaten Aceh Barat ungkapan tersebut – seperti fengshui dalam Budaya Cina – seringkali ditemukan kebenarannya. Karenanya, dianjurkan untuk berupaya mengarahkan posisi hutan menghadap ke arah Utara yang akan menghadirkan kebahagiaan siheet u tunong,tanoh geulantan atau menghadap ke selatan yang akan mendatangkan kemakmuran atau kekayaan siheet u seulatan, pusaka kaya. 341 Notulensi pertemuan WWF dengan Tokoh‐tokoh Adat Aceh untuk Rehabilitasi dan Rekontruksi Pembangunan Aceh Hijau Paska Tsunami, WWF Aceh, Banda Aceh, 16 Februari 2005. Tgk H. Badruzaman Ismail dan Tgk H. Abdurahman Kaoy adalah Ketua dan wakil Ketua Majelis Adat Aceh. Universitas Sumatera Utara Selain tata cara memilih lokasi kebun, menurut adat sineboek dikenal pula beberapa pantangan, yang meliputi : • Pantangan Jambo tempat jambopondok tidak boleh di tempat lintasan binatang buas dan makhluk halus penghuni rimba, dan bahan pondok tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan uroet karena dipercayai akan mengundang ular masuk ke pondok tersebut. Sehubungan dengan pantangan ini di dalam masyarakat Aceh dikenal dengan ungkapan nasehat hadih maja tentang tempat terlarang untuk peudong mendirikan jambo sebagai berikut: ƒ Bak ujong gunöng roet antue burue, ƒ bak ikue alue roet burong rimba, ƒ bak tanöh geunteng peuneulueng rimueng, ƒ timang ateuh rueng roet pawang tuha, Maksudnya, tidak baik mendirikan jambo pada penghujung sebuah gunung, pada bagian hilir dari belokan alursungai, dan tepat di atas jalur di puncak bukit. Ketiga tempat tersebut merupakan tempat tabu pantangan, baik karena faktor alam, maupun karena sering dijadikan tempat lintasan makhluk halus. Sedangkan pada kawasan tanah genting biasanya merupakan lintasan binatang liar dan tempat binatang buas mencari mangsa. • Pantangan darut hama belalang. Anggota sineboek pantang menggantung kain pada pohon, meneutak parang pada tunggul pohon, dan menebas semak ceumecah dalam hujan karena dipercaya dapat mendatangkan hama darut. Dimaksudkan dengan hama darut adalah akan datangnya ribuan belalang yang akan memakan daun-daunan dari tanaman atau pepohonan yang baru ditanam dalam ladang tersebut. Kehadiran belalang Universitas Sumatera Utara dalam jumlah yang sangat banyak tersebut tentu saja merupakan gangguan yang dapat mematikan tanaman atau paling tidak akan menggagalkan panen, yang akan mengakibatkan kerugian baik moril maupun materil dari peladang. • Pantangan lainnya adalah dilarang berteriak-teriak meu uk-uk sambil memanggil- manggil di ladang karena dipercaya dapat mendatangkan hama tikus, rusa, kijang, monyet, dan landak. Jika hal ini dilakukan maka dipercayai akan datang banyak tikus, rusa, kijang, monyet dan landak ke tempat sumber suara tersebut. Kedatangan binatang- binatang tersebut untuk memakan dedaunan, tanaman dan buah-buahan yang ada dalam kebun lampoeh tersebut, sehingga kehadiran mereka mengganggu pekebun yang dapat berakibat menimbulkan kerugian baginya. Kebun lampoeh orang Aceh tak ubahnya seperti hutan, karena dalam kebun tersebut ditanami berbagai jenis tanaman secara campuran. Bahkan beberapa jenis kayu hutan, seperti bak manee dan lain-lain, tetap dibiarkan hidup. Kebiasaan ini disatu sisi dapat dipahami sebagai perwujudan dari implementasi nilai keanekaragaman dalam pengelolaan kebun oleh masyarakat Aceh, dan disisi lain sebagai upaya meminimalisir resiko jika terjadi gagal panen pada satu jenis tumbuhan. Adat seuneubok memiliki kearifan tersendiri untuk menciptakan pemulihan kesuburan tanah yaitu dengan cara menanam pohon dedap pula bak reudeup. Para aneuk sineboek menanam bak reudeup sebagai tanaman pelindung, sekaligus penyubur tanah. Tanaman bak reudeup relatif cepat tumbuhnya. Fungsi utama tanaman ini menurut para pekebun adalah untuk pelindung tanaman utama kopi, pala, dll, mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan persediaan air. Universitas Sumatera Utara Pohon dedap bak reudeup mulai ditanam ketika tanaman padi sedang bunting. Lalu, setelah panen padi dilanjutkan dengan menanam kopi. Bila bak reudeup sudah cukup besar baru ditanam pohon pala. Apabila bak reudeup sudah cukup besar, biasanya bak reudep ditebang kembali karena kehadirannya justru menghalangi masuknya cahaya matahari untuk tanaman pala. 342 Dalam lingkungan seuneubok juga berlaku sejumlah larangan adat yang tak boleh dilanggar. Larangan adat tersebut merupakan kearifan masyarakat seuneubok dalam memelihara lingkungannya, yaitu antara lain dilarang : • Memanjat atau melempar durian muda. • Meracun ikan di sungai atau alur, • Berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan seuneubok, • Mengambil hasil kebun orang lain, kecuali buah durian yang jatuh walaupun bukan di kebun miliknya. Jika larangan-larangan di atas dilanggar, maka kepada si pelanggar dapat dikenakan denda seekor kambing oleh peutua seneboek atau keuchik setempat. Pelanggaran terhadap larangan-larangan di atas akan menimbulkan kegoncangan dalam lingkungan seuneubok. Penyelesaian sengketa dalam seuneubok biasanya ditempuh secara kekeluargaan, kemudian meningkat pada peradilan di tingkat gampong dan peradilan di tingkat mukim. Penyelesaian sengketa secara adat menggunakan 2 dua asas, yaitu: ƒ uleue beu mate rantèng bèek patah, dan ƒ ta tarek panyang, talingkang paneuk. 342 Catatan ini didasarkan pada pengamatan dan serangkaian wawancara yang penulis lakukan dengan para pekebun di Mukim Krueng Sabee, Kabupaten Aceh Jaya, 2‐10 Mei 2008. Universitas Sumatera Utara Artinya, 1 ular harus mati, tetapi ranting tempat ular tersebut melingkar jangan patah, 2 jika ditarik menjadi panjang, dan jika dilingkarkan menjadi pendek. Maksudnya, setiap persoalan dalam seuneubok dulunya selalu dapat diselesaikan dengan prinsip kompromi musyawarah, bukan didasarkan pada salah-benar secara kaku. Dalam penyelesaian sengketa harus mempertimbangkan secara seksama akan keharmonisan kembali pihak yang bersengketa, yaitu dengan cara menghilangkan permasalahan yang ditamsilkan dengan uleue beu matee, dan sekaligus membina kembali ukhuwah keharmonisan pergaulan dalam masyarakat sebagaimana sediakala, yang ditamsilkan dengan rantèng bèek patah. Oleh karena itu dalam Adat Aceh dianjurkan agar permasalahan atau persengketaan diantara sesama warga diupayakan untuk diperpendek yang ditamsilkan dengan ungkapan talingkang paneuk, dan jangan diperpanjang sehingga memanjang dan berimbas kemana-mana yang ditamsilkan dengan ta tareek panyang. Prinsip di atas dalam istilah hukum syari disebut dengan sulh. Di Aceh, prinsip sulh masih dipraktekkan secara keseluruhan oleh masyarakat Aceh sebelum tahun 60-an. 343 Prinsip ini mengedepankan sistem musyawarah setiap mufakat yang akan diputuskan. Hal ini sama ada dengan prinsip azas hukum adat kewarisan, dimana pada prinsipnya mengedepankan nilai religiositas dan pengendalian diri, prinsip egalitarian, prinsip kerukunan dan kekeluargaan, prinsip kolektivitas, prinsip musyawarah mufakat, dan prinsip keadilan paripurma. 344 Dalam literatur lama, diterangkan beberapa fungsi utama yang harus dilakukan oleh panglima uteun, yaitu : 345 343 Wawancara dengan Teukoe Daoed, ketua MAA kabupaten Aceh Barat, tangga 9 Mei 2007. 344 Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Refleksi Terhadap Beberapa Bentuk Integritas Hukum Dalam Bidang Kewarisan di Provinsi Aceh, cet. 1, Nadiya Foudation, Jogyakarta, 2004, hal. 233. 345 C. Snouck Hurgronje, Aceh, Rakyat dan Adat Istiadatnya, jil. 1 terj. Sutan Meimoen, Jakarta: Inis, 1997. Lihat juga; M. Isa Sulaiman dan HT. Syamsuddin ed., Pedoman Adat Aceh : Peradilan dan Hukum Adat, Ed II, Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh , Prov. NAD, 2002 Universitas Sumatera Utara • Pertama, menyelenggarakan adat glee. Panglima uteun merupakan pihak yang memiliki otorita menegakkan norma-norma adat yang berkaitan dengan memasuki dan pengelolaan hutan adat meuglee. Panglima Uteun atau Pawang glee Kejruen Glee memberi nasihat dalam mengelola mamanfaatkan hutan. Nasehat tersebut bersisikan tatanan normatif apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan dalam kaitannya dengan pengurusan hutan adat. Selain itu, disampaikan pula petunjuk perjalanan dalam hutan sehingga jangan sampai orang tersesat atau mendapat gangguan jin dan binatang-binatang buas. • Kedua, mengawasi dan menerapkan larangan adat glee. Dalam pengurusan hutan dilarang memotong pohon tualang, kemuning, keutapang, glumpang, beringin dan lain- lain kayu besar dalam rimba yang dirasa menjadi tempat bersarang lebah. Ini merupakan pantangan umum, yang apabila dilanggar dapat merugikan orang banyak, karena siapa saja boleh mengambil hasil-hasil madu yang bersarang dipohon-pohon besar itu. Dilarang memotong kayu-kayu meudang ara, bunga merbau, dan lain-lain kayu yang besar-besar yang dapat dibuat perahu atau tongkang, kecuali atas seizin dari Kedjroen atau Raja. • Tanda larangan orang banyak, yaitu dilarang memotong sebatang kayu dalam rimbahutan yang sudah ditetak sedikit kulitnya dan di atasnya dililit akar kayu yang disangkut dengan daun-daun. Demikian juga, dilarang orang mengambil kayu yang sudah ditumpuk-tumpuk oleh seseorang yang di atasnya diletakkan sebuah batu. Batu itu berarti sebagai suatu tanda kode bahwa kayu yang bertumpuk itu telah ada yang punya. Panglima Uteun memiliki kompetensi melakukan pengawasan penerapan larangan adat glee, agar semua larangan tersebut dilaksanakan oleh setiap orang. Universitas Sumatera Utara • Ketiga, Panglima Uteun berfungsi sebagai pemungut wasee glee. Dimasudkan dengan wasee glee adalah segala hasil hutan seperti cula badak, air madu, lebah, gading gadjah, getah rambung perca, sarang burung, rotan, kayu-kayuan bukan untuk rumah sendiri dijual, damar, dan sebagainya. Besarnya wasee cukai adalah 10 untuk radja kerajaan. • Keempat, Panglima berfungsi menjadi hakim dalam menyelesaikan sesuatu perselisihan dalam pelanggaran hukum adat glee. Dalam suatu perundingan musapat, Panglima Uteun atau kejruen glee terlebih dahulu meminta dan mendengar keterangan dari pawang-pawang glee, kemudian setelah itu barulah kejruen glee memberi hukum atau keputusan. Berdasarkan fungsi di atas dapatlah dipahami bahwa panglima uteun dalam masyarakat Aceh mempunyai peran strategis dalam upaya pengelolaan hutan sejak dahulu kala, yaitu untuk menyelenggarakan adat uteun, mengawasi dan menerapkan adat uteun, memungut retribusi wasee hutan, serta menjadi hakim dalam penyelesaian sengketa adat uteun. Sekarang, dengan diundangkannya Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, telah diatur dalam Pasal 31-nya bahwa tugas panglima uteun atau pawang glee, adalah: a. memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan; b. membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan; c. menegakkan hukum adat tentang hutan; d. mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan hutan; dan e. menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam pemanfaatan hutan. Universitas Sumatera Utara Kegiatan membuka hutan chah rimba untuk dijadikan sebagai ladang meuladang oleh para pembuka hutan, sering juga dipanggil dengan aneuk seuneubok, memiliki kearifan tersendiri untuk menciptakan pemulihan kesuburan tanah. Mereka menanam bak reudeup pohon dadap hutan sebagai tanaman pelindung, sekaligus penyubur tanah. Tanaman bak reudeup relatif cepat tumbuhnya. Akarnya mengandung bintil nitrogen, batang dan akarnya juga menyimpan banyak air. Fungsi tanaman ini yang utama adalah untuk pelindung tanaman kopi, pala, dan untuk mengembalikan kesuburan tanah dan meningkatkan persediaan air tanah. Pohon dadap bak reudeup mulai ditanam ketika tanaman padi ladang sudah bunting. Setelah panen padi dilanjutkan dengan menanam kopi, sedangkan pala baru ditanam bila naungan bak reudeup sudah cukup besar. Apabila tanaman pala sudah besar, biasanya bak reudep ditebang kembali, karena keberadaannya justru akan menghalangi masuknya cahaya matahari untuk tanaman pala. Namun demikian, tampilan lampoeh tak ubahnya seperti hutan, karena dalam lampoeh ditanam berbagai jenis tanaman secara campuran. Bahkan beberapa jenis kayu hutan tetap dibiarkan hidup, seperti bak manèe pohon laban, bak ramböng pohon getahkaret hutan dan sebagainya. Dalam pengelolaan seuneubok dikenal sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil yang dipraktekkan selama ini, yaitu: 1 pinjam pangkai; Sistem pinjam pangkai modal artinya modal diberikan oteh peutua pangkai. Bila tanaman sudah menghasilkan panen maka modal itu harus dikembalikan dan laba dari hasil tanaman tersebut akan dibagi tiga, yaitu satu bagian untuk si pemilik modal dan dua bagian lagi untuk si penggarap peminjam modal. 2 mawah plah boh; Universitas Sumatera Utara Sistem mawah plah boh artinya tanaman dan hasil tanaman dibagi bersama dalam jumlah yang sama banyak antara aneuk seuneubok dengan peutua pangkai, setelah modal petua pangkal dikembalikan. 3 meudua laba; Sistem meudua laba artinya aneuk seuneubok membagi hasil secara bersama dengan peutua pangkai, akan tetapi hak atas tanaman tetap pada peutua pangkai. 4 mawah plah bak. Sistem mawah plah bak adalah sistem yang berlaku untuk tanaman tahunan. Penggarap tanah dalam seuneubok berhak atas tanaman tua sesuai perjanjian dengan peutua pangkai yang dibuat ketika membuka lahan. Sistem bagi hasil sebagaimana dikemukakan di atas, telah dipraktekkan oleh masyarakat hukum adat mukim di Aceh sejak dari dahulu kala, dan karenanya sudah dianggap sebagai hukum yang hidup living law yang harus dihormati dan dipatuhi oleh masyarakatnya. Para pihak yang berkepentingan serta anggota masyarakat mukim menyatakan dengan mematuhi pola bagi hasil sebagaimana ketentuan tak tertulis di dalam hukum adatnya dapat memberikan rasa keadilan bagi tata pergaulan hidup mereka. Annasir Yahya, menceritakan bahwa sebelum tahun 1960-an batas luas pengelolaan hutan untuk lahan perkebunan tidak pernah dibatasi oleh sebuah keputusan adat, artinya masyarakat diberikan kebebasan untuk membuka lahan semampunya, karena ada anggapan bahwa hutan itu adalah rimba Tuhan milek potallah yang bebas untuk dikelola oleh manusia sebagai upaya kesejahteraan dan peningkatan ekonomi masyarakatnya. 346 346 Wawancara dengan Annasir Yahya, Sekretarias Gampong Paya Lumpat Kecamatan Samatiga, Aceh Barat, tanggal 10 Mei 2007. Universitas Sumatera Utara Sebagai catatan menarik, sebuah peraturan adat pernah ditetapkan secara tertulis di Paya Lumpat, bahwa seorang pemuda tidak akan dinikahkan sebelum memiliki satu petak lahan, minimal setengah hektar tanah yang sudah siap ditanami tumbuhan karet. Kebijakan ini lahir dari hasil duek pakat ureung tuha gampong untuk memotivasi pemuda supaya bekerja keras. Semua kebijakan adat ini telah mengantar Paya Lumpat kepada tahap menuju kemakmuran. Dapat dikatakan semua keluarga di Paya Lumpat memiliki kebun karet sendiri dan mereka dapat menyekolahkan anak mereka sampai ke jenjang perguruan tinggi dengan hasil dari kebun karet. 347 Segala tingkah polah yang terjadi di wilayah hutan adat tersebut harus melalui peraturan adat uteuen yang dikenal dengan pantang. Warga tidak boleh menebang dan memanfaatkan hasil hutan di kawasan wilayah uteuen adat secara sembarangan karena ada pantang yang diatur melalui hukum adat uteuen. Demikian juga tentang pemanfaatan hasif hutan oleh warga harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh hukum adat uteuen. Pantangan tersebut merupakan salah satu langkah yang dilakukan oleh lembaga adat uteuen dalam rangka menjaga eksistensi hutan dalam ulayat hukum adat. Di samping pantangan sebagai salah satu usaha konservasi hutan di kawasan hutan adat di Aceh, praktek adat yang bersifat seremonial seperti kenduri saat tertentu sebelum membuka lahan, yang dikenal dengan khanduri peusijuk peukakah masih tetap dipraktekkan. Namun pada hal-hal yang bersifat mistis seperti pantangan-pantangan sudah banyak yang ditinggalkan, kecuali hanya pantangan untuk tidak memasuki hutan pada hari jumat. Lebih lanjut H. Abdullah, Imuem Mukim Mesjid Tuha Kecamatan Woyla Kabupaten Aceh Barat, mengatakan bahwa sekarang ini mulai kurang dikenalnya pantangan-pantangan oleh masyarakat, terutama oleh kalangan anak muda, karena mungkin sebagai gambaran dari masyarakat yang sudah mulai 347 Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Abdullah Adam, Keuchik Gampong Paya Lumpat, Aceh Barat, yang diperkuat oleh M. Jasad Amin, Pawang Uteun Samatiga, Aceh Barat. Wawancara 10 Mei 2008. Universitas Sumatera Utara berfikir rasional. 348 Ketika ada kecondongan masyarakat mengabaikan pantangan karena dinilai tidak rasional, maka secara tidak langsung realisasi nilai-nilai adat dan hukum adat dalam masyarakat setempat mulai melemah. Karenanya, perlu adanya sosialisasi dan revitalisasi terhadap nilai-nilai adat kepada masyarakat, mana nilai-nilai adat yang harus dipakai dan yang harus ditinggalkan. Setiap aktivitas yang menyangkut ulayat hutan dilakukan melalui upacara tradisional yang dianggap sakral bagi mereka. Upacara-upacara tradisional dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan sampai sekarang masih tetap dilakukan oleh masyarakat hukum adat Aceh yang dinamakan dengan khanduri uteun. Upacara-upacara tersebut biasanya dipimpin oleh panglima uteuen atau petua seuneubok atau tengku atau orang yang dituakan. Upacara-upacara tradisional khanduri uteuen itu antara lain; meliputi upacara membakar dupa teöt kemeunyan, menepung-tawari peusijuk perkakas alat kerja dan para awak seuneubok, berdoa bersama meudoa yang dipimpin oleh tengku dan peserta mengamininya, dan makan nasi beserta lauk pauk secara bersama-sama pajoeh bu khanduri. Upacara tersebut dilakukan ketika memulainya berbagai aktivitas di hutan. Aktivitas yang dimaksud seperti; memotong semak belukar saat mulai membuka hutan chah rimba, memotong kayu-kayu besar teumeubang, membelah kayu-kayu besar seumeuplah, membakar ranting, dahan, belukar dan pohon-pohon kecil yang telah ditebang seumeuteut, mencari rotan meuawé, dan mencari lebah madu meu unoe. 349 Upacara-upacara adat tersebut dapat dilakukan oleh siapa saja yang dianggap mampu melakukannya. Kemampuan memimpin 348 Wawancara dengan Tgk. H. Abdullah, Imeum Mukim Mesjid Tuha, Kec. Woyla, Kabupaten Aceh Barat, tanggal 11 Mei 2008. 349 Wawancara dengan Teuku Daoed Ketua MAA Kabupaten Aceh Barat, tanggal 11 Mei 2007. Universitas Sumatera Utara upacara adat tersebut sangat relatif menurut masyarakat setempat. Semua upacara-upacara adat itu dilakukan secara berkelompok. 350 Upacara-upacara adat tersebut di atas, masih dipegang teguh sampai sekarang oleh masyarakat yang mendiami sekitar hutan, misalnya di Kabupaten Aceh Barat, khususnya di Kecamatan Woyla Timur, Kecamatan Woyla Barat, Kecamatan Sungai Mas, Kecamatan Kaway XVI dan Kecamatan Samatiga. Upacara-upacara adat itu dilakukan secara bersama dan diyakini oleh masyarakat sebagai penangkal atau penghambat terjadinya malapetaka di hutan, karena dengan upacara tersebut dimaksudkan untuk meminta redha dari Allah agar mengizinkannya dan memberikan perlindungan selama melakukan aktivitas di hutan, sekaligus pula sebagai media pemberitahuan dan meminta izin pada berbagai makhluk yang ada disitu di hutan baik makhluk tampak binatang buas ataupun makhluk halus agar tidak menggangu kegiatan pengelolaan hutan yang akan dilakukan. Upacara-upacara adat itu harus tetap diperhatikan agar tidak meyimpang dari ajaran agama Islam. 351 Bagi masyarakat mukim di kawasan hutan, ritual upacara khanduri uteun dianggap sebagai suatu kewajiban yang harus dilakukan untuk memulai suatu kegiatan di dalam hutan. Sehingga apabila belum dilakukan khanduri, maka para pihak yang akan terlibat dalam kegiatan pembukaan hutan merasa kuatir akan terjadi musibah terhadapnya. Pantangan-pantangan adat yang telah mentradisi dan ditetapkan oleh pemangku adat setempat harus dituruti oleh masyarakat yang berdomisili di kawasan hutan, di antaranya; 352 a. tidak melakukan aktivitas ke hutan pada hari Jumat; 350 Wawancara dengan Tgk Idris, imeum meunasah Gampong Mon Pusong Kecamatan Woyla Barat, tanggal 11 Mei 2007. 351 Wawancara dengan Tgk. Ilyas, Ketua Majelis Adat Kecamatan Woyla Barat Kabupaten Aceh Barat, tanggal 10 Mei 2007. 352 Wawancara dengan Juaini, tokoh adat Gampong Pasi Mali Kecamatan Woyla Barat Kanupaten Aceh Barat, tanggal 10 Mei 2007 Universitas Sumatera Utara b. tidak melakukan aktivitas ke hutan pada hari Rabu terakhir sebelum bulan puasa rabu abeeh; c. hutan tidak boleh dimasuki oleh orang hamil; d. tidak boleh riya dan takabur apabila memasuki hutan; e. apabila bermalam di hutan, lutut tidak boleh didirikan; f. tidak menebang kayu di ulayat hukum adat di luar pengetahuan tokoh adat. Sehubungan dengan diadakannya upacara khanduri uteun, dapat dikemukakan sebagai corak sifat tata kehidupan dalam perspektif hukum adat, yaitu relegius, komunal, konkrit, dan visual. Relegius atau bersifat keagamaan dimaksudkan bahwa para warga meyakini terhadap hal- hal yang ghaib. Menurut kepercayaan masyarakat adat bahwa di alam semesta ini semua benda yang tampak ataupun tidak, serba berjiwa animisme dan benda-benda itu bergerak dinamisme; di sekitar kehidupan manusia ada roh-roh halus yang mengawasi kehidupan manusia jin, malaikat, iblis, dan sebagainya dan alam sejagad ini ada karena ada yang menciptakan, yaitu Yang Maha Mencipta. Oleh karena itu, dalam memulai sesuatu kegiatan biasanya masyarakat adat berdoa untuk memohon keridhaan Allah dari segala gangguan atau mara bahaya, agar kegiatannya berjalan sesuai dengan yang dikehendaki. Komunal atau bersifat kebersamaan, artinya para anggota masyarakat hukum adat lebih mengutamakan kepentingan bersama. Hubungan hukum antara anggota masyarakat yang satu dan yang lain didasarkan oleh rasa kebersamaan, kekeluargaan, tolong menolong, dan gotong royong. Karena itu, khanduri uteun pun dilakukan secara bersama-sama oleh satu komunitas tertentu. Khanduri uteun pun dapat dipandang sebagai simbol pemberitahuan kepada khalayak warga sekitar bahwa kegiatan dong tanoh atau chah rimba akan dimulai. Selanjutnya, melalui khanduri ini, juga bermakna menetapkan hubungan hukum antara individu dengan hak ulayat Universitas Sumatera Utara mukim yang akan beralih dalam kekuasaan perseorangan melalui prosedur dong tanoh, chah rimba, dan hak useuha. Oleh karena itu, khanduri uteun merupakan pula salah satu corak sifat hukum adat yaitu konkrit dan visual. Corak hukum adat yang konkrit artinya jelas, nyata, berwujud. Sedangkan coraknya yang visual artinya dapat dilihat, tampak, terbuka, tidak tersembunyi. Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat adalah terang dan tunai, tidak samar-samar, terang disaksikan, diketahui, dilihat dan didengar oleh orang lain. 353 Khanduri bagi masyarakat hukum adat Aceh bersifat ekslusif yaitu warga komunitas harus didahulukan dalam kegiatan khanduri, sehingga mereka harus diprioritaskan dalam mengerjakannya secara bersama-sama dan menikmatinya dengan makan bersama-sama. Dalam pemanfaatan hutan tidak pernah terjadi konflik yang berakibat fatal, dan jikapun terjadi konflik dapat diselesaikan secara hukum adat uteuen melalui pawang uteuen. Ada sisi lain yang mampu mengurangi konflik uteuen di wilayah Aceh Barat, yaitu sebagai berikut : 1 areal hutan di daerah tersebut masih cukup luas, sehingga masyarakat dapat menebang hutan produksi, 2 km dari desa yang ditetapkan oleh pemerintah dan tokoh adat uteuen, 2 jumlah penduduk relatif sedikit jika dibanding dengan luas hutan yang ada, 3 masih eratnya rasa persaudaraan dalam masyarakat Aceh Barat, 4 keberadaan geuchik, tuha peut, dan imeum munkim, pawang uteuen, dan petua seuneubok masih berfungsi dengan bijaksana. 354 Sejak dahulu kala secara turun temurun masyarakat sudah punya hukum adat tersendiri dalam rangka memanfaatkan hasil hutan sekaligus menjaga kelestariannya. Pengaturan tentang illegal logging sudah ada, yaitu tata cara untuk bisa menebang atau memanfaatkan hasil hutan uteuen tersebut. Setiap penebangan diharuskan harus berdasarkan persetujuan pawang uteun 353 Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2003, hal. 34‐36. Lihat juga, Bushar Muhammad, Pengantar Hukum Adat, Penerbit dan Balai Buku Ichtiar, Djakarta, 1961, hal. 45. 354 Wawancara dengan M. Nur Yasin pemangku adat Kecamatan Sungai Mas, 11 Mei 2007. Universitas Sumatera Utara atau petua seunebö pemangku adat hutan atau perkebunan dengan tata cara dan jumlah yang telah ditentukan. 355 Satu hal yang masih sangat rawan terjadi pada masyarakat Kabupaten Aceh Barat, terutama bagi yang berdomisili di dekat hutan, yaitu persoalan tapal batas. Persoalan tapal batas adalah persoalan lama di daerah ini. Beberapa persoalan tapal batas bahkan sampai saat ini masih belum tuntas diselesaikan, karena belum diberlakukannya format yang jelas. Mengenai tapal batas antardesa, antarkemukiman, antarkecamatan masih belum jelas dan kalaupun ada penyelesaiannya, tetapi masih bersifat alamiah. Batas alamiah itu akan berubah-rubah karena kondisi alam dan perjalanan waktu. Sebuah tapal batas antardesa atau kemukiman biasanya berupa sebatang pohon, tapal batas itu akan berubah seiring perubahan waktu. Hal tersebut disebabkan karena pohon itu akan terus membesar, ditebang, dan bahkan hilang dan pemandangan. 356 Oleh karena itu, M. Yusuf, tokoh adat Gampong Ulee Pulo Kecamatan Woyla Barat menyarankan sebaiknya dibuatkan patok permanen untuk batas antar satu hutan adat dengan hutan adat mukim lainnya. Begitu juga dengan batas antargampong atau antarmukim. Patok tersebut bisa berupa seperti patok “bw” yang ada di Mukim Lamteuba Kabupaten Aceh Besar. 357 BW itu, maksudnya, patok boschwezzen yang dibuat oleh Belanda pada masa kolonial dahulu. Jika terjadi konflik mengenai tapal batas antar lahan yang dikelola warga, maka diselesaikan dengan musyawarah dengan pawang uteuen, perangkat desa, dan peutua seuneubok. 355 Wawancara dengan M. Nusein, pawang uteuen Kecamatan Sungai Mas, tanggal 10 Mei 2007 356 Wawancara dengan Lotan, Tuha Peut Gampong Kajeng, Kecamatan Sungai Mas, Aceh Barat, tanggal 11 Mei 2007. 357 Wawancara, tanggal 10 Mei 2007. Universitas Sumatera Utara Adapun yang berkenaan dengan tapal batas antarkecamatan, diselesaikan oleh pihak-pihak yang berkompeten di tingkat kecamatan, demikian juga antar kabupaten. 358 Dalam pengambilan hasil hutan tersebut pawang uteuen telah memberlakukan aturan- aturan adat, seperti; tidak menebang kayu melebihi kapasitas yang telah ditetapkan dalam keputusan adat. Keputusan adat uteun membenarkan pemotongan kayu bagi masyarakat di wilayah ulayat hukum adat uteun untuk keperluan membuat rumah atau meunasah dan lain sebagainya, tetapi bukan untuk tujuan diperdagangkan secara berlebihan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa kawasan hutan di Kabupaten Aceh Barat masih dikonservasi oleh pawang uteun melalui pantangan dan adat-istiadat uteuen. Ada beberapa tempat di kabupaten Aceh Barat, seperti: di Kecamatan Sungai Mas, Kecamatan Woyla Barat, dan Kecamatan Woyla Timur melakukan pembukaan lahan perkebunan secara berpindah-pindah, dengan alasan mencari tempat yang lebih subur serta membiarkan lahan lama dalam tempo tertentu untuk mengembalikan kesuburannya. Namun usaha yang dilakukan oleh sekelompok masyarakat tersebut harus diketahui oleh pawang uteuen sebagai pemegang otoritas lembaga adat uteuen dalam mengatur ulayat adat uteuen.

3. Peran dan Fungsi Lembaga Adat Hutan