Metafora dalam Sistem dan Percakapan dalam Bahasa Karo Pembahasan

221 32. a2.. 33. a2… 34. a2.. 35. k2NV 36. k2k1k2f 37. k1k2k1fk2f 38. k1…k2 39. k1k1NV 40. a1NV 41. k1k2 42. k1…k2 43. a2NV

5.3 Metafora dalam Sistem dan Percakapan dalam Bahasa Karo

Metafora dalam tingkat leksikal meruapakan analogi terhadap metafora pada tingkat budaya. Dalam bahasa Karo metafora budaya mempengaruhi sistem dan struktur percakapan. Berikut adalah metafora budaya dalam bahasa Karo yang mencakupi metafora modus, metafora langkah dan metafora kontekstual denga jenis pelibat. Budaya rebu yang dimiliki penutur bahasa Karo menyebabkan penutur tertentu mertua laki-laki dan menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki-laki, ipar beripar suami dari adikkakak suami dan istri dari adikabang istri bahasa Karo tidak dapat berbicara langsung, pembicaraan dilakukan dengan perantara sehingga terbentuk metapora langkah. Kalimbubu yang memegang peranan penting di dalam kegiatan budaya menyebabkan anak beru melakukan pilihan-pilihan ujaran yang tidak bersesuaian dengan modus ketika berbicara dengan mereka sehingga terbentuk metapora modus. Universitas Sumatera Utara 222 Dalam acara kematian penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang yang mati sehingga terjadi interaksi antara penutur dan orang mati dan mengakibatkan terbentuknya metapora kontekstual dengan jenis pelibat.

5.4 Pembahasan

Dalam budaya Karo, kalimbubu sebagai salah satu unsure sangkep geluh memegang peranan penting di dalam berbagai kegiatan budaya. Walaupun ketiga unsur sangkep geluh tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain, kalimbubu tetap memiliki peranan yang menentukan. Begitu pentingnya peranan kalimbubu di dalam kehidupan penutur bahasa Karo sehingga mereka beranggapan bahwa kalimbubu adalah dibata sipengidah ‘Tuhan yang memiliki pengelihatan’. Penutur bahasa Karo beranggapan bahwa bila mereka tidak mematuhi dan menghormati pihak kalimbubu Tuhan akan murka Ginting, 2008. Pentingnya peranan kalimbubu bagi penutur bahasa Karo dapat dilihat dalam berbagai kegiatan budaya, seperti dalam acara kematian, perkawinan, memasuki rumah baru dan sebagainya. Pihak anak beru akan tetap menanyakan persetujuan kalimbubu di dalam memutuskan atau melaksanakan tanggungjawabnya di berbagai kegiatan budaya tersebut. Akibatnya peranan kalimbubu ini berpengaruh sampai ke sistem percakapan dalam bahasa Karo. Selain sistem kekerabatan yang perlu diperhatikan penutur bahasa Karo dalam berkomunikasi, budaya rebu juga menjadi hal penting yang perlu mereka perhatikan dalam berkomunikasi. Budaya rebu merupakan budaya di mana penutur-penutur tertentu tidak dapat berkomunikasi satu dengan yang lain seperti mertua laki-laki dengan menantu perempuan, mertua perempuan dengan menantu laki-laki, dan ipar beripar. Universitas Sumatera Utara 223 Komunikasi yang mereka lakukan dengan menggunakan mediator. Budaya rebu ini sangat dijunjung tinggi oleh penutur bahasa Karo dan hingga saat ini penutur bahasa Karo mematuhi budaya tersebut dan beranggapan jika melanggar budaya rebu dianggap tidak beradat. Hal ini didukung oleh pendapat para imforman bahwa budaya rebu dan penghormatan terhadap kalimbubu dua hal yang penting diperhatikan dalam kehidupan masyarakat Karo. Dengan kata lain system kekerabatan dan budaya rebu berpengaruh terhadap sistem percakapan dalam bahasa Karo. Hal ini sesuai dengan konsep Linguistik Sistemik Fungsional di mana pendekatan ini memandang bahasa sebagai satu sistem dan bukan seperangkat aturan. Selain itu, Linguistik Sistemik Fungsional beranggapan bahwa bahasa adalah semiotik sosial Halliday, 1978; Lemke, 1985 yang memandang bahasa tidak hanya sebagai makna yang harus diperhitungkan sebagai sistem yang tersedia melainkan dalam menganalisis makna harus memperhitungkan, budaya, sejarah, dan dimensi politik. Berkaitan dengan penelitian ini, budaya penutur bahasa Karo diperhitungkan dalam menganalisis data karena bahasa yang digunakan oleh penutur bahasa Karo dalam mengekspresikan informasi dipengaruhi oleh faktor di dalam bahasa dan faktor- faktor di luar bahasa yang disebut dengan konteks sosial yang terdiri atas tiga strata, secara berurutan dari yang tertinggi atau paling abstrak ke bentuk konkret meliputi ideologi, budaya, dan konteks situasi Martin,1992; Halliday,1985. Demikian pula halnya dengan bahasa Karo, budaya sebagai salah satu unsur dari konteks sosial, yaitu budaya rebu menyebabkan penutur melakukan pilihan dalam menukarkan pengalamannya. Penutur memilih fungsi ujar berdasarkan kepada siapa dan dalam situasi yang bagaimana. Dengan kata Universitas Sumatera Utara 224 lain, sistem percakapan berkaitan erat dengan tiga unsur konteks situasi, yaitu apa yang dibicarakan, siapa partisipannya, dan bagaimana percakapan itu berlangsung. Konteks situasi sebagai bentuk yang konkret dari konteks sosial merupakan suatu aktivitas di mana bahasa digunakan sebagai sarana oleh penutur. Di dalam konteks situasi ini ditemukan norma-norma yang dianut oleh satu komunitas bahasa yang berbeda dari satu komunitas dengan komunitas yang lain. Di dalam budaya Karo misalnya, dalam konteks situasi perkawinan pihak pengantin laki-laki dan pengantin perempuan tidak dapat berkomunikasi secara langsung pembicaraan dilakukan dengan perantarajuru bicara dalam hal ini anak beru dari kedua belah pihak. Norma-norma ini menjadi faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dan ditaati oleh penutur ketika menukarkan pengalamannya baik dalam bentuk informasi, barang maupun jasa. Karena jika penutur tidak memperdulikan norma-norma tersebut, penutur dapat dikatakan tidak sopan atau tidak beradat. Oleh karena adanya faktor-faktor yang perlu diperhatikan dan ditaati dalam berkomunikasi sehingga penutur harus melakukan pilihan dalam bertukar pengalaman baik dalam bentuk informasi, barang maupun jasa. Pilihan yang dilakukan oleh penutur seperti yang diuraikan di atas disebut sebagai sistem jejaring percakapan Martin, 1992. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan jejaring percakapan dalam bahasa Karo yang berbeda dengan jejaring percakapan yang lazim. Sistem jejaring percakapan bahsaa Karo terdiri dari tiga faktor yaitu Peristiwa, Orientasi dan Interaksi. Ketiga faktor ini wujud di dalam sistem percakapan. Persitiwa sebagai unsur pertama memiliki tiga unsur, yaitu penutur, kontak dan konteks dan ketiga unsur ini juga wujud dalam setiap peristiwa. Orientasi adalah faktor kedua dalam sistem percakapan yang meliputi memulai percakapan atau menanggapi percakapan. Penutur memilih salah satu unsur Universitas Sumatera Utara 225 tersebut, yaitu memulai atau menanggapi. Interaksi sebagai faktor ketiga mencakup dua pilihan, yaitu terdapat interaksi jika petutur melanjutkan atau tidak ada interaksi jika percakapan tidak dilanjutkan. Penutur sebagai unsur dari peristiwa terdiri dari dua orang atau lebih sedangkan kontak merupakan cara berkomunikasi apakah percakapan dilakukan secara langsung atau tidak. Konteks adalah situasi terjadinya percakapan yaitu situasi biasa dan tidak biasa. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa dalam suku Karo terdapat budaya rebu yang juga ditemukan di dalam ini.Budaya rebu sebagai peraturan percakapan yang harus ditaati oleh penutur bahasa Karo, yaitu penutur-penutur tertentu tidak dapat berkomunikasi secara langsung baik dalam situasi biasa dan tidak biasa. Faktor ini menjadi penyebab terbentuknya suatu sistem percakapan bahasa Karo. Konstruksi ini tercipta secara tradisi budaya masyarakat etnis Karo bahwa menantu laki-laki tidak dapat berbicara langsung dengan mertua perempuan dan sebaliknya mertua laki-laki tidak dapat berbicara secara langsung dengan menantu perempuan. Istri tidak dapat berbicara langsung dengan suami dari adik perempuan suami ipar beripar dan sebaliknya. Komunikasi hanya dapat dilakukan dengan perantara baik dalam konteks situasi biasa dan tidak biasa. Jika di antara penutur dan petutur tidak ada penutur yang lain, perwakilan yang digunakan adalah benda tidak bernyawa. Penutur dapat juga memaparkan pengalamannya dengan menyebutkan seseorang yang tidak berada di tempat komunikasi terjadi. Perwakilan dalam percakapan tidak hanya terjadi dalam suku Karo tetapi juga terdapat dalam suku-suku yang lain dan juga bangsa yang lain Asmah Haji Omar, 1995:48 dalam Majid dan Baskaran. Universitas Sumatera Utara 226 Faktor lain penyebab terbentuknya sistem percakapan bahasa Karo adalah konteks situasi. Dalam upacara perkawinan misalnya, pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan tidak dapat berbicara secara langsung. Komunikasi dilakukan dengan menggunakan erwakilan baik dari pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan yang disebut anak beru. Demikian juga halnya dengan suku Melayu baik di Malaysia dan Indonesia Asmah Haji Omar, 1995:48 dalam Majid dan Baskaran. Oleh karena adanya komponen pengikat bagi penutur bahasa Karo dalam berkomunikasi penting diperhatikan hubungan tenor dan konteks situasi terjadinya percakapan. Hal ini berkaitan denga kajian LSF Halliday,1975; Martin, 1984 bahwa bahasa sebagai sarana berkomunikasi tidak lepas dari konteks sosial dalam hal ini adalah konteks situasi. Kontek situasi akan mempengaruhi penutur dalam mempertukarkan pengalamannya atau dengan kata lain penutur akan melakukan pilihan- pilihan berdasarkan konteks situasi. Hubungan tenor dalam percakapan bahasa Karo yang dimaksud di atas adalah hubungan yang disebabkan oleh kekerabatan. Wujudnya hubungan kekerabatan mengakibatkan adanya status. Pemilikan satu status biasanya dibarengi dengan pemilikan kekuasaan ‘power’ Young dan Brigid, 2006; Thomas, 1985. Dalam suku Karo, kalimbubu secara kekerabatan memiliki status yang lebih tinggi dari anak beru sehingga dalam konteks situasi tertentu dalam upacara perkawinan misalnya, anak beru yang bertugas sebagai perwakilan tidak dapat memutuskan sesuatu kecuali atas persetujuan pihak kalimbubu. Sebagai konsekuensinya sistem pilihan kalimat pihak anak beru ketika memerintah atau meminta jasa kepada kalimbubu direalisasikan dengan modus deklaratif bukan imperatif. Universitas Sumatera Utara 227 Jika dalam konteks situasi biasa terdapat beberapa tenor tertentu yang tidak dapat berkomunikasi langsung, maka berbeda pula halnya dalam konteks situasi kematian, Di dalam konteks situasi ini pembicara dapat berkomunikasi dengan yang mati dengan menentukan sistem tutur simbolik yaitu karena pembicara memproyeksikan dirinya sebagai orang mati sehingga terdapat interaksi antara pembicara dan yang mati. Berdasarkan imformasi yang diberikan imforman bahwa dalam budaya Karo baik orang yang baru lahir dan orang mati disambut dan dilepas dengan upacara. Sistem kekerabatan dan budaya rebu yang dimiliki penutur bahasa Karo tidak hanya berpengaruh terhadap sistem percakapan saja melainkan berpengaruh terhadap struktur percakapan karena struktur percakapan merupakan realisasi dari sistem percakapan. Struktur percakapan bahasa Karo yang ditemukan dalam penelitian ini sangat dipengaruhi oleh peranan dari sangkep geluh, yaitu kalimbubu, anakberu dan senina. Kalimbubu yang memegang peranan penting dalam berbagai kegiatan budaya mempengaruhi system percakapan dalam bahasa Karo yang bermuara pada bentuk struktur percakapan. Anak beru sebagai juru bicara di dalam berbagai kegiatan budaya harus menanyakan persetujuan kalimbubu dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Demikian juga dalam situasi kematian, penutur bahasa Karo beranggapan bahwa kematian dan kelahiran merupakan dua hal yang sama pentingnya sehingga disambut dengan acara adat. Komunikasi yang terjadi di dalam acara kematian komunikasi yang terjadi tidak hanya sesama penutur melainkan juga terjadi komunikasi atau interaksi antar penutur dengan orang mati. Pada upacara perkawinan meminang ‘embah belo selambar’ terdapat struktur percakapan yang lebih banyak dari struktur percakapan upacara bertunangan ‘nganting Universitas Sumatera Utara 228 manok’ serta struktur percakapan pada upacara pernikahan ‘mata kerja’. Perbedaan jumlah struktur yang terdapat pada ketiga upacara perkawinan tersebut adalah wajar karena sesuai dengan hal-hal yang dibicarakan dalam upacara tersebut. Pada upacara embah belo selambar sebagai fase pertama upacara perkawinan, para kerabat dari kedua belah pihak membahas maksud pertemuan dan menanyakan persetujuan. Selanjutnya membahas jumlah mahar, waktu dan tempat Fase kedua adalah upacara bertunangan ‘nganting manok’, pada upacara ini hanya memastikan segala sesuatunya yang telah dibicarakan pada upacara embah belo selambar sehingga tidak banyak terbentuk struktur percakapan yang kompleks. Pada upacara perkawinan pernikahan ‘mata kerja’ banyak terdapat struktur percakapan karena pada saat ini juru bicara dari kedua belah pihak pengantin memimpin jalannya upacara. Mereka berdua bertanggungjawab untuk mencapai keberhasilan acara sehingga mereka banyak melakukan langkah baik meminta dan memberi informasi atau meminta dan memberi jasa. Struktur percakapan yang dihasilkan pendek-pendek dan tidak berkelanjutan karena hanya merupakan langkah meminta jasa atau pemberian imformasi yang tidak perlu direspon atau tidak di respon NV= non verbal tapi diperhitungkan juga sebagai satu langkah yang disebut Love dan Suherdi 1996 dan Ventola 1987 sebagai dinamika langkah ‘dinamic move’. Sementara Martin 1992 menyebutnya sebagai ‘tracking’. Seperti yang telah diuraikan di atas bahwa dalam berkomunikasi, penutur selain harus memperhatikan konteks situasi terjadinya percakapan juga memperhatikan lawan berbicara. Demikian juga halnya dengan penutur bahasa Karo dalam berkomunikasi memperhatikan lawan bicaranya dan bagaimana hubungan kekerabatan yang terjadi di antara mereka apakah mereka rebu. Jika mereka rebu mereka tidak dapat berkomunikasi Universitas Sumatera Utara 229 secara langsung, komunikasi harus dengan perantara. Akibat dari situasi budaya dan sistem kekerabatan dalam budaya Karo, terbentuklah struktur percakapan yang panjang dan kompleks. Di dalam upacara perkawinan dan percakapan sehari-hari banyak ditemukan langkah NV non verbal yang disebut langkah palsu ‘pseudo move’ Martin, 1992 . Meskipun tidak ada jawaban tetapi bermakna karena imformasi atau jasa yang dibutuhkan penutur terwujud lewat perbuatan petutur. Fenomena seperti ini dapat dianalisis dengan teori multy modal yaitu menganalisis hubungan tuturan dengan gambar ataupun gerak badan ‘gesture’. Hal ini sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh O’Halloran 2004 bahwa analisis dan interpretasi bahasa secara kontekstual berhubungan dengan sumber-sumber semiotik lainnya dan secara simultan mengkonstruksikan makna. Teori ini diilhami dari teori sistemik fungsional Halliday, 1994 yang dikembangkan ke sumber-sumber semiotik lainnya seperti penelitian-penelitian yang dilakukan O’Halloran 2003; O’Toole 1994. Tetapi dalam penelitian ini tidak mengkaji multimodal. Lazimnya dalam percakapan struktur yang kompleks terbentuk karena adanya dinamika percakapan, di mana dalam pertukaran informasi penutur menggunakan tantangan, konfirmasi, klarifikasi dan sebagainya Ventola, 1987. Jika Ventola menemukan tiga jenis dinamika alam percakapan antara pembeli dan penjual Service encounter, yaitu pertahanan ‘suspending’, pembatalanpengguruan ‘aborting, dan perluasan ‘elucidating’, Love dan Suherdi 1996 menemukan satu jenis dinamika langkah di luar yang ditemukan Ventola, yaitu kelanjutan ‘sustaining’ dalam wacana kelas. Universitas Sumatera Utara 230 Pilihan-pilihan tuturan yang tidak lazim dalam berkomunikasi disebut sebagai metapora, yaitu sikap pribadi kedua dari pembicara atau penilaian tuturan dalam situasi tertentu Simon Vanderbergen, 2003; Martin, 1992, dan Saragih, 2009. Penutur melakukan penilaian dalam menyampaikan maksudnya, yakni kepada siapa dia berbicara dan bagaimana klausa direalisasikan untuk menyampaikan maksud tersebut. Dalam bahasa Karo, metapora banyak terjadi di dalam percakapan, metapora yang ditemukan tidak hanya dalam bentuk metapora leksikal dan metapora gramatikal tetapi juga metapora modus, metapora langkah, dan metapora kontekstual dengan jenis metapora pelibat. Metapora modus wujud di dalam percakapan ketika penutur memilih fungsi ujar yang disesuaikan dengan mitra bicaranya. Penutur bahasa Karo tidak dapat melakukan perintah dengan menggunakan klausa imperatif melainkan dengan klausa deklaratif. Dengan demikian kalimat perintah direalisasikan dengan modus deklaratif bukan imperatif. Metapora langkah terjadi dikarenakan penutur tertentu tidak dapat secara langsung menukarkan pengalamannya. Konsekuensinya penutur melakukan langkah yang tidak sesuai. Lazimnya langkah meminta informasi ditanggapi dengan langkah memberi informasi tetapi penutur bahasa Karo yang tidak dapat berkomunikasi secara langsung untuk menanggapi permintaan tersebut penutur melakukan langkah meminta barang dan jasa kepada penutur lain atau memerintah penutur lain untuk menanggapi permintaan informasi tersebut. Metapora kontekstual dengan jenis metapora pelibat wujud dalam bahasa Karo. Dalam situasi kematian, lazimnya tidak terjadi komunikasi di antara penutur dan orang Universitas Sumatera Utara 231 mati. Lain halnya dengan penutur bahasa Karo, penutur dapat berinteraksi atau menukarkan pengalamannya dengan orang mati. Interaksi terjadi karena penutur memproyeksikan dirinya sebagai orang mati. Metapora modus dan metapora langkah dapat terjadi sekaligus di dalam percakapan. Ketika penutur tidak dapat erkomunikasi secara langsung dengan penutur yang lain, penutur melakukan pilihan langkah dan fungsi ujar sesuai dengan kepada siapa penutur berkomunikasi. Konteks sosial bukan hanya dipandang sebagai variabel atau faktor di luar bahasa melainkan faktor yang harus dipertimbangkan sebagai sistem dan struktur yang mempengaruhi sistem pilihan linguistik yang direalisasikan oleh struktur Berrry, 1981; Butler, 1985; Martin, 1984. Pilihan-pilihan tuturan dalam sistem percakapan yang dilakukan tenor akan mempengaruhi struktur percakapan. Konsekuensinya jika pilihan-pilihan sistem percakapan yang dilakukan pelibat tidak lazim akan menghasilkan struktur percakapan yang bermarkah yang bermuara pada terbentuknya metapora. Universitas Sumatera Utara 232 BAB VI SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan Berdasarkan bahasan yang telah dilakukan pada bab terdahulu, ditarik beberapa simpulan sebagai berikut. 1. Sistem percakapan dalam bahasa Karo sebagian tidak sama dengan sistem percakapan yang lazim dalam persfektif LSF. Sistem percakapan bahasa Karo terdiri dari dua jenis, yaitu sistem percakapan dalam konteks biasa dan sistem percakapan dalam konteks tidak biasa. Sistem percakapan dalam konteks tidak biasa meliputi konteks memasuki rumah baru ‘mengket rumah’; dan konteks situasi kematian, ‘simate-mate’ 2. Sistem percakapan menjadi dasar pembentukan struktur percakapan. Dengan demikian struktur percakapan dalam bahasa karo juga sebagian tidak sama dengan struktur percakapan yang lazim dalam perfektif LSF. 3. Struktur percakapan bahasa Karo selain sama dengan struktur percakapan yang diajukan dalam LSF Martin,1992 yaitu sembilan struktur percakapan dalam meminta dan memberi informasi serta sembilan struktur percakapan dalam memberi dan meminta jasa juga terdapat struktur yang berbeda dan struktur pengembangan dari masing- masing sembilan struktur tersebut. 4. Faktor penyebab terbentuknya sistem dan struktur percakapan dalam bahasa karo yang tidak sama dengan sistem dan struktur percakapan yang lazim adalah hubungan tenor sebagai unsur dan konteks situasi dan budaya Universitas Sumatera Utara 233 5. Bahasa Karo memiliki tenor-tenor tertentu yang tidak dapat berbicara langsung. Dengan demikian, pembicaraan dilakukan dengan menggunakan perantara, yaitu manusia atau benda mati sehingga terbentuklah struktur yang berbeda dari struktur yang lazim dalam perfektif LSF. 6. Dalam konteks situasi perkawinan, pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan tidak dapat berbicara langsung, percakapan dilakukan dengan mediator, anak beru dari kedua belah pihak yang mengakibatkan terbentuknya struktur yang kompleks dan tidak lazim. 7. Dalam konteks situasi kematian, pembicara dapat memperoyeksikan dirinya sebagai orang yang mati yang mengakibatkan terjadi interaksi antara yang mati dengan pembicara yang pada akhirnya terbentuk struktur percakapan yang tidak lazim 8. Dalam konteks situasi memasuki rumah baru tidak terdapat interaksi. 9. Struktur percakapan yang kompleks lazimnya disebabkan oleh dinamika percakapan yang berbentuk tantangan, klarifikasi, konfirmasi dan sebagainya, tetapi dalam bahasa Karo struktur yang kompleks itu tidak hanya disebabkan oleh unsur-unsur tersebut tetapi juga disebabkan oleh hubungan tenor sebagai unsur konteks situasi dan budaya 10. Unsur struktur percakapan dalam kontek situasi meminang ‘embah belo selambar’ lebih panjang dibandingkan dengan struktur percakapan bertunangan ‘nganting manok’ dan pernikahan ‘pedalan ulu emas’. Hal ini disebabkan hal-hal yang dibicarakan topik pembicaraan. 11. Metapora dalam bahasa Karo tidak hanya terdapat dalam bentuk gramatika dan leksis, tetapi juga terdapat dalam metafora kontekstual denga jenis pelibat, metafora modus dan metapora langkah. Universitas Sumatera Utara 234 12. Metafora wujud dalam sistem dan struktur percakapan dalam bahasa Karo karena sistem kekerabatan dan budaya.

6.2 Saran-Saran