Latar Belakang Masalah Nama

13 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berbicara merupakan satu cara yang dilakukan seseorang untuk mentransaksikan komoditas berupa informasi, barang dan jasa. Dengan kata lain, jika dua orang terlibat dalam percakapan mereka saling mempertukarkan informasi, jasa atau barang. Kegiatan ini terjadi disebabkan pembicara tidak dapat memenuhi sendiri kebutuhannya. Agar komoditas yang disampaikan dapat dipahami dan selanjutnya direspon oleh pendengar dibutuhkan kemampuan untuk mentransaksikan komoditas itu. Keefektifan interaksi atau komunikasi verbal ditentukan oleh faktor yang berkaitan dengan bahasa itu sendiri dan faktor-faktor lain di luar bahasa yang disebut dengan konteks sosial. Dengan kata lain, penutur juga harus memperhatikan norma- norma sosial budaya dari bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti cara berbicara, jarak penutur dan petutur, jenis kalimat atau ekspresi yang digunakan, kepada siapa, kekuatan suara dan sebagainya Harmer, 2003:247. Jika hal ini tidak diperhatikan maka tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Suku Jawa misalnya, berbicara dengan suara yang lembut merupakan keharusan dan jika berbicara dilakukan dengan suara keras, maka penutur dapat dikatagorikan kurang atau tidak sopan. Lain pula halnya dengan suku Karo, atau suku batak pada umumnya, berbicara dengan suara keras bukanlah merupakan hal yang terkait dengan tingkat kesopanan. Universitas Sumatera Utara 14 Penutur bahasa Karo dalam berkomunikasi hubungan partisipan menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Seorang menantu perempuan misalnya tidak bisa berbicara secara langsung dengan bapak mertua dan jika hal ini dilanggar maka menantu tersebut dikatagorikan tidak atau kurang beradat. Fenomena ini menimbulkan satu istilah di Sumatera Utara yaitu: “Orang Jawa sopan tapi tak beradat sementara orang batak beradat tapi tak sopan”. Hal ini bermakna bahwa konteks sosial sangat menentukan keberhasilan komunikasi. Berbicara tentang budaya tidak terlepas dari adat istiadat karena nilai-nilai budaya merupakan tingkat yang tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat Sibarani, 2004. Akibatnya, penutur bahasa Karo yang melanggar budaya disebut sebagai orang yang kurang beradat Penggunaan bahasa yang berterima merupakan salah satu unsur budaya yang menjadi tolak ukur untuk menyatakan seseorang berbudaya. Oleh karena itu, sudah seharusnya penutur mempertimbangkan konteks sosial dalam penggunaan bahasa agar komunikasi berjalan lancar serta informasi yang diinginkan penutur dapat terpenuhi. Bahasa yang digunakan oleh penutur dalam mengekspresikan informasi terkait dan termotivasi oleh konteks sosial. Dalam teori Lingusitik Sistemik Fungsional yang selanjutnya disingkat dengan LSF konteks sosial terdiri atas tiga strata, secara berurutan dari yang tertinggi atau paling abstrak ke konkret meliputi meliputi ideologi, budaya, dan konteks situasi register. Dalam teori LSF bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman. Ideologi, budaya dan situasi yang berbeda berpotensi membentuk realisasi bahasa yang berbeda pula. Konteks situasi yang terdiri atas tujuh faktor, mempengaruhi situasi percakapan. Ketujuh faktor itu adalah latar, partisipan, tujuan, bentuk atau isi percakapan, cara, media, norma-norma, dan ranah komunikasinya Hymes, 1974. Universitas Sumatera Utara 15 Konsekuensinya dalam berkomunikasi atau dalam menukarkan pengalamannya, penutur harus memperhatikan ketujuh faktor tersebut agar percakapan dapat berlangsung dengan lancar. Konteks situasi pada penutur tertentu sangat berpengaruh terhadap tuturan yang akan disampaikan sehingga penutur harus melakukan pilihan ujaran berdasarkan kepada siapa berbicara dan dalam situasi apa. Penutur akan memilih ujaran yang berbeda ketika berbicara dengan atasan dan bawahannya. Demikian pula dalam konteks situasi yang berbeda serta topik yang berbeda penutur akan menggunakan ujaran yang berbeda pula. Pilihan-pilihan ujuran tersebut disebut sebagai sistem percakapan. Pilihan-pilhan ujaran ini akan berpengaruh terhadap struktur percakapan. Jika konteks sosial menentukan pemakaian bahasa, sistem dan struktur percakapan ditentukan oleh bentuk sosial itu. Struktur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dimotivasi oleh fungsi bahasa. Dengan kata lain, bahasa atau teks yang digunakan terstruktur sesuai dengan tujuan pemakaian bahasa atau fungsi bahasa yang digunakan. Struktur percakapan yang melibatkan dua sisi peserta percakapan akan berbeda dari satu budaya dan situasi dengan budaya dan situasi yang lain. Dalam percakapan, penutur dan petutur melakukan langkah ‘move’ berupa peran memberi atau menerima informasi dan meminta atau memberi barang dan jasa. Dalam teks 1 A meminta informasi dan B memberi informasi. Langkah A disebut k2 ‘secondary knower’ dan B disebut k1 ‘primary knower’. Berbeda dengan teks 1, teks 2 adalah percakapan dengan komoditas barang dan jasa, A disebut melakukan langkah A2 ‘secondary actor’ dan B melakukan A1 ‘primary actor’ Langkah k2, k1, a2, dan a1 membentuk sistem jejaring ‘system network’. 1. k2 A : Mau kemana? k1 B: ke kantor 2. a2 A: tolong berikan buku itu Universitas Sumatera Utara 16 a1 B: Ini bukunya Masing-masing langkah k1, k2, a1, a2 dinyatakan atau diekspresikan dalam struktur klausa. Dalam teks 1 langkah k2 dinyatakan oleh klausa interogatif “Mau ke mana?” dan k1 dinyatakan oleh klausa elipsis “ke kantor”. Budaya Karo memiliki sistem kekerabatan yang berbeda dari budaya lain atau sub budaya yang dekat, yakni budaya Batak lainnya, seperti batak Toba, Batak Simalungun, Batak Dairi, dan Batak Mandailing. Hubungan kekerabatan dalam budaya Karo berpengaruh terhadap interaksi sosial masyarakatnya. Ini berarti bahwa konteks sosial berpengaruh tidak hanya sampai pada tingkat peran sosial setiap individu dalam berbagai kegiatan sosial, tetapi juga tercermin dalam struktur bahasa serta sistem dan struktur percakapan. Berdasarkan hubungan kekerabatan dalam suku Karo terdapat budaya ‘Rebu’, di mana penutur dan petutur tertentu tidak dapat melakukan komunikasi lisan secara langsung, yaitu antara mertua laki-laki dengan menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki- laki, antara suami dengan istri dari abang atau adik istri, dan antara istri dengan suami dari kakak atau adik suami. Komunikasi yang terjadi antara masing-masing partisipan tersebut dilakukan melalui perantara dan perantara ini dapat berupa manusia atau benda. Di daerah langkat sebagai salah satu daerah yang banyak terdapat penutur bahasa Karo, penggunaan benda sebagai perantara sudah jarang dilakukan. Tenor-tenor seperti yang disebutkan di atas, ketika mereka harus berkomunikasi mereka memerintah seseorang yang tidak berada ditempat di mana komunikasi berlangsung. Orang yang disebut biasanya adalah kerabat dekat, misalnya cucu, anak, istri, atau suami. Berikut contoh percakapan yang bersifat hipotetikal antara menantu perempuan dan mertua laki-laki. Menantu Perempuan: Manken ningen man bulang ndu e Ani Universitas Sumatera Utara 17 ‘Suruh makan kakek mu, Ani’ Mertua laki-laki : Tik nari ningen man nande ndu kempu ’ Sebentar lagi bilang sama mamak cucu ’ Menantu Perempuan: Ula kari masuk anginka bulangndu adi melaunsa ia man ‘Jangan nanti masuk angin kakekmu jika terlalu lama dia makan’ Mertua laki-laki: Tidak menjawab non verbal Percakapan di atas antara mertua laki-laki dan menantu perempuan di mana seharusnya mereka tidak dapat berkomunikasi langsung, namun karena tidak ada orang lain yang dapat dijadikan perantara mereka menyebutkan seseorang dalam hal ini cucu atau anak mereka yang tidak berada di tempat. Percakapan juga sangat singkat di mana di akhir percakapan mertua laki-laki tidak menjawab. Hal ini wajar terjadi karena budaya tidak membenarkan mereka berkomunikasi secara langsung. Konsekuensinya penutur bahasa Karo harus melakukan pilihan berdasarkan hubungannya dengan mitra bicaranya. Keadaan ini tidak sama dengan giliran percakapan ‘turn– taking’ di mana peserta percakapan memperoleh kesempatan berbicara dengan memperhatikan tanda-tanda secara visual dan verbal dari lawan bicara. Meskipun partisipan tertentu tidak dapat berbicara secara langsung namun mereka tetap memenuhi aturan giliran percakapan. Contoh berikut merupakan percakapan yang bersifat hipotetikal antara menantu laki-laki dan mertua perempuan. Suami: Sungkun mami ah pukul piga kari ia itaruhkan ‘Tanya ibu jam berapa nanti dia diantarkan’ Istri: Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan ‘ Apakah mamak dengar Jam berapa nanti mamak diantar’ Ibu dari istri: Kai kin nina kela ena? ‘Apa yang diucapkan menantu itu?’ Istri: Jam piga kari kam itaruhkan? ‘Jam berapa nanti mamak diantarkan?’ Ibu dari Istri: Jam telu ‘jam tiga’ Percakapan ini memiliki langkah sebagai berikut Universitas Sumatera Utara 18 a2 : Sungkun mami ah pukul piga kari ia itaruhkan ‘Tanya ibu jam berapa nanti dia diantarkan’ a1 k2: Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan. ‘Dengar mamaknya itu. Jam berapa nanti mamak diantarkan’ cl : Kai kin nina kela ena? ‘Apa rupanya dibilang menantu itu’ rcl : Jam piga kari kam taruhkan ‘Jam berapa nanti mamak diantarkan’ k1 : Jam telu ‘jam tiga’ Sebenarnya percakapan di atas memiliki langkah yang sangat sederhana bila diacu kepada sistem yang diusulkan Martin 1992, yaitu: k2: menantu laki-laki: Jam piga kam itaruhken mami? ‘Jam berapa nanti mamak diantarkan’ k1: ibu mertua : Jam telu ‘jam tiga’ tetapi karena adanya budaya ‘rebu’ langkah k1 informasi direalisasikan atau di transfer dengan penutur yang lain, yaitu menantu melakukan pilihan yang berbeda dari yang diusulkan Martin 1992 dalam meminta informasi. Dalam hubungan tenor seperti di atas, penutur harus melakukan pilihan, misalnya dalam meminta informasi k2, penutur tidak dapat memintanya langsung melainkan harus memerintahkan orang lain a2 sehingga struktur yang terbentuk dalam meminta informasi adalah k2 yang direalsiasikan oleh a2 k2a2. Menurut Martin 1992 struktur percakapan dalam meminta informasi adalah k2 k1 k2f k1f yang berarti bahwa k2f dan k1f bersifat mana suka ‘optional’ seperti contoh berikut: k2 : A : Kuja lawesna Budi ndai? ‘Kemana perginya si Budi’? k1 : B : Ku rumah mamana ‘Ke rumah pamannya’. k2f : A : Bujur ya ‘Terima kasih ya’. k1f : B : Ue ‘Ya’ Struktur yang diperoleh berdasarkan percakapan dalam bahasa Karo di atas adalah: Universitas Sumatera Utara 19 a2 a1k2 cl rcl k1. Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa sistem dan struktur percakapan antara menantu laki-laki dan mertua perempuan pada suku Karo dalam meminta informasi berbeda dan tidak memenuhi sistem dan struktur percakapan yang diusulkan Martin 1992 dan ini merupakan permasalahan penting dalam penelitian ini. Perbedaan sistem dan struktur percakapan antara satu budaya dengan budaya yang lain dapat menimbulkan kesenjangan atau kesalahpahaman dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi yang terjadi antara penutur bahasa Karo dengan penutur di luar bahasa Karo. Dalam budaya Karo meminta tolong atau memerintah tidak dapat dilakukan secara langsung terutama bagi tenor yang mempunyai status yang tidak sama atau dihormati. Misalnya terhadap kalimbubu, puang kalimbubu, mertua laki-laki terhadap menantu laki-laki, mertua perempuan terhadap menantu perempuan dan sebaliknya. Bentuk-bentuk kalimat yang digunakan dalam meminta tolong dan memerintah akan berbeda berdasarkan hubunganstatus tenor. Kalimat yang digunakan diawali dengan pernyataan akan kesediaan tenor, misalnya seorang mertua laki-laki yang meminta tolongmemerintah menantunya menggunakan kalimat sebagai berikut, Adi la kam sibuk taruhkendu aku pagi ndahi nini bulangndu ‘Jika kau tidak sibuk antarkan aku besok mengunjungi kakekmu’. Dalam hal ini mertua laki-laki tidak memerintah secara langsung atau menggunan kalimat perintah melainkan menggunakan ‘pre request’. Berbeda halnya jika dia memerintah atau minta tolong kepada anaknya, dia akan menggunakan kalimat imperatif Taruhken aku pagi ndahi nini bulangndu ‘Antarkan aku besok mengunjungi kakekmu’. Budaya suku Karo lainnya yang juga memberi pengaruh terhadap sistem dan struktur percakapan adalah percakapan yang terjadi dalam upacara perkawinan. seperti meminang embah Universitas Sumatera Utara 20 belo selambar’, bertunangan ‘nganting manok’dan pesta pernikahan ‘mata kerja’. ’ Percakapan dalam upacara perkawinan tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung oleh orang tua laki-laki terhadap orangtua perempuan meskipun mereka telah saling mengenal sebelumnya. Percakapan harus dilakukan melalui perantara yaitu pihak anak beru laki-laki dan pihak anak beru perempuan. Hal ini berakibat terbentuknya struktur percakapan yang sangat dinamis dan rumit. Selain itu, budaya rebu yang terdapat di dalam penutur bahasa Karo berpotensi membentuk metafora yang bukan hanya metafora leksis dan gramatika melainkan juga metafora langkah, metafora modus, dan metafora kontekstual dengan jenis pelibat. Penutur bahasa Karo melakukan pilihan-pilihan ujaran berdasarkan hubungan kekerabatan sehingga terjadi ketidaksesuaian fungsi ujar dan modus. Konsekuensinya terbentuk metafora modus. Demikian juga dengan konteks situasi seperti situasi kematian, penutur bahasa Karo memperoyeksikan dirinya seperti orang yang mati sehingga terjadi interaksi antara penutur dan orang mati. Situasi demikian berpotensi terjadinya metafora yang disebut sebagai metafora kontekstual dengan jenis pelibat. Ketikdaksesuaian fungsi ujar dengan modus dan pemeroyeksian diri sebagai orang mati dikatakan metafora karena terdapat pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Hal ini sesuai dengan perspektif semiotik tentang metafora, yakni pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Satu arti atau konsep dimaknai dari dua sisi. Dengan kata lain, di dalam pengodean atau pemaknaan metafora secara eksplisit atau implisit terjadi perbandingan dari bentuk yang lazim menjadi bentuk yang tidak lazim. Pada umumnya interaksi percakapan terjadi sesama manusia hidup, namun dalam suku Karo terdapat budaya di mana penutur dapat berinteraksi dengan orang mati. Penutur di saat upacara kematian memberikan kata-kata sambutan berupa petuah dan nasehat serta doa tidak Universitas Sumatera Utara 21 saja kepada keluarga yang ditinggalkan, melainkan juga kepada orang mati. Penutur berdialog dengan orang yang mati dengan cara memproyeksikan dirinya sebagai orang mati sehingga terbentuklah metafora di mana penutur memaknai orang yang mati sebagai mahluk hidup yang dapat berkomunikasi. Akibatnya terbentuklah struktur percakapan yang tidak lazim. Dikatakan tidak lazim karena struktur percakapan yang terbentuk berbeda dengan struktur percakapan yang lazim seperti yang telah dipaparkan di atas. Penutur bahasa Karo tersebar di berbagai daerah di Indonesia, tetapi pada umumnya mereka terdapat paling banyak di Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Ketiga kabupaten ini berbeda dialeknya, akibatnya terdapat dua bahagian besar dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo Gugung yang terdapat di Kabupaten Karo dan dialek Karo Jahe- jahe yang terdapat di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Dialek Karo Jahe-jahe di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang juga berbeda. Perbedaan dialek ini terjadi karena masing-masing kabupaten berbatasan dengan daerah lain yang memiliki bahasa yang berbeda pula dan juga pengaruh penutur bahasa-bahasa lain yang terdapat atau bermukim di daerah tersebut. Oleh karena itu lokasi penelitian ini adalah kabupaten Karo karena diasumsikan bahasa Karo yang digunakan di daerah ini masih baku. Penelitian ini tidak berkaitan dengan dialek melainkan berfokus pada langkah-langkah percakapan yang dilakukan penutur bahasa Karo dalam menukarkan pengalamannya sehingga segala sesuatunya yang berkaitan dengan dialek, seperti kosakata, bunyi, dan struktur kalimat diabaikan dalam kajian ini.

1.2 Fokus Penelitian