Metafora Budaya Konstruk Analisis Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo

76 untuk memisahkan satu bendanon manusia secara paksatidak wajar dari benda lainnya. Pemberhentian Susno Djuawadi dari jabatannya sebagai kabag Bareskrim dibandingkan dimetaforakan wartawan dengan benda sehingga wujud klausa Susno Duwadji dicopot dari jabatannya sebagai kabag Bareskrim. Lazimnya kalimat itu wujud sebagai berikut Susno Duwadji diberhentikan dari jabatannya sebagai Kabag Bareskrim.

d. Metafora Budaya

Membandingkan dua nilai, sikap, amalan dan praktik merupakan metafora budaya. Dalam satu masyarakat atau komunitas sering dijumpai pemahaman sikap atau amalan bahwa salah satu penanda seseorang sudah tua adalah giginya sudah banyak yang ompong. Hal ini bermakna bahwa dia sudah tua dan tidak muda lagi. Budaya ini berimplikasi bahwa dia kurang mampu melakukan pekerjaan yang berat atau tidak layak lagi melakukan sesuatu yang biasanya dilakukan oleh orang muda. Dalam klausa Gigi saya sudah banyak yang ompong mengapa kalian ajak saya pergi ke pesta dansa itu menyatakan sikap sebenarnya bahwa di usia tua dia tidak pantas lagi pergi ke pesta dansa.

e. Metafora Ideologi

Membandingkan satu ideologi dengan ideologi yang lain atau mengaplikasikan satu ideologi ke ideologi yang lain disebut sebagai metafora ideologi. Ideologi yang dimaksud dapat berupa ideologi dari satu suku, ras, etnis, generasi, kelas atau kelompok. Dengan kata lain, ideologi metafora adalah membandingkan atau mengaplikasikan ideologi dari satu etnis, ras, suku, kelas, atau kelompok ke ideologi yang lain. Perbandingan ini dapat dilakukan secara Universitas Sumatera Utara 77 eksplisit dan implisit, yaitu perbandingan yang merujuk ke satu situasi atau kondisi ketika satu teks digunakan dalam berinteraksi. Berikut contoh metapora ideologi yang diuraikan dalam konteks pemakaiannya. Percakapan yang terjadi antara dua orang dosen, salah satu di antaranya mengatakan “Mana mungkin si Abdul Rahman mendapat visa ke Amerika”. Pernyataannya ini mengungkapkan bahwa si Abdul Rahman tidak dapat pergi ke Amerika karena dia berjenggot panjang, memakai lobe, dan berpakaian gamis serta memakai sepatu bertali. Ideologi yang dianut orang Barat, khususnya bangsa Amerika dan Australi seseorang yang namanya bernuasa Arab dan bernampilan seperti orang Arab diyakini sebagai teroris. Orang yang bernampilan seperti ini pada akhir-akhir ini sulit bahkan tidak dapat pergiberkunjung ke Amerika dan Australi.

2.1.10 Konteks Sosial

Bahasa tidak pernah terjadi bila tidak ada konteks dengan kata lain bahasa terjadi di dalam konteks. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan Halliday dan Martin 993:24 bahwa dalam kajian LSF terdapat hubungan antara bahasa dan konteks sosial. Hubungan ini dinamis dan disebut sebagai hubungan dua cara, yaitu bahasa adalah menguraikan informasi dan diuraikan oleh konteks sosialnya. Berdasarkan konteks bahasa yang digunakan dapat diprediksi dan sebaliknya dari bahasa yang digunakan dapat diketahui konteks di mana interaksi terjadi. Hubungan bahasa dan konteks direpresentasikan sebagai model strata seperti yang dapat dilihat pada Figura 2.6. Universitas Sumatera Utara 78 Figura 2.6: Hubungan Bahasa dan Konteks Konteks sosial yang dimaksud pada Figura 2.6 adalah konteks yang mengacu kepada segala sesuatu di luar yang tertulis atau terucap yang mendampingi bahasa atau teks dalam peristiwa pemakaian bahasa atara interaksi sosial. Konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi, konteks budaya genre dan konteks ideology Martin, 1992. Konteks situasi terdiri atas 1 field atau medan yang dibicarakan, 2 tenor siapa yang membicarakan, dan 3 sarana mode, yaitu bagaimana pembicaraan itu dilakukan, yaitu lisan atau tulisan Halliday dan Hasan, 1985. Bidang ‘field’ yaitu apa yang dibicarakan mengacu kepada peristiwa, aktivitas sosial, karakter pembicara dan lawan bicara serta domain makna. Dengan kata lain, bidang ‘field’ adalah bagaimana partisipan terlibat di dalamnya dan bagaimana bahasa direalisasikan sebagai komponen yang esensial Halliday, 1985:12. Martin 1992:292 mendefinisikan bidang ‘field’ sebagai satu perangkat aktivitas yang berurutan yang berorientasi pada tujuan institusi yang global. Pelibat ‘tenor’ yaitu menggambarkan hubungan pembicara dan lawan bicara, serta peranan tuturan yang dilakukan masing-masing pembicara dan lawan bicara yang disebut juga sebagai hubungan sosial dimana mereka terlibat Halliday, Konteks sosial bahasa Universitas Sumatera Utara 79 1985:12. Aspek lain yang berkaitan dengan tenor adalah formalitas, status atau kekuasaan, dan afeksi. Komponen ketiga dari konteks adalah ‘Mode’, yaitu bentuk bahasa yang bagaimana yang digunakan para partisipan dalam situasi tertentu termasuk juga media atau sarana yang digunakan dalam berkomunikasi, lisan atau tulisan. Komponen yang tercakup di dalam ‘mode’ adalah perencanaan, jarak, media atau jaringan. Halliday menambahkan bahwa pada konteks ‘mode’ juga tercakup tujuan dari wacana yaitu apa yang diperoleh dengan teks yang direalisasikan, apakah persuasi, eksposisi, dan sebagainya. Berkaitan dengan ‘mode’, Martin mengembangkannya dengan keterkaitan ‘mode’ dengan metafungsi bahasa, yaitu makna eksperiensial dan makna antarpersona. Makna eksperiensial mengetengahkan ruang semiotik antara bahasa sebagai bagian dari aksi dan bahasa sebagai refleksi, yaitu seberapa jauh kes bergantung kepada konteksnya. Makna antarpersona mengetengahkan ruang antar monolog dan dialog , jenis visual, kontak oral dan umpan balik yang mungkin terjadi di antara partisipan. Konteks budaya dibatasi sebagai aktivitas sosial bertahap untuk mencapai suatu tujuan Martin 1986. Konteks budaya mencakup tiga hal, yaitu 1 batasan kemungkinan ketiga unsur konteks situasi, 2 tahap yang harus dilalui dalam satu interaksi sosial, dan 3 tujuan yang akan dicapai dalam interaksi sosial. Setiap interaksi sosial mempunyai tujuan tertentu yang disebut sebagai fungsi teks. Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dan tidak seharusnya dilakukan seseorang dalam satu interaksi sosial. Konteks ideologi mencakup nilai, pandangan, dan persfektif Eggin, 1994 yang disepakati oleh masyarakat dalam satu komunitas. Dengan kata lain, ideologi adalah konsep atau gambaran ideal yang diinginkan oleh anggota masyarakat dalam satu komunitas, yang terdiri atas apa yang Universitas Sumatera Utara 80 diinginkan atau yang tidak diinginkan terjadi. Ketiga unsur konteks ini mendampingi bahasa secara bertingkat dan membentuk hubungan semiotik bertingkat dengan teks bahasa. Hubungan dari tataran terendah fonologi hingga ke tataran tertinggi ideologi dapat digambarkan seperti Figura 2.7. Figura 2.7: Bahasa dan Lingkungan Semiotiknya Figura 2.7 memperlihatkan bahwa konteks yang paling konkret karena konteks situasiregister langsung berhubungan dengan teks atau bahasa, yakni semantik, gramatika dan fonologi sebagai unsur bahasa. Selanjutnya adalah konteks budaya dan yang paling asbtrak adalah konteks ideologi karena kedua konteks ini direalisasikan lewat bahasa. Ketiga komponen konteks ini disebut Halliday 1985: 38 sebagai register. Register adalah konfigurasi makna yang secara tipikal berasosiasi dengan situasi konfigurasi dari field, mode dan tenor. Ketiga komponen register, field, tenor, dan mode erat kaitannya dengan ketiga metafungsi bahasa. Fungsi ideasional berkaitan dengan field, fungsi antarpersona berkaitan dengan tenor, dan fungsi tekstual berkaitan dengan mode. fonologi gramatika semantik register jonre ideologi Universitas Sumatera Utara 81 Bagaiamanapun, terdapat perbedaan register antara Halliday dan Martin. Halliday 1978,1985 menyatakan bahwa register adalah realisasi konteks situasi yang mengakibatkan konstelasi ‘field’, ‘tenor’ dan ‘mode’ yang berbeda. Sementara dalam hal yang berbeda, Martin menyatakan register adalah sistem semiotik. Dalam model ini, Martin berpendapat bahwa register adalah semiotik konotatif di mana bahasa adalah sebagai tataran ekspresinya. Register digunakan sebagai sistem semiotik dan didukung oleh variabel konteks, yaitu ‘field’, ‘tenor’, dan ‘mode’ Martin 1992:502. Berkaitan dengan penilitian ini, yaitu sistem dan struktur percakapan dalam bahasa karo, maka konteks budaya, yaitu budaya rebu akan mempengaruhi sistem dan struktur percakapan, yakni peran dari setiap antarpemakai bahasa yaitu pembicara dan lawan bicara. Selain konteks budaya, konteks situasi juga memberikan pengaruh terhadap sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. Konteks situasi dalam penelitian ini dibagi atas dua bagian, yaitu konteks situasi biasa dan konteks situasi tidak biasa. Konteks situasi biasa adalah situasikegiatan yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa Karo, misalnya kegiatan di rumah tangga, di warung, di pasar dan acara perkawinan. Konteks situasi tidak biasa adalah situasikegiatan yang jarang dilakukan oleh penutur bahasa Karo. Kegiatan yang termasuk di dalam konteks situasi tidak biasa adalah acara memasuki rumah baru ‘mengket rumah’ dan kematian ‘si mate-mate’ .Acara perkawinan sebagai salah satu kegiatan budaya dikategorikan dalam konteks situasi biasa sedangkan acara memasuki rumah baru ‘mengket rumah’ dan kematian ‘si mate- mate’ dikategorikan ke dalam konteks situasi tidak biasa karena kedua acara ini tidak biasajarang dilakukan oleh penutur bahasa Karo mengingat biaya yang dibutuhkan untuk mengadakan masing-masing kegiatan tersebut sangat besar. Universitas Sumatera Utara 82

2.1.11 Peraturan Berbicara

Agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan diterima oleh masyarakat dalam berbagia situasi, dalam hal ini komunikasi secara lisan atau lebih tepatnya disebut berbicara, maka seseorang hendaknya mengetahui aturan-aturan dalam berbicara. Peraturan berbicara ini berkaitan dengan sosial budaya dari penutur bahasa, yaitu apa yang dapat dan tidak dapat diucapkan oleh seseorang kepada siapa dan dalam situasi apa. Pada budaya tertentu, jika seseorang tidak mengindahkan peraturan tersebut, maka dia disebut tidak sopan, tidak beradat, kasar dan sebagainya. Pembicaraan atau komunikasi yang terjadi di masyarakat pada umumnya diawali dengan phatic communion yaitu interaksi verbal yang terjadi antara dua orang yang bertemu, yakni ucapan salam antara lain, apa kabar, mau kemana, apakah tidak sibuk, dan sebagainya. Komunikasi verbal ini tidak bermakna tetapi memiliki makna sosial yang signifikan yakni membantu membangun hubungan antara mereka yang dapat juga bermanfaat sebagai sarana masa pemanasan ‘warming up period’ Kemudian pembicaraan berarah kepada tujuan yang disebut dengan masa pemanasan ‘warming up’ dan akhirnya bermuara pada maksud sebenarnya ‘actual message’ Dengan kata lain, terjadi ketidaklangsungan dalam pertukaran pengalaman. Ketidaklangsungan merupakan salah satu peraturan berbicara yang terdapat di masyarakat, antara lain pada suku batak, yaitu batak Karo, batak Tapanuli, batak Simalungun, dan juga suku Melayu baik suku Melayu di Indonesia, Malaysia dan Brunai. Ketidak langsungan dalam masyarakat Melayu di Malaysia berdasarkan sifatnya dibagi atas empat, yaitu berbasa-basi ‘Beating about the Bush’, penggunaan imajinasi, penggunaan kontradiksi, dan penggunaan perwakilan. Tiga jenis pertama melibatkan pembicara dan orang yang dibicarakan, atau pembawa pesan dan penerima pesan. Jenis terakhir melibatkan pembawa Universitas Sumatera Utara 83 pesan, pembicarapenyampai pesan, dan pendengar Asmah Haji Omar, 1995:48 dalam Majid dan Baskaran. Selanjutnya, Asmah Haji Omar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Beating about the Bush adalah ketidaklangsungan penutur dalam menyampaikan maksud sebenarnya kepada petutur. Penutur ketika memohon sesuatu kepada penutur mengawalinya dengan membicarakan sesuatu baik yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan maksud sebenarnya yang biasa disebut dengan istilah berbasa-basi. Misalnya, seorang anak lelaki yang ingin bapaknya membeli sepeda motor untuknya, dia akan mengawalinya dengan berkata bahwa jika dia memiliki sepeda motor dia tidak akan terlambat pergi kuliah, dia dapat mengantar ibunya bila mana diperlukan, ongkos yang dibutuhkan untuk transport tidak besar jumlahnya atau dia dapat berhemat. Dengan kata lain, dia tidak meminta secara langsung kepada bapaknya, “Pak beli sepeda motor saya”. Ketidaklangsungan percakapan yang menggunakan basa-basi digambarkan seperti figura berikut: Figura 2.8 Percakapan yang diawali dengan basa-basi “Beating about the Bush” Selain memohon, memuji juga dilakukan secara tidak langsung. Misalnya, ketika memuji makanan seseorang yang lezat rasanya dan memuji pakaian yang sangat bagus digunakan kalimat sebagai berikut: ”dalam membuat makanan ini tentu dibutuhkan waktu yang lama” dan “seluar ini pasti dijahit oleh penjahit ternama”. Phatic Communion ‘basa-basi’ Warming- up ‘pra wacana’ Actual Message ‘wacana sebenarnya’ Universitas Sumatera Utara 84 Dalam suku Karo ketidaklangsungan seperti di atas juga terjadi, misalnya dalam melarang, memuji dan meminta maaf. Contoh-contoh berikut merupakan ketidaklangsungan yang digunakan suku Karo dalam memuji, meminta maaf , dan melarang. Melarang: Adi banci ula sendah kam reh ‘Kalau bisa jangan hari ini kau datang’ Memuji : Enggo bagi rumah pejabat kap rumah ndu enda ‘Sudah seperti rumah pejabat rumah mu ini’ Minta maaf: Enggo ndekah nge kam nimai aku mama, picet ka ndai dahinku ‘Sudah lama paman menunggu, banyak pula tadi pekerjaanku’ Imajinasi sebagai salah satu jenis ketidaklangsungan digunakan baik dalam percakapan dan karya sastra tetapi lebih banyak digunakan penulis dalam karya sastra, yaitu pantun. Pantun sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam bentuk tulisan dan juga digunakan secara lisan. Secara lisan pantun digunakan antara lain oleh suku Aceh, Minangkabau, dan di Indonesia maupun Malaysia dalam upacara perkawinan. Kontradiksi teknik merupakan jenis ketidaklangsungan yang digunakan untuk menekan atau menghilangkan rasa kesombongan penutur dan petutur dalam situasi yang berlawanan dan ramah tamah. Tuan rumah yang telah menyediakan berbagai jenis makanan mempersilahkan tamunya dengan mengatakan: “Tidak ada apa-apa. Silahkan makan apa adanya.” Penggunaan perwakilan merupakan ketidaklangsungan jenis ketiga dimana dalam berkomunikasi atau bertukar pengalaman para penutur dan petutur menggunakan perwakilan. Hal ini disebabkan oleh konteks budaya yang dianut mereka tidak membenarkan mereka bertukar pengalaman secara langsung. Penggunaan perwakilan ini disebabkan terjadinya celah, jarak atau batasan yang berkaitan dengan usia, status, hubungan kekerabatan dan sebagainya. Suku Karo, suku Melayu baik di Malaysia dan Indonesia menggunakan perwakilan dalam Universitas Sumatera Utara 85 berbagai upacara perkawinan, yaitu perwakilan dari pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan dalam meminang dan bermusyawarah. Situasi percakapan yang menggunakan perwakilan tersebut dapat digambarkan dalam Figura 2.9. Figura 2.9: Komunikasi Verbal Aktif Semua jenis ketidaklangsungan tersebut di atas juga merupakan kesantunan Holmes, 2003. Hal demikian juga terjadi dalam suku Karo untuk meminta maaf, memohon memerintah, memuji, melarang dan ucapan berlangsungkawa dilakukan secara tidak langsung Ginting, 2005. Selanjutnya Ginting 2005 menyatakan bahwa ketidaklangsungan tersebut dilakukan berdasarkan hubungan kekerabatan penutur dan petutur serta usia. Ketidaklangsungan dalam berbicara yang menggunakan perwakilan di dalam suku Karo disebut rebu. Figura 2.10: Komunikasi yang Menggunakan Perwakilan Manusia Selain dalam upacara perkawinan, perwakilan juga digunakan suku Karo dalam berkomunikasi atau bertukar pengalaman yang disebabkan oleh hubungan kekerabatan. Seperti Pembawa pesan penerima pesan Perwakilan Perwakilan Penerima pesan Pembawa pesan Pembawa pesan penerima pesan Perwakilan manusia Penerima pesan Pembawa pesan Universitas Sumatera Utara 86 yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam suku Karo menantu laki-laki tidak dapat berbicara langsung dengan mertua perempuan dan sebaliknya mertua laki-laki tidak dapat berbicara secara langsung dengan menantu perempuan. Istri tidak dapat berbicara langsung dengan suami dari adik perempuan suami ipar beripar dan sebaliknya. Komunikasi hanya dapat dilakukan dengan perantara. Komunikasi ini digambarkan seperti pada Figura 2.10. Jika antara partisipan tersebut tidak ada perwakilan dan komunikasi terpaksa dilakukan, maka perwakilan yang digunakan adalah benda tidak bernyawa atau partisipan menyampaikan pesannya dengan menyebutkan seseorang yang tidak berada di tempat komunikasi . Komunikasi seperti ini dapat digambarklan dalam figura berikut. Figura 2.11: Komunikasi yang Menggunakan Perwakilan Non Manusia

2.1.12 Budaya Karo dan Bahasa Karo

Seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa bahasa dipengaruhi oleh lingkungan semiotiknya, yaitu ideologi, budaya dan konteks sosial. Demikian juga halnya dengan bahasa Karo, beberapa budaya Karo mempengaruhi sistem dan struktur percakapan dalam bahasa tersebut. Bagaimana budaya dan jenis budaya apa yang mempengaruhi bahasa Karo, maka perlu dipaparkan apa yang dimaksud dengan budaya serta hubungan keduanya, yaitu budaya dan bahasa Karo. Pembawa pesan Penerima pesan Perwakilan benda tidak bernyawa seseorang yang tidak hadir Penerima pesan Pembawa pesan Universitas Sumatera Utara 87 Berbagai definsi tentang budaya dihasilkan oleh antropolog berdasarkan paradigma yang mereka miliki. Salah satu di antaranya adalah definisi yang dibuat oleh Koentjaraningrat. Menurut Koentjaraningrat 1996:72. Kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang dijadikan miliknya dengan berlajar. Dalam hal yang sama, namun lebih komprehensif, Sibarani 2004:5 mendefinsikan budaya sebagai berikut. “Kebudayaan adalah keseluruhan kebiasaan kelompok masyarakat yang tercermin dalam pengetahuan, tindakan dan hasil karyanya sebagai makhluk sosial yang digunakan untuk memahami lingkungannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya untuk mencapai kedamaian dan atau kesejahteraan hidupnya”. Selanjutnya Sibarani menjelaskan bahwa definisi tersebut memperlihatkan adanya tiga wujud kebudayaan, yaitu ide atau gagasan, tindakan atau aktivitas, dan artifak atau hasil karya. Sepanjang masyarakat memiliki kebiasaan dalam ketiga wujud tersebut, maka sepanjang itu pulalah masyarakat memiliki budaya itu. Ide atau gagasan sebagai salah satu wujud budaya mendasari kedua wujud budaya lainnya, yaitu aktivitas dan hasil karya. Hal ini dapat dijelaskan bila dikaitkan dengan salah satu budaya Karo, yakni budaya rebu. Ide atau gagasan yang muncul sebelumnya bahwa berbicara langsung antara suami dan mertua perempuan atau antara mertua laki-laki dan menantu perempuan serta antara ipar beripar akan berdampak pada keharmonisan rumah tangga dan kerabat Konsekuensinya penutur bahasa Karo melakukan tindakan yaitu tenor-tenor tersebut tidak dibenarkan berkomunikasi secara langsung. Kondisi demikian menghasilkan karya, yakni rebu. Dari penjelasan ini dapat ditemukan adanya tiga wujud budaya, yakni keharmonisan rumah tangga dan kerabat sebagai ide atau gagasan, tidak melakukan komunikasi secara langsung sebagai tindakan, dan rebu sebagai hasil karya. Universitas Sumatera Utara 88 Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa idelogi, budaya, konteks sosial dan bahasa membentuk lingkungan semiotik bahasa yang berstrata. Ideologi, budaya dan konteks sosial direalisasikan oleh bahasa karena bahasa merupakan wujud yang paling konkret Halliday,1984. Oleh karena itu budaya dan bahasa erat kaitannya dan keduanya saling mempengaruhi, saling mengisi dan berjalan berdampingan. Dengan kata lain, budaya dapat dipelajari melalui bahasa dan bahasa dipelajari dalam konteks budaya Sibarani, 2004. Jika dilihat dari fungsinya, bahasa juga erat kaitannya dengan budaya karena salah satu fungsi bahasa adalah fungsi kebudayaan Nababan, 1986. Segala sesuatunya tentang budaya hanya dapat disampaikan atau diterangkan dengan bahasa. Demikian pula halnya dengan kebudayaan Karo, di dalam pelaksanaannya melibatkan bahasa Karo, antara lain dalam perkawinan, kematian, memasuki rumah baru, memberi makan orang yang sudah lanjut usia, dan sebagainya. Bahasa Karo merupakan salah satu sub bahasa Batak yang terdapat di Pulau Sumatera, yaitu bahasa Batak Toba, bahasa Batak Mandailing, bahasa Batak Simalungun, dan bahasa Batak Dairi. Bahasa Karo sedikit berbeda dengan bahasa Batak lainnya karena bahasa Karo penggunaannya dalam percakapan sangat dipengaruhi oleh sistem kekerabatan sangkep geluhdaliken sitelu dan rakut sitelu. Secara etimologi sangkep geluh bermakna kelengkapan hidup. Suku Karo beranggapan bahwa segala aktivitasnya tidak berjalan dengan baik bila tidak melibatkan sangkep geluh yang terdiri dari senina, anak beru dan kalimbubu. Daliken sitelu secara etimologi bermakna tungku yang tiga dan rakut sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya, setiap penutur suku Karo dalam kehidupan sehari-harinya tidak terlepas dari ketiga unsur tersebut, yaitu kalimbubu, senina, dan anak beru Brahmana, 2008; Prints, 2004. Universitas Sumatera Utara 89 Sistem kekerabatan ‘sangkep geluh’ secara garis besar terdiri dari senina, anak beru dan kalimbubu tribal collobium. Pusat dari ‘sangkep geluh’ adalah ‘sukut’ orang yang bertanggungjawab dalam hal ini adalah keluarga dekat dan sukut inilah yang akan menentukan ‘sangkep geluh’. Oleh karena itu, ‘sangkep geluh’ akan diketahui apabila sudah diketahui ‘sukut’ dari suatu kegiatan. Figura 2.12 memperlihatkan bagaimana kedudukan ‘sangkep geluh’ dalam suku Karo. Figura 2.12 Sistem Kekeluargaan Masyarakat Karo Untuk memahami bagaimana sistem kekerabatan ‘sangkep geluh’’daliken sitelu’ terbentuk dalam suku Karo, terlebih dahulu diketahui struktur garis keturunan dalam suku ini lineage. Garis keturunan suku Karo besifat bilateral, yaitu garis keturunan ditarik baik dari keturunan bapak patrilineal maupun dari pihak ibu matrilineal . Garis keturunan ini meliputi:: a Merga dan Beru adalah nama keluarga bagi anak laki-laki dan beru nama keluarga bagi anak perempuan yang berasal dari keturunan bapak. Merga ini akan diwariskan secara turun menurun. Secara garis besar merga Karo ada lima, yaitu Ginting, Tarigan, Karo-karo, Perangin- angin dan Sembiring; b Bere-bere merupakan nama keluarga yang diwariskan dari pihak ibu beru ibu; c binuang adalah nama keluarga yang diperoleh dari bere-bere bapak beru ibu dari Kalimbubu Senina Sukut Anak Beru Universitas Sumatera Utara 90 bapak; d Kempu atau perkempuun adalah nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere- bere ibunya; e Kampah adalah keluarga yang diwarisi dari bere-bere kakek atau beru dari ibunya kakek; dan f Soler merupakan nama keluarga yang diwarisi seseorang dari bere-bere nenek atau beru ibunya nenek. Garis keturunan dalam suku Karo secara jelas dapat dilihat pada Figura 2.13 . ○ Δ ○ Δ ○ Δ ○ Δ ○ Δ Figura 2.13: Garis Keturunan Suku Karo Jadi dalam suku Karo, ada enam nama keluarga yang dimiliki oleh seseorang dan keenam nama keluarga ini diperoleh dari pihak keturunan bapak dan ibu yang membentuk garis keturunan. Garis keturunan tersebut membentuk sistem kekerabatan ‘sangkep geluh’ yang diikat oleh tiga unsur, yaitu senina, anak beru, dan kalimbubu yang biasa disebut telu rakut ‘tiga pengikat’. Senina berasal dari se dan nina. Se bermakna satu, nina bermakna kata atau pendapat. Jadi senina berarti orang yang bersaudara yang sekata dan sependapat. Senina dapat dibedakan atas 1 sembuyak, yaitu orang-orang yang bersaudara satu ayah satu ibu atau satu satu kakek satu nenek sub marga; 2 gamet atau senina sikaku ranan adalah orang-orang yang memiliki merga yang sama tetapi bukan satu sub merga; 3 sierkelang ku sukut, jenis persaudaran ini x kampah x soler x binuang merga x bere-bere AKU O – Pria X – Wanita Universitas Sumatera Utara 91 terdiri dari sepemereen, separibaneen, sepengaloon, dan sendalaneen. Sepemereen persaudaran yang terjadi karena ibunya yang bersaudara sanak ibu atau dapat juga karena beru ibu sama. Separibaneen adalah persaudaraan antara orang-orang yang beristri kakak beradik atau istri mereka sama berunya. Sipengaloon adalah persaudaraan yang timbul karena anak perempuan seseorang kawin dengan laki-laki yang saudaranya mengawini istri dari merga yang sama atau merga yang berbeda kalimbubu dari suami anak perempuan. Sendalaneen persaudaraan yang terjadi akibat seseorang menjadi menantu laki-laki dari mama atau karena ia mengawini impal atau sepupu kita. Anak beru bermakna anak perempuan merupakan orang-orang yang mengambil istri dari keluarga merga tertentu. Anak beru terdiri dari dua jenis, yaitu anak beru langsung dan anak beru erkelang. Anak beru langsung terdiri dari anak beru angkipampu, anak beru darehanak beru ipupus, anak beru cekuh baka, anak beru cekuh baka tutup, dan anak beru tua. Anak beru erkelang dibedakan atas anak beru sepemereen, anak beru menteri, anak beru ngikuri, anak beru singikuti, anak beru pengapit dan Anak beru sepemereen Kalimbubu adalah persaudaraan yang terjadi dari pihak perempuan apakah dari pihak nenek, ibu maupun istri. Kalimbubu ini disebut juga dibata ni pengidah Tuhan yang kelihatan karena kedudukan kalimbubu ini sangat dihormati, disegani dan dituruti. Kalimbubu terdiri dari kalimbubu si langsung ku sukut dan kalimbubu erkelang ku sukut. Kalimbubu si langsung ku sukut terdiri dari lima lapis, yaitu 1 kalimbubu iperdemui, yaitu orang tua atau saudara dari istri seseorang; 2 kalimbubu si mada dareh adalah orang tua dan saudara laki-laki ibu; 3 kalimbubu bapa binuang adalah kalimbubu dari pihak bapak; 4 kalimbubu nini kampah adalah kalimbubu kakek atau bapak dari bapak sering disebut kalimbubu bena-bena; 5 kalimbubu tua adalah adalah kelompok yang secara terus menerus Universitas Sumatera Utara 92 memberikan anak perempuan mereka kepada keluarga tertentu mulai dari nenek kepada kakek, ibu kepada ayah, anak perempuan kepada anak laki-laki keluarga tertentu tersebut. Kalimbubu erkelang ku sukut terdiri dari: 1 puang kalimbubu adalah paman ibu; 2 puang nu puang adalah kalimbubu dari puang kalimbubu; 3 kalimbubu sepemeren adalah sepemeren dari paman atau turang sepemreen dari ibu. Dari sistem kekerabatan di atas terbentuk hubungan kekerabatan dalam suku Karo, yaitu senina, impal, silih, mami,mama, bibi, bengkila, dan turangku. Hubungan kekerabatan ini juga digunakan sebagai tutur sapaan. Uraian sistem kekerabatan suku Karo di atas dikenal dengan istilah merga silima tutur siwaloh rakutna telu Lima marga, delapan hubungan.dan tiga pengikat Merga silima terdiri dari Ginting, Tarigan, Sembiring, Karo-karo dan Perangin-angin.Tutur siwaloh merupakan hubungan kekerabatan yang terjadi karena adanya perkawinan di antara marga– marga tersebut, yaitu Senina, Impal, Silih, Mami, Mama, Bibi, Bengkila dan Turangku. Selanjutnya sistem kekerabatan tersebut diikat oleh tiga hubungan besar, yaitu Senina, Anak beru dan kalimbubu. Sistem kekerabatan ini akan menentukan aktivitas masyarakat Karo dalam mempertukarkan komoditas berupa informasi, barang dan jasa. Dalam Suku Karo, tidak semua partisipan yang terlibat dalam tutur si waloh dapat saling mempertukarkan komoditas secara langsung. Komunikasi di antara mereka dilakukan dengan perantara, perantara dapat berupa orang ketiga maupun benda dan kondisi ini disebut rebu. Tetapi komunikasi secara tertulis dapat dilakukan. Misalnya, seorang menantu laki-laki tidak dapat berbicara langsung dengan ibu mertua ‘kela dan mami’ demikian juga bapak mertua dengan menantu perempuan ‘bengkila dan permaen’. Suami adikkakak perempuan tidak bisa berbicara langsung dengan istrisuaminya ‘turangku’. Oleh karena itu, rebu merupakan budaya yang terdapat dalam bahasa Karo yang Universitas Sumatera Utara 93 kondisinya ditentukan oleh hubungan pembicara dan lawan bicara serta konteks situasi pembicaraan.

2.1.13 Penelitian terdahulu yang Relevan

Penelitian yang berkaitan dengan analisis percakapan telah dilakukan di berbagai bahasa. Penelitian tentang analisis percakapan yang berdasarkan teori Linguistik Sistemik tidak banyak dilakukan di Indonesia. Femi Akindele 1986 meneliti struktur percakapan di rumah tangga di Nigeria. Bahasa yang diteliti adalah bahasa Inggris sebagai bahasa kedua. Fokusnya adalah menemukan partisipan yang membuka atau memulai percakapan ‘initiate conversation’ berdasarkan pertukaran struktur ‘exchange structure’. Penelitian ini dilakukan bedasarkan pendekatan LSF, yakni dengan melihat dalam bentuk kalimat apa pembukaan percakapan direalisasikan. Ditemukannya bahwa orang tua mendominasi dan mengontrol percakapan. Orang tua dalam membuka percakapan menggunakan berbagai jenis inisiasi kecuali jenis permisi minta izin. Sementara anak tidak dapat membuka percakapan dengan jenis direktif baik yang positif maupun negatif. Femi Akindele dalam Steiner, Erich H. Dan Robert Velman. 1988. Ventola 1987 melakukan penelitian tentang percakapan yang terjadi antara penjual dan pembeli dalam berbagai bidang, antara lain, penjualan tiket, toko buku, kantor pos dan sebagainya. Penelitian yang dilakukannya adalah menemukan struktur interaksi sosial dalam layanan jual beli berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Ventola menganalisis beberapa hal dalam struktur percakapan jual belilayanan yaitu: 1 struktur percakapan mencakup pertukaran struktur ‘exchange structure’ dan fungsi ujar ‘speech function’; 2 Universitas Sumatera Utara 94 struktur percakapan dan unsur struktur generik ‘generic structure elements’ 3 lexical cohesion; dan 4 Kata ganti ‘reference’. Ventola menemukan pola wacana di kelas yang berbeda dari yang ditemukan Sinclair and Coulthard 1975. Dia juga menemukan kata ganti yang khas dalam wacana kelas. Tucker 1988 meneliti realisasi lekxicogrammar dan prosodi permohonan yang dilakukan pembeli di toko buku di Central London. Prediksi yang dilakukan sebelumnya bahwa realisasi lexicogrammar dan prosodic dalam tindak tutur permohonan tidak langsung menentukan speech function tetapi menghubungkan tindak tutur terhadap konteks. Tetapi penelitiannya menunjukkan bahwa permohonan yang disampaikan dipilih secara selektif yang dilakukan dengan sangat luar biasa sehingga menghasilkan sistim linguistik yang dapat merajut permohonan dalam konteks tersebut. Akibatnya permohonan yang disampaikan berhasil dan berterima. Dalam hal ini pembeli tidak hanya melakukan tindakan dengan sekedar ujaran ekspresi tetapi melakukan sesuatu dengan benar Tucker dalam Steiner, Erich H. dan Robert Velman. 1988. Love dan Suherdi 1996 meneliti struktur negosiasi materi perkuliahan menulis antara dosen dan mahasiswa. Negosiasi dalam penyampaian materi perkuliahan terdiri dari dua jenis, yaitu negosiasi yang terjadi ketika dosen menyampaikan materi perkuliahan dan negosiasi yang terjadi di luar penyampaian materi perkuliahan. Objek kajian mereka adalah mahasiswa yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa Kedua. Kajian mereka berdasarkan metode analisis linguistik sistemik fungsional dengan menggabungkan teori Berry 1981 dan teori Halliday 1984. Temuan penelitian ini antara lain mahasiswa lebih berperan sebagai primary knowers.Lebih banyak melakukan langkah k2 sebagai sumber informasi karena mereka datang dari budaya yang berbeda yang memiliki karakteristik penulisan yang berbeda pula. Mereka Universitas Sumatera Utara 95 juga menganalisis dinamika langkah dan menemukan satu jenis dinamika langkah di luar yang ditemukan Ventola, yaitu kelanjutan ‘sustaining’ dalam wacana kelas. Selanjutnya, Fetzer 1996 melakukan perbandingan antara bahasa Jerman dan Inggris tentang wawancara yang bersifat politik. Fokus penelitiannya adalah melihat tema apa yang ditanya pada posisi awal giliran oleh pewawancara dengan menggunakan kerangka kerja konsep tata bahasa fungsional, yaitu zona tema. Fetzer menemukan bahwa terdapat perbedaan tema pada posisi awal giliran antara bahasa Jerman dan bahasa Inggris. Data bahasa Inggris memperlihatkan bahwa tema wawancara beranekaragam, terdapat negosiasi makna antara partisipan. Dalam bahasa Jerman terdapat topik yang beragam tetapi cenderung textual dan topical theme dan tidak memperlihatkan adanya negosiasi makna di antara partisipan. Anita Fetzer, Universityof Lueneburg http:www.helsinki.fihumskliccaabstractssinglefetzer.pdf Salamudin 2001 menganalisis langkah percakapan sehari-hari dalam bahasa Alas berdasarkan teori Martin yakni analisis proposisi dan proposal. Analisisnya bertujuan untuk mengetahui realisasi fungsi fungsi ujar dan modus serta konteks apa yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara fungsi ujar dan modus. Temuannya menunjukkan percakapan bahasa Alas memiliki struktur, gangguan, realisasi fungsi ujar yang tidak selalu mulusliniar, konteks dapat mempengaruhi struktur percakapan, dan ucapan ‘terima kasih’ lebih berpeluang pada proposal ketimbang proposisi. Kesimpulan yang dapat diambil adalah struktur percakapan bahasa Alas unik. Saran-saran yang dapat dikemukakan agar penelitian tentang percakapan bahasa Alas lebih dikembangkan dengan memperhatikan konteks sosial dalam setiap transaksi dan interaksi dan menseimbangkan peluang antara field, tenor, dan mode. Sinar 2002 meneliti struktur wacana kuliah di Universitas Malaya, Malaysia. Temuan kajiannya menunjukkan bahwa wacana kuliah dicirikan oleh lima fase, yakni ‘consent’, Universitas Sumatera Utara 96 struktur wacana ‘discourse structure’, substansi, ‘substantion’, evaluasi ‘evaluation’, dan kesimpulan ‘conclusion’. Penelitian Sinar hampir sama dengan yang dilakukan Sinclair dan Coulthard, 1975; Edwards, 1980; Mehan 1979, yaitu wacana di kelasdi ruang kuliah. Namun Sinar lebih merinci fase wacana yang terjadi di dalam kelas menjadi lima fase dan 22 sub fase sementara Sinclair dan Coulthard; Mehan membagi fase wacana di kelas hanya dalam tiga bagian, yaitu pembukaan ’initiation’, tanggapan ‘respon’, dan penilaian ‘evaluation’, Semua penelitian terdahulu di atas dianggap relevan dengan penelitian ini mengingat keempatnya dikaji berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional. Fetzer misalnya, membandingkan bahasa Inggris dan bahasa German. Dia meneliti tema apa yang ditanya pada posisi awal giliran oleh pewawancara dengan menggunakan kerangka kerja konsep tata bahasa fungsional, yaitu zona tema. Penelitiannya memperlihatkan bahwa dalam bahasa Inggris tema wawancara beranekaragam, terdapat negosiasi makna antara partisipan. Sedangkan dalam bahasa Jerman terdapat topik yang beragam tetapi cenderung textual dan topical theme dan tidak memperlihatkan adanya negosiasi makna di antara partisipan. Penelitiannya menunjukkan adanya relevansi dengan penelitian ini yaitu tentang negosiasi makna antara partisipan. Penelitian Tucker adalah realisasi leksikogrammar dan prosodi permohonan dalam tindak tutur. Penelitian ini menggabungkan kajian pragmatik dan linguistik Sistemik Fungsional. Meskipun kajian ini hanya membahas dari salah satu partisipan, yaitu pembeli tapi paling tidak dapat dikatakan relevan dengan penelitian ini karena masih dalam kerangka negosiasi permohonan pembeli agar dapat diterima oleh partitispan lainnya, yaitu penjual. Penelitian yang dilakukan Femi Akindele ada hubungannya dengan penelitian ini yaitu mengkaji pertukaran struktur percakapan dengan pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional walau hanya sebatas melihat partisipan mana yang lebih dominan dan mengontrol percakapan Universitas Sumatera Utara 97 initiate conversation dengan menganalisis dalam bentuk kalimat apa pembukaan percakapan direalisasikan. Ventola, Love dan Suherdi meneliti dua hal yang agak sama hanya obyek kajian berbeda, Obyek kajian Ventola adalah wacana dalam service encounter, Love dan Suherdi dalam wacana kelas. Baik Ventola maupun Love dan Suherdi sama meneliti struktur percakapan dalam masing-masing genre tersebut Kajian Ventola lebih mendalam dan luas karena banyak aspek yang diteliti seperti yang diuraikan di atas, sementara Love dan Suherdi hanya meneliti struktur dan dinamika langkah. Apa yang dilakukan Salamudin dapat dikatakan sebagai penelitian awal yang sejenis dengan penelitian ini karena fokus kajiannya adalah melihat realisasi fungsi ujar dan modus serta konteks yang mempengaruhinya dan merupakan salah satu bahasa daerah yang terdapat di Sumatera Utara. Oleh karena itu, penelitian ini mengkaji lebih mendalam dengan memperluas dan memperbesar sumber data dengan tujuan agar memperoleh lebih besar pengaruh konteks serta menambahkan sistem sebagai salah satu unsur kajian yang tidak satupun dari penelitian- penelitian di atas mengkajinya. Dengan kata lain, penelitian ini berfokus pada fungsi bahasa antarpersona.

2.2 Konstruk Analisis Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo

Berdasarkan teori-teori yang dipaparkan di atas, maka analisis sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo dapat dikonstruksikan seperti Figura berikut. Figura 2.14 memperlihatkan bahwa dalam konteks situasi terdapat tiga unsur, yaitu pelibat ‘tenor’, ranah ‘field’ dan cara ‘mode’. Pelibat ‘tenor’ merupakan orang-orang yang terlibat di dalam percakapan dan bentuk hubungan mereka satu dengan yang lain. Universitas Sumatera Utara 98 Ideologi Budaya Situasi Tenor Ranah Mode Wacana Semantik Negosiasi Leksikogramatika Modus Identifikasi Ideasi Konjungsi Tema Rema Transitivitas Ergativitas Fonologi Grafologi Penanda Fungsi Eksperiensial Fungsi Antarpersona Konteks Situasi: 1. Biasa --- Rebu 2. Tidak Biasa Fungsi Tekstual Sistem Struktur Figura 2.14 Konstruk Analisis Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo Ginting, 2010 Pelibat berdasarkan konteks situasi akan melakukan pilihan dalam bernegosiasi. Pilihan yang dilakukan penutur dalam bernegosiasi merupakan bentuk dari modus sebagai salah satu unsur dalam leksikogramatika, yaitu transitivitasergavitas, modus, dan tema-rema. Transivitas Universitas Sumatera Utara 99 merupakan bentuk leksikogramatika yang digunakan penutur dalam memaparkan pengalamannya dan tema rema merupakan bentuk leksikogramatika dalam merangkai pengalaman. Dengan kata lain, ketiga unsur leksikogramatika berkaitan dengan meta fungsi bahasa. Berkaitan dengan penelitian ini yang memfokuskan pada fungsi bahasa antarpersona, maka dalam menukarkan pengalamannya bernegosiasi penutur bahasa Karo akan memperhatikan konteks situasi dan hubungan pelibat ‘tenor’. Konteks situasi yang dimaksud adalah konteks situasi biasa dan tidak biasa. Dalam konteks situasi biasa dan tidak biasa sebagai bentuk yang lebih konkret dari ideologi dan budaya adalah budaya rebu. Budaya rebu merupakan budaya masyarakat Karo di mana tenor-tenor tertentu tidak dapat menukarkan pengalamannya secara langsung. Dalam konteks situasi tidak biasa, yaitu kematian di mana penutur dapat berinteraksi dengan orang mati karena penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Konsekuensinya, penutur dalam menukarkan pengalamannya atau dalam bernegosiasi harus melakukan pilihan kepada siapa dalam situasi apa. Pilihan ini berkaitan dengan modus, yaitu indikatif dan imperatif. Indikatif terbagi dua deklaratif dan interogatif. Jika penutur meminta atau memberi informasi akan muncul struktur k2 atau k1 dan jika penutur meminta atau memberi barang dan jasa akan muncul struktur a2 atau a1. Dalam bahasa Karo tidak selamanya demikian. Adanya tenor yang tidak dapat berbicara langsung mengakibatkan struktur yang muncul dalam meminta dan memberi informasi adalah k2a2k1a2. Jika penutur sudah mengetahui jawaban atas pertanyaan atau jasa yang diminta, struktur percakapan yang digunakan adalah dk1 atau da1. Pilihan-pilihan yang dilakukan penutur akan membentuk satu sistem percakapan yang direalisasikan lewat struktur percakapan Universitas Sumatera Utara 100 BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan, Rancangan dan Alur Penelitian