Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945 Peraturan Perundang-undangan yang mengatur Masyarakat Hukum Adat

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-Undang Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah atau qanun. 106

1. Undang-Undang Dasar 1945 UUD 1945

Dalam pembahasan UUD 1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, hanya Soepomo dan Moehammad Yamin yang mengemukakan pendapat tentang perlunya mengakui keberadaan hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk. Sementara anggota sidang lainnya, tidak terlihat secara tegas ada yang memberikan pemikiran konseptual berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik yang sedang dirancang. Moehammad Yamin menyampaikan, bahwa kesanggupan dan kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah sudah muncul beribu- ribu tahun yang lalu. Hal ini dapat diperhatikan pada susunan persekutuan hukum seperti desa di Pulau Jawa, nagari di Minangkabau, susunan Negeri Sembilan di Malaya, begitu pula di Borneo, di tanah Bugis, di Ambon, di Minahasa, dan lain sebagainya. Susunan itu begitu kuat sehingga tidak bisa diruntuhkan oleh pengaruh Hindu, pengaruh feodalisme dan pengaruh Eropa. 107 Moehammad Yamin tidak menjelaskan lebih jauh konsepsi hak atas tanah yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa adanya berbagai macam susunan 106 Dalam Penjelasan Pasal 7 UU Nomor 10 Tahun 2004 dijelaskan bahwa, termasuk dalam jenis Peraturan Daerah Provinsi adalah Qanun yang berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Propinsi Papua. Lihat; Penjelasan Pasal 7 ayat 2 huruf a. 107 Syafruddin Bahar, dkk eds, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPK , Edisi III, cet 2, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, 1995, hlm. 18. Universitas Sumatera Utara persekutuan hukum adat itu dapat ditarik beberapa persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga Moehammad Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi basis perwakilan dalam pemerintahan republik. Sedangkan Soepomo dengan paham negara integralistik menyampaikan bahwa: 108 “... Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran staatsidee negara yang intergralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan apapun” . Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo menyampaikan bahwa: “hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan kooti, baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah- daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh ... dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunannya asli.” Persoalan masyarakat adat dan hak ulayat di dalam UUD 1945 generasi pertama ditautkan pada ketentuan tentang pemerintah daerah, khususnya Pasal 18 UUD 1945 yang berbunyi: “Pembagian Daerah Indonesia atas Daerah besar dan kecil dengan membentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem Pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam Daerah-daerah yang bersifat Istimewa.” 108 Ibid, hlm 36. Universitas Sumatera Utara Dalam pengaturan demikian, maka persoalan hak asal-usul yang salah satunya adalah hak atas sumberdaya alam atau hak ulayat sebagai penanda keberadaan masyarakat adat, direduksi menjadi persoalan tata pemerintahan. Keistimewaan kerajaan lama dan susunan persekutuan masyarakat asli dihormati dalam rangka menopang pemerintahan pusat. Yaitu pemerintahan bawahan yang menyatu dengan pemerintahan atasan. Gerakan reformasi yang dimulai pada tahun 1998 tidak hanya menghadirkan suatu kebaruan dalam bernegara dan bermasyarakat di Indonesia, tetapi juga menghidupkan kembali perdebatan lama ke dalam masa transisi. Konsep tentang hubungan negara dengan sumberdaya alam, atau hak masyarakat atas sumberdaya alam menguat pada tahap pewacanaan dan gerakan. Paket empat kali amandemen UUD 1945 1999-2002 menjadi ruang dimana pertarungan ide berlangsung. Setidaknya ada dua komponen yang berkaitan dengan sumber daya alam, yaitu relasi antara masyarakat hukum adat dengan sumberdaya alam hak ulayat, dan relasi antara negara dengan sumberdaya alam. Kedua-dua relasi tersebut mesti dilihat sebagai suatu keterkaitan. 109 Kemajuan terpenting dari pengakuan hak ulayat dalam Konstitusi di Indonesia ditemukan setelah hasil amandemen kedua UUD 1945. Pasal 18 B ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945 menyebutkan: 1 Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang. 2 Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan 109 Lihat; Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum terhadap Masyarakat Adat di Indonesia, UNDP, Jakarta, 2006, hal 309. Universitas Sumatera Utara perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Ketentuan di atas memisahkan antara persoalan tata pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa yang diatur dengan UU Pasal 18B ayat 1 dengan persoalan hak ulayat dan pembatasannya Pasal 18 ayat 2. Selama ini, persoalan ulayat sering dikaitkan dengan hak-hak atas sumberdaya alam yang ditarik dari sistem kerajaan pada masa lalu. Pemisahan itu memberi arti penting untuk membedakan antara bentuk persekutuan masyarakat hukum adat dengan pemerintahan “kerajaan” lama yang masih hidup dan dapat bersifat istimewa. Meski sudah mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat berserta hak ulayatnya secara deklaratif, Pasal 18B ayat 2 mengkaitkan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi suatu masyarakat untuk dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat beserta hak ulayat yang dapat dinikmatinya secara aman. Persyaratan-persyaratan itu secara kumulatif adalah: a. Sepanjang masih hidup b. Sesuai dengan perkembangan masyarakat c. Sesuai dengan prinsip NKRI d. Diatur dalam Undang-undang Rikardo Simarmata 110 menyebutkan bahwa persyaratan terhadap masyarakat adat dan hak ulayatnya yang dilakukan oleh UUD 1945 Pasca Amandemen memiliki sejarah yang dapat dirunut dari masa kolonial. Aglemene Bepalingen 1848, Reglemen Regering 1854 dan Indische Staatregeling 1920 dan 1929 mengatakan bahwa orang pribumi dan timur asing yang tidak mau tunduk kepada hukum Perdata Eropa, diberlakukan 110 Rikardo Simarmata, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara undang-undang agama, lembaga dan adat kebiasaan masyarakat, sepanjang tidak bertentangan dengan asas-asas yang diakui umum tentang keadilan. Pengakuan bersyarat itu dalam sejarah Republik Indonesia dimulai pada UUPA, UU Kehutanan lama, UU Pengairan UU Kehutanan baru dan beberapa peraturan departemen dan lembaga pemerintahan. Pencantuman persyaratan di dalam UUD 1945 diikuti oleh berbagai UU yang lahir setelah amandemen UUD 1945, antara lain oleh UU Sumberdaya Air, UU Perikanan dan UU Perkebunan. Pengakuan bersyarat ini mengindikasikan bahwa pemerintah masih belum bersungguh-sungguh membuat ketentuan yang jelas untuk menghormati dan mengakui hak ulayat masyarakat hukum adat. Pengaturan tentang masyarakat adat dan hak ulayatnya sampai hari ini masih bersifat tidak jelas dan tidak tegas. Tidak jelas karena belum ada aturan yang konkret tentang apa saja hak-hak yang terkait dengan keberadaan masyarakat yang dapat dinikmatinya. Dikatakan tidak tegas karena belum ada mekanisme penegakan yang dapat ditempuh dalam pemenuhan hak masyarakat adat, yang dapat dituntut dimuka pengadilan justiciable. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan itu terjadi dikarenakan dua hal, yaitu antara ketidakmampuan dan ketidakmauan pemerintah membuat ketentuan yang umum tentang pengakuan hak-hak masyarakat adat. Ketidakmampuan ini dikarenakan persekutuan masyarakat adat di Indonesia sangat beragam berdasarkan sebaran pulau, sistem sosial, antropologis dan agama. Sedangkan ketidakmauan dapat mengakibatkan lahirnya pengaturan yang kabur tentang masyarakat, yang akan memberikan ruang diskresi dan hegemoni yang dapat memanipulasi hak-hak asli masyarakat demi kepentingan eksploitasi sumberdaya alamnya, yang selama ini menjadi penanda keberadaan Universitas Sumatera Utara masyarakat adat. Ketidakmauan ini menguntungkan penguasa dan merugikan masyarakat adat. Persyaratan dalam Pasal 18B ayat 2 berserta dengan serangkaian persyaratan yang dilanjutkan oleh beberapa UU Sumberdaya Alam menunjukkan bahwa negara melalui pemerintah baru bisa mengakui dan menghormati hak ulayat masyarakat adat secara deklaratif, belum sampai pada tindakan hukum untuk melindungi dan memenuhi agar hak ulayat masyarakat adat dapat terpenuhi. Bahkan sama sekali belum meyentuh mekanime penegakan hukum nasional bila terjadi pelanggaran terhadap hak ulayat yang sudah dianggap sebagai hak asasi manusia. Pasal 18 B ayat 2, negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan republic Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. 2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria UUPA Pasal 3 UUPA menegaskan, dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2, bahwa pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat- masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan- peraturan lain yang lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara Pengakuan tersebut disertai 2 dua syarat, yaitu mengenai kenyataan eksistensinya dan mengenai pelaksanaannya. 111 Hak ulayat diakui keberadaannya, sepanjang menurut kenyataannya masih ada. Adapun pelaksnaannya harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berlandaskan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi. UUPA membiarkan hak ulayat tetap berlangsung menurut ketentuan hukum adat setempat masyarakat hukum adatnya masing-masing. Dalam penjelasan UUPA ditegaskan, bahwa kepentingan masyarakat hukum adat harus mengalah pada kepentingan nasional yang lebih luas. Tetapi secara tegas dinnyatakan pula bahwa hal itu tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak akan diperhatikan sama sekali….. Dalam pemberian suatu hak atas tanah misalnya yang semula meruapakan tanah hak ulayat masysrakat hukum adat yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie” yang memang ia berhak menerimanya. 112 Untuk keperluan proyek-proyek pembangunan, baik pemerintah maupun swasta, dimungkinkan penguasaan dan penggunaan bagian-bagian tanahhutan ulayat yang tersedia. Tetapi sebagaimana telah dikemukakan di atas, menurut ketentuan hukum adatnya, penguasaan dan penggunaannya harus melalui tatacara hukum asetempat yang berlaku. Yaitu melalui izin penguasa adatnya, dan pemberian “recognitie” sebagai pengisi adat. Hal itu dicapai melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan mengenai penyerahan bagian tanahulayat yang diperlukan dan “recognitie”-nya. Hal yang sama 111 Boedi Harsono, Hutan Ulayat dalam Perspektif Hukum, makalah disajikan pada Seminar Tanah Ulayat dan Hutan Ulayat, diselenggarakan oleh LPHET, Jakarta, 11 Mei 2001. 112 Lihat Penjelasan Umum UU Pokok Agararia UU 51960. Universitas Sumatera Utara juga berlaku terhadap bagian tanahhutan ulayat yang diperlukan, jika sudah dihaki secara individual oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Melalui musyawarah untuk mencapai kesepakatan dengan para warga yang mempunyainya masing-masing. Jadi, tidak cukup berhubungan dengan penguasa adatnya saja. 113 3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Berkaitan dengan keberadaan masyarakat hukum adat beserta dengan hak-hak ulayat mereka, sekarang ini telah mendapat pengakuan hukum yang tegas sebagai suatu hak asasi. Pengaturan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan : 1 Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum, masyarakat, dan Pemerintah; 2 Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat, selaras dengan perkembangan zaman. Setelah sekian lama tak terdengar, bahkan pengakuan terhadapnya pun nyaris sirna, kini, dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, sebutan masyarakat hukum adat kembali mendapatkan penegasannya. Adanya sebutan dalam Pasal 6 undang-undang ini dapat dimaknai sebagai pengakuan kembali secara juridis politis atas keberadaannya. Sehingga dengan pengakuan juridis ini – sebagai penjabaran dari Pasal 18B ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen-- posisi masyarakat hukum adat telah kembali diakui keberadaannya dalam sistem hukum 113 Boedi Harsono, Loc. Cit. Universitas Sumatera Utara nasional, setelah terbelenggu selama tiga dekade semasa berkuasanya rezim Orde Baru 1966-1998. Semasa Orde Baru, terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dikategorikan sebagai yang mempersulit keberadaan masyarakat hukum adat, yaitu antara lain: 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan HPH, dan lain-lain, 4. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Istilah masyarakat hukum adat, kembali disebutkan lagi secara tegas dalam undang-undang ini, setelah nyaris terhapuskan oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan, yang merupakan produk rezim Orde Baru. 114 Berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967, dalam Undang- 114 Lihat, Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok‐Pokok Kehutanan. Pernyataan dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum dari UU Nomor 5 Tahun 1967 UUPK, jelas sekali menegaskan orientasi keberadaan undang‐undang ini yang lebih difokuskan dalam upaya‐upaya pengembangan ekonomi, bukan pertimbangan ekologi. Keyakinan bahwa lambat laun hak ulayat pasti akan lemah dan lenyap, serta larangan agar hak ulayat tidak boleh dihidupkan kembali, mendorong pembuat UU Nomor 5 Tahun 1967 UUPK berani menargetkan unvikasi hukum nasional yang mengatur kehutanan. Itu pula yang mendasari dimasukannya hutan yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat hutan adat ke dalam kategori hutan negara. Selain didasari oleh hal itu, pikiran UUPK yang memasukan hutan adat ke dalam lingkup hutan negara sebenarnya masih meneruskan tradisi berpikir UUPA. Dalam logika UUPA bersamaan dengan berdirinya Republik Indonesia, maka suku‐suku bangsa dan masyarakat hukum tidak lagi mandiri melainkan sudah merupakan bagian dari Republik Indonesia. Akibatnya, wewenang berdasarkan hak ulayat yang dahulu ada di tangan kepala adatsuku sebagai penguasa tertinggi di wilayahnya, dengan sendirinya beralih kepada pemerintah pusat sebagai penguasa tertinggi. Universitas Sumatera Utara Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menegaskan dalam Pasal 1 angka 6- nya, bahwa hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Jika ditilik konsideran menimbang dan penjelasan umum antara Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dengan konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 ditemukan perbedaan paradigmatik yang mencolok. Dalam konsideran menimbang huruf a Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, bahwa hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat serba guna yang mutlak dibutuhkan oleh ummat manusia sepanjang masa. Sementara itu, dalam Penjelasan Umumnya dinyatakan pula, Penggalian sumber kekayaan alam yang berupa hutan ini secara intensif adalah merupakan pelaksanaan amanat penderitaan rakyat yang tidak boleh ditunda-tunda lagi dalam rangka pembangunan ekonomi nasional untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. 115 Sehingga, pernyataan dalam konsideran menimbang dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 di atas, jelas sekali menegaskan orientasi keberadaan undang-undang ini yang lebih difokuskan dalam upaya-upaya pengembangan ekonomi, bukan pertimbangan ekologi. Sedangkan dalam konsideran menimbang Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dinyatakan bahwa, a. hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, Keterangan mengenai hal ini bisa dilihat pada Imam Soetiknjo, ‘Politik Agraria Nasional’, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1994 dan Notonagoro, ‘Politik Hukum dan Pembangunan Agraria di Indonesia’, Jakarta, Bina Aksara, 1984. Dalam kasus hutan, maka kawasan hutan yang dahulu berada dalam wilayah hak ulayat hutan adat dengan sendirinya menjadi hutan negara, yang berada dalam cakupan hak ulayat bangsa. 115 Lihat Penjelasan Umum Undang‐Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan‐ketentuan Pokok Kehutanan, pada alinea kedua. Universitas Sumatera Utara diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang; dan b. bahwa hutan, sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, profesional, serta bertanggung-gugat. Selanjutnya, dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan, 116 Hutan sebagai modal pembangunan nasional mamiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, social budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia, baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu dijaga kelestariannya. Hutan mempunyai peranan sebagai penyerasi dan penyeimbang lingkungan global, sehingga keterkaitannya dengan dunia internasional menjadi sangat penting, dengan tetap mengutamakan kepentingan nasional. Merujuk pada materi pertimbangan dan penjelasan umum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dapat dipahami bahwa fokus orientasi undang-undang ini tidak lagi melulu pada manfaat ekonomi yang dihasilkannya, tetapi lebih mementingkan aspek ekologi sebagai sistem penyangga kehidupan bagi generasi sekarang maupun mendatang. 116 Lihat Penjelasan Umum Undang‐Undang Nomor 41 Tahun 1999, alinea kedua. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, terdapat beberapa pasal yang mengatur tentang masyarakat hukum adat dan hutan adat, yaitu : 1 Pasal 4 1 Semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 2 Penguasaan hutan oleh Negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 memberi wewenang kepada pemerintah untuk: a. mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan; b. menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan atau kawasan hutan sebagai bukan kawasan hutan; dan c. mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan, serta mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai kehutanan. 3 Penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. 2 Pasal 5 1 Hutan berdasarkan statusnya terdiri dari: a. hutan negara, dan b. hutan hak. 2 Hutan negara sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a, dapat berupa hutan adat. Universitas Sumatera Utara 3 Pemerintah menetapkan status hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2; dan hutan adat ditetapkan sepanjang menurut kenyataannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan masih ada dan diakui keberadaannya. 4 Apabila dalam perkembangannya masyarakat hukum adat yang bersangkutan tidak ada lagi, maka hak pengelolaan hutan adat kembali kepada Pemerintah. 3 Pasal 17 1 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan dilaksanakan untuk tingkat: i. provinsi, ii. kabupatenkota, dan iii. unit pengelolaan. 2 Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. 3 Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri. 4 Pasal 34 Pengelolaan kawasan hutan untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada: a. masyarakat hukum adat, Universitas Sumatera Utara b. lembaga pendidikan, c. lembaga penelitian, d. lembaga sosial dan keagamaan. 5 Pasal 37 1 Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan, sesuai dengan fungsinya. 2 Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya. 6 Pasal 67 1 Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak: a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan; b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang; dan c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya. 2 Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat sebagaimana dimaksud pada ayat 1 ditetapkan dengan Peraturan Daerah. 3 Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan ayat 2 diatur dengan Peraturan Pemerintah. Dicantumkan mengenai masyarakat hukum adat dalam suatu bab tersendiri, yaitu Bab IX, menujukkan semakin menguatnya perhatian dan kepedualian pemerintahan Universitas Sumatera Utara terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayat yang telah dimilikinya sejak dahulu kala. Perhatian dan kepedulian ini merupakan bagian dari politik pemerintahan presiden dan DPR dalam mengisi reformasi bidang hukum peraturan perundnag-undangan. Hal ini merupakan pula amanah dari TAP MPR IX2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Ketetapan MPR ini sebagai landasan untuk melakukan pengkajian ulang terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor, demi terwujudnya peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada prinsip, antara lain: j. mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumber daya agrariasumber daya alam. Pada Penjelasan Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan unsur-unsur yang harus dipenuhi agar suatu masyarakat dapat dikategorikan sebagai masyarakat hukum adat, yaitu; a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban rechsgemeenschap; b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya; c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Jika dibandingkan antara isi Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 dengan isi Pasal 17 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 ditemukan perbedaan sikap politik terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam pasal 17 Undang-Undang Universitas Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 1967 dinyatakan, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum sepanjang menurut kenyataannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan- tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Adanya penegasan seperti ini menujukkan, pelaksanaan hak-hak masyarakat hukum adat tdak boleh berlawanan dengan kepentingan ekonomi nasional yang ingin dicapai melalui penerapan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967. Berbeda dengan Pasal 17 Undang-Undang Pokok Kehutanan produk Orde Baru, sedangkan Pasal 67 ayat 1 Undang-Undang produk Era Reformasi, yaitu Undang- Undang Nomor 41 Tahun 1999, mengakomodir kembali hak-hak masyarakat hukum adat untuk melakukan pemungutan hasil hutan guna pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan, dan melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang. Selanjutnya, dalam Pasal 67 ayat 2 ditegaskan bahwa pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dalam ketentuan ini tidak ditegaskan apakah yang dimaksudkan dengan peraturan daerah itu merupakan peraturan daerah propinsi atau peraturan daerah kabupatenkota. Dengan demikian, ini berarti, keberadaan masyarakat hukum adat dapat dikukuhkan dengan peraturan daerah provinsi atau peraturan daerah kabupatenkota. 117 117 Menurut Pasal 1 angka 7 Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐undangan, peraturan daerah adalah peraturan perundang‐undangan yang dibentuk oleh dewan perwakilan rakyat daerah dengan persetujuan bersama kepala daerah. Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan penjabaran dari Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dari hasil penelitian Departemen Sosial tahun 2008, ternyata masih sedikit daerah yang menindaklanjuti pengaturan mengenai pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat kedalam peraturan daerahnya masing-masing. Dari 14 provinsi yang distudi, ternyata hanya beberapa provinsi saja yang telah memiliki peraturan daerah yang mengatur keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak ulayatnya. 118 Berikutnya akan dibahas sesuai dengan hierarkhinya, yaitu setelah pembahasan terhadap peraturan presiden atau peraturan perundang-undangan setingkat dengannya. Satu hal yang belum dilaksanakan oleh pemerintah sehubungan dengan perintah Undang-Undang tentang Kehutanan, yaitu hingga akhir 2008 pemerintah belum menerbitkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimandatkan oleh Pasal 67 ayat 3 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Padahal rancangan peraturan pemerintah tentang hal ini sudah disiapkan sejak tahun 2002, bahkan sudah beberapa kali didiskusikan dengan beberapa lembaga swadaya masyarakat beserta organisasi Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN.

5. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh