Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup, termasuk pengelolaan hutan, dalam Pasal 148 Undang-Undang Pemerintahan Aceh ditegaskan bahwa Pemerintah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berkewajiban untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi serta menegakkan hak-hak masyarakat terhadap pengelolaan lingkungan hidup dengan memberi perhatian khusus kepada kelompok rentan. Masyarakat berhak untuk terlibat secara aktif dalam pengelolaan lingkungan hidup. Gampong dan mukim di Aceh, bukan hanya merupakan masyarakat hukum sebagaimana dipersamakan secara nasional dengan desa di Jawa, tetapi menurut HM Zainuddin, merupakan Atjeche Organitatie, 130 yaitu pemerintahan khas Aceh.

10. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat telah disebutkan secara tegas. Ini berarti, telah mendapat pengakuan dan penghargaan juridis formal, yang tidak ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengakuan dan penghargaan terhadap kearifan lokal merupakan penjabaran dari semangat otonomi daerah yang dicantumkan dalam poin c Bagian Menimbang Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2009, yaitu; bahwa semangat otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa 130 Lihat, H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Penerbit Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961, hal. 316. Universitas Sumatera Utara perubahan hubungan dan kewenangan antara Pemerintah dan pemerintah daerah, termasuk di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 telah secara tegas dinyatakan bahwa kearifan lokal merupakan salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dengan demikian kegiatan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat, termasuk hak ulayat. Karenanya, setiap kebijakan pemerintah, pemerintah provinsi, maupun pemerintah kabupatenkota harus memperhatikan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang berlaku pada masing-masing daerah. Selanjutnya, jabaran dari asas kearifan lokal dapat pula ditemukan pada ketentuan-ketentuan berikutnya, yaitu Pasal 10 dan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pasal 10 undang-undang tersebut menyatakan bahwa rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup RPPLH disusun oleh menteri, gubernur, atau bupatiwalikota sesuai dengan kewenangannya. Penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup RPPLH, memperhatikan : a. Keragaman karakter dan fungsi ekologis; b. Sebaran penduduk; c. Sebaran potensi sumber daya alam; d. Kearifan lokal; e. Aspirasi masyarakat, dan f. Perubahan iklim. Universitas Sumatera Utara Pasal 63 ayat 1t dan 2n undang-undang tersebut dinyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dan pemerintah provinsi bertugas dan berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Kebijakan yang dimaksudkan pada ayat ini adalah kebijakan tingkat nasional dan tingkat provinsi, yang menjadi pedoman bagi pemerintah kabupatenkota untuk melaksanakan kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah provinsi. Sedangkan dalam Pasal 63 ayat 3k dinyatakan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah kabupatenkota bertugas dan berwenang melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten. Dengan demikian, pemerintah kabupatenkota tidak berwenang menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat, melainkan pemerintah kabupatenkota melaksanakan kebijakan tersebut sebagaimana telah ditetapkan oleh pemerintah provinsi. Bagi Provinsi Aceh, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam telah dinyatakan dalam Pasal 15 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam, yaitu 1 Pengelolaan Sumber Daya Alam pada suatu kawasan harus dilaksanakan dengan mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat atau masyarakat setempat serta mengakui hukum adat yang berlaku pada kawasan tersebut, dan 2 Ketentuan lebih Universitas Sumatera Utara lanjut mengenai pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak dan hukum adat setempat dapat ditetapkan lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur. 131 11. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. 132 Peraturan Pemerintan Nomor 6 Tahun 2007 ini menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 mencabut dan menggantikan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. Sementara itu, dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini, maka mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 jontho Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1975 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Hak Pemungutan Hasil Hutan merupakan peraturan yang secara legal formal telah membelenggu keberadaan masyarakat hukum adat pada era Orde Baru. Dalam Pasal 6 131 Hingga tahun 2008, belum dilahirkan Keputusan Gubernur tentang Pengakuan dan Perlindungan terhadap hak‐hak dan hukum adat, sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 15 Qanun NAD Nomor 21 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Sumberdaya Alam. Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Studi Evaluasi terhadap Perda dan Qanun NAD sebelum Lahirnya Undang‐Undang Pemerintahan Aceh, Banda Aceh, Desember 2008. 132 Peraturan Pemerintah ini telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 Tentang Tata Hutan Dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Perubahan yang dilakukan oleh PP Nomor 3 Tahun 2008 terhadap PP Nomor 6 Tahun 2007 tidak bersifat menyeluruh, sehingga PP Nomor 6 Tahun 2007 masih berlaku. Universitas Sumatera Utara Peraturan Pemerintah tentang Hak Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan HPH disebutkan bahwa, hak-hak masyarakat hukum adat dan anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, pelaksanaannya perlu ditertibkan, sehingga tidak mengganggu pelaksanaan pengusahaan hutan yang bersangkutan. Pelaksanaan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat harus seizin Pemegang HPH yang bersangkutan. Dalam areal hutan yang sedang dikerjakan dalam rangka pengusahaan hutan oleh pemegang HPH, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas hak ulayat itu dapat “dibekukan”. Pengaturan lebih lanjut mengenai hak pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat dilakukan melalui keputusan Menteri Kehutanan. Satu diantaranya adalah Keputusan Menteri Kehutanan No. 251Kpts-II93 tentang Ketentuan Pemungutan Hasil Hutan Oleh Masyarakat Hukum Adat atau Anggotanya di dalam Areal Hak Pengusahaan Hutan. Selain menegaskan pengakuan dengan syarat sepanjang masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, Keputusan Menteri Kehutanan ini juga memberlakukan syarat-syarat prosedural tambahan. Pertama, menegaskan kembali keharusan untuk memperoleh izin dari pemegang hak pengusahaan. Kedua, masyarakat hukum adat yang mengajukan hak memungut hasil hutan adalah masyarakat adat yang diakui keberadaanya oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II sekarang Bupati. Ketiga, hak pemungutan hasil hutan hanya diberikan pada areal Hak Pengusahaan Hutan di luar blok tebangan tahunan. Keempat, pemungutan hasil hutan baru bisa dilakukan bila mendapatkan izin dari Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Dati I sekarang propinsi. Kelima, hasil hutan yang dipungut wajib membayar pungutan serta diangkut dengan Universitas Sumatera Utara dokumen yang sah. Selain kelima syarat prosedural tersebut, keputusan tersebut juga hanya membolehkan pemungutan kayu dan non kayu untuk keperluan dipakai sendiri danatau keperluan sosial, tidak untuk diperdagangkan. Dengan demikian, peraturan organik dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan telah difungsikan untuk mengatur persyaratan- persyaratan prosedural pemberian hak masyarakat adat atas sumberdaya hutan. Persyaratan prosedural yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tersebut merupakan persyaratan tambahan dari persyaratan yang sebelumnya sudah dirumuskan oleh undang-undang. Selain banyak, persyaratan prosedural tersebut juga disusun secara berlapis. Susunan lapisan itu kira-kira sebagai berikut: A. Persyaratan untuk Mendapatkan HakIzin: 1. diakui oleh Bupati sebagai kategori masyarakat hukum adat; 2. mendapatkan izin dari pemegang hak pengusahaan hutan; dan 3. mendapatkan izin pemungutan dari Kepala Dinas Kehutanan. B. Persyaratan Kegiatan Pemungutan 1. dilakukan di luar blok tebangan tahunan hak pengusahaan hutan; 2. dilakukan untuk keperluan sendiri dan bukan untuk diperdagangkan; 3. menjual dengan dokumen yang sah; dan 4. membayar pungutan. Begitu banyak dan berlapisnya persyaratan pemberian hak tersebut sehingga menyerupai dengan larangan atau meniadakan mengingkari. Analisis ini wajar saja karena sudah membayangkan tingkat kesulitan masyarakat hukum adat untuk memenuhi seluruh persyaratan tersebut. Padahal, memenuhi seluruh persyaratan prosedural belum Universitas Sumatera Utara menjamin bisa mendapatkan hakizin atau bisa menggunakan hakzin tersebut. Kenapa? Karena di atas persyaratan prosedural tersebut masih adalah persyaratan lain, yakni hanya boleh mengambil kayu diluar areal blok tebangan tahunan HPH. Selain itu, masyarakat hukum adat baru boleh melakukan penebangan kayu dalam wilayah hukum adatnya apabila memenuhi persyaratan umum yang absurd, yaitu tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umumnegaranasional dan peraturan perundangan yang sedang berlaku. Nampaknya, dengan dengan muatan pengaturan yang demikian pada masa Orde Baru, Undang-Undang Pokok Kehutanan beserta peraturan pelaksananya telah menuangkan dengan sempurna kandungan ajaran atau doktrin Hak Milik Negara HMN. 133 Sekarang dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan, dan seiring dengan menguatnya otonomisasi daerah, maka penindasan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayatnya relative telah berkurang, walaupun pada daerah-daerah tertentu masih juga terjadi konflik antar masyarakat hukum adat dengan negara dalam kaitannya dengan penguasaan terhadap hak ulayat hutan adat. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nurul Firmansyah, 134 yang menengarai masih ada konflik antara masyarakat hukum adat nagari dengan negara pemerintah danatau pemilik modal, seperti; konflik nagari-nagari dengan Taman Nasional Kerinci Seblat TNKS di pesisir selatan, konflik perkebunan kelapa sawit di 133 Rikardo Simarmata, Pilihan Hukum Pengurusan Hutan oleh Masyarakat Adat, paper tidak dipublikasi, 2004, hal. 7. 134 Baca, Nurul Firmansyah, Nasib Hak Ulayat atas Tanah dan Hutan Refleksi Persoalan Hak Ulayat di Sumatera Barat untuk Tahun 2009, www.legalitas.org , 23 Januari 2009. Universitas Sumatera Utara Kampung Aie Maruok Kabupaten Pasaman Barat, dan berbagai konflik lainnya yang melibatkan peran aktif negara dan pemilik modal dengan masyarakat nagari. Sebagai implementasi dari otonomi daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 mengakui kewenangan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3, yaitu : 1 Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, serta pemanfaatan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan kewenangan Pemerintah dan pemerintah daerah. 2 Seluruh kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 terdiri dari 3 tiga fungsi pokok hutan, yaitu; a. hutan konservasi; b. hutan lindung; dan c. hutan produksi. 3 Kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 terbagi dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan KPH, yang menjadi bagian dari penguatan system pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupatenkota. Berkaitan dengan hutan adat sebagai hak ulayat masyarakat hukum adat, peraturan pemerintah ini bukan mengakui keberadaannya sebagai sesuatu yang telah ada secara alami dalam masyarakat hukum adat, tetapi memerlukan adanya penetapan dari pemerintah. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 11 ayat 2, yaitu ada areal tertentu dalam kawasan hutan yang dapat ditetapkan oleh Pemerintah sebagai hutan kemasyarakatan, hutan adat, hutan desa atau kawasan hutan dengan tujuan khusus KHDTK. Hutan kemasyarakatan menurut peraturan pemerintah ini adalah hutan kemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 23 adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat. Sementara itu, hutan desa adalah hutan negara yang belum dibebani izinhak, yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa Pasal 1 angka 24. Sedangkan mengenai hutan adat tidak Universitas Sumatera Utara ditegaskan pengertiannya. Jika dicermati bunyi Pasal 11, dapatlah dipahami bahwa yang dimaksudkan dengan hutan desa ataupun hutan kemasyarakatan bukanlah hutan adat. Rencana pengelolaan hutan menurut Pasal 13, harus mengacu mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupatenkota dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan. Adanya penegasan harus memperhatikan aspirasi dan nilai budaya setempat, disatu sisi merupakan pengakuan tersirat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak- hak ulayat dengan segala kearifan lokalnya. Namun disisi lain, adanya pengaturan yang mengharuskan adanya penetapan pemerintah terhadap hutan adat merupakan aturan yang tidak seirama. Selanjutnya, berkaitan dengan pengakuan tersirat terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, juga ditentukan dalam Pasal 80 ayat 3 dan ayat 4 Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, yaitu pemungutan provisi sumber daya hutan PSDH tidak berlaku bagi a. hasil hutan yang berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan. Pengenaan dana reboisasi tidak berlaku bagi : b. hasil hutan yang berasal dari hutan adat yang dimanfaatkan oleh masyarakat hukum adat dan tidak diperdagangkan. Selain kedua ayat ini, tidak diketemukan ketentuan lain dalam peraturan pemerintah ini yang memberi pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat hukum adat beserta dengan hak ulayat hutan adatnya. 12. Peraturan Menteri Negara Agraria PMNAKa BPN Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Universitas Sumatera Utara Hingga saat ini Peraturan Menteri Negara AgariaKepala Badan Pertahanan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 merupakan peraturan yang mengatur secara khusus tentang pedoman penyelesaian masyarakat hukum adat beserta hak ulayatnya, terutama hak ulayat atas tanah adat. Adapun pertimbangan ditetapkannya peraturan ini adalah bahwa: 1 hukum tanah nasional Indonesia mengakui adanya hak ulayat dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, sepanjang pada kenyataannya masih ada; 2 dalam kenyataannya pada waktu ini di banyak daerah masih terdapat tanah-tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat yang pengurusan, penguasaan dan penggunaannya didasarkan pada ketentuan hukum adat setempat dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan sebagai tanah ulayatnya; dan 3 bahwa akhir-akhir ini di berbagai daerah timbul berbagai masalah mengenai hak ulayat tersebut, baik mengenai eksistensinya maupun penguasaan tanahnya. 135 Dimaksudkan dengan masyarakat hukum adat oleh paraturan ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1-nya, adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan. Sedangkan hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. 135 Lihat Bagian Menimbang Peraturan Menteri Negara AgrariaKepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, ditetapkan tanggal 24 Juni 1999. Universitas Sumatera Utara Sementara itu, tanah ulayat adalah bidang tanah yang diatasnya terdapat hak ulayat dari suatu masyarakat hukum adat tertentu. Menilik materi yang dikandung dalam Pasal 1 peraturan tersebut dapat ditengarai bahwa antara masyarakat hukum adat, dengan hak ulayat dan tanah ulayat adalah bagaikan mata hitam di dalam mata putih. Artinya, hak ulayat hanya ada di dalam masyarakat hukum adat. Sehingga tanpa ada masyarakat hukum adat, maka tak ada hak ulayat. Dalam hal ini Mahadi menyebutkan, 136 masyarakat hukum adat itu in heren dengan adanya hak ulayat, sehingga dapat diterima pernyataan, bahwa tidak adanya masyarakat hukum adat, berarti tidak adanya hak ulayat. Unsur-unsur yang harus dipenuhi sebagai masyarakat hukum adat menjadi acuan penting dalam menentukan unsur-unsur yang harus terpenuhi keberadaan hak ulayat, yaitu adanya: 1 kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat; 2 wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya; 3 hak untuk mengambil manfaat dari sumber daya alamnya; 4 hubungan turun menurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan. Selanjutnya, Pasal 2 peraturan menteri tersebut menegaskan bahwa hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila : 1 terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatau persekutuan hukum tertentu, yang 136 Muhammad Yamin dan Abd. Rahman Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, Pustaka Bangsa Perss, Medan, 2004, hal. 156. Universitas Sumatera Utara mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari. 2 terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari. 3 terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Selain menentukan kriteria-kriteria hak ulayat yang masih ada, dalam Pasal 3 peraturan menteri tersebut menentukan bahwa pelaksanaan hak ulayat ditetapkan dengan peraturan daerah. Selanjutnya, dalam Pasal 5 ditegaskan bahwa penelitian dan penentuan masih adanya hak ulayat dilakukan oleh Pemerintah Daerah dengan mengikutsertakan para pakar hukum adat, masyarakat hukum adat yang ada di daerah yang bersangkutan, Lembaga Swadaya Masyarakat dan instansi-instansi yang mengelola sumber daya alam.

13. Surat Edaran Menteri Kehutanan Nomor SE.75Menhut II2004 tanggal 12 Maret 2004