Hak Menguasai Sumberdaya Hutan

sudah terjadi evolusi pemikiran yang cukup maju dengan tema kongres Forest for People. Mulai saat itulah lahir beberapa istilah yang berkaitan dengan sistem pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal seperti agro forestry, social forestry, tree farming, dan lain sebagainya. 182 Dalam perkembangannya, banyak ahli yang mendorong penguatan pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat lokal menggunakan berbagai istilah seperti community forestry, social forestry, participatory forestry, farm forestry, agroforestry, dan lain-lain. Beberapa ahli menganggap perbedaan istilah tersebut hanya masalah semantik belaka. Sementara para ahli yang lain menilai bahwa perbedaan tersebut juga memberikan makna filosofis yang berbeda-beda. Karena itu, pilihan istilah menentukan bagaimana sebuah praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat dilakukan. Social forestry sering mengacu kepada bentuk-bentuk kehutanan industrial konvensional yang dimodifikasi untuk memungkinkan adanya distribusi keuntungan kepada masyarakat lokal. Sedangkan community forestry lebih menekankan bahwa pengelolaan sumberdaya hutan harus dikontrol oleh masyarakat lokal. 183 Dari berbagai konsepsi yang ada, sistem pengelolaan hutan berbasis komunitas masyarakat hukum adat sebetulnya bukanlah hal baru. Ia telah berkembang sejak beberapa dekade yang lalu di berbagai negara, khususnya di negara-negara berkembang.

1. Hak Menguasai Sumberdaya Hutan

182 Hasanu Simon, Demokratisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, Prosiding Lokakarya Reformasi Hukum di bidang Pengeloaan Sumber Daya Alam, ICEL, Jakarta, 1999, hlm. 94. 183 Lihat Didik Suharjito dkk., Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat, Pustaka Kehutanan Masyarakat, 2000. hal. 10 Universitas Sumatera Utara Salah satu persoalan krusial dalam sistem kehutanan dan agraria di Indonesia adalah tentang hak menguasai atas sumberdaya alam. Pertanyaannya adalah siapa sebetulnya penguasa sah atas sumberdaya hutan? Apakah masyarakat hukum adat mempunyai hak atas sumberdaya alam di sekitar mereka yang sudah turun-temurun mereka kelola? Rejim hukum seperti apa yang mengatur masalah hak atas sumberdaya alam di Indonesia? Menurut Daniel Bromley sebagaimana dikutip oleh Didik Suharjito, hak atau kekuasaan atas sumberdaya alam dapat dibedakan kedalam empat kategori, yakni: 184 5. Open access, yaitu suatu sumberdaya yang tidak jelas penguasaannya. Akses terhadap sumberdaya ini tidak diatur dan terbuka bagi siapa saja. 6. State property, yaitu sumberdaya yang hak penguasaannya berada pada negara. 7. Communal property, yaitu sumberdaya yang dikuasai oleh sekelompok masyarakat yang menggunakannya secara de facto dan diakui secara legal. 8. Private property, yaitu sumberdaya yang hak peguasaan dan pemilikannya pada perseorangan, yang secara de facto atau secara legal diperkuat oleh negara pemerintah. Garett James Hardin dan mereka yang sepaham dengannya menganggap bahwa sumberdaya open access benar-benar ada. Sementara beberapa pihak yang tidak sepaham menyebutkan bahwa tidak ada sumberdaya open access karena semua sumberdaya sesungguhnya telah ada yang memegang hak penguasaannya. Demikian juga terhadap kategori state property, sebagian pihak menganggap bahwa negara benar-benar mempunyai kekuasaan atas sumberdaya. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa 184 Didik Suharjito, dkk, Ibid, hlm. 4. Universitas Sumatera Utara sesungguhnya negara tidak memegang kekuasaan atas sumberdaya, melainkan sekedar memegang mandat rakyatnya atau publik, sehingga tidak ada state property, yang ada adalah public property. Sehingga dalam konteks pengelolaan hutan di Indonesia, maka yang disebut hutan negara lebih tepat dikategorikan sebagai public property. 185 Kalau kita telusuri lebih dalam, rujukan formal penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia berdasarkan pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk dipergunakan bagi sebesar- besarnya kemakmuran rakyat. Rujukan konstitusional tersebut menimbulkan berbagai tafsir sehingga memunculkan berbagai konflik kepentingan atas sumberdaya hutan seperti yang kemudian dijabarkan dalam berbagai aturan perundang-undangan Indonesia yang mengatur tentang kehutanan, baik oleh Undang-undang Nomor 5 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan yang merupakan produk rezim Orde Baru maupun oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang merupakan rezim Reformasi. Pesan implisit dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 sebetulnya mengarahkan sumberdaya hutan sebagai barang negara state property. Dalam kaitannya dengan hak ulayat dan masyarakat hukum adat, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan mengacu pada Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang mengakui keberadaan hak ulayat secara bersyarat. Pasal 3 UUPA menyatakan, “pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak 185 Ibid, hlm. 6. Universitas Sumatera Utara boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”. Kita perlu menggarisbawahi kata-kata “harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional”. Prase ini mengandung makna diakuinya keberadaan dan pelaksanaan hak-hak ulayat dan hak-hak serupa lainnya sebagaimana yang telah lazim dipraktekkan oleh masing-masing masyarakat hukum adat di berbagai daerah di Indonesia, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara. Ketentuan pengakuan terhadap hak ulayat dan masyarakat hukum adat tersebut di atas mengandung strategi pembatasan dengan syarat tertentu. Di Dalam Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan dipergunakan istilah “hutan negara” untuk menyebutkan semua hutan yang bukan “hutan milik’. Dengan demikian, maka pengertian “hutan negara” itu mencakup pula hutan-hutan yang baik berdasarkan peraturan perundang-undangan maupun hukum adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan masyarakat hukum adat atas tanah tertentu yang didasarkan pada hukum adat, yang lazimnya disebut hak ulayat sebagaimana telah diakui dalam Undang- undang Pokok Agraria, tetap diakui sepanjang menurut kenyataannya memang masih ada. Sedangkan di daerah-daerah dimana menurut kenyataannya hak ulayat itu sudah tidak ada lagi tidaklah akan dihidupkan kembali. 186 186 Lihat; Penjelasan Umum UU Nomor 5 Tahun 1967 Universitas Sumatera Utara Dalam Pasal 17 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Kehutanan dinyatakan bahwa, pelaksanaan hak-hak masyarakat, hukum adat dan anggota-anggotanya serta hak-hak untuk perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan, baik langsung maupun tidak langsung yang didasarkan atas sesuatu peraturan hukum, sepanjang menurut kenyaaannya masih ada, tidak boleh mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dimaksud dalam undang-undang ini. Secara implisit bunyi pasal ini mengandung makna bahwa hak-hak masyarakat yang mendapatkan kemanfaatan hutan selama ini berdasarkan hukum adat harus mengalah demi univifikasi hukum peraturan perundangan, yang tentu saja bersifat tertulis. Adanya kata-kata dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967, bahwa ”Undang-undang Pokok Kehutanan ini merupakan suatu langkah pula untuk menuju kepada univikasi hukum nasional dibidang kehutanan dan merupakan induk peraturan perudangan yang mengatur berbagai-bagai bidang dalam kegiatan kehutanan”, 187 dan adanya pernyataan, ”Menurut perkembangannya hak ulayat itu karena pengaruh berbagai faktor menunjukkan kecenderungan untuk bertambah lama bertambah menjadi lemah” 188 . Semakin kentaralah bahwa orientasi dari Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 ini tidak hanya sebagai strategi pembatasan hak-hak ulayat, tetapi juga sekaligus bermaksud meniadakan hak-hak ulayat masyarakat hukum adat atas kawasan hutannya.

2. Hak Masyarakat Hukum Adat atas Sumberdaya Hutan UU 411999