Pengaturan Kehutanan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh

Mengacu pada pengertian kebijakan dan kebijakan daerah sebagaimana terdapat pada dua undang-undang di atas, berikut ini dibahas beberapa kebijakan yang berasal dari Pemerintah Pusat dan dari Pemerintah Aceh.

1. Pengaturan Kehutanan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh

Perihal kehutanan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terdapat pengaturannya pada Bagian Ketiga tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam. Tepatnya, di dalam Pasal 156, yang secara lengkap berbunyi : 1 Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota mengelola sumber daya alam di Aceh baik di darat maupun di laut wilayah Aceh sesuai dengan kewenangannya. 2 Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pengawasan kegiatan usaha yang dapat berupa eksplorasi, eksploitasi, dan budidaya. 3 Sumber daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi bidang pertambangan yang terdiri atas pertambangan mineral, batu bara, panas bumi, bidang kehutanan, pertanian, perikanan, dan kelautan yang dilaksanakan dengan menerapkan prinsip transparansi dan pembangunan berkelanjutan. 4 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, ayat 2, dan ayat 3, Pemerintah Aceh dapat: a. membentuk Badan Usaha Milik Daerah; dan b. melakukan penyertaan modal pada Badan Usaha Milik Negara. 5 Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 dapat dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, koperasi, badan usaha swasta lokal, nasional, maupun asing. 6 Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 4 dan ayat 5 berpedoman pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan Pemerintah. 7 Dalam melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 5, pelaksana kegiatan usaha wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan pasal di atas dapat dipahami bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota mengelola sumber daya alam SDA di Aceh, baik yang di darat maupun yang di laut sesuai dengan kewenangannya. Makna ayat ini adalah, Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota berhak, berkewajiban dan bertanggungjawab untuk mengelola sumber daya alamnya, termasuk sumber daya kehutanan. 200 Berhak, berarti ia memiliki kekuasaan ke dalam dan keluar terhadap sumberdaya alamnya, khususnya sumberdaya kehutanan untuk merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan, dan mengawasi semua upaya tersebut, baik berupa eksplorasi, eksploitasi ataupun budidaya. Melakukan semua ini dinamakan dengan mengelola. Sehingga karenanya, Pemerintah Aceh memiliki pula kewenangan untuk melakukan tuntutangugatan sehubungan untuk mempertahankan hak tersebut sepanjang sesuai dengan kewenangannya. Kewajiban merupakan konsekuensi juridis dari adanya hak. Terhadap hak-hak yang dimiliki Pemerintah Aceh terhadap sumberdaya alamnya, maka dibebankan seperangkat kewajiban kepadanya untuk juga merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan, dan mengawasi keberadaan sumber daya alamnya. Hak dan kewajiban tersebut saling kait mengkait dan bersatu tak terpisahkan, yang dalam terminologi hukum disebut dengan tanggung jawab haftung. Pemerintah Aceh dapat membentuk Badan Usaha Milik Daerah BUMD dan melakukan penyertaan modal pada badan usaha milik negara BUMN untuk melakukan upaya mengelola sumberdaya alam di Aceh. Sehingga dengan adanya badan usaha milik daerah BUMD yang dibentuk oleh Pemerintah Aceh, yang khusus diberi tugas dan fungsi untuk mengelola merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan, dan mengawasi penyelenggaraan sumberdaya 200 Dalam suatu wawancara, Irwandi Yusuf, Gubernur Aceh, mengemukakan tekadnya untuk membuat yang terbaik untuk menyelamatkan hutan di Aceh. Komitmen tersebut, menurutnya, sangat sesuai dengan UU 112006, yaitu “Pengaturan kehutanan ada di tangan Pemerintah Aceh” sebutnya. Baca, Aceh Magazine, Edisi XIV November 2007, hal. 13. Hemat kami, pernyataan Gubernur Aceh tersebut merupakan refleksi dari pasal 156 di atas. Universitas Sumatera Utara alam, khususnya sumber daya kehutanan maka fungsi implementasi kebijakan dapat dilaksanakan oleh BUMD bersangkutan. Sedangkan Pemerintah Aceh hanya menjalankan fungsi kebijakan dan regulasi. Selain dapat dilakukan oleh BUMD, upaya-upaya merencanakan, melaksanakan, memanfaatkan dan mengawasi penyelenggaraan sumber daya alam di Aceh, terutama sumber daya kehutanan, dapat pula dilakukan oleh badan usaha milik negara BUMN – terutama, tentu saja, BUMN yang disertakan modalnya oleh Pemerintah Aceh, koperasi, usaha swasta nasional, dan bahkan usaha swasta asing. Semua badan usaha tersebut diberi peluang oleh Undang- Undang tentang Pemerintahan Aceh, untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, ataupun budidaya sumber daya alam di Aceh, asalkan saja dalam melakukan kegiatan tersebut badan-badan usaha ini melakukannya dengan menerapkan prinsip-prinsip transparasi dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, dalam melakukan upaya-upaya eksplorasi, eksploitasi, ataupun budidaya badan-badan usaha tersebut harus pula mengacu atau berpedoman pada standar, norma, dan prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, bagi badan-badan usaha yang akan mengelola sumber daya alam di Aceh, di samping harus merujuk pada segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Aceh, juga sekaligus harus berpedoman pada norma, standar dan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Dengan mengacu pada asas lex superior derogate lex inferior, maka badan-badan usaha yang mengelola sumberdaya alam di Aceh tidak dibenarkan mengesampingkan regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, yang posisinya lebih tinggi dibandingkan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh. Namunpun demikian, ketentuan ini tidak pula berarti, bahwa badan-badan usaha tersebut dapat saja mengabaikan atau tidak memperdulikan segala regulasi yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Aceh karena posisinya yang lebih rendah lex Universitas Sumatera Utara inferior. Sehingga karenanya, badan-badan usaha yang mengelola sumberdaya alam di Aceh harus mematuhi dan mengikuti semua norma, prosedur, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku terhadapnya, baik yang diterbitkan oleh Pemerintah Aceh maupun oleh Pemerintah Republik Indonesia. Adanya ketentuan pada ayat 7 Pasal 156 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang mengharuskan setiap badan usaha yang melakukan kegiatan usaha eksplorasi, eksploitasi, ataupun budi daya sumber daya alam di Aceh wajib mengikutsertakan sumber daya manusia setempat dan memanfaatkan sumber daya lain yang ada di Aceh. Senyatanya, telah dapat menimbulkan persoalan-persoalan, baik bagi kalangan dunia usaha, Pemerintah Aceh, maupun bagi kalangan masyarakat tempatan itu sendiri. Persoalan-persoalan kuantitas sumber daya manusia SDM yang dibutuhkan, kualitas sumberdaya manusia SDM yang diharapkan tersedia, mekanisme perekrutan calon pekerja, model promosi karyawan, pendidikan dan pelatihan ketenagakerjaan, membengkaknya angka pengangguran, sikap masyarakat tempatan terhadap “pendatang”, dan masih banyak lagi persoalan yang berkaitan dengan tenaga kerja. Adanya kasus “pemaksaan” dan ancaman dari warga masyarakat Lhoknga Leupung yang meminta quota agar 70 tenaga kerja pada PT Semen Andalas Indonesia PT SAI harus pekerja yang berasal dari kecamatan tersebut merupakan catatan buruk bagi iklim investasi di Aceh Serambi, 27 Desember 2007. 201 Apalagi, pemaksaan tersebut disertai ancaman konkrit yang “mengharuskan” pabrik semen itu harus menghentikan operasional kegiatannya, dan tidak boleh berproduksi, sehingga berakibat meningkatnya secara tajam harga semen dari Rp. 34.500sak menjadi Rp. 65.000sak pada bulan November - Desember 2007 lalu. Akibatnya, banyak para kontraktor yang rugi dan tidak dapat menyelesaikan kontrak kerjanya tepat waktu. 201 Lihat, Pengumuman Kecamatan Masyarakat LhokngaLeupung di Harian Serambi Indonesia, Tanggal 22 Desember 2007. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya, perihal kehutanan selain diatur dalam Pasal 156 sebagaimana dijelaskan di atas, juga terdapat pengaturannya di dalam Pasal 150, Pasal 165, dan Pasal 262 Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 150 Undang-undang tentang Pemerintaha Aceh, menyatakan : 1 Pemerintah menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan kawasan ekosistem Leuser di wilayah Aceh dalam bentuk pelindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan secara lestari. 2 Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupatenkota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser sebagaimana dimaksud pada ayat 1. 3 Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan pemerintah kabupatenkota dan dapat melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah dan pihak lain. 4 Dalam rangka pelaksanaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, Pemerintah berkewajiban menyediakan anggaran, sarana, dan prasarana. Dari Pasal 150 ini dapat ditengarai beberapa hal. Pertama, bahwa sejak diundangkannya undang-undang ini, maka pengakuan terhadap perlunya konservasi dan perlindungan hukum terhadap Kawasan Ekosistem Leuser sudah semakin meningkat. Artinya, Pemerintahan Pusat Presiden dan DPRRI sudah menegaskan komitmennya dalam bentuk undang-undang. Hal ini secara juridis formal haruslah dipandang sebagai sebuah kemajuan, apabila dibandingkan dengan pengaturannya pada masa lalu yang perlindungan hukumnya ditegaskan hanya pada tingkat Keputusan Presiden, yaitu Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 tentang Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser, yang memberikan konsesi kepada Yayasan Leuser Internasional Universitas Sumatera Utara YLI dan Unit Management Leuser UML untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. 202 Kedua, seiring dengan meningkatnya komitmen Pemerintah Pusat terhadap pentingnya keberadaan Kawasan Ekosistem Leuser, maka Pemerintah Pusat menugaskan Pemerintah Aceh untuk melakukan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser di dalam wilayah Provinsi Aceh. Makna menugaskan dalam peraturan ini dapat dipandang sebagai fungsi medebewind. Dimana seharusnya, pemerintah pusat langsung mengelola sendiri kawasan tersebut. Tetapi berhubung karena alasan tertentu demi efesiensi dan efektifitas fungsional, maka pemerintah pusat melimpahkan otorita kewenangannya kepada Pemerintah Aceh. Penugasan ini tentu saja menimbulkan konsekuensi pada model kelembagaan, anggaran, sarana, prasarana dan mekanisme pertanggungjawaban. Menindaklanjuti Pasal 150 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006, Gubernur Aceh mengeluarkan Peraturan Gubernur No. 052 Tahun 2006 tentang Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPKEL. Jadi, posisi BPKEL diatur dengan peraturan gubernur, bukan dengan qanun. 203 Saat ini, dengan keluarnya Peraturan Gubernur tentang pembentukan Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser BPKEL, terjadilah dualisme pengelola Kawasan Ekosistem Leuser, yakni: Yayasan Leuser Internasional YLI yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No. 33 Tahun 1998, dan BP KEL yang dibentuk dengan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 52 Tahun 2006 berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. Dari perspekstif juridis formal, kewenangan Yayasan Leuser Internasional YLI untuk mengelola Kawasan Ekosistem Leuser berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 telah ditarik kembali oleh pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006. 202 Lihat Triyono Eddy, Aspek Hukum Pengelolaan Kawasan Leuser, Disertasi Doktor Ilmu Hukum, Universitas Sumatera Utara, Medan, 2004. 203 Saat ini 2009, pihak BPKEL yang dibantu Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala sedang menyiapkan Rancangan Qanun tentang Badan Pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. Universitas Sumatera Utara Meskipun dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tidak disebutkan secara tegas tentang pencabutannya. Tetapi dengan menggunakan asas hukum, ”lex posteriori derogat lex priori”, peraturan hukum yang baru mencabut peraturan hukum yang lama apabila mengatur hal yang sama. Selain itu dapat juga digunakan asas hukum ”lex superiori derogat lex inferiori, peraturan hukum yang lebih tinggi membatalkan peraturan hukum yang lebih rendah. Undang-undang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan Keputusan Presiden dalam hirakhi peraturan perundang-undangan di Indonesia, 204 maka berdasarkan pandangan ini keberadaan Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1998 menjadi terkesampingkan oleh Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh. Secara tersurat dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 ditegaskan bahwa bentuk pengelolaan yang harus dilakukan oleh Pemerintah Aceh adalah segala upaya untuk memberikan perlindungan, pengamanan, pelestarian, pemulihan fungsi kawasan dan pemanfaatan kawasan tersebut secara lestari. Hemat kami, 205 jika dikaitkan dengan fungsi manajemen, maka fungsi-fungsi yang telah ditegaskan dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh UUPA ini masih perlu didukung dengan upaya perencanaan yang matang, koordinasi dan kerjasama antara berbagai pihak yang relevan, pengerahan secara sinergi dan simultan dengan melibatkan berbagai potensi energi yang tersedia untuk mengelola kawasan ekosistem tersebut secara bijak dan bertanggungjawab, melakukan pengawasan dan penilaian terhadap semua upaya yang dilakukan berkaitan dengan pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser. 204 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan. 205 Taqwaddin, Pengaturan Kehutanan dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh, Tabloid MODUS Aceh, No.47Th.V Minggu II, Maret 2008. Universitas Sumatera Utara Upaya konservasi dan perlindungan Kawasan Ekosistem Leuser harus dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh. Banjir bandang di akhir Desember 2007 Serambi, 22 Desember 2006 yang mencurah dasyat di beberapa kabupaten 206 Aceh Tenggara, Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Utara, Aceh Pidie, Bireun, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya dan Abdya haruslah menjadi perhatian betapa upaya serius untuk mengelola Kawasan Ekosistem Leuser harus dilakukan. Begitu pula, mengamuknya kawanan gajah liar dan harimau, yang masuk ke wilayah-wilayah pemukiman penduduk akhir-akhir ini Serambi, 2 Januari 2008 dapat pula dijadikan indikasi betapa Kawasan Ekosistem Leuser, tempat habitat para binatang liar dan buas tersebut telah rusak akibat ulah manusia. Untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan akan pencemaran atau kerusakan hutan atau lingkungan dalam Kawasan Ekosistem Leuser, maka Undang-Undang Pemerintahan Aceh secara tegas mengatur larangan baik untuk Pemerintah Pusat sendiri, maupun untuk Pemerintah Aceh atau Pemerintah KabupatenKota di Aceh untuk memberikan izin pengusahaan hutan dalam kawasan tersebut. Pasal 150 ayat 2 menegaskan, Pemerintah, Pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupatenkota dilarang mengeluarkan izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser. Dalam ketentuan peralihan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, tepatnya pada Pasal 262 tegas disebutkan bahwa, dalam hal terdapat izin pengusahaan hutan dalam kawasan ekosistem Leuser di wilayah Provinsi Aceh yang telah dikeluarkan, dinyatakan tetap berlaku, ditinjau kembali, danatau disesuaikan dengan undang-undang ini paling lambat 6 enam bulan sejak undang-undang ini diundangkan. 206 Dalam peristiwa tersebut, empat sungai meluap: sungai Peusangan di Kabupaten Aceh Utara dan Bireun, Sungai Tripa di Kabupaten Gayo Luwes, Sungai Tamiang di Kabupaten Aceh Taminang, dan Sungai Jambo Aye di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Utara. Sebanyak 12 kecamatan di tujuh kabupaten dan kota kebanjiran, hampir 10 ribu rumah rusak parah, sekitar 400 ribu orang mengungsi, dan tercatat 70 orang meninggal. Aceh Magazine, Edisi XIV, Nov 2007, hal. 27. Universitas Sumatera Utara Masalahnya, ketentuan ayat 2 Pasal 150 Undang-Undang Pemerintahan Aceh, seakan- akan hanya menegaskan larangan bagi Pemerintah Provinsi Aceh dan Pemerintah Kabupatenkota di dalamnya. Sehingga timbul pertanyaan, bagaimana dengan Provinsi Sumatera Utara atau Kabupaten di dalamnya, dimana kawasan Ekosistem Leuser juga berada berada di dalam wilayahnya. Apakah mereka boleh memberikan izin pengusahaan hutan? Atau apakah juga boleh memberikan izin lain, semisal izin pertambangan, izin perkebunan atau izin lainnya dalam Kawasan Ekosistem Leuser? Mengenai hal di atas, menurut kami, harus ada penjelasan, solusi dan kebijakan yang tegas. Hal ini penting, agar upaya pengelolaan Kawasan Ekosistem Leuser berada dalam koridor kepastian hukum. Namunpun demikian, sekalipun tidak secara tegas melarang Pemerintah Provinsi Sumatera Utara untuk mengeluarkan izin pengusahaan hutan atau berbagai izin lainnya. Menurut kami, harus pula dianggap sebagai sesuatu larangan yang juga dibebankan bagi Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Kabupaten di dalamnya. Sehingga, koordinasi dan komunikasi antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus dijalin secara harmonis dan terintegratif demi melindungi Kawasan Ekosistem Leuser. Begitupun, larangan tersebut, tidak melulu hanya sebatas pada larangan izin pengusahaan hutan saja, tetapi harus pula dianggap izin-izin lain yang diduga dapat merusak atau mencemarkan lingkungan hidup dari Kawasan Ekosistem Leuser. Selanjutnya, pasal lain yang juga mengatur masalah hutan di dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Aceh, yaitu Pasal 165 yang menyatakan bahwa : 1 Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota sesuai dengan kewenangannya dan berdasarkan norma, standar, dan prosedur yang berlaku nasional berhak memberikan: a. izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum; b. izin konversi kawasan hutan; Universitas Sumatera Utara c. izin penangkapan ikan paling jauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas danatau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi dan satu per tiga dari wilayah kewenangan daerah provinsi untuk daerah kabupatenkota; d. izin penggunaan operasional kapal ikan dalam segala jenis dan ukuran; e. izin penggunaan air permukaan dan air laut; f. izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan; dan g. izin operator lokal dalam bidang telekomunikasi. 2 Pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dan ayat 3 harus mengacu pada prinsip-prisip pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, dan prosedur yang sederhana. 5 Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberian izin sebagaimana dimaksud pada ayat 2, ayat 3, dan ayat 4 diatur dengan qanun. Pasal di atas menegaskan bahwa Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota, dalam kaitannya dengan perizinan bidang kehutanan berwenang dan berhak memberikan; 1 izin konversi hutan dan 2 izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan. Apakah dan bagaimanakah izin konversi hutan yang dimaksud dalam pasal di atas? Norma, standar dan prosedur seperti apakah yang harus dipenuhi? Mengingat adanya kata “dan” antara Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupatenkota, maka dapat pula timbul pertanyaan, apakah antara kedua pemerintah yang berbeda tingkatan tersebut sama-sama sekaligus dapat mengeluarkan izin konversi hutan untuk subjek hukum tertentu, atau cukup diberikan oleh salah satu pemerintah saja. Sekalipun agak “ganjil”, tetapi kalau mencermati bunyi pasal di atas, maka pemberian izin konversi dan izin yang berkaitan dengan pengelolaan dan pengusahaan hutan tersebut diberikan secara bersamaan oleh kedua pemerintah. Apakah sesungguhnya demikian? Selanjutnya, dalam pasal di atas juga ditegaskan bahwa, pemberian izin harus mengacu pada prinsip-prinsip pelayanan publik yang cepat, tepat, murah, dan prosedur yang sederhana. Bagaimanakah dimaksud dengan pelayanan publik yang cepat, tepat, murah dan sederhana? Secara teoritis, ide ini memang telah menjadi tuntutan dan paradigmatik dalam tata kelola Universitas Sumatera Utara pemerintahan yang clean and good governance. Masalahnya adalah bagaimanakah mewujudkan secara konkrit ide yang bagus ini dalam dunia empirik, tidak hanya melulu dalam tataran impian belaka. Saat ini bagaimana pelayanan publik harus dilakukan oleh Pemerintahan Aceh telah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2008 tentang Pelayanan Publik. Qanun ini mendahului lahirnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ketentuan pemberian izin konversi kawasan hutan akan diatur dengan qanun. Timbul pertanyaan, apakah ini akan diatur dengan qanun tersendiri atau dalam suatu qanun yang lebih luas ruang lingkupnya. Kalau diatur dengan qanun tersendiri, berarti qanun tersebut hanya melulu mengatur tentang pemberian izin konversi hutan, tidak mengatur hal lainnya. Sedangkan kalau diatur dalam qanun, artinya, qanun tersebut memiliki ruang lingkup pengaturan yang relative luas, dimana substansi materi aturannya meliputi izin konversi hutan. Kami berpendapat, izin konversi hutan dapat diatur dalam qanun yang ruang lingkupnya lebih luas.

2. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Hutan Aceh