Hubungan Lembaga Adat Hutan dengan Lembaga Adat Lain

Pemerintahan Aceh, yang secara tegas eksplisit mengakui kembali lembaga-lembaga adat Aceh, termasuk lembaga adat uteun. Namun fakta masih lemahnya peranan panglima uteun sebagaimana digambarkan di atas, baik dalam menyelenggarakan dan menegakkan hukum adat hutan maupun dalam memberantas illegal logging terus berlanjut hingga dikeluarkannya Instruksi Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 5INSTR2007 tentang Moratorium Logging Penghentian Sementara Penebangan Hutan di Nanggroe Aceh Darussalam. Sekarang ini, dengan dikeluarkannya kebijakan berupa Instruksi Gubernur tentang Moratorium Logging, serta telah pula diundangkan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, maka eksistensi lembaga adat uteun telah mulai tampak lagi. Hasil penelitian di beberapa kemukiman di Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, Kabupaten Aceh Jaya, dan Kabupaten Aceh Barat, dapat dikemukakan bahwa saat ini, setelah diberlakukannya Undang- Undang Pemerintahan Aceh, panglima uteun mempunyai peranan yang signifikan dalam menyelenggarakan lembaga adat uteun, termasuk dalam meyelesaikan sengketa uteun di ulayat hutan adat di Aceh. Otoritas yang diberikan kepada lembaga ini antara lain melakukan musyawarah anggota, merumuskan aturan adat uteun, mensosialisasikan hukum adat uteun, menjaga eksistensi adat uteun, mengatur tapal batas dan ulayat hukum adat uteun, menyelesikan konflik uteun, memelihara atau menjaga hutan lindung, dan menjadi penengah dalam penyelesaian konflik uteun sebagai hakim perdamaian.

4. Hubungan Lembaga Adat Hutan dengan Lembaga Adat Lain

Lembaga adat uteuen merupakan salah satu lembaga adat dalam masyarakat Aceh yang mempunyai wewenang dalam mengurus dan menjaga kelangsungan hutan. Keberadaan lembaga ini tidak terlepas dari dukungan beberapa lembaga lain misalnya imeum mukim, imeum mesjid, Universitas Sumatera Utara keuchik, petua seuneubok, keuchik, tuha peut, tuha lapan, dan keujruen blang, dan lain sebagainya. Sudah menjadi tradisi pada masing-masing lembaga adat di Aceh, bahwa ketika terjadinya konflik sosial kemasyarakatan harus diselesaikan secara musyawarah mufakat dari setiap pimpinan adat pada masing-masing lembaga. Hal inilah yang dalam Pasal 3 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 ditegaskan bahwa lembaga adat bersifat otonom dan independen sebagai mitra pemerintah sesuai dengan tingkatannya. Sehingga dengan demikian, keberadaan lembaga- lembaga adat di Aceh menurut qanun tersebut tidak bersifat subordinasi dari lembaga adat lain, tetapi ia otonom dan independen, serta sebagai mitra pemerintah sesuai dengan tingkatannya. Dalam menjalankan fungsinya, menurut Pasal 4 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008, lembaga-lembaga adat di Aceh berwenang: a. menjaga keamanan, ketentraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat; b. membantu Pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan; c. mengembangkan dan mendorong partisipasi masyarakat; d. menjaga eksistensi nilai-nilai adat dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan syari’at Islam; e. menerapkan ketentuan adat; f. menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; g. mendamaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat; dan h. menegakkan hukum adat. Pada bagian lalu sudah dijelaskan bahwa dalam wilayah kemukiman terdapat lembaga- lembaga adat yang sesuai dengan geografi, situasi dan kondisi masyarakatnya. Lembaga- lembaga adat tersebut, sekalipun bersifat otonomi dan independen, tetapi dalam pelaksanaannya perlu selalu menjalin koordinasi dengan pimpinan pemerintahan mukim. Misalnya, harus ada koordinasi antara imeum-imeum meunasah di gampong dengan imeum mesjid dan imeum mukim dalam menjadwalkan khanduri muoloed agar tidak terjadi bersamaan waktu hari khanduri Universitas Sumatera Utara antargampong di dalam satu mukim. 368 Hal ini penting dipertimbangkan karena pada acara tersebut, lazimnya diundang juga sekitar 12-17 orang para warga gampong dalam kemukiman tersebut. Begitupula halnya, perlu ada koordinasi antara kejreun blang dengan imeum mukim dalam menentukan masa bercocok tanam padi di sawah. Hal ini perlu dilakukan berkaitan dengan persoalan distribusi air, dan kebersamaan dalam mengelola sawah mulai dari membajak mu uew, menanam seumula, merawat meraweut, hingga panen kemeukoh. Sehingga dengan adanya koordinasi ini para petani dalam suatu areal persawahan blang dapat bergotongroyong untuk sama-sama membersihkan dan membetulkan saluran air yang tersumbat atau rusak selama sebelum musim tanam. Selain itu, dengan koordinasi antar lembaga adat inipun para petani dapat saling membantu dalam melakukan penanaman padi seumula dan juga saat panen kemeukoh. Telah lazim dikalangan komunitas petani dalam satu areal persawahan untuk saling membantu saat menanam dan memanen. Kegiatan menanam dan memanen dibutuhkan waktu yang relative cepat agar pertumbuhan padi serentak, sehingga dengan upaya saling membantu oleh sekitar sepuluh orang petani maka pekerjaan tersebut dapat diselesaikan dalam waktu yang cepat. Biasanya dibutuhkan waktu paling lama tiga hari untuk kegiatan tersebut. Dan apabila 368 Khanduri mouloed adalah kenduri memperingati kelahiran Nabi Besar Muhammad S.A.W., yang di gampong ‐gampong di Aceh diperingati secara meriah dan besar‐besaran yang diadakan di mesjid atau di meunasah. Biasanya untuk memeriahkan kenduri tersebut dilakukan ripee sejumlah iuran tertentu berdasarkan keputusan musyawarah gampong guna membeli dan memotong ternak besar sapi, kerbau, danatau kambing yang dimasak bersama di meunasah atau di mesjid. Sorenya, sebagian besar kepala keluarga mengantarkan nasi dan lauk pauk hidangannya ke meunasah atau mesjid untuk dimakan bersama dengan para undangan tokoh‐tokoh masyarakat gampong se‐mukim. Nasi dan lauk pauk dari para kepala keluarga warga gampong tersebut untuk melengkapi gulai kari kambing, sapi danatau kerbau yang dimasak di meunasah atau mesjid. Selanjutnya, untuk memeriahkan acara ini lazimnya disertai pula dengan pengajian likee mouloed yang dialunkan oleh 20‐an pria remaja. Kemudian, pada malam harinya diadakan dakwah mouloed dengan mengundang dan menampilkan dai terkenal dari luar daerahnya. Universitas Sumatera Utara lahan yang satu umeuong telah selesai dikerjakan, maka mereka mengerjakan lahan lain yang diusahakan oleh teman yang membantunya dalam seumula dan seumekoh. Dalam hal ini, milik siapa lahan tersebut tidak terlalu penting, tetapi yang penting adalah siapa penggarap lahan tersebut yang penggarap ini saling membantu dengan penggarap lahan disebelahnya ulee umong. Kapan masa sebaiknya mulai turun ke sawah dalam masyarakat Aceh, dihitung oleh kejruen blang yang menepatkan dengan watee keneunong. Formulasi keneunong dihitung dengan cara menjadikan angka 25 sebagai angka pembilang untuk selanjutnya dikurangi dengan angka bulan masehi dikali dua. Misal, sekarang bulan Februari, maka keneunong-nya adalah 21, yaitu 25 – 2 x 2 = 25 – 4 = 21. Rumusan perhitungan seperti ini sudah dikenal sejak dahulu kala, yang tidak diketahui percisnya sejak kapan. Pada pendudukan Belanda dulu pun, sistem perhitungan keneunong sudah dikenal. Dalam kaitannya dengan keneunong yang berkenaan dengan pola pengusahaan bercocok tanam padi, ada narit maja yang bunyinya sebagai berikut, yaitu : 369 • Keunong siblah, tabu beu jareung; • Keunong sikureung, tabu beurata; • Keunong tujoeh, padee lam umong; • Keunong limong, padee ka dara; • Keunong lhee, padee ka roh; • Keunong sa, padee ka tuha 369 Taqwaddin, Aspek Hukum dan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan DAS Krueng Sabee, makalah, WWF Indonesia, Program Aceh, 2008. Keunong siblah = bulan Juli; keungong sikureung = bulan Agustus; keunong tujoeh = bulan September; Keunong limong = bulan Oktober; keunong lhee = bulan November; keunong sa = bulan Desember. Universitas Sumatera Utara Begitu pula halnya mesti pula ada koordinasi antara petua seuneuboek dan panglima uteun atau pawang glee dengan imeum mukim dalam kaitannya dengan usaha membuka hutan untuk kebun atau dalam hal memungut hasil hutan kayu, dan lain-lain. Seuneboek adalah suatu wilayah baru di luar gampong, yang pada mulanya berupa hutan yang dikemudian dijadikan ladang dan kebun lampoeh. Pembukaan seuneboek harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneboek dan lingkungan hidup itu sendiri. Sehingga, dalam pembukaan seuneboek untuk selanjutnya dijadikan kebun, terdapat aturan-aturan yang yang telah dipahami dan dipraktekkan oleh masyarakat, seperti larangan penebangan pohon dalam radius atau jarak tertentu. Selain kearifan di atas, masih banyak lagi kebijakan lokal berkaitan koordinasi, misalnya koordinasi antara kejruen blang dengan aneuk seuneuboek yang perlu dikembangkan untuk ditemukan nilai-nilai luhurnya, yaitu berupa larangan atau pantangan: • Bek teumeubang watee padee mirah”, maknanya, dilarang menebang pohon kayu manakala padi akan dipanen karena hal ini akan mendatangkan hama wereng geusong yang dapat menggagalkan penen. Bagi yang melanggar akan dikenakan denda oleh kejruen blang. • Juga dikenal adanya pantang darut, yaitu dilarang menebang semak belukar bukan pohon kayu besar ceumeucah pada saat hujan atau sedang masa padi mau berisi roh padee. Karena kalau pantangan ini dilanggar, maka akan mendatangkan petaka hama belalang, yaitu ribuan belalang akan memakan batang padi yang masih muda sehingga tidak bisa di panen. Universitas Sumatera Utara • Dan saat padi mau berisi roh padee pun dilarang membawa daun nipah secara terbuka. Kalau pantangan ini dilanggar akan tertimpa penyakit puteh padee, sehingga padi tersebut tidak berisi manakala dipanen. Dalam kaitannya dengan penyelesaian sengketa pada tingkat mukim, imeum mukim berkoordinasi bersama dengan imeum chik dan tuha lapan menerima serta menyelesaikan peukara-peukara 370 yang dilimpahkan oleh gampong, baik yang menyangkut kasus persengketaan atau perselisihan antara para warga yang berbeda gampong dalam satu kemukiman, ataupun menyangkut dengan peukara dalam gampong yang tak dapat diselesaikan oleh pimpinan gampong. Dalam hal demikian, maka tentu saja harus ada koordinasi antara pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong, dimana dalam hal tertentu imeum mukim melibatkan ketua adat yang relevan dengan permasalahan yang dipersengketakan. Misalnya, dalam hal terjadinya perselisihan mengenai penyaluran air di sawah maka kejruen blang dapat dilibatkan dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Begitu pula halnya jika terjadi persengketaan di hutan adat, maka perlu mengikutsertakan panglima uteun atau pawang glee dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Dalam penyelesaian peukara secara adat musyawarah, para pimpinan gampong atau pimpinan mukim berprinsip pada “buet rayeuk, beu ubit; Buet ubit, beu eek tapeu gadoh” . Maknanya, perselisihan besar, diusahakan diperkecil; Sedangkan perselisihan kecil, diupayakan menjadi hilang. Dan mekanisme proses penyelesaian sengketa harus diupayakan dengan prinsip 370 Peukara dimaksudkan dapat berupa perselisihan, persengketaan, ataupun pidana ringan. Dalam perspektif Hukum Adat tidak dibedakan antara kasus pidana dengan perdata. Semua hal‐hal ringan yang dapat diselesaikan secara adat termasuk dalam kategori peukara adat. Lihat Pasal 13 Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Universitas Sumatera Utara “uleu beu matee, ranteeng bek patah. Ta tarek panyang, ta lingka paneuk” ular harus mati, tapi rantingnya jangan patah. Ditarik memanjang, melingkar jadi pendek . Lembaga adat uteuen di Aceh Barat, misalnya, tidak dapat meyelesaikan konflik utuen yang terjadi dalam masyarakat setempat jika tidak didukung oleh unsur-unsur adat lain seperti di atas. Konsekuensi ini terlihat beberapa kasus yang pernah terjadi di Kecamatan Kaway XVI dan Kecamatan Woyla Barat. Kasus tapal batas terjadi antar lahan yang dikelola warga, maka diselesaikan dengan musyawarah dengan aparatur adat baik di tingkat gampong atau di tingkat mukim. 371 Demikian juga sengketa yang pernah terjadi di Kecamatan Kaway XVI diselesaikan dengan 2 dua pola. Pertama, diselesaikan keuchik; dan, kedua, diselesaikan oleh institusi formal, yaitu Muspika. 372 Dengan demikian adanya kordinasi antara lembaga adat yang satu dengan lembaga adat lain dalam menangani berbagai konflik yang terjadi dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Aceh Barat. Sehubungan dengan penyelesaian sengketa secara adat dapat pula dikemukakan adalah fakta umum bahwa pengadilan-pengadilan bentukan negara berkinerja lamban, rumit dan membutuhkan biaya mahal dalam menyelesaikan satu perkara. Bahkan seringkali pula tidak dapat memberikan perasaan adil. Hal ini telah menjadi permasalahan utama dalam upaya mewujudkan negara hukum yang berkeadilan bagi rakyatnya. Guna mengeliminasi permasalahan tersebut diperlukan solusi alternative sebagai jalan untuk mewujudkan cita-cita menciptakan negara berkeadilan, yaitu melalui penyelesaian sengketa secara adat. 371 Wawancara dengan M. Yusuf, tokoh adat Gampong Ulee Pulo Kecamatan Woyla Barat, tanggal 11 Mei 2007. 372 Wawancara dengan pawang uteuen Kecamatan Kaway XVI, tanggal 9 Mei 2007. Muspika dimaksudkan disini adalah pimpinan musyawarah kecamatan, yang terdiri dari Camat, Kapolsek, Koramil, Majelis Permusyawaratan Ulama Kecamatan, Majelis Adat Kecamatan, dan lain‐lain. Universitas Sumatera Utara Bagi masyarakat Aceh, dengan telah diundangkannya Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat, telah diberikan alternative solusi untuk mengeleminir kesulitan-kesulitan dalam penyelesaian perkara, yaitu melalui peradilan hukum adat gampong. Penyelesaian semacam ini, dalam bahasa sehari-hari disebut dengan penyelesaian secara adat. Secara filosofis, sosiologis, dan juridis lahirnya qanun tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Adat dan Adat Istiadat yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh sejak dahulu hingga sekarang melahirkan nilai-nilai budaya, norma adat dan aturan yang sejalan dengan Syari’at Islam, dan merupakan kekayaan budaya yang perlu dibina, dikembangkan, dan dilestarikan. Upaya-upaya tersebut perlu dilaksanakan secara berkesinambungan dari generasi ke generasi berikutnya sehingga dapat memahami nilai-nilai adat dan budaya yang berkembang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dan, pula sebagai tindaklanjut dari Pasal 99 dan Pasal 162 ayat 2 huruf e Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh jo Pasal 16 dan Pasal 17 Undang-undang Nomor 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Sehingga perlu diatur dalam suatu qanun tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 dapat pula dikatakan sebagai kelanjutan dari Qanun NAD Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemerintah Gampong, yang telah menegaskan bahwa salah satu fungsi gampong adalah penyelesaian persengketaan hukum dalam hal adanya persengketaan-persengketaan atau perkara-perkara adat dan adat istiadat di Gampong, dimana keuchiek karena jabatannya ex officio bertindak selalu ketua majelis hakim persidangan pada tingkat gampong. Universitas Sumatera Utara Dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan Kehidupan dan Adat Istiadat telah diatur secara tegas dalam bab tersendiri mengenai penyelesaian sengketa dan mekanismenya. Pasal 13 ayat 1, ditegaskan bahwa jenis sengketaperselisihan adat dan adat istiadat meliputi: 1. perselisihan dalam rumah tangga; 2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh; 3. perselisihan antar warga; 4. khalwat meusum; 5. perselisihan tentang hak milik; 6. pencurian dalam keluarga pencurian ringan; 7. perselisihan harta sehareukat; 8. pencurian ringan; 9. pencurian ternak peliharaan; 10. pelanggaran adat tentang ternak, pertanian, dan hutan; 11. persengketaan di laut; 12. persengketaan di pasar; 13. penganiayaan ringan; 14. pembakaran hutan dalam skala kecil yang merugikan komunitas adat; 15. pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik; 16. pencemaran lingkungan skala ringan; 17. ancam mengancam tergantung dari jenis ancaman; dan 18. perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat dan adat istiadat. Dari pasal di atas, secara tegas telah ditentukan 18 macam perkara yang dapat diselesaikan melalui peradilan adat gampong. Sebagaimana lazimnya dalam sifat hukum adat, dimana jenis-jenis perkara tidak dibedakan dalam kelompok bidang hukum publik, administratif, ataupun hukum privat. Bagi hukum adat, semua jenis perkara adalah bersifat publik atau communal. Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa penyelesaian sengketaperselisihan adat dan adat istiadat sebagaimana dimaksud di atas diselesaikan secara bertahap. Ini maksudnya, sedapat mungkin, perkara-perkara sebagaimana dimaksudkan di atas, diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat peradilan gampong, tidak langsung dibawa keluar gampong untuk menyelesaikan kasus- Universitas Sumatera Utara kasus di atas. Bahkan, dalam ayat yang lain ditegaskan lagi, bahwa Aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketaperselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat di gampong. Dalam hal ini telah tepat kiranya, apa yang pernah dilakukan oleh beberapa Kapolsek di Aceh Besar, misalnya, untuk melimpahkan kasus yang mereka terima agar diselesaikan terlebih dahulu pada tingkat gampong melalui musyawarah penyelesaian sengketa. Ketentuan di atas – tentu saja jika diterapkan – akan menimbulkan implikasi, disatu sisi pada penguatan otonomi gampong dan sekaligus mengurangi beban kerja aparat penegak hukum polisi, jaksa, peradilan negara. Namun disisi lain, sangat diperlukan adanya peningkatan kapasitas para peutua gampong, sehingga kearifan, kebijakan, dan kepiawaiannya dalam menyelesaikan berbagai perkara di gampong dapat memberikan rasa adil bagi para warganya. Menurut Pasal 14, penyelesaian secara adat di gampong dilaksanakan oleh tokoh-tokoh adat yang terdiri atas: keuchik atau nama lain, imeum meunasah atau nama lain, tuha peut atau nama lain; sekretaris gampong atau nama lain, dan ulama, cendekiawan dan tokoh adat lainnya di gampong atau nama lain yang bersangkutan, sesuai dengan kebutuhan. Sidang musyawarah penyelesaian sengketaperselisihan pada prinsipnya harus dilaksanakan di meunasah Gampong, tidak boleh di tempat lain. Hal ini penting karena menyangkut dengan legalitas hasil musyawarah penyelesaian sengketa tersebut. Namun dalam hal-hal tertentu, misalnya dalam hal perlu melibatkan tokoh perempuan, atau pihak berperkara perempuan yang saat itu sedang datang bulan sehingga tidak boleh memasuki meunasah, maka dapat disepakati dan diputuskan oleh keuchik agar persidangan dilakukan di tempat lain. 373 Dalam Pasal 15 qanun tersebut ditentukan bahwa tata cara dan syarat-syarat penyelesaian perselisihanpersengketaan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan adat setempat. Walaupun 373 Wawancara dengan Tgk. H. Badruzaman, SH, MHum, Ketua Majelis Adat Provinsi Aceh, tanggal 23 Maret 2009. Universitas Sumatera Utara ketentuan ini sangat singkat dan tegas, namun maknanya sangat dalam dan luas. Ini merupakan salah satu khas lainnya disamping bersifat communal dari hukum adat yang bersifat fleksibilitas. Artinya, mengenai hukum materil dan hukum formil atau mekanisme dan hukum acara dalam proses penyelesaian perkara tersebut mengacu pada hukum adat setempat. Hal ini sesuai dengan pepatah adat “lain lubuk lain ikannya, lain padang lain pula belalangnya”. Prinsip proses penyelesaian perkara menurut adat setempat, dimana dasar hukum keputusannya mengacu pada tradisi masa lalu untuk kembali menimbulkan keseimbangan dalam masyarakat equalibrium merupakan hal yang sama dengan kebiasaan berperkara dalam system hukum common law sebagaimana dipraktek di Inggris, Amerika, dan negara-negara berbahasa Inggris lainnya, yang disebut dengan Anglo Saxon. Dalam negara-negara Anglo Saxon, hakim dengan berpedoman pada asas stare decesis harus mendasarkan diri dalam pengambilan keputusannya pada keputusan-keputusan hukum terdahulu yang telah mengikat dan berkekuatan hukum tetap precedent. Hal ini sangat penting mereka lakukan agar tidak terjadinya kesenjangan yang mencolok disparity dalam pemberian keputusan. Saya perlu menyinggung sedikit system hukum di atas, untuk menegaskan bahwa para “hakim” dalam proses persidangan adat gampong bukanlah sebagai “trompet” perundang- undangan. Karenanya, Putusan peradilan adat gampong bukan merupakan vonis, yang berisi kalah atau menang. Tetapi merupakan perdamaian meudamee sebagaimana telah pernah dipraktekkan pada masa lalu asas stare decesis, yang disertai dengan jenis-jenis sanksi lain. Yang penting adalah perdamaiannya. Sedangkan jenis sanksi lainnya merupakan sarana perwujudan menuju kedamaian dan ketentraman di dalam gampong. Adapun jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan dalam penyelesaian sengketa adat menurut Pasal 16 Qanun Pembinaan Kehidupan Adat Aceh adalah sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 1. nasehat; 2. teguran; 3. pernyataan maaf; 4. sayam; 5. diyat; 6. denda; 7. ganti kerugian; 8. dikucilkan oleh masyarakat gampong atau nama lain; 9. dikeluarkan dari masyarakat gampong atau nama lain; 10. pencabutan gelar adat; dan 11. bentuk sanksi lainnya sesuai dengan adat setempat. Satu hal lagi yang membedakan sistem penyelesaian perkara menurut hukum adat Aceh dibandingan dengan sistem hukum nasional adalah ditegaskannya tanggungjawab keluarga pelanggar atas terlaksananya sanksi adat yang dijatuhkan kepada anggota keluarganya. Ketentuan yang tertera dalam pasal 16 ayat 2 qanun ini, telah mengembangkan paham tanggungjawab yang selama ini tidak dipraktekkan dalam sistem hukum pidana nasional. Selama ini, dalam sistem hukum pidana nasional, semua tanggungjawab pidana dibebankan secara pribadi pada si terpidana, sebagai tanggungjawab masing-masing atas segala kesalahan atau kejahatannya, tidak dibebankan pada keluarganya. Diperlukan dukungan berbagai pihak, terutama Pemerintah Aceh dan Majelis Adat Aceh MAA sebagai penggerak utamanya beserta seluruh komponen masyarakat untuk sesegera mungkin melakukan sosialisasi, menerapkan dan menegakkan Qanun tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Qanun tentang lembaga Adat Aceh di tengah-tengah masyarakat. Sosialisasi qanun-qanun ini idealnya harus berorientasi pada pengembangan nilai-nilai dan norma-norma adat Aceh, yang senyatanya dapat mewujudkan rasa keadilan di dalam masyarakat hukum adat Aceh. Universitas Sumatera Utara Berdasakan uraian di atas dapat dipahami bahwa kegiatan penguasaan dan juga pengelolaan hutan adat oleh masyarakat hukum adat mukim di Aceh senyatanya relevan dengan teori-teori yang diajukan untuk mendukung analisis penelitian ini. Pembahasan mengenai penguasaan atas hutan adat lebih merupakan aspek legalitas dari kekuasaan mukim sebagai masyarakat hukum adat Aceh terhadap hutan adatnya uteun ulayat. Menurut teori penguasaan sumberdaya alam berdasarkan Falsafah Pancasila sebagai Doktrin Panca Fungsi Penguasaan Negara sebagaimana dinyatakan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060- 063PUU-II2004 dan Nomor 008PUU-III2005, yaitu negara yang diselenggarakan oleh pemerintahnya berwenang untuk merumuskan kebijakan beleid, melakukan pengaturan regelendaad, melakukan pengurusan bestuursdaad, melakukan pengelolaan beheersdaad, dan melakukan pengawasan toezichtoundendaad. Jadi, pemerintah bukan sebagai pemilik sumberdaya alam melainkan hanya memiliki kewenangan sebagaimana disebutkan di atas. Mukim sebagai suatu daerah otonomi yang asli memiliki sistem pemerintahan tersendiri dengan segala tugas, fungsi, kewenangan serta kekuasaannya terhadap hutan dalam jangkauannya uteun mukim atau uteun ulayat. 374 Kekuasaan atas hutan ulayat bukan dalam artian mukim berhak memiliki, melainkan mukim melalui pimpinan pemerintahan mukim imeum mukim, imeum chik dan tuha lapan hanya berwenang untuk merumuskan kebijakan, membuat aturan, mengurus, mengelola dan melakukan pengawasan terhadap hutan ulayatnya. 374 Menurut Teori Otonomi Daerah yang berkembang paska Reformasi Indonesia, desentralisasi kekuasaan kepada daerah disusun berdasarkan pluralism daerah otonom dan pluralism otonomi daerah. Daerah otonom tidak lagi disusun secara bertingkat daerah tingkat I, daerah tingkat II, dan desa sebagai unit administrasi pemerintahan terendah seperti pada masa Orde Baru, melainkan dipilah menurut jenisnya, yaitu daerah otonom provinsi, daerah otonom kabupaten, daerah otonom kota, dan kesatuan masyarakat adat sebagai daerah otonom yang asli. Jenis, jumlah tugas dan kewenangan yang diserahkan kepada daerah otonom otonomi daerah tidak lagi bersifat seragam seluruhnya, tetapi hanya yang bersifat wajib saja yang sama, sedangkan kewenangan pilihan diserahkan sepenuhnya kepada daerah otonom kabupaten dan daerah otonom kota untuk memilih jenis dan waktu pelaksanaannya, termasuk pemerintahan masyarakat hukum adat sebagai daerah otonom yang asli. Lihat, Darmansyah, Optimalisasi Pelaksanaan Otonomi Daerah; dalam Otonomi Daerah ; Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan Harkat Bangsa – Partnership, Jakarta, 2003, hal. 193. Universitas Sumatera Utara Menurut hukum Adat Aceh, sebagaimana juga telah dinyatakan dalam Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, jangkauan hutan ulayat mukim adalah sejauh sehari pulang-pergi berjalan kaki. Adanya pengakuan terhadap kekuasaan mukim atas hutan adatnya telah sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945, yaitu Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyaraat hukum adat beserta hak-hak radisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Implementasi dalam undang-undang sebagaimana dimaksudkan oleh Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh terdapat beberapa pasal yang mengatur mengenai mukim, yaitu Pasal 1 angka 9, Pasal 2, Pasal 45, Pasal 98, Pasal 112, Pasal 114, dan Pasal 201. Merujuk pada teori sistem hukum oleh L.M Friedman, hemat saya, Mukim telah terpenuhi kriteria sebagai sebuah sistem hukum pemerintahan tersendiri. Friedman menegaskan perlu adanya tiga unsur dari suatu sistem hukum, yaitu: substance, structure, dan culture. Jika dicermati, ketiga unsur tersebut terdapat pada Pemerintahan Mukim. Pertama, Pemerintahan Mukim memiliki hukumnya tersendiri substance dalam penyelenggaraan pemerintahannya disegala bidang kehidupan, berupa hukum adat, antara lain; adat meugo, adat meuglee, adat meukereuja, adat melampoh, adat meulaot, adat meukawen, adat meujamee, adat memeurintah, dan lain-lain. Kedua, masing-masing hukum tersebut adat memiliki pula lembaganya masing- masing sebagai aspek structural penegakannya imuem mukim, imum chik, tuha lapan, keuchik, imeum meunasah, tuha peut, pawang glee, peutua seunebok, panglima laot, kejruen blang, haria peukan, dan syahbanda, serta setiap mukim pun memiliki harta kekayaannya masing-masing, berupa hutan, gunung, pasie, alue, krueng, panton, dan lain-lain. Ketiga, semua itu, baik Universitas Sumatera Utara hukumnya maupun structural kelembagaan bersangkutan memiliki pula kulturnya masing- masing yang khas dan genie. Selanjutnya, pemerintahan mukim dalam melakukan pengelolaan hutan adat atau hutan ulayatnya memiliki pula sistem hukumnya tersendiri sebagaimana teori L.M. Friedman, yaitu Pertama, terdapat serangkaian ketentuan adat hukum adat baik yang berupa aturan, anjuran ataupun larangan serta pantangan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan ulayat substance. Ketentuan tersebut dihormati dan dipatuhi oleh masyarakatnya demi keharmonisan demi kelangsungan hidup mereka yang harus menyatu dengan hutan ulayatnya sebagai hak kullah yang bersumber dari Potallah Po Teu Allah. Dan untuk menegakkan aturan-aturan serta pantangan adat hutan ulayat mukim, saat ini di hampir setiap mukim yang memiliki kawasan hutan telah dipilih pimpinan lembaga adat hutan yang dikenal dengan pawang glee atau nama lain structure. Bahkan keberadaan lembaga adat hutan beserta pimpinannya, telah pula diakui secara juridis formal dengan dicantumkannya di dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Baik aspek substance maupun aspek structure sebagaimana dikemukakan di atas, bagi masyarakat mukim sudah dianggap sebagai budaya mereka yang merupakan pedoman dalam perikelakuannya culture. Setiap masyarakat mukim memiliki pula budayanya masing-masing yang khas dan genie. Budaya antara satu masyarakat bisa jadi berbeda dengan budaya pada masyarakat lain, sekalipun sama-sama mereka berada dalam suatu wilayah administrasi kabupaten yang sama. Dengan mengacu pada penjelasan teroritik di atas, maka eksistensi kekuasaan mukim sebagai lembaga pemerintahan yang khas di Aceh dalam penguasaan dan pengelolaan hutan adat atau hutan ulayat uteun mukim, sebenarnya telah pula mendapat pengakuan ilmiah, di samping Universitas Sumatera Utara pengakuan empirik masyarakatnya dan pengakuan juridis formal normatif peraturan perundang-undangan. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Peraturan tentang kehutanan telah diterbitkan secara tertulis sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda, yang berlaku khusus untuk Jawa dan Madura. Sedangkan untuk luar Jawa dan Madura berlaku hukum adatnya masing-masing. Dualisme hukum kehutanan berlaku hingga kemerdekaan. Setelah Indonesia merdeka, selama Pemerintahan Orde Lama 1945-1966 peraturan kehutanan yang berlaku untuk seluruh Indonesia adalah Boschordonantie 1927 hingga awal pemerintahan Orde Baru. Rezim Orde Baru berhasil membentuk undang-undang kehutanan nasional, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, yang menggantikan Boschordonantie. Baik Boschordonantie 1927 yang merupakan produk kolonial maupun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1967 yang merupakan produk nasional rezim Orde Baru, kedua-duanya tidak mengakui eksistensi masyarakat hukum adat dalam penguasaan hutan adatnya. Sejak Pemerintahan Reformasi 1999, keberadaan masyarakat hukum adat beserta hutan adat dan hak-hak tradisionalnya telah diakui dan dihormati secara konstitusional dalam peraturan perundang-undangan, yaitu dengan menegaskannya di dalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Hanya saja, hutan adat masih dikategorikan sebagai hutan negara. Peraturan perundang-undangan yang mengatur masyarakat hukum adat beserta hak-hak ulayatnya belum diatur secara jelas dan tegas dalam peraturan tersendiri. Namun pengaturannya ditemukan dalam berbagai peraturan perundang-undangan produk pasca Universitas Sumatera Utara reformasi, kecuali Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yang merupakan produk Rezim Orde Lama. Ketentuan-ketentuan tersebut ditemukan di dalam ; UUD 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007, Permeneg AgrariaKepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, SE Menhut Nomor 75 Tahun 2004, dan dalam beberapa peraturan daerah di berbagai daerah.

2. Hutan Aceh sebagian besar 80,86 merupakan kawasan lindung dengan kondisi yang