Dalam kenyataannya, menurut hasil penelitian Teuku Djuned dan kawan-kawan, memperlihatkan bahwa tidak semua mukim memiliki alat kelengkapan mukim,
sebagaimana tertera dalam table berikut.
276
Penelitian di atas memperlihatkan bahwa jumlah mukim yang sudah memiliki alat kelengkapan mukim masih sangat kecil. Kalaupun ada mukim yang sudah memiliki alat
kelengkapan mukim, namun ternyata belum dapat berfungsi dengan baik. Salah satu yang menyebabkan tidak berfungsinya alat kelengkapan mukim tersebut adalah keterbatasan anggaran
yang tersedia pada pemerintahan mukim. Selama ini dari sumber pendapatan yang ada hanya mungkin digunakan untuk biaya operasional imeum mukim sendiri, itupun dalam jumlah yang
sangat terbatas. Pada umumnya di beberapa daerah secara formal alat kelengkapan mukim belum ada,
namun di beberapa daerah telah memiliki sekretaris mukim, tetapi belum dilengkapi seksi-seksi seperti yang dituangkan dalam Pasal 10 Qanun Nomor 4 Tahun 2003. Di seluruh daerah
kabupatenkota hingga saat ini 2009 masih belum adanya Qanun KabupatenKota tentang Pemerintahan Mukim di kabupatenkota bersangkutan, yang bersikan pedoman susunan
organisasasi dan tata kerja mukim. Padahal perintah pembentukan qanun kabupatenkota tentang Pemerintahan Mukim adalah dinyatakan dalam Pasal 114 Undang-Undang tentang Pemerintahan
Aceh, yaitu; ketentuan lebih lanjut mengenai organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupatenkota.
7. Kedudukan dan Fungsi Pemerintahan Mukim Sekarang
276
Teuku Djuned, dkk, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas
Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 2006.
Universitas Sumatera Utara
Seiring perkembangan reformasi ketatanegaraan Indonesia setelah kejatuhan Rezim Orde Baru, maka terjadi berbagai perubahan dalam tatanan kehidupan bernegara di Indonesia.
Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Daerah dalam era Reformasi yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, yang kemudian dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, telah mengakomodir kembali lembaga-lembaga pemerintahan adat. Ditetapkannnya undang-undang ini telah memberikan semangat, khususnya
bagi kehidupan ketatanegaraan sampai pada tingkat yang paling rendah yaitu tingkat pemerintahan desa gampong karena undang-undang ini telah menghidupkan kembali sistem
adat dan kelembagaan pada gampong. Bagi Provinsi Aceh, peluang pergantian rezim dari rezim sentralistik ke rezim reformasi,
telah menjadi langkah awal untuk dilahirkannya Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Undang-Undang ini
kembali memperkuat keberadaan lembaga Adat mukim. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 7-nya, yaitu daerah dapat membentuk lembaga adat dan mengakui lembaga adat yang
sudah ada sesuai dengan kedudukannya masing-masing di provinsi, kabupatenkota, kecamatan, kemukiman, dan kelurahandesa atau gampong.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh, kemudian diikuti dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 18 tahun
2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang kemudian undang-undang ini dicabut dan digantikan dengan Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, pemerintahan mukim dimasukan kembali dalam struktur pemerintahan di Aceh. Pasal 2 undang-undang ini
menyebutkan : 1 Daerah Aceh dibagi atas kabupatenkota.
2 Kabupatenkota dibagi atas kecamatan. 3 Kecamatan dibagi atas mukim.
4 Mukim dibagi atas kelurahan dan gampong. Mukim menurut Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, adalah kesatuan
masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tetentu yang dipimpin oleh imeum mukim atau nama lain dan
berkedudukan langsung di bawah camat. Berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dibentuklah Qanun Nanggroe
Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Di dalam Pasal 3 qanun tersebut dinyatakan bahwa, mukim mempunyai tugas menyelenggarakan pemerintahan,
pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
Dengan telah dinyatakannya mukim sebagai penyelenggara pemerintahan -- apalagi dengan cara cukup eksplisit – dalam peraturan perundang-undangan undang-undang dan
Qanun, maka keberadaannya telah mendapat pengakuan dan pengukuhannya dalam hukum positif Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya tidak saja hanya diakui dalam tataran sosial
budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara
Universitas Sumatera Utara
dan pemerintahan.
277
Namun masalahnya adalah bagaimanakah upaya yang akan dilakukan dalam rangka memberlakukan dan menegakkan Qanun tentang Pemerintahan Mukim tersebut,
278
sehingga eksistensi mukim bukan lagi hanya sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Mukim bukan lagi hanya merupakan simbol adat yang lazim dipentingkan pada
upacara-upacara adat belaka, semisal; khanduri blang, khanduri laoet, dan khanduri-khanduri lainnya. Ternyata, menurut wawancara dengan Imeum Mukim Blang Mee Lhoong dan Imeum
Mukim Reukih Kecamatan Indrapuri Kabupaten Aceh Besar, kenyataan bahwa keberadaan mukim masih seperti pada masa Era Orde baru, yaitu yang tidak memiliki kuasa pemerintahan
masih dialaminya hingga ini hari.
279
Untuk dapat terselenggaranya pemerintahan mukim, menurut Pasal 10 ayat 3 Qanun tentang Pemerintahan Mukim, perlu dibentuk Keputusan Gubernur tentang Pedoman Susunan
Organisasi, Tatakerja dan Sekretaris Imeum Mukim. Disatu sisi, berdasarkan wawancara dengan Kepala Biro Hukum Sekretariat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
ditengarai bahwa hingga akhir tahun 2008 belum diterbitkan keputusan gubernur sebagaimana dimaksudkan atau
diperintahkan oleh Pasal 10 ayat 3 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
280
Sementara itu, disisi lain, menurut Pasal 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, yang mengacu pada Pada Pasal 114 ayat 4
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, dinyatakan bahwa
277
Taqwaddin, Keterpaduan Hukum Islam dan Hukum Adat dalam Pelaksanaannya pada Masyarakat Aceh, makalah
Disampaikan sebagai bahan diskusi pada Training of Trainers Penguatan Kapasitas Tokoh Adat Adat Capacity
Enhancement, diselenggarakan oleh ACE‐MAA, Banda Aceh, 24 Januari 2009.
278
Secara teoritik, terdapat beberapa factor atau variable yang mempengaruhi teraktualisasinya suatu system hukum dalam dunia empiric, yaitu substance, structure, and culture. Lihat, Friedman, L.M., The Legal System; A
Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, 1975. Secara khusus untuk mengkaji hal ini, sebagai kerangka teoritiknya dapat juga dibaca dalam, Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1996.
279
Wawancara dengan Imeum Mukim Blang Mee, Lhoong Abbas Ali dan Imeum Mukim Reukih Kecamatan Indrapuri
Kab. Aceh Besar Tgk Ayub Hasballah, Sabtu, 7 Februari 2008.
280
wawancara dengan Hamid Zein, Kepala Biro Hukum Setda Provinsi NAD, 7 Desember 2008.
Universitas Sumatera Utara
pembentukan susunan organisasi, tata kerja, kedudukan, tugas, fungsi, dan alat kelengkapan Imeum Mukim atau nama lain diatur dengan qanun kabupatenkota.
Menurut hemat kami, pengaturan tentang susunan organisasi, tata kerja, kedudukan, tugas, fungsi dan alat imeum mukim lebih tepat diatur dengan qanun kabupaten mengingat
pemerintahan kabupaten lebih mengetahui kondisi nyata dan kebutuhan pengembangan adat mukim di masing-masing daerah yang sesuai dengan hukum yang hidupnya living law masing-
masing. Lagi pula pengaturan masalah ini dengan qanun kabupaten sebagaimana dikehendaki oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh akan sesuai dengan
asas hukum yang terakhir mengesampingkan hukum yang terdahulu lex posterior derogat lex priori yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 2 Qanun Nanggroe Aceh Darussalam tentang Pemerintahan Mukim menyatakan
bahwa Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung jawab kepada Camat. Sedangkan Pasal 6-nya
menyebutkan bahwa imeum mukim diangkat dan diberhentikan oleh Bupati atau Walikota atas usulan Camat dari hasil pemilihan yang sah.
Dari ketentuan di atas, disatu sisi, jelas disebutkan bahwa mukim adalah lembaga pemerintahan yang langsung berada di bawah camat. Sedangkan disisi lain, imuem mukim
diangkat dan diberhentikan oleh bupati atau walikota. Jika dicermati dua pasal di atas, seakan terdapat benturan pertanggungjawaban, yaitu
disatu sisi Pemerintahan Mukim ditegaskan bahwa berada langsung dibawah dan bertanggungjawab kepada camat. Sementara disisi lain imeum mukim diangkat dan diberhentikan
oleh bupati. Ketentuan ini berbeda dengan kelaziman. Lazimnya, pertanggungjawaban diberikan
Universitas Sumatera Utara
kepada pihak yang berwenang mengangkat dan memberhentikan. Tetapi dalam pemahaman para imeum mukim, perbenturan ini justru dipahami sebagai pertanggungjawaban berjenjang ke camat
dan bupati. Namun pun begitu, dalam prakteknya, ternyata menurut pengakuan beberapa mukim yang diwawancarai mereka menyatakan belum pernah membuat dan menyampaikan
pertanggungjawaban secara tertulis, baik kepada camat ataupun kepada bupati.
281
Sebenarnya diangkat dan diberhentikannya mukim oleh dan dengan keputusan bupati, bukan oleh camat, harus dipahami karena bupati atau walikota lah yang menyelenggarakan
pemerintah otonomi daerah. Sedangkan kecamatan menurut Pasal 120 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan satuan kerja perangkat daerah kabupaten. Camat menurut
Pasal 126 ayat 2, dalam pelaksanaan tugasya memperoleh pelimpahan sebagian wewenang bupati atau walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah
Tugas Imum Mukim menurut dan Pasal 8 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, adalah : g.
melakukan pembinaan masyarakat; h.
melaksanakan kegiatan adat istiadat; i.
menyelesaikan sengketa; j.
membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam; k.
membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan l.
membantu pelaksanaan pembangunan. Secara hukum positif, baik pada tingkatan pengaturan dalam hukum nasional dan daerah,
pengakuan terhadap keberadaan pemerintahan mukim tidak terbantahkan lagi. Artinya, pengakuan terhadap keberadaan mukim telah dinyatakan secara tegas baik di dalam undang-
281
Wawancara dengan Tgk Nashruddin, Ketua Duek Pakat Mukim Kabupaten Aceh Besar. 23 Maret 2006. Hal
senada juga dikemukakan oleh beberapa imeum mukim yang diwawancarai saat acara Duek Pakat Mukim Aceh Rayeuk
untuk Lingkungan Hidup, Walhi, 12 April 2006.
Universitas Sumatera Utara
undang yang dibuat oleh presiden bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat, maupun di dalam Qanun Aceh yang dibentuk oleh Gubernur Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh DPRA.
Pengesahan, pengundangan, dan pemberlakuan mengenai pemerintahan mukim dan lembaga-lembaga adat Aceh dalam Qanun Aceh peraturan daerah, -- yang merupakan bagian
dari hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksudkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
282
-- secara juridis formal berarti adanya pengakuan dan pengukuhannya sebagai hukum positif di Aceh. Ini berarti,
keberadaannya telah diakui tidak saja dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh, tetapi juga telah diadopsi kedalam tataran juridis formal. Sehingga, keberlakuan dan penegakan hukumnya
telah mendapat dukungan kuat dari institusi resmi negara dan pemerintahan. Masalahnya, sekalipun Pemerintahan Mukim merupakan lembaga tradisonal yang telah
ada sejak dahulu dan telah berfungsi dengan baik sebagai lembaga pemerintahan pada masa Kerajaan Aceh Darussalam,
283
keberadaannya mendapat pengakuan dalam tataran sosial budaya masyarakat Aceh dan dalam peraturan perundang-undangan, namun fungsinya sebagai lembaga
pemerintahan masa kini masih belum berjalan secara optimal. Merujuk pada teori sistem hukum yang diajukan oleh LM Friedman, hemat saya, Mukim
telah terpenuhi kriteria sebagai sebuah sistem hukum pemerintahan tersendiri. Friedman menegaskan perlu adanya tiga unsur dari suatu sistem hukum, yaitu: substance, structure, dan
culture. Jika dicermati, ketiga unsur tersebut terdapat pada Pemerintahan Mukim. Pertama, Pemerintahan Mukim memiliki hukumnya tersendiri substance dalam penyelenggaraan
pemerintahannya disegala bidang kehidupan, berupa antara lain; adat memeurintah, adat meugo,
282
Lihat; Pasal 7 Undang‐Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang‐ undangan.
283
Singarimbun Ng., dkk., Aceh dimata Kolonialis, terjemahan dari buku Achehnese oleh Snouck Hurgronye, Yayasan
Soko Guru, Jakarta, 1985, hal. 90.
Universitas Sumatera Utara
adat meuglee, adat meukereuja, adat melampoh, adat meulaot, adat meukawen, adat meujamee, , dan lain-lain. Kedua, masing-masing hukum tersebut adat memiliki pula lembaganya masing-
masing sebagai aspek structural penegakannya, serta setiap mukim pun menguasai sumberdaya alam berupa harta kekayaannya masing-masing, berupa gunung, hutan, tanah, batang air, sungai,
alur, rawa, paya, kuala, dataran panton, dan lain-lain yang merupakan ulayat mukim. Ketiga, semua itu, baik hukumnya maupun structural kelembagaan bersangkutan memiliki pula
kulturnya masing-masing yang khas dan genie, termasuk budaya dalam penyelesaian sengketa. Sehingga dengan mengacu pada teroritik di atas, maka eksistensi mukim sebagai lembaga
pemerintahan yang khas di Aceh, sebenarnya telah pula mendapat pengakuan ilmiah, disamping pengakuan empirik masyarakatnya dan pengakuan juridis formal normatif peraturan
perundang-undangan. Masalahnya, walaupun sudah demikian tegas dinyatakan baik secara ilmiah, social, dan
juridis normative, bahwa mukim adalah lembaga pemerintahan. Namun dalam prakteknya, terutama dalam tataran political will, mukim masih belum memiliki kuasa memerintah. Hingga
saat ini, imeum mukim masih merasa inferior dan hanya berperan sebagai lembaga adat belaka. Hemat saya, sebagai upaya untuk mengembalikan fitrah mukim sebagai lembaga
pemerintahan khas di Aceh, diperlukan sebuah gerakan guna memperjuangkan dan sekaligus revitalisasi keberadaan mukim. Untuk itu perlu dilakukan berapa upaya dan strategi, yaitu :
284
Pertama, sosialisasi yang massif dan mencerdaskan kepada semua pihak terkait stakeholders untuk memberitahukan dan menegaskan bahwa pemerintahan mukim bukan lagi
hanya lembaga adat belaka yang tak memiliki kuasa memerintah. Tetapi kini, ia telah menjadi lembaga pemerintahan resmi di dalam Pemerintahan Aceh dan Republik Indonesia. Sosialisasi
284
Taqwaddin, Mukim sebagai Pengembang Hukum Adat Aceh, Op. Cit. Lihat juga, Taqwaddin, UUPA dan Pemerintahan
Mukim, Harian Serambi, Selasa, 28 Juli 2009.
Universitas Sumatera Utara
ini tidak hanya ditujukan bagi masyarakat biasa dan para imeum mukim, tetapi terutama ditujukan kepada para elit pimpinan pemerintah dan anggota DPRKDPRA, karena ditangan
merekalah lahirnya payung hukum, kebijakan dan politik revitalisasi mukim sebagai lembaga pemerintahan.
Kedua, pihak pemerintahan kabupatenkota harus memberikan porsi kekuasaan dan kewenangannya yang jelas dan tegas tentang organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan yang
dituangkan dalam qanun kabupaten sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 114 ayat 4 Undang- Undang Pemerintahan Aceh UUPA. Sebagaimana layaknya sebuah pemerintahan resmi, maka
sepatutnyalah Pemerintahan Mukim pun memiliki gedung perkantoran tersendiri beserta segala atribut lainnya untuk menyelenggarakan peran, tugas dan fungsi mereka. Dan para staf
kemukiman; Sekretaris Mukim dan kepala-kepala urusan dapat diangkat menjadi pegawai daerah PNS sehingga memungkinkan mereka bekerja optimal melayani masyarakatnya.
Hemat saya, jika fungsi pemerintahan mukim bisa eksis dan berkinerja optimal, maka secara perlahan fungsi kecamatan dapat dikurangi dan semua camat dapat berkantor di
Sekretariat Daerahnya masing-masing di ibukota kabupatenkota sebagaimana juga SKPD lainnya. Untuk saat ini, selama belum optimalnya fungsi pemerintahan mukim, maka pihak
kecamatan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan sebaiknya melalui pemerintahan mukim, tidak langsung ke pemerintahan gampong.
Ketiga, masyarakat kemukiman harus kembali mendukung eksisnya pemerintahan mukim sebagai kekayaan warisan leluhur indatu, dengan cara membantu, mendukung, dan mematuhi
kebijakan yang ditempuh oleh pimpinan kemukiman imeum mukim, imeum mesjid dan tuha lapan. Dalam hal ini, dukungan banyak pihak, baik dari kampus, LSM, Ormas, OKP,
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan kabupatenkota, serta lembaga-lembaga lainnya sangat diharapkan upayanya untuk: mendampingi, mengadvokasi, melobi perubahan kebijakan, serta melibatkan diri dalam
perumuskan kebijakan yang berpihak penguatan lembaga mukim sebagai pemerintahan atasan gampong di Aceh. Yang lebih penting lagi, tentu saja, mulai hari ini Pemerintahan
KabupatenKota perlu memikirkan alokasi distribusi pembagian urusan kewenangan antara daerah kabupatenkota dengan daerah mukim, sehingga akan jelas mana porsi pemerintahan
mukim dalam penyelenggaraan tata pemerintahannya. Implikasi dari perubahan tatanan ini tentu saja akan berdampak pula pada kebijakan anggaran bagi pemerintahan mukim.
Sekarang, adalah waktu yang pas untuk memulai segera revitalisasi mukim sebagai lembaga pemerintahan yang genie dan sesuai dengan volkgeist bangsa Aceh, karena
Pemerintahan Aceh saat ini adalah berasal dari kalangan non partisan independen dan hasil pilihan langsung rakyat Aceh yang memihak pada nilai dan semangat masa lalu, serta
dominannya kekuatan posisi kursi di Dewan Perwakiran Rakyat Provinsi Aceh DPRA dan Dewan Perwakilan rakyat Daerah KabupatenKota DPRK yang diduduki oleh orang-orang
yang berasal dari Partai Aceh, partai local yang konon sangat peduli pada warisan indatu.
B. Penguasaan Hutan Adat Uteun Mukim di Aceh