Organisasi, Tugas, sebagaimana diperintahkan oleh Pasal 114 ayat 4 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pememerintahan Daerah.
247
2. Mukim sebagai Masyarakat Hukum Adat Aceh
Setelah sekian lama dimarjinalkan oleh rezim pemerintahan Orde Baru, kemudian dengan payung Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemerintahan mukim kembali
lagi diakui secara juridis formal de jure. Payung hukum dimaksud adalah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam UU Otsus NAD.
248
Undang-undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
249
Sekalipun secara juridis lembaga pemerintahan mukim baru diakui kembali keberadaannya sejak tahun 2001 setelah diberlakukannya Undang-Undang tentang Otonomi
Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Namun Secara de facto, keberadaan mukim masih cukup eksis dan diakui di seluruh Aceh, sekalipun antara warga masyarakat Aceh terdapat beragam
suku dan kultur yang berbeda.
247
Wawancara dengan Makmur Ibrahim, mantan Kepala Bagian Pembinaan Hukum KabupatenKota, pada Biro
Hukum dan Humasy, Setda Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 22 Desember 2008.
248
Alasan hukum yang mendorong lahirnya undang‐undang ini karenanya adanya pergolakan masyarakat di
Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang dimanifestasikan dalam berbagai bentuk reaksi. Sehingga, apabila hal tersebut
tidak segera direspon dengan arif dan bijaksana, maka akan dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Dengan kata lain, lahirnya undang‐undang tersebut dalam kerangka semangat penyelesaian
konflik Aceh. Tanggapan terhadap hal tersebut berupa kebijakan penyelenggaraan pemerintahan daerah bagi
Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagaimana ditetapkan dalam Ketetapan MPR No. IVMPR1999, yang antara lain
memberikan Otonomi Khusus kepada Provinsi Daerah Istimewa Aceh, dan Ketetapan MPR No. IVMPR2000 yang
merekomendasikan agar Undang‐Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan
selambat ‐lambatnya bulan Mei 2001. Lihat; Penjelasan Umum UU Nomor 18 tahun 2001.
249
Sekalipun kelahiran UU Nomor 18 Tahun 2001 dalam kerangka semangat penyelesaian persoalan Aceh, namun
dalam pelaksanaannya undang‐undang tersebut juga belum cukup memadai dalam menampung aspirasi dan
kepentingan pembangunan ekonomi dan keadilan politik. Sehingga hal demikian mendorong lahirnya Undang‐ Undang
Nomor 11 Tahun 2006 yang mencabut Undang‐Undang Nomor 28 Tahun 2001. Lihat ; Penjelasan Umum Undang
‐Undang Nomor 11 Tahun 2006.
Universitas Sumatera Utara
Eksistensi mukim pada masa rezim Orde Baru berkuasa bukanlah sebagai lembaga pemerintahan, tetapi hanya sebagai lembaga adat yang tak punya kuasa memerintah. Mukim
telah sekian lama hanya merupakan simbol adat yang lazim dipentingkan pada upacara-upacara adat belaka, semisal; khanduri blang, khanduri laoet, dan khanduri-khanduri lainnya.
Fakta seperti ini tentu berbeda dengan eksistensi mukim pada masa kesultanan Aceh masa lalu, hingga awal-awal kemerdekaan Republik Indonesia. Pada masa tersebut, keberadaan
mukim tidak saja mendapat pengakuan sosio-antropologis masyarakatnya, tetapi bahkan mendapat dukungan juridis politis dan legitimasi dari pemegang kekuasaan pada masa itu.
Mukim mempunyai harta kekayaan serta sumber keuangan sendiri, dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Sumber keuangannya berasal dari hutan mukim
uteun mukim, perbukitan glee, alur alue, sungai krueng, delta pante, rawa paya, pantai laut pasi, laut laoet, tanah umum tanoh meusara, waqaf wakeuh, danau, kuala, dan lain-
lain. Pemerintahan Mukim dilaksanakan oleh tiga unsur, yaitu unsur adat, unsur agama dan
unsur dewan. Unsur adat diwakili oleh imum mukim, unsur agama diwakili oleh imeum masjid dan unsur dewan diwakili oleh tuha lapan atau tuha peut mukim.
250
Sekalipun ketiga unsur tersebut terdapat pemisahan kewenangan, namun dalam pengambilan keputusan diperlukan
adanya persetujuan bersama, dan pelaksanaan putusan dipresentasikan oleh imum mukim. Sehingga putusan yang diambil merupakan keputusan yang kuat karena merupakan keputusan
semua unsur pimpinan yang mewakili masyarakat, dan sebab itu pula dapat diperkirakan didukung oleh semua unsur yang ada dalam masyarakat.
250
di daerah tertentu ditemukan penyebutannya dengan Tuha Peut Mukim. Penyebutan Tuha Peut Mukim juga
ditemukan pada Pasal 1 angka 12 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
Universitas Sumatera Utara
Sejak diberlakukan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, telah
disahkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, pada tanggal 15 Juli 2003. Qanun ini secara politis kultural memiliki arti
penting bagi rakyat Aceh, karena secara resmi berupaya mengangkat kembali batang terendam yang telah sekian dekade tenggelam oleh kekuatan sentralistik kekuasaan pemerintah pusat.
Implementasi qanun ini memberi peluang bangkitnya kembali sistem pemerintahan khas Aceh berdasarkan hukum adat, yang telah terbukti kehandalannya.
Mukim menurut Pasal 1 Qanun Nomor 4 Tahun 2003 adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang
mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain.
Selama ini, pemerintahan mukim baik sebelum maupun sesudah kemerdekaan, telah cukup berjasa dalam menata dan membina kehidupan rakyat di gampong. Mukim bukan saja telah
mampu berperan aktif dalam mengendalikan jalannya roda pemerintahan gampong, tetapi juga dalam memelihara ketertiban, kerukunan, ketentraman dan pembangunan masyarakat. Apalagi
peranannya dalam mempertinggi syiar agama Islam, memelihara, menjaga, membela, menerapkan dan memberlakukan adat istiadat dan hukum adat dalam masyarakat sesungguhnya
sangat menonjol, sehingga mukim menjadi basis perjuangan bangsa ketika perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, maka eksistensi mukim sebagai kesatuan masyarakat hukum adat yang telah hidup dan berakar dalam kehidupan masyarakat Aceh tetap
dipelihara, dibina dan dilestarikan, sehingga mukim tetap akan utuh, tangguh dan tanggap dalam
Universitas Sumatera Utara
mengikuti perkembangan ketatanegaraan dan tuntutan pembangunan nasional.
251
Dengan disebutkannya eksistensi mukim sebagai kesatuan masayarakat hukum adat dalam Penjelasan
Umum qanun tersebut menjadi tegaslah bahwa, posisi mukim masa kini bukan saja mendapat pengakuan sosiologis dari masyarakat, tetapi juga telah mendapat pengakuan secara juridis
dalam peraturan perundang-undangan.
252
Sehubungan dengan diberlakukannya Qanun tentang Pemerintahan Mukim tersebut, tentu besar harapan agar peran dan fungsi imum mukim yang dulu demikian kharismatik dan
berwibawa, serta berkuasa di wilayahnya dapat kembali ditemukan dalam masa-masa mendatang. Kewibawaan imum mukim dahulu begitu berpengaruh terhadap perilaku dan
tindakan para warganya. Sehingga dalam urusan penting dan strategis demi kepentingan komunitasnya, imeum mukim berada dalam barisan terdepan, baik bertindak ke dalam maupun ke
luar masyarakatnya. Bahkan dalam soal membuka hutan uteun mukim, misalnya, setiap orang harus mendapat izin terlebih dahulu dari imeum mukim, terlebih lagi bagi orang luar kemukiman
tersebut. Untuk masa depan, menurut Pasal 9 Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Lembaga Adat; 1 Imeum Mukim atau nama lain dipilih oleh musyawarah mukim. 2 Imeum Mukim atau nama lain diangkat dan diberhentikan oleh BupatiWalikota atas usulan Camat dari
hasil musyawarah mukim, 3 Pembentukan susunan organisasi, kedudukan, tugas, fungsi, dan alat kelengkapan Imeum Mukim atau nama lain diatur dengan qanun kabupatenkota. Mengenai
masa waktu jabatan mukim tidak diatur dalam Qanun Aceh tentang Lembaga Adat, tetapi
251
Lihat Penjelasan Umum Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim.
252
Qanun Aceh, menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Perintahan Aceh, adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Sehingga dengan demikian, Qanun Aceh atau peraturan daerah, menurut Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,
merupakan bahagian dari hirarkhi peraturan perundang-undangan, yang karenanya, dengan dinyatakannya mukim sebagai masyarakat hukum adat dalam qanun, maka secara juridis formal ia telah mendapatkan pengukuhannya
dalam peraturan perundang-undangan.
Universitas Sumatera Utara
mengenai hal ini secara tegas disebutkan dalam Pasal 6 ayat 3 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim, yaitu masa jabatan mukim selama 5 lima tahun dan dapat
dipilih kembali 1 satu kali periode untuk masa jabatan berikutnya. Bahkan dalam Qanun tentang Pemerintahan Mukim ditegaskan pula bahwa, Pemilihan imum mukim dilakukan secara
langsung, umum, bebas dan rahasia oleh rakyat mukim yang bersangkutan.
253
Dengan keberadaan Qanun tentang Pemerintahan Mukim tersebut, telah jelas pula bahwa posisi imum mukim berada di bawah bupati atau walikota. Berbeda dengan masa lalu, dimana
imeum mukim dipilih oleh tokoh-tokoh masyarakat kemukiman yang terhimpun dalam tuha lapan, untuk masa jabatan yang tak tegas, tetapi tergantung pada keadaan fisik yang
bersangkutan dan respon sosial dari masyarakatnya. Sedangkan sekarang dan masa akan datang, tatacara pemilihan imeum mukim telah diatur berdasarkan Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2009
tentang Tata Cara Pemilihan dan Pemberhentian Imum Mukim. Menurut Pasal 18 Qanun Pemerintahan Mukim, harta kekayaan mukim adalah harta
kekayaan yang telah ada, atau yang dikuasai mukim, yaitu: berupa hutan, tanah, batang air, kuala, danau, laut, gunung, rawa, paya, dan lain-lain yang menjadi ulayat mukim sepanjang tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk kelancaran penyelenggaraan pemerintahan mukim, maka dibentuk kelengkapan
mukim yang terdiri dari: a.
Sekretariat Mukim; b.
Majelis Musyawarah Mukim; c.
Majelis Adat Mukim, d.
Imum Chiek.
253
Lihat Pasal 6 ayat 2 Qanun NAD Nomor 4 Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim. Bandingkan dengan
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
Universitas Sumatera Utara
Sekretariat mukim dipimpin oleh seorang Sekretaris Mukim yang diangkat dan diberhentikan oleh camat atas usul Imeum Mukim. Untuk kelancaran sekretariat mukim, dibentuk
seksi-seksi yang meliputi seksi tata usaha, seksi pemerintahan, seksi perekonomian dan pembangunan, seksi keistimewaan Aceh dan seksi pemberdayaan perempuan.
Majelis musyawarah mukim berfungsi sebagai badan musyawarah guna memberikan masukan, saran dan pertimbangan kepada imeum mukim dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, perekonomian dan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, pelaksanaan keistimewaan Aceh dan pemberdayaan perempuan. Majelis musyawarah mukim terdiri dari:
imeum chiek, para keuchik, tuha lapan atau tuha peut mukim, sekretaris mukim, dan para pimpinan lembaga adat yang ada di mukim yang bersangkutan.
Majelis adat mukim dipimpin oleh imeum mukim dan dibantu oleh sekretaris mukim serta dihadiri oleh seluruh anggota tuha peut mukim. Majelis adat mukim berfungsi sebagai badan
yang memelihara dan mengembangkan adat, menyelenggarakan perdamaian adat, menyelesaikan dan memberikan keputusan-keputusan adat terhadap perselisihan-perselisihan dan pelanggaran
adat, memberikan kekuatan hukum terhadap sesuatu hal dan pembuktian lainnya menurut adat. Keputusan-keputusan dan ketetapan-ketetapan majelis adat mukim menjadi pedoman bagi para
keuchik dalam menjalankan roda pemerintahan gampong sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Musyawarah mukim ini lazim diselenggarakan di mesjid kemukiman setelah selesainya shalat jumat, yang diikuti oleh para pimpinan kemukiman beserta pemangku-pemangku adat
setempat. Musyawarah ini sering pula disebut dengan dewan meusapat yang menghasilkan keputusan konkrit terhadap sesuatu hal terutama terhadap issu yang berkembang pada masa
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Solusi yang dihasilkan dalam dewan meusapat ini biasanya dapat bersifat final dan operasional.
Demikianlah, sekalipun mungkin masih terdapat beberapa kelemahan substansial dari keberadaan Qanun Mukim tersebut. Tetapi paling tidak, keberadaan qanun ini dapat menjadi
instrumen untuk mengembalikan jati diri sistem pemerintahan rakyat Aceh yang asli genie dan khas, yang telah diparaktekkan oleh nenek moyang indatu terdahulu sehingga dapat menjadi
salah satu alternatif solusi dalam pemecahan masalah penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Suatu masyarakat agar dapat dikatakan sebagai masyarakat hukum adat
rechtgemeinschaap, haruslah terpenuhi beberapa syarat sebagaimana sering dikemukakan oleh para ahli dan kemudian ditegaskan pula dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Penjelasan
Pasal 67 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, dinyatakan beberapa syarat yang harus terpenuhi sebagai masyarakat hukum adat, yaitu :
a. masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban rechsgemeenschap; b. ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c. ada wilayah hukum adat yang jelas; d. ada pranata hukum, khususnya peradilan adat, yang masih ditaati; dan
e. masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dari hasil penelitian dapat dikemukakan bahwa, semua persyaratan di atas dapat kita ketemukan dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat gampong dan mukim di Aceh.
Pertama, sebagian besar warga gampong masih memiliki ikatan geneologis dengan sesamanya. Sehingga kepedulian dan kebersamaan di gampong dan juga di dalam suatu kemukiman --
Universitas Sumatera Utara
terutama yang bermukim bukan di perkotaan – saling keterikatan bukan hanya dikarenakan solidaritas territorial, tetapi memang merasa sekaum seketurunan gemeenschap.
Warga gampong masih memiliki perasaan bersalah atau berdosa jika tidak melayat ke rumah warga segampongnya yang tertimpa musibah. Begitu pula jika ada tetangga yang
melakukan hajatan meukereuja, para warga gampong, terutama pimpinan gampong dan warga sedusun juroeng, sejak malam hari hingga selesainya khanduri tersebut terus membantu dengan
segala upaya agar acara dimaksud sukses dengan tiada kekurangan sesuatu apapun. Bahkan, seringkali pula pihak yang melakukan hajatan melimpahkan sepenuh penyelenggaraan khanduri
tersebut pada geusyiek, selaku kepala gampong. Hal seperti ini masih ditemukan hingga sekarang. Ini menunjukkan kehidupan masyarakat gampong dan mukim yang masih paguyuban
gemeenschap, bukan gesselschap. Kedua, di dalam kehidupan kemukiman di Aceh, kita masih menemukan adanya
lembaga-lembaga adat beserta perangkat penguasa adatnya. Hingga ini hari, kita masih menemukan eksisnya:
10. lembaga pemerintahan mukim yang diketuai oleh imeum mukim,
11. lembaga keagamaan yang dipimpin oleh imeum chik atau imeum meseujid,
12. lembaga musyawarah mukim yang dipimpin oleh tuha lapan,
13. lembaga pemerintahan gampong dipimpin oleh keuchik,
14. lembaga keagamaan di gampong dipimpin oleh imeum meunasah, dan
15. lembaga musyawarah gampong oleh tuha peut.
16. lembaga adat persawahan yang dipimpin oleh kejruen blang,
17. lembaga adat laoet yang dipimpin oleh panglima laoet,
18. lembaga adat perkebunan yang dipimpin oleh peutua sineboek,
Universitas Sumatera Utara
19. lembaga adat hutan yang dipimpin oleh panglima uteun atau pawang glee,
20. lembaga adat lalulintas laut yang dipimpin oleh syahbanda, dan
21. lembaga adat perdagangan yang dipimpin oleh haria peukan.
Dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, telah diatur secara tegas tugas masing-masing lembaga adat tersebut di atas, yaitu:
1. Imeum mukim atau nama lain bertugas: Pasal 8 a.
melakukan pembinaan masyarakat; b.
melaksanakan kegiatan adat istiadat; c.
menyelesaikan sengketa; d.
membantu peningkatan pelaksanaan syariat Islam; e.
membantu penyelenggaraan pemerintahan; dan f.
membantu pelaksanaan pembangunan. 2. Imeum Chik atau nama lain bertugas: Pasal 11
a. mengkoordinasikan pelaksanaan keagamaan dan peningkatan peribadatan serta
pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat; b.
mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran masjid; dan
c. menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak bertentangan dengan Syari’at
Islam.
3. Keuchik atau nama lain bertugas: a.
membina kehidupan beragama dan pelaksanaan Syari’at Islam dalam masyarakat; b.
menjaga dan memelihara adat dan adat istiadat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat;
c. memimpin penyelenggaraan pemerintahan gampong;
d. menggerakkan dan mendorong partisipasi masyarakat dalam membangun gampong;
e. membina dan memajukan perekonomian masyarakat;
f. memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup;
g. memelihara keamanan, ketentraman dan ketertiban serta mencegah munculnya
perbuatan maksiat dalam masyarakat; h.
mengajukan rancangan qanun gampong kepada Tuha Peut Gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan;
i. mengajukan rancangan anggaran pendapatan belanja gampong kepada tuha peut
gampong atau nama lain untuk mendapatkan persetujuan; j.
memimpin dan menyelesaikan masalah sosial kemasyarakatan; dan k.
menjadi pendamai terhadap perselisihan antar penduduk dalam gampong. 4. Tuha Peut Gampong atau nama lain mempunyai tugas: Pasal 18
Universitas Sumatera Utara
a. membahas dan menyetujui anggaran pendapatan dan belanja gampong atau nama lain;
b. membahas dan menyetujui qanun gampong atau nama lain;
c. mengawasi pelaksanaan pemerintahan gampong atau nama lain;
d. menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan gampong atau nama lain; e.
merumuskan kebijakan gampong atau nama lain bersama Keuchik atau nama lain; f.
memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta maupun tidak diminta; dan
g. menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat.
5. Tuha Peut Mukim atau nama lain mempunyai tugas: Pasal 20 a.
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam penyelengaraan pemerintahan dan pembangunan mukim;
b. merumuskan kebijakan Mukim bersama Imeum Mukim atau nama lain;
c. memberi nasehat dan pendapat kepada Imeum Mukim atau nama lain baik diminta
maupun tidak diminta; dan d.
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat. 6. Imeum Meunasah atau nama lain mempunyai tugas: Pasal 23
a. memimpin, mengkoordinasikan kegiatan peribadatan, pendidikan serta pelaksanaan
Syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat; b.
mengurus, menyelenggarakan dan memimpin seluruh kegiatan yang berkenaan dengan pemeliharaan dan pemakmuran meunasah atau nama lain;
c. memberi nasehat dan pendapat kepada Keuchik atau nama lain baik diminta maupun
tidak diminta; d.
menyelesaikan sengketa yang timbul dalam masyarakat bersama pemangku adat; dan e.
menjaga dan memelihara nilai-nilai adat, agar tidak bertentangan dengan Syari’at Islam.
7. Keujruen Blang atau nama lain mempunyai tugas: a.
menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah; b.
mengatur pembagian air ke sawah petani; c.
membantu pemerintah dalam bidang pertanian; d.
mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang berkaitan dengan adat dalam usaha pertanian sawah;
e. memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat
meugoe bersawah atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan
f. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha
pertanian sawah.
Universitas Sumatera Utara
8. Panglima Laot lhok atau nama lain mempunyai tugas : Pasal 28 ayat 2 a.
melaksanakan, memelihara dan mengawasi pelaksanaan adat istiadat dan hukum adat laot;
b. membantu Pemerintah dalam bidang perikanan dan kelautan;
c. menyelesaikan sengketa dan perselisihan yang terjadi diantara nelayan sesuai dengan
ketentuan hukum adat laot; d.
menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan kawasan pesisir dan laut; e.
memperjuangkan peningkatan taraf hidup masyarakat nelayan; dan f.
mencegah terjadinya penangkapan ikan secara illegal. 9. Pawang Glee atau nama lain memiliki tugas: Pasal 31
a. memimpin dan mengatur adat-istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan
pelestarian lingkungan hutan; b.
membantu pemerintah dalam pengelolaan hutan; c.
menegakkan hukum adat tentang hutan; d.
mengkoordinir pelaksanaan upacara adat yang berkaitan dengan hutan; e.
menyelesaikan sengketa antara warga masyarakat dalam pemanfaatan hutan 10. Petua Seuneubok atau nama lain mempunyai tugas: Pasal 33
a. mengatur dan membagi tanah lahan garapan dalam kawasan Seuneubok atau nama
lain; b.
membantu tugas pemerintah bidang perkebunan dan kehutanan; c.
mengurus dan mengawasi pelaksanaan upacara adat dalam wilayah Seuneubok atau nama lain;
d. menyelesaikan sengketa yang terjadi dalam wilayah Seuneubok atau nama lain; dan
e. melaksanakan dan menjaga hukum adat dalam wilayah Seuneubok atau nama lain.
11. Haria Peukan atau nama lain mempunyai tugas: Pasal 36 a.
membantu pemerintah dalam mengatur tata pasar, ketertiban, keamanan, dan melaksanakan tugas-tugas perbantuan;
b. menegakkan adat dan hukum adat dalam pelaksanaan berbagai aktifitas peukan;
c. menjaga kebersihan peukan atau nama lain;
d. menyelesaikan sengketa yang terjadi di peukan atau nama lain
12. Syahbanda atau nama lain mempunyai tugas: Pasal 40 a.
mengelola pemanfaatan pelabuhan rakyat; b.
menjaga ketertiban, keamanan di wilayah pelabuhan rakyat; c.
menyelesaikan sengketa yang terjadi di wilayah pelabuhan rakyat; dan d.
mengatur hak dan kewajiban yang berkaitan dengan pemanfaatan pelabuhan.
Universitas Sumatera Utara
Keberadaan lembaga adat di suatu kemukiman tergantung pada dimana letak geografi kemukiman tersebut. Sehingga, bisa jadi, pada suatu kemukiman ada lembaga adat yang tidak
ada pada kemukiman lainnya. Misalnya, lembaga adat laoet hanya ada pada kemukiman yang wilayahnya di pesisir laut. Begitu pula lembaga adat hutan hanya ada pada kemukiman yang
memiliki wilayah hutan. Namun ada pula kemukiman yang memiliki lembaga adat hutan dan juga lembaga adat laut, jika di kemukiman tersebut terdapat wilayah laut dan gunung.
Ketiga, ada wilayah hukum adat yang jelas. Suatu kemukiman adalah suatu juridiksi territorial yang jelas dan tegas dalam masyarakat Aceh. Artinya, jelas wilayahnya dan jelas pula
batas-batasnya. Hanya saja, seringkali batas-batas tersebut tidak tersurat didalam suatu naskah tertulis, tetapi hanya berupa batas-batas alam yang mengacu pada penuturan para endatu
terdahulu. Batas ini dapat berupa krueng, tereubeng, alue, juroeng, ateung, lueng, dan lain- lain.
254
Keempat, masih adanya peradilan adat. Pada masa Kerajaan Aceh hingga awal kemerdekaan, dan juga akhir-akhir – kecuali Era Orde Baru – di gampong-gampong dan juga di
kemukiman memiliki system musyawarah penyelesaian sengketa. Pada masa Sultan Iskandar Muda, “perkara-perkara kecil biasanya diselesaikan oleh keuciek dengan tengku meunasah yang
dibantu oleh tuha peut. Tanpa vonis, -- maksudnya, tanpa kalah menang -- persengketaan itu diselesaikan secara damai yang disebut dengan hukum peujroh hukum kebaikan. Sehingga dari
aspek historis, sejak dahulu kala gampong telah memiliki kewenangan untuk menyelesaikan perkara-perkara kecil, pentjurian kecil, perkelahian, perkara-perkara sipil yang kecil-kecil yang
nilai perkaranya tidak lebih dari 100 ringgit, dan lain-lain.
255
254
Wawancara dengan Imeum Mukim Blang Mee, Kecamatan Lhoong, Kabupaten Aceh Besar, 12 April 2006.
255
Taqwaddin, Gampong sebagai Basis Perdamaian, makalah disampaikan pada Acara Lokakarya Perumusan
Metoda Penerapan Nilai‐nilai Kearifan Lokal untuk Mewujudkan Perdamaian Berkelanjutan di Aceh, diselenggarakan
oleh JAPPP dan Badan Reintegrasi Aceh BRA, Banda Aceh, 31 Januari 2009.
Universitas Sumatera Utara
Sekarang, dengan berlakunya Undang-Undang Pemerintahan Aceh telah mulai lagi dilakukan penyelesaian perkara secara adat di gampong-gampong dan bahkan sampai pada
tingkat kemukiman.
256
Pola penyelesaian sengketa secara adat yang dilakukan oleh ureung tuha gampong mengacu pada prinsip-prinsip peujroh dengan maksud untuk mengharmoniskan
kembali pihak yang bersengketa. Mekanisme dan prinsip yang digunakan dalam penyelesaian sengketa secara adat, baik di gampong maupun di tingkat mukim merupakan imlementasi dari
hukum yang hidup living law yang mereka yakini akan efektif dalam pemberlakuannya. Dalam kapasitas selaku Kejruen Blang Mee, Kecamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar,
sudah pula pernah secara aktif beberapa kali melakukan persidangan adat guna menyelesaikan perkara peukara di dalam gampong yang menyangkut masalah pematang sawah ateung
umong, perkara distribusi air lung ie, dan ternak bekeliaran di dalam sawah saat padi sedang berisi.
257
Kini malah sistem penyelesaian sengketa secara adat telah mendapat pengaturannya yang cukup tepat di dalam satu bab tersendiri pada Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang
Pembinaan Adat. Syarat kelima sebagai masyarakat hukum adat yaitu, masih mengadakan pemungutan
hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Hemat saya, syarat ini masih terpenuhi di dalam masyarakat kita. Masih banyak warga gampong yang
menggantungkan hidupnya pada hutan dengan memungut hasil hutan sebagai mata pencahariannya. Meu glee, meu awe, meu rusa, meu uno, dan lain-lain adalah kegiatan
pemungutan hasil hutan di Aceh yang dilaksanakan dengan segala kearifan tradisional. Bahkan pemungutan hasil hutan berupa kayu pun lazim dilakukan oleh warga gampong yang berdomisili
256
Taqwaddin, Penyelesaian Perkara secara Adat Aceh, www.ajrc
‐aceh.org ,
5 Februari 2009. Lihat juga, Harian
Serambi Indonesia, Rabu, 11 Februari 2008.
257
Wawancara dengan Tengku Usman, Kejreun Blangmee, Kecamatan Lhong, Kabupaten Aceh Besar, 12 April
2006.
Universitas Sumatera Utara
di sekitar hutan. Hanya saja dengan dikeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tentang Moratorium Logging, kegiatan ini banyak menimbulkan masalah saat ini.
Dengan terpenuhinya kelima syarat sebagaimana dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, yang kemudian juga dinyataan dalam Qanun NAD Nomor 4
Tahun 2003 tentang Pemerintahan Mukim,
258
maka jelaslah sudah, bahwa pemerintahan mukim di Aceh merupakan masyarakat hukum adat Aceh.
259
3. Mukim sebagai Pelaksana Pemerintahan