Sistem Dan Struktur Percakapan Dalam Bahasa Karo

(1)

SISTEM DAN STRUKTUR PERCAKAPAN

DALAM BAHASA KARO

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Ilmu Linguistik Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara Prof. Dr. Dr. H. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp A(K)

Dipertahankan pada tanggal, 6 April 2010 Di Medan, Sumatera Utara

Siti Aisah Ginting

058107014/LNG

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

ABSTRAK

Ginting, Siti Aisah. 2010. Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. Fokus penelitian adalah menemukan sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo serta menemukan realisasi metafora di dalam sitem dan struktur tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnometodologi. Data penelitian ini adalah ujaran-ujaran yang terdapat dalam (1) kegiatan konteks situasi biasa mencakup situasi perkawinan, dan situasi sehari-hari dan (2) dalam konteks situasi yang tidak biasa yang mencakupi memasuki rumah baru dan kematian. Data diperoleh dengan cara pengamatan berperan serta. Instrumen penelitian adalah peneliti sebagai instrumen utama dilengkapi dengan lembar observasi, alat rekam gambar dan suara, lembar butir pertanyaan/ wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara paradigmatik untuk menemukan sistem percakapan dan secara sintagmatik untuk menemukan struktur percakapan berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Dalam tataran sistem percakapan ditemukan tiga jejaring percakapan, yaitu jejaring percakapan dalam konteks biasa dan jejaring percakapan dalam konteks tidak biasa mencakup jejaring percakapan memasuki rumah baru dan jejaring percakapan kematian.Baik dalam konteks biasa dan tidak biasa terdapat penutur tertentu yang tidak dapat berbicara langsung sehingga pembicaraan dilakukan dengan perantara manusia atau benda mati. Akibatnya, penutur melakukan pilihan linguistik dalam berkomunikasi. Dalam konteks tidak biasa, yaitu dalam acara memasuki rumah baru tidak terdapat interaksi verbal sedangkan dalam acara kematian ditemukan interaksi antara penutur dan orang mati di mana penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Dalam tataran struktur percakapan sebagai realisasi dari sistem percakapan ditemukan sebagian struktur percakapan yang bermarkah/berbeda dan struktur pengembangan yaitu pengembangan dari struktur yang tidak bermarkah. Lazimnya struktur percakapan memberi dan meminta informasi adalah k1 dan k2, dalam bahasa Karo selain kedua struktur tersebut terdapat struktur percakapan k1(a2) dan k2(a2) dalam memberi dan meminta informasi. Selain itu, terdapat struktur percakapan yang kompleks yang tidak hanya disebabkan oleh dinamika percakapan tetapi juga disebabkan oleh hubungan tenor dan konteks situasi. Metapora dalam bahasa Karo tidak hanya terdapat pada tataran gramatika dan leksis, tetapi juga terdapat dalam aspek lain, yakni metafora modus, metafora langkah dan metafora kontekstual dengan jenis pelibat.

Hubungan tenor sebagai unsur penentu konteks situasi dan budaya sebagai salah satu unsur dari konteks sosial secara bersama-sama mempengaruhi sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo.

Sistem dan struktur percakapan yang bermarkah ini memberi sumbangan terhadap khasanah ilmu pengetahuan khususnya kepada pengembangan teori LSF sehingga LSF dengan kajian sosial lainnya perlu dipelihara dan dipertahankan .


(3)

ABSTRACT

Ginting, Siti Aisah. 2010. Conversational System and Structure of Karonese Language. This research is aimed at discovering the conversational systems and structures of the Karonese language. Besides, it attempts to find out the causes of how such system and structure are realized. This study is based on a descriptive qualitative research that applies ethno-methodological approach. The data are utterances produced in (1) typical contexts of situation covering weddings and other ordinary events and (2) uncommon contexts of situation such as moving in to a new house and mourning. The data were collected through participant observation. The instrument was the researcher herself equipped with observation sheets, handycams, recorders, and questions for interview. The data obtained were analyzed into two ways: syntagmatically and paradigmatically. The former was done to find out the systems and the latter to determine the structures.

The results revealed that there were two conversational systems, namely, of typical and uncommon contexts. In both contexts there were speakers who are not permitted to do a direct talk, and hence, they had to speak via another person or an object. As a consequence, the speakers had to choose specific linguistic features in the communication. Specifically in the uncommon context of moving in to a new house, No interactions were found whilst in the context of mourning situation, an interaction between a speaker and the corpse took place where the speaker projected himself/herself as the dead. In the conversational structures, as the realizations of conversational systems, it was found some marked structures. These marked structures were expanded from the common ones. Normally, the structures of giving and asking for information are represented by k1 and k2, but in Karonese language there are other representations, namely k1(a2) and k2(2). In addition, there exist complex structures which were resulted not only from challenges, clarifications, confirmations, etc. but also from the relationships of tenors and contexts of situation. Metaphors in Karonese language were not merely found in grammatical and lexical aspects but in mood, move, and contextual elements as well.

The interaction of tenors as one of the situational context elements and culture as one of the cultural context elements simultaneously affect the Karonese conversational systems and structures.

The conversational systems and structures greatly contribute to social science in general and to linguistic systemic functional theory in particular, which implies the necessity to preserve the ethnic language.


(4)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah Swt atas segala rahmat, nikmat, kesabaran, kekuatan, keimanan, dan ridhaNya sehingga disertasi ini dapat penulis selesaikan. Dalam penyelesaian disertasi ini, penulis menyadari berbagai pihak dan institusi terlibat dalam bentuk dukungan moral dan materil. Untuk itu, dari lubuk hati terdalam penulis menyampaikan ucapan terimakasih

Ucapan terimakasih yang setinggi-tingginya penulis haturkan kepada promotor Prof. Amrin Sargih, M.A, Ph.D atas bimbingan, arahan dan motivasi dalam penulisan disertasi ini. Di sela-sela kesibukannya, beliau terus menerus mengingatkan penulis untuk menyelesaikan disertasi ini dan karena beliau pula penulis mengenal lebih dalam Linguistik Sistemik Fungsional. Oleh karena itu, sudah sepantasnya penulis memberikan penghargaan yang tak terhingga kepada beliau.

Penghargaan yang sama penulis haturkan kepada kedua pembimbing penulis Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S dan Dr. Berlin Sibarani, M.Pd. yang tak jemu-jemunya memberikan masukan-masukan yang bermanfaat dan berharga dalam penyelesaian disertasi ini sehingga disertasi ini dapat menjadi sebuah karya ilmiah yang layak.

Terimakasih yang tulus penulis sampaikan kepada komisi penguji, Prof. Dr. Tina Silvana Sinar, M.A., Ph.D Prof. Dr. Oktavianus, M. Hum., Prof. Dr. Busmin Gurning, M. Pd., dan Dr. Edi Setia, M.A., atas masukan-masukan berharga yang diberikan demi penyempurnaan disertasi ini.

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Sumatera Utara, Direktur Sekolah Pascasarjana beserta para Asisten Direktur serta Ketua dan Sekretaris Program


(5)

Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana, para guru besar dan doktor sebagai pengajar di Program Doktor Linguistik yang telah banyak memberikan ilmu pengetahuan yang belum penulis ketahui sebelumnya.

Terimakasih yang tidak terhingga penulis haturkan kepada Rektor dan Pembantu Rektor, Dekan dan Pembantu Dekan FBS Universitas Negeri Medan yang telah meberikan izin dan dukungan moril dan materil selama penulis mengikuti Program Doktoral.

Terimakasih yang tulus penulis haturkan kepada Almarhum ayahanda H. Dahlan Ginting dan bunda Almarhumah Hj. Anita Tarigan yang hanya berpendidikan Sekolah Dasar tapi telah menanamkan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan dalam kehidupan kepada anak-anaknya sejak dini. Kkd. Almarhum Dra. Hj. Nila Sari Ginting, M. Hum atas bantuan moril dan materil kepada penulis semasa hidupnya hingga sekarang. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa mereka.

Kepada suami tercinta H. T. Thoib, BBA, penulis haturkan terimakasih yang tidak terhingga atas kerelaan, kesabaran dan pengertian untuk ditinggalkan istri dalam jangka waktu yang panjang untuk menimba ilmu pengetahuan sejak penulis mengikuti Program Magister di Jakarta hingga penyelesaian disertasi ini. Kepada buah cinta kami Cut Rizki Leila, S.SiT, M.M., dan T. Afriza Azhar SE, kasih sayang dan perhatian yang mereka berdua berikan memotivasi penulis untuk menyelesaikan disertasi ini. Mereka telah terinspirasi mengikuti jejak-jejak bundanya dalam menimba ilmu pengetahuan. Kepada kkd tersayang Hj. Herawati Ginting, M.Sc dan H. Mukhtar Iskandar Pinem M,Sc. yang senantiasa memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi. Demikian juga kepada adinda Maimunah Ginting, B,A., dan Anisah Sarah Ginting, SS. dan keluarga serta kepada H. Abd. Rahman dan keluarga atas dukungan moral selama penulis mengikuti pendidikan baik di tingkat Magister dan Doktoral.


(6)

Terimakasih penulis sampaikan kepada ananda berdua Indra Hartoyo, S. Pd. M.Hum dan keluarga, Azhar Kasim, S. Pd. M.Hum dan Keluarga atas dukungan moril, materil, waktu, tenaga, motivasi, dan pengetahuan dari sejak penulisan proposal, pengambilan data, pengumpulan referensi hingga penyelesaian disertasi ini.

Terimakasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada Captain Chris Entwisle, B.Sc Flight Officer System Manager Thompson Airlines yang telah memberikan buku-buku terbaru dan sangat berharga sebagai referensi disertasi ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada adinda Meisuri dan Rahmah yang telah membantu dalam pengadaan referensi disertasi ini. Terimakasih yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Matius C. Sembring, M.A., dan Malem Ukur Ginting yang telah bersedia memberikan pernyataan tentang keabsahan data penelitian ini.

Terimakasih penulis sampaikan kepada teman-teman di Jurusan Bahasa Inggris FBS Unimed atas keleluasan waktu yang diberikan selama penulis mengikuti program doktoral dan juga kepada Anggraini serta Nora yang telah meringankan tugas penulis selama menyelesaikan disertasi ini.

Akhir kata, semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan teori-teori linguistik umumnya dan teori Linguistik Sistemik Fungsional khususnya.

Medan, Maret 2010


(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……….. i

ABSTRACT……… ii

KATA PENGANTAR………... iii

DAFTAR ISI……… vi

DAFTAR TABEL……… viii

DAFTAR SINGKATAN………. ix

DAFTAR SIMBOL……… x

DAFTAR IMFORMAN……….. xi

BAB I PENDAHULUAN……….. 1

1.1 Latar Belakang Masalah……….. 1

1.2 Fokus Penelitian……….. 4

1.3 Tujuan Penelitian……… 4

1.4 Manfaat Penelitian………. 4

1.5 Ruang Lingkup Penelitian………. 4

1.6 Defenisi Istilah……… 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KONSTRUK ANALISIS SISTEM DAN STRUKTUR PERCAKAPAN DALAM BAHASA 6 2.1 Kajian Pustaka……… 6

2.1Tinjauan Umum Tentang Percakapan……….……….. 6

2.2 Pendekatan Terhadap Kajian Percakapan……….. 6

2.3 Hubungan Wacana dan Konteks……… 7

2.4 Metafungsi Bahasa………..……… 8

2.5 Sistem Percakapan………..………. 9

2.6 Struktur Percakapan………..………. 14

2.7 Stratifikasi Struktur Percakapan ………..………. 22

2.8 Pertukaran, Langkah, dan Aksi …………..……… 23

2.9 Metafora ………..………… 24

2.10 Konteks Sosial 28 2.11 Peraturan Berbicara 31 2.12 Budaya Karo dan Bahasa Karo 32 2.13 Konstruk Analisis Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo…………. 35

BAB III METODE PENELITIAN………..……… 37

3.1 Pendekatan, Rancangan, dan Kerangka Model Penelitian………. 37

3.2 Lokasi Penelitian………..……… 38

3.3 Data dan Sumber data………..………... 38

3.4 Teknik Pengumpulan Data………..……… 38

3.5 Instrumen Penelitian………..………. 39

3.6 Teknik Analisis Data………..………. … 39

3.6.1 Keabsahan Data Penelitian……….. 40

BAB IV DATA DAN ANALISIS DATA………..………. 41

4.1 Paparan Data………..………. 41

4.2 Analisis Data ……….. 41


(8)

4.2.1 Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo dalam Konteks Situasi Biasa... 43

4.2.2 Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo dalam Konteks Situasi Tidak Biasa... 49 4.3 Analisis Metafora dalam Sistem dan Struktur Percakapan Bahasa Karo… 57 BAB V TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. 69

5.1 Sistem Percakapan Bahasa Karo………..……… 69

5.2 Struktur Percakapan Bahasa Karo………..………. 72

5.3. Metafora dalam Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo... 80

5.4. Pembahasan ……….………... 80

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN………..……… 85

6.1 Simpulan………..………..……….. 85

6.2 Saran-saran………..………..……… 86


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Fungsi Ujaran dan Respon………. 39

Tabel 2.2 Fungsi Ujaran dan Modus Klausa Tipikal………. 42 Tabel 5.1 Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Meminang ‘embah belo

selambar’……….

73 Tabel 5.2 Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Tunangan ‘nganting manok’ 74 Tabel 5.3 Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Pernikahan ‘pedalan ulu emas’ 75 Tabel 5.4 Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Kegiatan Sehari-hari 77 Tabel 5.5 Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Memasuki Rumah Baru 78 Tabel 5.6 Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Kematian ‘simate-mate’ 78


(10)

DAFTAR SINGKATAN

ch:challenge

rch: repond to challenge cl: clarification

rcl: respond to clarification cf:confirmation

rcf: respond to confirmation rp: replay

rrp:respond to replay k1: primary knower’s move k2: secondary knower’s move a1: primary actor’s move a2: secondary actor’s move dk1: delayed primary knower da1: delayed secondary actor k1f: primary knower’s follow-up k2f: secondary knower’s follow-up a1f: primary actor’s follow -up a2f: secondary actor’s follow -up NV: non verbal

Decl: Declarative Interr: Interrogative Imper: Imperative Subst: Subsitution

Dec ellip: Declarative ellipsis Prn: Pernyataan

RPrn: Respon terhadap pertanyaan Pn: Pertanyaan

RPn: Respon terhadap pertanyaan Ph: Perintah

Rph: Respon terhadap perintah SP: Struktur Percakapan Alm: Almarhum


(11)

DAFTAR SIMBOL

▪▪▪▪: Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari empat kali oleh penutur yang sama

▪▪▪: Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari tiga kali oleh penutur yang sama

▪▪: Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari dua kali oleh penutur yang sama

▪ Mengikuti satu struktur berarti bahwa struktur itu terjadi lebih dari empat kali oleh penutur yang sama

NV: Berati tidak ada respon

[ ]: Di dalamnya terdapat beberapa langkah yang maknanya berkaitan atau tidak berkaitan dengan apa yang sedang dibicarakan dan penuturnya dapat sama atau tidak sama

( ): Terjadi langkah yang maknanya berkaitan atau tidak berkaitan dengan apa yang sedang dibicarakan.

(a/k): struktur sebelumnya direalisasikan oleh a atau k dsbnya


(12)

DAFTAR IMFORMAN

1.

Nama : Lembo Ginting. B.A Usia : 65 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Alamat : Jl. Sei Padang No.4

Pekerjaan : Pensiunan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

2.

Nama : Gintar Karto-Karo Usia : 63 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat : Desa Munte Kecamatan Munte Kabupaten Karo Pekerjaan : Pensiunan Departemen Pertanian

3.

Nama : Lipat br Ginting Usia : 63 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Desa Munte Kecamatan Munte Kabupaten Karo Pekerjaan : Pensiunan Guru Sekolah Dasar

4.

Nama : Raten Bangun Usia : 70 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki

Alamat : Jl. Letjen Djamin Ginting Gg. Sederhana No.6 Pekerjaan : Wiraswasta

5

Nama : Malem Ukur Ginting Usia : 50 tahun

Jenis Kelamin : laki-laki Alamat : Jl.

Pekerjaan : Pengarang Buku Budaya Karo, Pemerhati Budaya Karo, dan Pegawai Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Karo


(13)

ABSTRAK

Ginting, Siti Aisah. 2010. Sistem dan Struktur Percakapan dalam Bahasa Karo.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. Fokus penelitian adalah menemukan sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo serta menemukan realisasi metafora di dalam sitem dan struktur tersebut. Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan etnometodologi. Data penelitian ini adalah ujaran-ujaran yang terdapat dalam (1) kegiatan konteks situasi biasa mencakup situasi perkawinan, dan situasi sehari-hari dan (2) dalam konteks situasi yang tidak biasa yang mencakupi memasuki rumah baru dan kematian. Data diperoleh dengan cara pengamatan berperan serta. Instrumen penelitian adalah peneliti sebagai instrumen utama dilengkapi dengan lembar observasi, alat rekam gambar dan suara, lembar butir pertanyaan/ wawancara. Data yang diperoleh dianalisis secara paradigmatik untuk menemukan sistem percakapan dan secara sintagmatik untuk menemukan struktur percakapan berdasarkan teori Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Dalam tataran sistem percakapan ditemukan tiga jejaring percakapan, yaitu jejaring percakapan dalam konteks biasa dan jejaring percakapan dalam konteks tidak biasa mencakup jejaring percakapan memasuki rumah baru dan jejaring percakapan kematian.Baik dalam konteks biasa dan tidak biasa terdapat penutur tertentu yang tidak dapat berbicara langsung sehingga pembicaraan dilakukan dengan perantara manusia atau benda mati. Akibatnya, penutur melakukan pilihan linguistik dalam berkomunikasi. Dalam konteks tidak biasa, yaitu dalam acara memasuki rumah baru tidak terdapat interaksi verbal sedangkan dalam acara kematian ditemukan interaksi antara penutur dan orang mati di mana penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Dalam tataran struktur percakapan sebagai realisasi dari sistem percakapan ditemukan sebagian struktur percakapan yang bermarkah/berbeda dan struktur pengembangan yaitu pengembangan dari struktur yang tidak bermarkah. Lazimnya struktur percakapan memberi dan meminta informasi adalah k1 dan k2, dalam bahasa Karo selain kedua struktur tersebut terdapat struktur percakapan k1(a2) dan k2(a2) dalam memberi dan meminta informasi. Selain itu, terdapat struktur percakapan yang kompleks yang tidak hanya disebabkan oleh dinamika percakapan tetapi juga disebabkan oleh hubungan tenor dan konteks situasi. Metapora dalam bahasa Karo tidak hanya terdapat pada tataran gramatika dan leksis, tetapi juga terdapat dalam aspek lain, yakni metafora modus, metafora langkah dan metafora kontekstual dengan jenis pelibat.

Hubungan tenor sebagai unsur penentu konteks situasi dan budaya sebagai salah satu unsur dari konteks sosial secara bersama-sama mempengaruhi sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo.

Sistem dan struktur percakapan yang bermarkah ini memberi sumbangan terhadap khasanah ilmu pengetahuan khususnya kepada pengembangan teori LSF sehingga LSF dengan kajian sosial lainnya perlu dipelihara dan dipertahankan .


(14)

ABSTRACT

Ginting, Siti Aisah. 2010. Conversational System and Structure of Karonese Language. This research is aimed at discovering the conversational systems and structures of the Karonese language. Besides, it attempts to find out the causes of how such system and structure are realized. This study is based on a descriptive qualitative research that applies ethno-methodological approach. The data are utterances produced in (1) typical contexts of situation covering weddings and other ordinary events and (2) uncommon contexts of situation such as moving in to a new house and mourning. The data were collected through participant observation. The instrument was the researcher herself equipped with observation sheets, handycams, recorders, and questions for interview. The data obtained were analyzed into two ways: syntagmatically and paradigmatically. The former was done to find out the systems and the latter to determine the structures.

The results revealed that there were two conversational systems, namely, of typical and uncommon contexts. In both contexts there were speakers who are not permitted to do a direct talk, and hence, they had to speak via another person or an object. As a consequence, the speakers had to choose specific linguistic features in the communication. Specifically in the uncommon context of moving in to a new house, No interactions were found whilst in the context of mourning situation, an interaction between a speaker and the corpse took place where the speaker projected himself/herself as the dead. In the conversational structures, as the realizations of conversational systems, it was found some marked structures. These marked structures were expanded from the common ones. Normally, the structures of giving and asking for information are represented by k1 and k2, but in Karonese language there are other representations, namely k1(a2) and k2(2). In addition, there exist complex structures which were resulted not only from challenges, clarifications, confirmations, etc. but also from the relationships of tenors and contexts of situation. Metaphors in Karonese language were not merely found in grammatical and lexical aspects but in mood, move, and contextual elements as well.

The interaction of tenors as one of the situational context elements and culture as one of the cultural context elements simultaneously affect the Karonese conversational systems and structures.

The conversational systems and structures greatly contribute to social science in general and to linguistic systemic functional theory in particular, which implies the necessity to preserve the ethnic language.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Berbicara merupakan satu cara yang dilakukan seseorang untuk mentransaksikan komoditas berupa informasi, barang dan jasa. Dengan kata lain, jika dua orang terlibat dalam percakapan mereka saling mempertukarkan informasi, jasa atau barang. Kegiatan ini terjadi disebabkan pembicara tidak dapat memenuhi sendiri kebutuhannya. Agar komoditas yang disampaikan dapat dipahami dan selanjutnya direspon oleh pendengar dibutuhkan kemampuan untuk mentransaksikan komoditas itu. Keefektifan interaksi atau komunikasi verbal ditentukan oleh faktor yang berkaitan dengan bahasa itu sendiri dan faktor-faktor lain di luar bahasa yang disebut dengan konteks sosial. Dengan kata lain, penutur juga harus memperhatikan norma-norma sosial budaya dari bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi, seperti cara berbicara, jarak penutur dan petutur, jenis kalimat atau ekspresi yang digunakan, kepada siapa, kekuatan suara dan sebagainya (Harmer, 2003:247). Jika hal ini tidak diperhatikan maka tidak tertutup kemungkinan terjadi kesalahpahaman dalam berkomunikasi. Suku Jawa misalnya, berbicara dengan suara yang lembut merupakan keharusan dan jika berbicara dilakukan dengan suara keras, maka penutur dapat dikatagorikan kurang atau tidak sopan. Lain pula halnya dengan suku Karo, atau suku batak pada umumnya, berbicara dengan suara keras bukanlah merupakan hal yang terkait dengan tingkat kesopanan.


(16)

Penutur bahasa Karo dalam berkomunikasi hubungan partisipan menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Seorang menantu perempuan misalnya tidak bisa berbicara secara langsung dengan bapak mertua dan jika hal ini dilanggar maka menantu tersebut dikatagorikan tidak atau kurang beradat. Fenomena ini menimbulkan satu istilah di Sumatera Utara yaitu: “Orang Jawa sopan tapi tak beradat sementara orang batak beradat tapi tak sopan”. Hal ini bermakna bahwa konteks sosial sangat menentukan keberhasilan komunikasi.

Berbicara tentang budaya tidak terlepas dari adat istiadat karena nilai-nilai budaya merupakan tingkat yang tertinggi dan paling abstrak dari adat istiadat (Sibarani, 2004). Akibatnya, penutur bahasa Karo yang melanggar budaya disebut sebagai orang yang kurang beradat Penggunaan bahasa yang berterima merupakan salah satu unsur budaya yang menjadi tolak ukur untuk menyatakan seseorang berbudaya. Oleh karena itu, sudah seharusnya penutur mempertimbangkan konteks sosial dalam penggunaan bahasa agar komunikasi berjalan lancar serta informasi yang diinginkan penutur dapat terpenuhi.

Bahasa yang digunakan oleh penutur dalam mengekspresikan informasi terkait dan termotivasi oleh konteks sosial. Dalam teori Lingusitik Sistemik Fungsional yang selanjutnya disingkat dengan LSF konteks sosial terdiri atas tiga strata, secara berurutan dari yang tertinggi atau paling abstrak ke konkret meliputi meliputi ideologi, budaya, dan konteks situasi (register). Dalam teori LSF bahasa berfungsi untuk memaparkan, mempertukarkan, dan merangkai pengalaman. Ideologi, budaya dan situasi yang berbeda berpotensi membentuk realisasi bahasa yang berbeda pula. Konteks situasi yang terdiri atas tujuh faktor, mempengaruhi situasi percakapan. Ketujuh faktor itu adalah latar, partisipan, tujuan, bentuk atau isi percakapan, cara, media, norma-norma, dan ranah komunikasinya (Hymes, 1974).


(17)

Konsekuensinya dalam berkomunikasi atau dalam menukarkan pengalamannya, penutur harus memperhatikan ketujuh faktor tersebut agar percakapan dapat berlangsung dengan lancar. Konteks situasi pada penutur tertentu sangat berpengaruh terhadap tuturan yang akan disampaikan sehingga penutur harus melakukan pilihan ujaran berdasarkan kepada siapa berbicara dan dalam situasi apa. Penutur akan memilih ujaran yang berbeda ketika berbicara dengan atasan dan bawahannya. Demikian pula dalam konteks situasi yang berbeda serta topik yang berbeda penutur akan menggunakan ujaran yang berbeda pula. Pilihan-pilihan ujuran tersebut disebut sebagai sistem percakapan. Pilihan-pilhan ujaran ini akan berpengaruh terhadap struktur percakapan. Jika konteks sosial menentukan pemakaian bahasa, sistem dan struktur percakapan ditentukan oleh bentuk sosial itu.

Struktur bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi dimotivasi oleh fungsi bahasa. Dengan kata lain, bahasa atau teks yang digunakan terstruktur sesuai dengan tujuan pemakaian bahasa atau fungsi bahasa yang digunakan. Struktur percakapan yang melibatkan dua sisi peserta percakapan akan berbeda dari satu budaya dan situasi dengan budaya dan situasi yang lain. Dalam percakapan, penutur dan petutur melakukan langkah ‘move’ berupa peran memberi atau menerima informasi dan meminta atau memberi barang dan jasa. Dalam teks 1 A meminta informasi dan B memberi informasi. Langkah A disebut k2 ‘secondary knower’ dan B disebut k1 ‘primary knower’. Berbeda dengan teks 1, teks 2 adalah percakapan dengan komoditas barang dan jasa, A disebut melakukan langkah A2 ‘secondary actor’ dan B melakukan A1 ‘primary actor’ Langkah k2, k1, a2, dan a1 membentuk sistem jejaring ‘system network’.

1. k2 A : Mau kemana? k1 B: ke kantor


(18)

a1 B: Ini bukunya

Masing-masing langkah k1, k2, a1, a2 dinyatakan atau diekspresikan dalam struktur klausa. Dalam teks 1 langkah k2 dinyatakan oleh klausa interogatif “Mau ke mana?” dan k1 dinyatakan oleh klausa elipsis “ke kantor”.

Budaya Karo memiliki sistem kekerabatan yang berbeda dari budaya lain atau sub budaya yang dekat, yakni budaya Batak lainnya, seperti batak Toba, Batak Simalungun, Batak Dairi, dan Batak Mandailing. Hubungan kekerabatan dalam budaya Karo berpengaruh terhadap interaksi sosial masyarakatnya. Ini berarti bahwa konteks sosial berpengaruh tidak hanya sampai pada tingkat peran sosial setiap individu dalam berbagai kegiatan sosial, tetapi juga tercermin dalam struktur bahasa serta sistem dan struktur percakapan.

Berdasarkan hubungan kekerabatan dalam suku Karo terdapat budaya ‘Rebu’, di mana penutur dan petutur tertentu tidak dapat melakukan komunikasi lisan secara langsung, yaitu antara mertua laki dengan menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki-laki, antara suami dengan istri dari abang atau adik istri, dan antara istri dengan suami dari kakak atau adik suami. Komunikasi yang terjadi antara masing-masing partisipan tersebut dilakukan melalui perantara dan perantara ini dapat berupa manusia atau benda. Di daerah langkat sebagai salah satu daerah yang banyak terdapat penutur bahasa Karo, penggunaan benda sebagai perantara sudah jarang dilakukan. Tenor-tenor seperti yang disebutkan di atas, ketika mereka harus berkomunikasi mereka memerintah seseorang yang tidak berada ditempat di mana komunikasi berlangsung. Orang yang disebut biasanya adalah kerabat dekat, misalnya cucu, anak, istri, atau suami. Berikut contoh percakapan yang bersifat hipotetikal antara menantu perempuan dan mertua laki-laki.


(19)

‘Suruh makan kakek mu, Ani’ Mertua laki-laki : Tik nari ningen man nande ndu kempu ’ Sebentar lagi bilang sama mamak cucu ’

Menantu Perempuan: Ula kari masuk anginka bulangndu adi melaunsa ia man ‘Jangan nanti masuk angin kakekmu jika terlalu lama dia makan’ Mertua laki-laki: Tidak menjawab /non verbal

Percakapan di atas antara mertua laki-laki dan menantu perempuan di mana seharusnya mereka tidak dapat berkomunikasi langsung, namun karena tidak ada orang lain yang dapat dijadikan perantara mereka menyebutkan seseorang dalam hal ini cucu atau anak mereka yang tidak berada di tempat. Percakapan juga sangat singkat di mana di akhir percakapan mertua laki-laki tidak menjawab. Hal ini wajar terjadi karena budaya tidak membenarkan mereka berkomunikasi secara langsung.

Konsekuensinya penutur bahasa Karo harus melakukan pilihan berdasarkan hubungannya dengan mitra bicaranya. Keadaan ini tidak sama dengan giliran percakapan ‘turn– taking’ di mana peserta percakapan memperoleh kesempatan berbicara dengan memperhatikan tanda-tanda secara visual dan verbal dari lawan bicara. Meskipun partisipan tertentu tidak dapat berbicara secara langsung namun mereka tetap memenuhi aturan giliran percakapan. Contoh berikut merupakan percakapan yang bersifat hipotetikal antara menantu laki-laki dan mertua perempuan.

Suami: Sungkun mami ah pukul piga kari ia itaruhkan ‘Tanya ibu jam berapa nanti dia diantarkan’

Istri: Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan ‘ Apakah mamak dengar Jam berapa nanti mamak diantar’ Ibu dari istri: Kai kin nina kela ena? ‘Apa yang diucapkan menantu itu?’ Istri: Jam piga kari kam itaruhkan?

‘Jam berapa nanti mamak diantarkan?’ Ibu dari Istri: Jam telu ‘jam tiga’


(20)

a2 : Sungkun mami ah pukul piga kari ia itaruhkan ‘Tanya ibu jam berapa nanti dia diantarkan’

a1 (k2): Begindu kang e nande. Jam piga kari kam itaruhkan. ‘Dengar mamaknya itu. Jam berapa nanti mamak diantarkan’

cl : Kai kin nina kela ena? ‘Apa rupanya dibilang menantu itu’

rcl : Jam piga kari kam taruhkan ‘Jam berapa nanti mamak diantarkan’ k1 : Jam telu ‘jam tiga’

Sebenarnya percakapan di atas memiliki langkah yang sangat sederhana bila diacu kepada sistem yang diusulkan Martin (1992), yaitu:

k2: (menantu laki-laki): Jam piga kam itaruhken mami?

‘Jam berapa nanti mamak diantarkan’ k1: (ibu mertua) : Jam telu ‘jam tiga’

tetapi karena adanya budaya ‘rebu’ langkah k1 (informasi) direalisasikan atau di transfer dengan penutur yang lain, yaitu menantu melakukan pilihan yang berbeda dari yang diusulkan Martin (1992) dalam meminta informasi. Dalam hubungan tenor seperti di atas, penutur harus melakukan pilihan, misalnya dalam meminta informasi k2, penutur tidak dapat memintanya langsung melainkan harus memerintahkan orang lain a2 sehingga struktur yang terbentuk dalam meminta informasi adalah k2 yang direalsiasikan oleh a2 k2(a2).

Menurut Martin (1992) struktur percakapan dalam meminta informasi adalah (k2) ^ k1 ^ (k2f) ^ (k1f) yang berarti bahwa k2f dan k1f bersifat mana suka ‘optional’ seperti contoh berikut:

k2 : A : Kuja lawesna Budi ndai? ‘Kemana perginya si Budi’? k1 : B : Ku rumah mamana ‘Ke rumah pamannya’.

k2f : A : Bujur ya ‘Terima kasih ya’. k1f : B : Ue ‘Ya’


(21)

a2 ^ a1(k2) ^ cl ^ rcl ^ k1.

Dari penjelasan ini dapat dilihat bahwa sistem dan struktur percakapan antara menantu laki-laki dan mertua perempuan pada suku Karo dalam meminta informasi berbeda dan tidak memenuhi sistem dan struktur percakapan yang diusulkan Martin (1992) dan ini merupakan permasalahan penting dalam penelitian ini.

Perbedaan sistem dan struktur percakapan antara satu budaya dengan budaya yang lain dapat menimbulkan kesenjangan atau kesalahpahaman dalam berkomunikasi, khususnya komunikasi yang terjadi antara penutur bahasa Karo dengan penutur di luar bahasa Karo.

Dalam budaya Karo meminta tolong atau memerintah tidak dapat dilakukan secara langsung terutama bagi tenor yang mempunyai status yang tidak sama atau dihormati. Misalnya terhadap kalimbubu, puang kalimbubu, mertua laki-laki terhadap menantu laki-laki, mertua perempuan terhadap menantu perempuan dan sebaliknya. Bentuk-bentuk kalimat yang digunakan dalam meminta tolong dan memerintah akan berbeda berdasarkan hubungan/status tenor. Kalimat yang digunakan diawali dengan pernyataan akan kesediaan tenor, misalnya seorang mertua laki-laki yang meminta tolong/memerintah menantunya menggunakan kalimat sebagai berikut, Adi la kam sibuk taruhkendu aku pagi ndahi nini bulangndu ‘Jika kau tidak sibuk antarkan aku besok mengunjungi kakekmu’. Dalam hal ini mertua laki-laki tidak memerintah secara langsung atau menggunan kalimat perintah melainkan menggunakan ‘pre request’. Berbeda halnya jika dia memerintah atau minta tolong kepada anaknya, dia akan menggunakan kalimat imperatif Taruhken aku pagi ndahi nini bulangndu ‘Antarkan aku besok mengunjungi kakekmu’.

Budaya suku Karo lainnya yang juga memberi pengaruh terhadap sistem dan struktur percakapan adalah percakapan yang terjadi dalam upacara perkawinan. seperti meminang 'embah


(22)

belo selambar’, bertunangan ‘nganting manok’dan pesta pernikahan ‘mata kerja’. ’ Percakapan dalam upacara perkawinan tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung oleh orang tua laki-laki terhadap orangtua perempuan meskipun mereka telah saling mengenal sebelumnya. Percakapan harus dilakukan melalui perantara yaitu pihak anak beru laki-laki dan pihak anak beru perempuan. Hal ini berakibat terbentuknya struktur percakapan yang sangat dinamis dan rumit.

Selain itu, budaya rebu yang terdapat di dalam penutur bahasa Karo berpotensi membentuk metafora yang bukan hanya metafora leksis dan gramatika melainkan juga metafora langkah, metafora modus, dan metafora kontekstual dengan jenis pelibat. Penutur bahasa Karo melakukan pilihan-pilihan ujaran berdasarkan hubungan kekerabatan sehingga terjadi ketidaksesuaian fungsi ujar dan modus. Konsekuensinya terbentuk metafora modus. Demikian juga dengan konteks situasi seperti situasi kematian, penutur bahasa Karo memperoyeksikan dirinya seperti orang yang mati sehingga terjadi interaksi antara penutur dan orang mati. Situasi demikian berpotensi terjadinya metafora yang disebut sebagai metafora kontekstual dengan jenis pelibat. Ketikdaksesuaian fungsi ujar dengan modus dan pemeroyeksian diri sebagai orang mati dikatakan metafora karena terdapat pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Hal ini sesuai dengan perspektif semiotik tentang metafora, yakni pengodean atau pemaknaan arti dari dua sisi. Satu arti atau konsep dimaknai dari dua sisi. Dengan kata lain, di dalam pengodean atau pemaknaan metafora secara eksplisit atau implisit terjadi perbandingan dari bentuk yang lazim menjadi bentuk yang tidak lazim.

Pada umumnya interaksi percakapan terjadi sesama manusia hidup, namun dalam suku Karo terdapat budaya di mana penutur dapat berinteraksi dengan orang mati. Penutur di saat upacara kematian memberikan kata-kata sambutan berupa petuah dan nasehat serta doa tidak


(23)

saja kepada keluarga yang ditinggalkan, melainkan juga kepada orang mati. Penutur berdialog dengan orang yang mati dengan cara memproyeksikan dirinya sebagai orang mati sehingga terbentuklah metafora di mana penutur memaknai orang yang mati sebagai mahluk hidup yang dapat berkomunikasi. Akibatnya terbentuklah struktur percakapan yang tidak lazim. Dikatakan tidak lazim karena struktur percakapan yang terbentuk berbeda dengan struktur percakapan yang lazim seperti yang telah dipaparkan di atas.

Penutur bahasa Karo tersebar di berbagai daerah di Indonesia, tetapi pada umumnya mereka terdapat paling banyak di Kabupaten Karo, Kabupaten Langkat dan Kabupaten Deli Serdang. Ketiga kabupaten ini berbeda dialeknya, akibatnya terdapat dua bahagian besar dialek bahasa Karo, yaitu dialek Karo Gugung yang terdapat di Kabupaten Karo dan dialek Karo Jahe-jahe yang terdapat di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang. Dialek Karo Jahe-Jahe-jahe di Kabupaten Langkat dan Deli Serdang juga berbeda. Perbedaan dialek ini terjadi karena masing-masing kabupaten berbatasan dengan daerah lain yang memiliki bahasa yang berbeda pula dan juga pengaruh penutur bahasa-bahasa lain yang terdapat atau bermukim di daerah tersebut. Oleh karena itu lokasi penelitian ini adalah kabupaten Karo karena diasumsikan bahasa Karo yang digunakan di daerah ini masih baku. Penelitian ini tidak berkaitan dengan dialek melainkan berfokus pada langkah-langkah percakapan yang dilakukan penutur bahasa Karo dalam menukarkan pengalamannya sehingga segala sesuatunya yang berkaitan dengan dialek, seperti kosakata, bunyi, dan struktur kalimat diabaikan dalam kajian ini.

1.2 Fokus Penelitian

Bertitik tolak dari latar belakang masalah di atas, berbagai permasalahan dapat diidentifikasikan, antara lain: (1) Bagaimana bentuk wacana dari masing-masing fase


(24)

perkawinan dalam bahasa Karo? (2) apakah ada perbedaan di antara setiap fase? (3) Bagaimana fungsi eksperiensal dan tekstual secara leksikogramatika dari tataran klausa hingga ke tataran wacana dari masing-masing tuturan percakapan dalam upacara perkawinan, kematian, dan kegiatan sehari-hari? (4) Fungsi yang mana di antara fungsi eksperiensial dan tekstual yang paling banyak ditemukan dalam tuturan percakapan dari setiap kegiatan tersebut? (5) Bagaimana bentuk pilihan modus yang dilakukan penutur bahasa Karo dalam setiap kegiatan tersebut? (6) Bagaimana bentuk struktur percakapan yang terjadi akibat pilihan-pilihan modus tersebut? (7) Apakah dasar pemilihan modus yang dilakukan penutur bahasa Karo? Bagaimana bentuk dinamika langkah dalam struktur percakapan bahasa Karo?

Berdasarkan identifikasi permasalahan yang dipaparkan di atas, maka secara operasional fokus penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimanakah sistem percakapan bahasa Karo? b. Bagaimana struktur percakapan dalam bahasa Karo?

c. Bagaimana realisasi metafora dalam sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah menggambarkan sistem dan struktur percakapan bahasa Karo dalam konteks situasi biasa meliputi perkawinan dan kegiatan sehari-hari serta dalam konteks situasi tidak biasa mencakup situasi memasuki rumah baru dan kematian. Berdasarkan permasalahan di atas penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengungkapkan dan mengkaedahkan:

a. Sistem percakapan dalam bahasa Karo. b. Struktur percakapan dalam bahasa Karo.


(25)

c. Realisasi metafora dalam sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo. 1.4Manfaat Penelitian

Temuan penelitian diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis.

a. Secara teoritis, untuk tingkat nasional, hasil penelitian diharapkan dapat memberi sumbangan kepustakaan mengenai kajian wacana yang pernah dilakukan di Indonesia. Untuk tingkat Internasional, hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan teori-teori wacana ‘discourse’, khususnya teori LSF. Baik untuk tingkat nasional dan internasional dapat memberikan sumbangan sebagai model penelitian tentang wacana lisan

b. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat memberi gambaran terhadap masyarakat bahwa setiap penutur bahasa memiliki budaya yang berbeda yang tercermin lewat percakapannya. Oleh karena itu, hasil penelitian diharapkan bermanfaat terhadap upaya pembangunan karena dapat membantu aparat atau agen pemerintah dalam menyampaikan pesan, informasi, dan kepada rakyat tanpa terjadi konflik

1. 5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini difokuskan pada sistem percakapan dan struktur percakapan bahasa Karo dan konteks sosial yang mempengaruhinya. Teori LSF dan konsep Sistem dan Struktur Percakapan Martin (1992) dan Halliday (1993) dijadikan acuan dalam mendeskripsikan sistem dan struktur percakapan bahasa Karo. Hal ini sangat sesuai karena poin utama dari teori LSF adalah analisis teks lisan dan tulisan yang menunjukkan adanya hubungan antara pola linguistik dan konteks serta menjelaskan variasi-variasinya melalui register dan genre serta hubungan


(26)

dengan konteks sosial, konteks budaya dan ideologi (Eggin dan Martin 1997; Martin 2000; Christie dab Unsworth 2000).

Sistem dan struktur percakapan dianalisis secara sintagmatik dan paradigmatik yang mencakup negosiasi, pertukaran, langkah dan aksi. Demikian juga konteks sosial yang terdiri dari ideologi, budaya dan konteks situasi dideskripsikan secara paradigmatik. Oleh karena itu, penelitian ini akan menghubungkan sistem percakapan yang bersifat vertikal (paradigmatik) dan struktur yang bersifat horizontal (sintagmatik) serta konteks sosial. Berdasarkan sistem dan struktur percakapan yang diperoleh akan dicari faktor-faktor penyebab terbentuknya sistem dan struktur percakapan tersebut.

1.6Definisi Istilah

Untuk menghindari kerancuan terminologi dan untuk memahami dengan mudah beberapa terminologi yang terdapat dalam budaya karo, maka dianggap perlu untuk menjelaskannya.

a. ‘Sangkep geluh’ atau ’daliken sitelu’ adalah sistem kekerabatan dalam suku Karo yang terdiri dari tiga unsur, yaitu ‘kalimbubu’, ‘anak beru’, dan ‘senina’.

b. ‘Kalimbubu’ adalah persaudaraan yang terjadi dari pihak perempuan apakah dari pihak nenek, ibu maupun istri.

c. ‘Anak beru’ adalah persaudaraan yang terjadi dari pihak perempuan apakah dari pihak nenek, ibu maupun istri.

d. ‘Senina’ adalah orang yang bersaudara yang sekata dan sependapat

c. ‘Embah belo’ selambar merupakan tahapan pertama dalam upacara perkawinan, yaitu pihak laki-laki menanyakan kelanjutan dari acara sebelumnya, yaitu nungkuni. Pada acara ‘embah


(27)

belo selambar’ ini pihak laki-laki menanyakan jumlah mahar ‘tukur’, waktu dan tempat upacara perkawinan ‘mata kerja’, bentuk upacara perkawinan (besar dan kecilnya berdasarkan jumlah yang diundang)

d. ‘Nganting manok’ adalah upacara kedua setelah ‘embah belo selambar’ yang bertujuan untuk memastikan segala sesuatu yang telah dibicarakan pada saat ‘embah belo selambar’. Dalam nganting manok ini masih ada kemungkinan terjadinya perubahan-perubahan tentang hal yang telah dibicarakan

e. Mata kerja merupakan tahapan akhir dari upacara perkawinan, yaitu melaksanakan semua hal-hal yang telah disepakati pada ‘nganting manok’

f. Nggalari utang adat merupakan kegiatan yang dilakukan dalam upacara kematian orang yang sudah berkeluarga, di mana pihak keluarga yang ditinggalkan wajib memberikan

sejumlah uang dan pakaian yang meninggal kepada pihak kalimbubu g. Mengket rumah adalah upacara memasuki rumah baru

h. Rebu merupakan salah satu budaya Karo di mana penutur tertentu tidak dapat berkomunikasi secara langsung

i.Tukur bermakna membeli. Dalam budaya Karo perempuan dibeli pihak laki-laki sehingga mahar yang diberi kan pihak laki-laki disebut tukur


(28)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, DAN KONSTRUK ANALISIS

Dalam bab ini diuraikan teori-teori yang digunakan dalam penelitian yang berguna untuk menjawab permasalahan penelitian yang secara garis besar meliputi: percakapan, sistem dan struktur percakapan, aturan percakapan, konteks sosial, bahasa Karo, penelitian terdahulu yang relevan serta konstruk analisis.

2.1 Kajian Pustaka

2.1.1 Tinjauan Umum tentang Percakapan

Percakapan pada dasarnya adalah interaksi antara dua sisi, yakni penutur ‘addresser’ dan petutur ‘addressee’. Dalam proses itu keduanya saling bertukar pesan, dan bila pesan itu dapat dipahami dalam konteks yang ada maka percakapan itu berhasil. Percakapan merupakan bagian dari proses komunikasi secara umum, yang didefinisikan sebagai penyampaian informasi, pertukaran pendapat, atau sebagai proses pembentukan kesamaan atau kesatuan pemikiran antara penyampai dan penerima. (Belch & Belch, 1990:127). Dalam hal yang sama Lindsay dan Knight (2006) berpendapat bahwa percakapan adalah interaksi dengan orang lain dengan menggunakan semua unsur bahasa dan dilakukan untuk tujuan sosial, seperti menginginkan sesuatu, melakukan sesuatu untuk orang lain, merespon orang lain, mengungkapkan perasaan, pendapat, dan bertukar informasi yang berhubungan dengan masa lalu, saat ini dan masa mendatang. Selanjutnya mereka menjelaskan bahwa bahasa yang digunakan dalam percakapan tidak lengkap karena tidak direncanakan, ada jeda, tekanan, intonasi, pengulangan, penggunaan ‘fabricated fillers’ (upaya-upaya yang dilakukan dalam berinteraksi agar pembicaraan tidak


(29)

terputus)secara singkat semua ini berguna untuk memberikan waktu berpikir bagi penutur untuk menyampaikan pesan dan juga memberikan kejelasan pesan bagi petutur.

Percakapan merupakan komunikasi yang melibatkan dua orang atau lebih dan percakapan akan terlaksana dengan baik bila penutur dan petutur dapat memberi reaksi terhadap apa yang didengarnya serta memberi umpan balik (Lindsay dan Knight,2006) menyatakan bahwa. Dengan demikian, baik penutur dan petutur selain harus memiliki keterampilan untuk menyampaikan sesuatu secara lisan juga harus menangkap dan bereaksi terhadap apa yang didengar (Hariss, 1979). Lebih jauh dinyatakan oleh Savignon (1978) bahwa berbicara merupakan proses komunikasi dan proses akan terjadi bila terdapat kesepakatan mengenai arti dalam konteks bahasa antara penutur dan petutur. Kesesuaian arti dalam konteks bahasa itulah yang pada akhirnya menentukan keefektifan suatu informasi yang disampaikan lewat percakapan tersebut.

Percakapan yang efektif terjadi apabila pesan yang disampaikan identik dengan pesan yang diterima. Hal ini bermakna, walaupun pesan yang disampaikan ada kaitannya dengan konteks bahasa, tetapi jika tidak dimengerti oleh si penerima informasi maka cara menyampaikan pesan tidak efektif. Hal ini terjadi karena proses komunikasi itu sendiri ditentukan oleh berbagai hal seperti, situasi dan konteks komunikasi, pengetahuan bahasa yang setara antara penutur dan petutur, faktor-faktor di luar kebahasaan seperti budaya, pengetahuan pragmatik serta pemahaman terhadap intensitivitas komunikasi yang disampaikan pembicara (Gross, 1988). Berkaitan dengan hal tersebut, Brown dan Yule (1984) menyatakan bahwa proses percakapan ditentukan oleh lima hal, yakni: (1) latar kejadian, (2) waktu, (3) peserta percakapan (penutur dan petutur), (4) jenis peristiwa dan (5) poin pembicaraan. Sedangkan Hymes lebih rinci memormulasikan bahwa dalam proses percakapan ada tujuh faktor yang perlu diperhatikan dalam mencapai komunikasi yang efektif, yaitu: (1) waktu dan tempat terjadinya


(30)

percakapan, (2) pihak-pihak yang terlibat di dalam percakapan, (3) tujuan masing-masing pihak, (4) bentuk dan isi dari apa yang diucapkan, (5) cara bagaimana makna disampaikan, (6) media penyampai maknanya, apakah secara lisan atau tulisan, (7) norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai, dan (8) ranah komunikasinya.

2.1.2 Pendekatan terhadap Kajian Percakapan

Percakapan telah menjadi perhatian khusus dalam kajian bahasa selama beberapa dekade terahir ini. Kajian-kajian itu berupaya untuk mencari seluruh fenomena penggunaan bahasa dalam konteks sosial atau yang lebih dikenal sebagai Sosiolinguistik. Ilmu sosiologi bahasa ini menggambarkan bagaimana bahasa digunakan dan faktor-faktor apa saja yang mem-pengaruhinya.Terdapat beberapa pendekatan tentang kajian percakapan yang akan diuraikan berikut ini. Paparan ini bertujuan sebagai latar belakang memilih Lingusitik Sistemik Fungsional sebagai landasan teori yang digunakan dalam mengkaji penelitian ini

2.1.2.1Etnometodologi

Pendekatan etnometodologi pertama sekali diperkenalkan oleh Harold Garfinkel pada tahun 1967. Ia mengembangkan pendekatan ini untuk melihat bagaimana sifat tindakan manusia yang berhubungan dengan kemampuan menyampaikan dan memahami tindakan dan aktifitas sosial sehari-sehari. (Bell & Garrett, 2001:162). Jadi, pendekatan ini pada dasarnya tidak secara langsung mengkaji kegiatan kebahasaan manusia dalam konteks kehidupan sosial sehari-hari, tetapi berdasarkan pendekatan inilah kemudian muncul pendekatan Analisis Percakapan (Conversation Analysis = CA) sebagai salah satu cabangnya.


(31)

2.1.2.2Analisis Percakapan

Sebenarnya analisis percakapan telah diawali lebih dini oleh Bellack dkk (1966) dan Flanders (1970). Penelitian mereka lebih berfokus pada peningkatan kualitas pendidikan. Mereka menganalisis wacana guru di kelas, yakni bagaimana guru bertanya, memerintah, dan merespon dan bukan mengkaji bagaimana perintah direalisasikan dalam bahasa. Selanjutnya analisis percakapan berkembang tidak hanya sebatas wacana di kelas melainkan wacana alami yang terjadi di masyarakat dalam berbagai aktifitas. Beberapa tokoh yang mengawali Analisis Percakapan ‘Conversation Analysis’ atau lebih dikenal dengan singkatan CA adalah Goffman (1981), Sacks, Schegloff dan Jefferson (1992) yang berfokus pada giliran percakapan ‘turn

taking’ dan ‘adjacency pairs’.. CA banyak mengambil data dari percakapan yang direkam

berdasarkan interaksi percakapan. Levinson (1985:295) mengatakan bahwa data itu terdiri dari rekaman kaset dan transkrip percakapan yang terjadi secara natural, dengan sedikit saja perhatian kepada sifat konteksnya (misalnya apakah partisipan merupakan teman atau kenalan saja, atau apakah berada satu kelompok sosial tertentu, atau apakah konteksnya formal atau tidak formal, dsb.). Sacks et al. dalam Eggins dan Slade (1997:25) berpendapat bahwa terdapat dua fakta ketika mereka mengobservasi data interaksi percakapan, yaitu:

a) hanya satu orang berbicara pada waktu tertentu b) perubahan pembicara terus terjadi

Secara umum bisa dipahami bahwa kedua fakta ini biasa dijumpai dalam konteks percakapan. Inilah yang sering disebut dengan ‘pengambilan giliran’ atau ‘turn taking’. Fasold (1990:66) melihat ‘turn-taking’ dalam sebuah percakapan merupakan isu sentral dalam pengelolaan wacana dan bahkan mendapat banyak perhatian dari berbagai sudut pandang. Ia juga memberikan fakta yang lebih banyak yang terjadi dalam interaksi percakapan. Mengutip Sacks,


(32)

Schegloff, dan Jefferson, Fasold (1990) mengatakan terdapat beberapa fakta penting dalam turn-taking seperti: (1) terjadinya perubahan pembicara, yang berarti bahwa dalam percakapan tidak satu orang saja yang berbicara terus menerus; (2) berkuasa penuh, yang berarti bahwa salah satu pihak berbicara pada waktu tertentu; (3) meskipun ada kecenderungan berkuasa penuh, bisa saja terjadi lebih dari satu orang berbicara pada saat yang bersamaan, namun biasanya tidak berlangsung pada waktu yang panjang; (4) pertukaran giliran tanpa adanya gap atau overlap adalah hal wajar; dan (5) tidak ada teknik alokasi-giliran, artinya siapa saja bisa menjadi addressee.

Kemudian mereka menciptakan apa yang disebut dengan ‘Turn Constructional Units’ (TCUs) karena pembicara berbicara dalam unit-unit. TCU merupakan unit bahasa yang lengkap secara gramatika seperti kalimat, klausa atau frasa, yang ahirnya memungkinkan orang-orang yang berinteraksi untuk melakukan transfer. TCU ini digunakan untuk menentukan bagaimana turn taking itu terlaksana, siapa dan kapan harus berbicara. (Eggins dan Slade, 1997:26) menggambarkan sistem turn-taking sebagai berikut:

Figura 2.1 Sistem turn-taking Current speaker

selects next speaker

Selects a different speaker

Titik awal pertukaran giliran

Pembicara memilih pembicara

berikutnya Pembicara berikutnya memilih dirinya sendiri

Memilih pembicara berikutnya

Memilih diri sendiri


(33)

Observasi CA memiliki kekuatan pada pengumpulan datanya karena diperoleh dari interaksi alami yang direkam sedemikian rupa dan kemudian ditranskripsi secara rinci. (Eggins dan Slade: 1997:31). Namun, terdapat kelemahan di dalamnya, yaitu: (1) kurangnya katagori analitis sistemik, yang berarti bahwa analisis kuantitatif yang bersifat komprehensif tidak bisa dilakukan, (2) berfokus pada fragmen, yang artinya tidak mampu menjabarkan interaksi yang lengkap dan berkesinambungan, dan (3) interpretasi percakapannya yang mekanistik, artinya menganggap percakapan sebagai mesin tidak menjelaskan untuk apa orang-orang yang berinteraksi menggunakan mesin itu.

2.1.2.3Etnografi Percakapan

Etnografi Percakapan merupakan bagian dari Pendekatan Sosiolinguistik terhadap percakapan. Tokoh yang berjasa dalam pendekatan ini adalah Dell Hymes dengan konsep yang diperkenalkannya sebagai SPEAKING. Akronim ini mengacu kepada komponen percakapan yang ia masukkan ke dalam general grid. (Hymes, 1974:54-62). Komponen-komponen itu adalah: bentuk berita ‘Message form’, isi berita ‘Message content’, latar ‘Setting’, ‘Scene’, penutur ‘Speaker’ atau Sender, Addressor, Hearer atau receiver atau audience, Addressee, Purpose – outcomes, Purpose – goals, Key, Channels, Forms of Speech, Norms of interaction, dan Genre.

Mengutip Hymes, Wardaugh (1986:239-240) menjelaskan akronim SPEAKING adalah sebagai berikut:

1. S untuk ‘Setting’ dan ‘Scene’ (waktu dan tempat terjadinya percakapan); 2. P untuk ‘Participants’ (pihak-pihak yang terlibat di dalamnya);


(34)

4. A untuk ‘Act sequence’ (bentuk dan isi dari apa yang diucapkan); 5. K untuk ‘Key’ (cara bagaimana makna disampaikan);

6. I untuk ‘Instrumentalities’ (media penyampai makna, apakah secara lisan atau tulisan); 7. N untuk ‘Norms of Interaction and interpretaion’ (norma-norma yang digunakan; dalam konteks tertentu norma tertentu pula yang sesuai), dan;

8. G untuk ‘Genre’ (ranah komunikasinya).

Istilah yang digunakan ini menunjukkan bahwa percakapan merupakan aktifitas yang cukup rumit. Oleh karena itu tidaklah mudah untuk dapat menyampaikan makna atau pesan jika pemahaman akan hal-hal tersebut tidak dimiliki.

Pendekatan Hymes terhadap percakapan ini lebih baik dibandingkan dengan pendekatan etnometodologi dengan analisis percakapannya. Pendekatan etnografi percakapan ini memberikan kategori yang lebih luas dengan memperhatikan aspek-aspek sosial lainnya seperti dimensi kontekstual yang terdapat dalam percakapan sehari-hari yang dapat disetarakan dengan analisis register sistemik. (Eggins & Slade: 1997:34). Jadi, jelas terlihat bahwa analisis dengan pendekatan ini tidak hanya melihat kompetensi bahasa orang-orang yang berinteraksi tetapi juga konteks sosial dan budayanya Konteks sosial dan budaya ini akan membimbing orang untuk menggunakan ujaran yang tepat sesuai dengan lawan bicaranya. Selain Eggin dan Slade (1997), Young dan Fitzgerald (2006) menyatakan bahwa percakapan sehari-hari adalah aktifitas yang terstruktur sebagai hubungan khusus di antara partisipan dalam melakukan negosiasi pengalamannya. Mereka secara tidak sadar telah membentuk wacana yang terstruktur.

Penelitian yang sejenis dengan Hymes tetapi dengan objek yang berbeda yaitu wacana guru dan siswa di kelas yang dilakukan oleh Sinclair dan Coulthard (1975), Stubbs (1976 dan 1986), Barnes dan Todd (1977), Mehan (1979) Heath (1983), Cazden (1988), Green dan Kentor


(35)

Smith (1988) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian ini lebih bersifat pendidikan yang bertujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Penelitian tentang wacana di kelas ini berkembang, antara lain dilakukan oleh Gazden, C.V.J., John V.P., and Hymes, D (1972), Edwards dan Westgate (1944), Hicks (1995) dan Lemke (1998) seperti yang dikutip Sinclair dan Coulthard (1975). Penelitian yang mereka lakukan ini sifat pendidikannya berkurang dan lebih berfokus kepada analisis wacana. Mereka berpendapat untuk dapat menganalisis wacana unsur konteks sosial dan budaya harus diperhatikan karena bahasa manusia adalah kreatifitas aktifitas sosial dan membentuk gabungan budaya, kelompok sosial dan institusi

Ketidakpuasan para linguis dalam menganalisis bahasa, khususnya dalam menganalisis percakapan yang tidak berfokus pada fungsi bahasa, maka muncullah pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional.

2.1.2.4Pendekatan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF)

Penelitian wacana berdasarkan fungsi bahasa (LSF) telah diawali sebelumnya oleh Benson dan Graves (1985), Fawcet (1984) dan selanjutnya dilanjutkan oleh Martin (1992), Halliday (1985), Matthiesen (1992), Halliday dan Matthiesen (1999). Penelitian wacana yang berdasarkan fungsi bahasa dengan berfokus pada ‘register’ dan ‘genre’ dilakukan oleh Gregory dan Carroll (1978), Halliday dan Hasan (1985), Martin (1984 dan 1992) serta Christie dan Martin (1997).

Pendekatan LSF adalah pendekatan kajian bahasa yang berdasarkan prinsip semiotik. Dengan kata lain, tata bahasa fungsional sistemik adalah tata bahasa yang berdasarkan prinsip-prinsip semiotic yang menjadi dasar utama dalam tata bahasa fungsional sistemik.


(36)

Halliday (1997) menyatakan bahwa LSF berfokus pada fungsi yang bertujuan memahami teks lisan dan tulisan agar kita dapat mengutarakan hal-hal yang bermanfaat. Selanjutnya dikatakannya bahwa bahasa adalah fenomena sosial. yaitu bagaimana bahasa digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan mencapai tujuan sosial. Lebih jelasnya dikatakan Eggin (1997) bahwa LSF berorientasi pada makna yaitu bagaimana bahasa digunakan, dan bagaimana manusia menggunakan bahasa agar bermakna. Berkaitan dengan penggunaan bahasa, Halliday (1996) menyatakan bahasa adalah sumber makna berarti bahasa adalah pilihan, yaitu apa yang dikatakan seseorang berhubungan dengan apa yang dapat dikatakan. Dengan kata lain bahwa penggunaan bahasa berfokus pada hubungan yang bersifat paradigmatik. Lebih lanjut Halliday menyatakan bahwa yang terpenting bukanlah jenis pilihan yang dibuat melainkan yang berhubungan dengan kalimat yang dapat dipilih. Selanjutnya Halliday (1985:xiii) menyatakan bahwa komponen fundamental makna dalam bahasa adalah komponen fungsional. Komponen-komponen inilah yang dikenal sebagai metafungsi. Ketiga metafungsi tersebut adalah eksperiensial atau ideasional, fungsi antarpersona, dan fungsi tekstual. Ketiganya, fungsi antarpersonalah yang berkaitan dengan analisis percakapan karena di dalam fungsi ini tergambarkan interaksi yang menyatakan pembicara menyampaikan makna untuk dapat membangun dan menciptakan ikatan sosial dengan orang lain. (Thompson, 1996:38). Negosiasi makna seperti ini adalah untuk menginformasikan apa yang ia tahu tetapi orang lain tidak, menunjukkan sikapnya terhadap sesuatu untuk kemudian, bila mungkin, mengubah pandangan atau perilaku orang lain. Eggins dan Slade (1997:49-50) memberikan alasan mengapa fungsi antarpersona yang menjadi fokus:

1. Fungsi utama percakapan adalah negosiasi identitas sosial dan hubungan sosial; percakapan semacam ini didorong oleh makna antarpersona dan bukan makna ideasional atau tekstual.


(37)

2. Giliran percakapan ‘Turn-taking’ seperti dinyatakan dalam pendekatan CA direalisasikan dalam pola antarpersona yaitu modus dan struktur percakapan, khususnya dalam bahasa Inggris.

Pendekatan ini dipilih karena LSF menekankan pada analisis teks bukan kalimat-kalimat. Seperti yang disarankan para pakar LSF bahwa dalam mengkaji satu unit linguistik sebaiknya dikaji dari tiga posisi, yaitu dari (1) unit yang lebih besar di atasnya yang di dalam unit di astnya itu, unit linguistik menjadi elemen/konstituen, (2) unit yang lebih kecil di bawahnya yang menjadi elemen/konstituen dan membangun unit bahasa yang dikaji, dan (3) unit yang setara atau sama posisinya dengan unit kajian. Dengan mengkaji bahasa dari tiga sisi tersebut pemahaman fungsional akan diperoleh (Saragih, 2009).

Oleh karen itu, kesatuan bahasa yang lengkap bukanlah pada tingkat kata atau kalimat sehingga unit terkecil bahasa sekalipun, yaitu bunyi, memiliki makna ketika berfungsi di dalam konteks. Artinya, sistem arti dan sistem lain untuk merealisasikan arti tersebut berada pada tataran terdepan kajian LSF.

2.1.3 Hubungan Wacana dan Konteks

CA dan LSF memandang sama bahwa dalam menganalisis wacana tidak terlepas dari konteks. Hal ini merupakan pandangan yang sama antara CDA dan LSF. Perbedaan di antara CDA dan LSF tepatnya antara pandangan model Fairclough dan model Halliday, yakni . bagaimana konteks diinterpretasikan atau direalisasikan.

Fairclough (2003:147) mendiskripsikan konteks situasi atas empat komponen, yaitu: (1) apa yang sedang terjadi; (2) siapa yang terlibat; (3) apa hubungan yang terjadi dengan yang terlibat; serta (4) apa fungsi bahasa pada kejadian tersebut. Komponen yang pertama berkaitan


(38)

dengan apa yang dikatakan Halliday (1985) ‘Field Dicourse’, yaitu apa yang dibicarakan atau ranah percakapan dan komponen 2 dan 3 adalah apa yang disebut Halliday sebagai orang-orang yang terlibat ‘Tenor’ dan komponen keempat adalah yaitu bagaimana bahasa disampaikan. Yang disebut dengan cara ‘Mode’, Selanjutnya dikatakan bahwa terdapat hubungan wacana sebagai praktek sosial melebihi praktek individu dengan metafungsi bahasa yang berimplikasi kepada tiga hal, yaitu: (1) wacana mempresentasikan realitas, (2) wacana memiliki hubungan denngan struktur sosial, dan (3) wacana adalah daya yang memberikan sumbangan terhadap pengetahuan dan sistem percakapan.

Ketiga aspek wacana tersebut berhubungan dengan tiga dimensi makna di dalam bahasa yang disebut Fairclough (2003) fungsi ideasional, fungsi identitas dan fungsi relasional. Fungsi ideasional berhubungan dengan cara-cara di mana wacana memaparkan dunia, hubungan dan proses. Fungsi identitas berkaitan dengan konstruksi hubungan sosial dan fungsi relasional adalah menghubungkan peran dan negosiasi dari hubungan sosial di antara partisipan. Dari uraian ini dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara apa yang dimaksud Halliday sebagai fungsi ideasional yaitu memaparkan pengalaman atau realitas dan fungsi identitas dan relasional sebagai fungsi antarpersona yang memaparkan realitas sosial.

Fairclough menyusun seperangkat hubungan antara wacana sebagai praktek sosial dan metafungsi bahasa. Halliday menyusun seperangkat hubungan antara variabel konteks seperti ranah ‘field’, pelibat ‘tenor’ dan sarana ‘mode’ dengan metafungsi bahasa. Selanjutnya metafungsi bahasa dihubungkan dengan leksikogramar tetapi Fairclough kelihatannya menghubungkan metafungsi bahasa dengan kosakata bukan dengan struktur atau leksikogramar.


(39)

2.1.4 Metafungsi Bahasa

Dalam LSF dikenal metafungsi bahasa, yaitu fungsi bahasa dalam pemakaian bahasa yang terjadi dari fungsi memaparkan ‘ideational function’, mempertukarkan ‘interpersonal function’, dan merangkai pengalaman ‘textualfunction. Fungsi ideasional terbagi ke dalam dua bahagian, yaitu fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman (experiential function) dan fungsi logis (logical function), yaitu fungsi bahasa untuk menghubungkan pengalaman.

Fungsi eksperiensial adalah fungsi bahasa untuk menggambarkan pengalaman manusia. Pemakai bahasa memaparkan pengalamannya tentang alam semesta, yakni pengalaman bukan linguistik ke dalam pengalaman semiotik-linguistik karena hanya representasi semiotik-linguistik yang dapat dipertukarkan dalam konteks sosial dengan mitra interaksi ‘addressee’ bahasa sebagai lawan berkomunikasi. Pengalaman seseorang terhadap sesuatu apakah itu peristiwa, situasi atau kondisi berbeda-beda. Penutur dapat mengungkapkan perbedaan itu dengan menggunakan bahasa. Dengan kata lain bahasa mampu menyatukan persepsi terhadap realitas itu dengan penutur mentransperkan /memaparkan pengalamanny itu ke dalam bentuk bahasa.

Pengalaman manusia terdiri atas bagian-bagain. Pemahaman terhadap bagian-bagian pengalaman itu diperlukan hubungan antarbagian pengalaman itu karena sesuatu dapat dipahami dengan baik dalam hubungan dengan yang lain. Dalam hal ini bahasa berfunsgi menghubungkan satu unit pengalaman dengan pengalaman lainnya. Huabungan pengalaman ini paling sedikit meliputi dua klausa yang disebut dengan hubungan logis. Hubungan logis ini tidak hanya terdapat dalam bentuk klausa, tetapi juga terdapat dalam bentuk kata, grup dan frasa.

Selain memaparkan pengalamannya, pemakai bahasa dalam interaksi sosial melakukan pertukaran pengalaman linguistik dengan mitra interaksi bahasa untuk memenuhi kebutuhannya yang disebut makna antarpersona ‘interpersonal meaning’. Selanjutnya pemakai bahasa


(40)

merangkai pengalaman yang di dalam rangkaian itu terbentuk keterkaitan: satu (unit) pengalaman dalam ‘ideational meaning’ dan ‘interpesonal meaning’ relevan dengan pengalaman yang telah dan akan disampaikan sebelum dan sesudahnya yang disebut sebagai fungsi tekstual ‘textual function’ (Halliday, 1978; Matthiesen, 1995).

Dalam menukarkan pengalamannya, penutur menggunakan fungsi ujar yang berbentuk pertanyaan, pernyataan, perintah dan tawaran. Keempat bentuk fungsi ujar ini direalisasikan dalam bentuk modus ‘mood’, modalitas ‘modality’, epitet, dan struktur percakapan ‘exchange structure’yang membentuk struktur percakapan ‘conversational structure’. Menurut Young dan Fitzgerald (2006) ketika seseorang bertukar informasi, dia memperlihatkan sikap dan pendiriannya ke dalam wacana mencakup topik pembicaraan dan mitra bicara. Sikap dan pendiriannya ini ditampilkan melalui modalitas dan kata keterangan. Melalui penggunaan modalitas dan kata keterangan penutur dapat menambahkan unsur yang memodifikasi proposisi serta merubah proposisi ke dalam bentuk pernyataan yang ditandai oleh pendapat-pendapat, keyakinan dan pandangan. Misalnya, seorang penutur mengatakan Dosen datang hari ini. Klausa ini dapat berisikan muatan pribadi sehingga dapat berubah bentuk seperti Dosen mungkin datang hari ini, Dosen pasti datang hari ini, Dosen akan datang hari ini. Penggunaan modalitas pasti, akan, dan mungkin disebut sebagai pertimbangan pribadi. Ketika pertukaran terjadi, penutur dan petutur diposisikan sebagai peran pembicara yang berbeda melalui penggunaan modus apakah memberikan informasi atau menanyakan informasi.

Martin dan Rose (2002) serta Saragih (2009) menyatakan bahwa fungsi antarpersona bersifat prosodik; bermakna bahwa fungsi ujar atau modalitas direalisasikan dengan suara. Suara penutur dapat bervariasi dalam menggunakan fungsi ujar apakah dengan intonasi datar, naik, turun, naik-turun, turun-naik dan lain sebagainya seperti pada klausa berikut. Dia mengangkat


(41)

kursi intonasi turun, Angkat kursi itu intonasi naik-turun, Mengangkat kursikah dia? intonasi turun-naik.

Fungsi tekstual merupakan fungsi bahasa untuk merangkai pengalaman. Penutur dapat merangkai atau mengurutkan pengalamannya dengan menggunakan bahasa.Apa yang diinginkan penutur untuk dipaparkan terlebih dahulu dan diikuti dengan yang lain dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa. Unsur bahasa yang dipaparkan terlebih dahulu disebut dengan tema dan yang mengikutinya disebut dengan rema. Misalnya, Presiden menyampaikan pidatonya dengan berapi-api dan Dengan berapi-api Presiden menyampaikan pidatonya. Dalam Presiden menyampaikan pidatonya dengan berapi-api, unsur yang dikedepankan adalah Presiden sedangkan dalam Dengan berapi-api presiden menyampaikan pidatonya, unsur yang dikedepankan adalah cara Presiden menyampaikan pidatonya.

2.1.5 Sistem Percakapan

Dalam pengertian LSF, sistem adalah pilihan. Sistem dinyatakan dengan sistem jaringan Dalam sistem jaringan ditampilkan ciri. Jika suatu ciri dipenuhi, maka pilihan dilakukan. Sistem merupakan pilihanyang unsur-unsur berbentuk vertikal dan bersifat paradigmatik. Berbeda dengan sistem, struktur merupakan urutan unsur horizontal dan bersifat sintagmatik. Menurut Hjelmslev (1961) dalam Martin (1992:4), hubungan paradigmatik dipetakan dalam bentuk yang bersifat potensial (terpendam), sedangkan sintagmatik dalam bentuk nyata. Dengan kata lain, struktur merupakan realisasi dari sistem yang mendasarinya. Semua aspek bahasa dan konteks sosial dapat dideskripsi berdasarkan sistem dan struktur.

Untuk menggambarkan sistem, Matthiessen (1992: 632) mengkategorikannya ke dalam dua bentuk, yaitu secara matematis/aljabar dan secara grafis. Dalam kategori pertama dapat


(42)

disebutkan secara sederhana dengan bentuk ‘x: a/b’ yang berarti bahwa x direpresentasikan oleh fitur-fitur ‘a’ dan ‘b’. Secara lebih rinci sistem tersebut dapat dibaca jika terdapat ‘x’ maka pilihan yang ada adalah apakah sebuah fitur ‘a’ atau fitur ‘b’ sebagai pilihannya. Untuk kategori kedua yaitu penggunaan bentuk grafik secara sederhana dapat dilihat seperti berikut:

1. x

Notasi ini menyatakan bahwa aspek x terdiri atas a dan b. Jika dipilih x, selanjutnya x itu adalah a atau b.

Di dalam penggunaan bahasa, dapat diambil contoh yang lebih konkrit, yaitu misalnya sebuah ‘kalimat’ dapat direpresentasikan dengan pilihan ‘positif’ atau ‘negatif’. Secara aljabar, sistem ini akan terbaca sebagai ‘kalimat: positif/negatif’. Ekuivalensi sistem ini dapat terlihat pada bentuk grafik berikut:

Kalimat

Dengan mudah dapat secara langsung dipahami bahwa Kalimat bisa terdiri atas kalimat positif atau negatif. Kedua representasi ini dapat berkembang terus semakin luas ketika ketersediaan pilihan-pilihan itu semakin banyak dan semakin tertentu sesuai dengan konteks. Sistem itu bisa meluas misalnya jika ‘P’ maka x/y; jika x maka a/b; jika y maka c/d. Bentuk ini equivalen dengan grafik berikut ini.

a b

Positif Negatif


(43)

2. P

Lebih luas lagi dapat diterangkan dari grafik tersebut bahwa aspek P terdiri dari atas 2 komponen x dan y. Selanjutnya x terdiri atas a dan b dan y terdiri atas c dan d. Setiap pilihan satu unsur akhir dari satu komponen harus disertai pilihan unsur akhir dari komponen lain. Sistem itu harus menghasilkan 4 pilihan ac, ad, bc, dan bd. Di dalam penggunaan bahasa dapat diambil contoh yang sangat konkrit seperti tergambar dalam grafik berikut ini.

Kalimat

Dari grafik ini akan terdapat empat pilihan kalimat, yaitu Kalimat : - [ Positif/Aktif ]: Dia menangkap harimau.

- [ Positif/Pasif ]: Dia ditangkap harimau.

- [ Negatif/Aktif ]: Dia tidak menangkap harimau - [ Negatif/Pasif ]: Dia tidak ditangkap harimau.

x

y

a b c d

Sisi

Transitivitas

Positif

Negatif

Pasif Aktif


(44)

Berikut ini adalah pengembangan lebih lanjut tentang kemungkinan terbentuknya sistem yang direpresentasikan oleh salah satu dari kedua bentuk di atas. Kemudian, secara spesifik dari unsur-unsur kebahasaan diberikan contoh-contoh yang tujuan akhirnya adalah untuk memudahkan kajian ini.

3. X

Sistem ini menyatakan dua komponen menjadi satu, yakni b dan c membentuk r. Contoh dalam bahasa dapat terlihat seperti berikut:

Finite

Predicator b c

r a

Modal Tense

Proses Verba

Verba Y


(45)

4.

Sistem ini menyatakan bahwa bila pilihannya adalah a maka akan diikuti oleh c/d, dan bila dipilih d maka muncul e/f. Sistem semacam ini dapat terlihat dalam penggunaan bahasa seperti contoh di bawah ini:

deklaratif

indikatif ya/tidak interogatif

informasi

imperatif

Contoh ini menggambarkan adanya pilihan yang berasal dari modus (sumber daya untuk menegosiasikan makna dalam percakapan), yaitu apakah pilihannya jatuh pada indikatif atau imperatif. Bila indikatif yang dipilih, maka pilihannya harus salah satu apakah deklaratif atau interogatif. Begitu pula, bila interogatif yang dipilih, terdapat lagi pilihan lainnya, apakah interogatif itu akan berbentuk klausa tanya yang bersifat ya/tidak atau klausa tanya. Jadi pilihan selalu muncul dan bukan satu-satunya, dan ini menunjukkan bahwa sistem jaringan itu dipresentasikan bahasa sebagai sebuah sumber daya dan bukan sebagai perangkat aturan (Martin, 1992:5).

X

a

b

c d

e f


(46)

Seperti yang diketahui bahwa penggunaan bahasa tidak pernah lepas dari konteks sosial. Penggunaan unsur-unsur bahasa seperti yang telah diuraikan terdahulu sangat ditentukan oleh konteks sosial terjadinya komunikasi. Pilihan unsur bahasa seperti kalimat deklratif, imperatif, dan sebagainya oleh penutur dan petutur senantiasa berdasarkan konteks sosial. Konteks sosial terbagi tiga, yaitu konteks situasi, konteks budaya dan konteks ideology (Martin, 1992).

Berbagai pendapat yang dirumuskan oleh pakar bahasa tentang konteks situasi seperti Poynton; Thomas, dan kawan-kawan (2000); Fowler, Hodge, Kress (2001); Romaine (2000), Holmes (2001); Stockwell (2002) dan Fitsgerald (2006) yang satu sama lain terdapat perbedaan . Namun, Perbedaan-perbedaan tersebut tidak bertentangan antara satu dengan lain . Pendapat-pendapat mereka dapat dirumuskan menjadi satu sistem yang tergambar pada Figura 2.2 yang dapat dilihat bahwa dalam konteks situasi ada unsur-unsur yang perlu diperhatikan dalam berkomunikasi, yaitu status, formalitas, afektif dan kontak. Status dibedakan atas sama dan tidak sama, Formalitas adalah keadaan situasi percakapan yang dibedakan atas formal dan tidak formula, Afektif juga merupakan keadaan percakapan apakah bersifat positif atau negatif dan kontak merupakan sering atau tidak sering terjadinya komunikasi. Sistem konteks sosial tersebut juga memperlihatkan bahwa penutur dalam berkomunikasi akan memperhatikan siapa lawan bicaranya berdasarkan keempat komponen di atas. Status yang dimiliki seseorang menyebabkan orang tersebut memiliki kekuasaan ‘power’ dan dengan kekuasan yang dimilikinya memaksa seseorang melakukan sesuatu seperti apa yang diinginkannya (Poynton1985; Thomas, dan kawan-kawan (2000). Keberadaan status dan kekuasaan seorang penutur di sebabkan oleh beberapa faktor seperti kekayaan, etnik, posisi sosial, umur, keadaan geografis, jenis kelamin, ilmu pengetahuan, tampilan fisik (Fowler, Hodge, Kress, 2001). Menurut Romaine (2000), Holmes (2001), dan Stockwell (2002) keberadaan status dan


(47)

kekuasaan disebabkan oleh usia, jenis kelamin, etnik, gender, jaringan sosial, jabatan dan kelas sosial. Sementara Fitsgerald (2006), Thomas, dan kawan-kawan (2000) menyatakan bahwa selain faktor- faktor yang telah disebutkan di atas, rasis dan politik juga sebagai penyebab adanya keberadaan status dan kekuasaan. Seorang penutur yang memiliki usia lebih muda akan menggunakan kalimat tanya berikut “Apakah anda tidak keberatan mengangkat kursi itu?” sebagai pengganti kalimat perintah ‘command’ “Angkat kursi itu!”. Selain status, penutur dalam menukarkan pengalamannya juga harus memperhatikan konteks pembicaraan terjadi apakah dalam konteks social yang biasa atau tidak biasa. Konteks sosial biasa merupakan situasi percakapan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sedangkan konteks sosial yang

Sama Status

Tidak sama Formal Formalitas

Sistem Tidak formal

Positif Afekif

Negatif Sering kontak

Tidak sering


(1)

Lampiran 6: Temuan Penelitian Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Konteks Situasi Tidak Biasa

a. Memasuki Rumah Baru ‘Mengket Rumah’

Struktur Percakapan Percakapan Fungsi Ujar Modus

A: Alo kekelengen ras perkuah ate Dibata, rumah enda S Decl

ibereken Dibata guna idiami kam gelah ergegehna k1 kam erdalan bas singena atendu, ibas gelar Dibata Yesus Kristus ras Kesah Sibadia Amin. ‘Karena kasih sayang dan belas kasihan Tuhan, rumah ini diberiNya untuk ditempati agar semakin kuat kalian berjalan dalam kebaikan dalam kasih Yesus Kristus. Amin’ (TBI1)

A: Jadi senina ras turang ibas gelar Yesus, piga-piga S Decl

jenda jadi banci perenungen entah pe banci jadi palas ngingani rumah simbaruenda. ‘Jadi saudara- k1 saudara atas nama Tuhan Yesus ada beberapa hal yang dapat dijadikan renungan dalam menempati rumah baru ini.’

(TBI2)

A: Nina ndai ogen kata si Badia, kalak simajekken S Decl

rumah lebih ipehaga asangken rumahna e. k1 ‘Dalam Alkitab dikatakan bahwa siapa yang menidirikan rumah disanjung-sanjung dari pada rumah yang didirikan disebut’(TBI3)

A: emaka idahndu mejile-mejile bereken Tuhan S Decl

k1 rumah man kita. ‘Karena itu banyak kita lihat rumah yang dibangun sangat bagus bentuknya (TBI4)

A: Jadi uga erbahanca jilen simajekken rumah S Decl

asangken rumah simbarundu, e jadi pelajaren k1 man banta. Jadi uga erbahanca jilen sima- jekken rumah asangken rumah simbarundu, ‘Jadi bagaimana membuat orang yang mem- bangun rumah lebih dipuji dari rumah yang didirikan menjadi pelajaran bagi kita’ (TBI5)


(2)

A: Min kaka enda si beru Biring enda ergan ia S Decl

k1 asangken rumah enda. ‘Sebaiknya kakak beru Biring lebih berhargalah dibandingkan rumah ini.’ (TBI6)

A: Bagepe abang enda mama Ginting enda ergan ia S Decl

k1 asangken rumah enda, bage ia. ‘Demikian juga abang mama Ginting lebih berharga dari rumah ini.’ (TBI7)

A: Emaka uga maka banci kita hagan asangken rumahta, S Decl

k1 E berarti arus sipesikap dirinta, perbahanenta. ‘Agar kita dapat lebih berharga dari rumah kita maka kita harus memperbaiki tingkah laku dan perbuatan kita’ (TBI8)

B: Man kam kalimbubu kami Ginting mergana S Decl

apaipe la erndobah tuhu-tuhu kami anak berundu

k1 meriahkel ukur kami natap-natap uga seh jilena kal rumah enda. ‘Kepada kalimbubu marga Ginting, semua anak berumu bersenang hati melihat rumah yang sangat bagus ini.’(TBI54)

B: janah enda teridah uga belinna berkat Tuhan man S Decl

banta sebab enda labo berkat man kam sumalin jabu k1 tapi enda berkat man kami anak berundu. ‘dan terlihat bagaimana berkat Tuhan kepada kita karena ini bukan berkat untuk kalimbubu yang memasuki rumah baru tetapi berkat untuk kami anak berumu’(TBI55)

B: Emaka kam impal kami terlebih-lebih mama ras S Decl

mami, gelah ibas wari-wari sipepudi pe ija mama k1 banci jadi penggurunta ibas kegeluhennta. ‘Karena itu impal terutama kepada mami dan mama agar di masa mendatang dapat menjadi tempat bertanya tentang kehidupan ini.’ (TBI56)

B: Man bandu kaka kepala desa bagepe ras turangku, S Decl ateku megogo natap kam ku juma ku rumah mulai

natap kam peletaken batu pertama seh asa sumalin

k1 jabu, meriah kal ukur kami.’ ‘Kepada abang kepala desa dan turang, terharu hati ini melihat kalian ke rumah ke ladang mulai dari peletakan batu pertama hingga memasuki rumah baru senang kali hati kami’. (TBI57)


(3)

J: Maka mulai gundari nari ula kam lupa ertoto man Ph Decl

Dibata sebab enda labo kebeluhenta, tuhu-tuhu berkat

a2••• Dibata nge enda maka banci silaksanaken.

‘Karena itu dari sekarang janga lupa berdoa karena bukan atas kepintaran kita melainkan benar-benar berkat Tuhan sehingga semua dapat terlaksana.’ (TBI59)

J: Maka enda ula anggarken kebeluhendu tapi Ph Decl a2••• kegeluhen penampat Dibata. ‘Jadi jangan anggarkan

kepintaranmu tetapi karena bantuan Tuhan’(TBI60)

J: Ula kam lupa sebab enda kekuaten-Na maka Ph Decl a2••• kegeluhennta ras usahanta banci berhasil. ‘Jangan

lupa karena ini adalah kekuatanNya sehingga kehidupan dan usaha kita bisa berhasil.’ (TBI62)

H: jadikenlah rumah ingan pulung kerina sangkep Ph Decl a2••• nggeluhndu. ‘jadikanlah rumah ini tempat

keluarga berkumpul.’ (TBI47)

H: Rumah e bahanlah pagi arah darat kuncina Ph Decl

ulapagi kantongkendu. Adi kantongkenndu, la ka je

a2••• tentu rumah e la talang. ‘Buatlah nanti kunci rumah ini sebelah luardan jangan dikantongi’ ‘Jika kau kantongi dan tidak ada pula orang di rumah tentu rumah tidak terbuka’(TBI48)

H: Janah ula ertoto kam gelah banci kitapulung ras Ph Decl

a2••• kita kerina. ‘Jangan lupa berdoa agar bisa pula kita berkumpul semua’. (TBI51)

b. Struktur Percakapan Bahasa Karo dalam Konteks Situasi Kematian

1. struktur percakapan dalam ‘acara sukut,’ yaitu: (1) k1•••• (1+4+5+6+7), (2) a2••• (1+4), (3) k2•• (4+7), (4) k2^k1 (NV), (5) k1^k2, (6) a2^a1 (k1)^a2f(k1f), (7) a1(a2) (7) (8) a2 (5+6), dan (9) k1. Struktur k1•••• (1+4+5+6+7) bermakna bahwa pemberian informasi sebanyak empat kali atau lebih dilakukan oleh penutur A , B , C, D dan E. Struktur a2••• (1+4), yaitu struktur permintaan barang atau jasa dilakukan tiga kali oleh penutur A dan B.


(4)

Struktur k2•• (4+7) adalah struktur meminta informasi yang dilakukan sebanyak dua kali oleh penutur B dan E. Struktur k2^k1 (NV), Struktur k1^k2 (6) a2^a1 (k1)^a2f(k1f), (7) a1(a2) (7) (8) a2 (5+6), (9) k1. a2••••.(2+3+5+6+7) merupakan struktur percakapan dalam meminta barang atau jasa yang dilakukan oleh penutur A, F,H, I dan J

2. Struktur Percakapan yang terdapat dalam acara ‘ Kalimbubu Simada Dareh’

1. k1• • • • (2+3+5+7) 2. a2^a1 (NV)

3. k2^k1 (NV)

4. Struktur k1….(4+5) adalah struktur memberi infromasi di mana penutur G dan H memproyeksikan dirinya sebagai alamarhum dan tidak terjadi interaksi

5. Struktur k2^k1^k2f merupakan struktur memberi infromasi di mana penutur dan H memproyeksikan dirinya sebagai alamarhum dan terjadi interaksi

3. Struktur percakapan yang terdapat dalam acara ‘acara puang Kalimbubu Simada Dareh’

1. struktur k1• • • • (1+3+4+5+6) memberi informasi dilakukan empat kali atau lebih oleh penutur A,B,C,D, dan E

2. struktur k2• • • • (3+5+6) meminta informasi dilakukan empat kali atau lebih oleh penutur B,D, dan E

3. struktur a2• • • • (1+3+4+5+6) meminta barang dan jasa dilakukan empat kali atau lebih oleh penutur A,B,C,D, dan E

4. a2^a1 (NV)

5. Struktur k2^k1(k2)^k2f dan k1^k2^k2f merupakan struktur di mana terjadi interaksi antara penutur dan almarhum yang mana dalam hal ini penutur memproyeksikan dirinya sebagai almarhum

6. Struktur k1^k2 (4+5+6 ) adalah struktur percakapan dalam mempertukarkan infromasi yang dilakukan oleh penutur CDE


(5)

4. Struktur percakapan yang terdapat dalam acara ‘Acara Anak Beru’

1. Struktur k1• • • • (1+2+3) adalah struktur percakapan dalam memberi informasi dilakukan empat kali atau lebih oleh penutur A,B, dan C

2. Struktur k1^k2 (1+3) adalah struktur dimana penutur A dan C memperoyeksikan dirinya sebagai almarhum dalam memberikan kata sambutan.

3. k2^k1(NV)

4. Struktur k1• • • ^a2^k2f merupakan struktur percakapan dalam mempertukarkan informasi antara penutur dengan almarhum di mana penutur memproyeksikan dirinya sebagai almarhum.

5. Struktur a2• • • • (2+3+4) adalah struktur meminta barang dan jasa dilakukan empat kali atau lebih oleh penutur B,C, dan D.

6. a2^a1(k2) merupakan pertukaran barang atau jasa antara penutur … dengan almarhum di mana penutur diproyeksikan sebagai almarhum. a1 sebagai langkah yang direalisasikan oleh k2 karena dalam hal ini penutur ..memperoyeksikan dirinya sebagai almarhum.

5. Struktur percakapan yang terjadi dalam acara ‘Acara Nggalari Utang Adat’

1. k1• • • • (1+2+3) 2. k1• • • • (1) 3. k2^k1 4. a2• • • • (1) 5. a2….(1+2+3)


(6)

6. Struktur percakapan yang terjadi dalam acara ‘Acara Kalimbubu’

1. k1• • • • (1+2+3) adalah struktur percakapan dalam memberi informasi dilakukan empat kali atau lebih oleh penutur A,B, dan C

2. Struktur a2• • • • (1+3) adalah struktur meminta barang dan jasa dilakukan empat kali atau lebih oleh penutur B, dan C..

1. k1••••

k1 A: perpulungen sierceda ate, ‘Hadirin yang Prn Decl berduka cita,’ (S1-10)

k1 A: Sinihamati kami kam kalimbubu kami sukut Prn Decl

Ginting mergana ‘Yang kami hormati kalimbubu kami sukut marga Ginting’

k1 A: ija wari sinderbih mami tengah enggo seh Prn Decl

padanna bas Dibata. ‘dimana semalam bibi telah sampai ajalnya kepada Tuhan.’

k1 A: Emaka sendah pulung kami kerina kalimbubu Prn Decl

Ginting mergana ibas kelawesen mami tengah enda. ‘Oleh sebab itu, pada hari ini kami semua sukut marga Ginting berkumpul di tempat ini karena kepergian mami tengah ini.’

2. k1•••

k1 E: Emaka bagem kaka nande Sipta, ‘demikianlah Prn Decl kakak mamak Sipta’ (S51-60)

k1 E: Selamat jalan nande senina, ‘Selamat jalan kak’ Prn Decl k1 E: mejuah-juah kami kerina tadingken kam e Prn Decl

kaka’selamat –selamat kami semua kau tinggalkan kakak’

3.k1••

k1 B: Lanaikel kueteh nande..’Tidak tahu aku ibu’ Prn Decl k1 B: Nande langgo nembeh, ‘Ibu yang tidak pernah Prn Decl marah’(S22-23)

4. k1

k1 A: Ndabuh. ‘Selesai’ (S51-69) Ph Imper