Peraturan Berbicara Metafora Ideologi

82

2.1.11 Peraturan Berbicara

Agar komunikasi dapat berjalan dengan lancar dan diterima oleh masyarakat dalam berbagia situasi, dalam hal ini komunikasi secara lisan atau lebih tepatnya disebut berbicara, maka seseorang hendaknya mengetahui aturan-aturan dalam berbicara. Peraturan berbicara ini berkaitan dengan sosial budaya dari penutur bahasa, yaitu apa yang dapat dan tidak dapat diucapkan oleh seseorang kepada siapa dan dalam situasi apa. Pada budaya tertentu, jika seseorang tidak mengindahkan peraturan tersebut, maka dia disebut tidak sopan, tidak beradat, kasar dan sebagainya. Pembicaraan atau komunikasi yang terjadi di masyarakat pada umumnya diawali dengan phatic communion yaitu interaksi verbal yang terjadi antara dua orang yang bertemu, yakni ucapan salam antara lain, apa kabar, mau kemana, apakah tidak sibuk, dan sebagainya. Komunikasi verbal ini tidak bermakna tetapi memiliki makna sosial yang signifikan yakni membantu membangun hubungan antara mereka yang dapat juga bermanfaat sebagai sarana masa pemanasan ‘warming up period’ Kemudian pembicaraan berarah kepada tujuan yang disebut dengan masa pemanasan ‘warming up’ dan akhirnya bermuara pada maksud sebenarnya ‘actual message’ Dengan kata lain, terjadi ketidaklangsungan dalam pertukaran pengalaman. Ketidaklangsungan merupakan salah satu peraturan berbicara yang terdapat di masyarakat, antara lain pada suku batak, yaitu batak Karo, batak Tapanuli, batak Simalungun, dan juga suku Melayu baik suku Melayu di Indonesia, Malaysia dan Brunai. Ketidak langsungan dalam masyarakat Melayu di Malaysia berdasarkan sifatnya dibagi atas empat, yaitu berbasa-basi ‘Beating about the Bush’, penggunaan imajinasi, penggunaan kontradiksi, dan penggunaan perwakilan. Tiga jenis pertama melibatkan pembicara dan orang yang dibicarakan, atau pembawa pesan dan penerima pesan. Jenis terakhir melibatkan pembawa Universitas Sumatera Utara 83 pesan, pembicarapenyampai pesan, dan pendengar Asmah Haji Omar, 1995:48 dalam Majid dan Baskaran. Selanjutnya, Asmah Haji Omar menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan Beating about the Bush adalah ketidaklangsungan penutur dalam menyampaikan maksud sebenarnya kepada petutur. Penutur ketika memohon sesuatu kepada penutur mengawalinya dengan membicarakan sesuatu baik yang berkaitan maupun tidak berkaitan dengan maksud sebenarnya yang biasa disebut dengan istilah berbasa-basi. Misalnya, seorang anak lelaki yang ingin bapaknya membeli sepeda motor untuknya, dia akan mengawalinya dengan berkata bahwa jika dia memiliki sepeda motor dia tidak akan terlambat pergi kuliah, dia dapat mengantar ibunya bila mana diperlukan, ongkos yang dibutuhkan untuk transport tidak besar jumlahnya atau dia dapat berhemat. Dengan kata lain, dia tidak meminta secara langsung kepada bapaknya, “Pak beli sepeda motor saya”. Ketidaklangsungan percakapan yang menggunakan basa-basi digambarkan seperti figura berikut: Figura 2.8 Percakapan yang diawali dengan basa-basi “Beating about the Bush” Selain memohon, memuji juga dilakukan secara tidak langsung. Misalnya, ketika memuji makanan seseorang yang lezat rasanya dan memuji pakaian yang sangat bagus digunakan kalimat sebagai berikut: ”dalam membuat makanan ini tentu dibutuhkan waktu yang lama” dan “seluar ini pasti dijahit oleh penjahit ternama”. Phatic Communion ‘basa-basi’ Warming- up ‘pra wacana’ Actual Message ‘wacana sebenarnya’ Universitas Sumatera Utara 84 Dalam suku Karo ketidaklangsungan seperti di atas juga terjadi, misalnya dalam melarang, memuji dan meminta maaf. Contoh-contoh berikut merupakan ketidaklangsungan yang digunakan suku Karo dalam memuji, meminta maaf , dan melarang. Melarang: Adi banci ula sendah kam reh ‘Kalau bisa jangan hari ini kau datang’ Memuji : Enggo bagi rumah pejabat kap rumah ndu enda ‘Sudah seperti rumah pejabat rumah mu ini’ Minta maaf: Enggo ndekah nge kam nimai aku mama, picet ka ndai dahinku ‘Sudah lama paman menunggu, banyak pula tadi pekerjaanku’ Imajinasi sebagai salah satu jenis ketidaklangsungan digunakan baik dalam percakapan dan karya sastra tetapi lebih banyak digunakan penulis dalam karya sastra, yaitu pantun. Pantun sebagai salah satu bentuk komunikasi dalam bentuk tulisan dan juga digunakan secara lisan. Secara lisan pantun digunakan antara lain oleh suku Aceh, Minangkabau, dan di Indonesia maupun Malaysia dalam upacara perkawinan. Kontradiksi teknik merupakan jenis ketidaklangsungan yang digunakan untuk menekan atau menghilangkan rasa kesombongan penutur dan petutur dalam situasi yang berlawanan dan ramah tamah. Tuan rumah yang telah menyediakan berbagai jenis makanan mempersilahkan tamunya dengan mengatakan: “Tidak ada apa-apa. Silahkan makan apa adanya.” Penggunaan perwakilan merupakan ketidaklangsungan jenis ketiga dimana dalam berkomunikasi atau bertukar pengalaman para penutur dan petutur menggunakan perwakilan. Hal ini disebabkan oleh konteks budaya yang dianut mereka tidak membenarkan mereka bertukar pengalaman secara langsung. Penggunaan perwakilan ini disebabkan terjadinya celah, jarak atau batasan yang berkaitan dengan usia, status, hubungan kekerabatan dan sebagainya. Suku Karo, suku Melayu baik di Malaysia dan Indonesia menggunakan perwakilan dalam Universitas Sumatera Utara 85 berbagai upacara perkawinan, yaitu perwakilan dari pihak pengantin laki-laki dan pihak pengantin perempuan dalam meminang dan bermusyawarah. Situasi percakapan yang menggunakan perwakilan tersebut dapat digambarkan dalam Figura 2.9. Figura 2.9: Komunikasi Verbal Aktif Semua jenis ketidaklangsungan tersebut di atas juga merupakan kesantunan Holmes, 2003. Hal demikian juga terjadi dalam suku Karo untuk meminta maaf, memohon memerintah, memuji, melarang dan ucapan berlangsungkawa dilakukan secara tidak langsung Ginting, 2005. Selanjutnya Ginting 2005 menyatakan bahwa ketidaklangsungan tersebut dilakukan berdasarkan hubungan kekerabatan penutur dan petutur serta usia. Ketidaklangsungan dalam berbicara yang menggunakan perwakilan di dalam suku Karo disebut rebu. Figura 2.10: Komunikasi yang Menggunakan Perwakilan Manusia Selain dalam upacara perkawinan, perwakilan juga digunakan suku Karo dalam berkomunikasi atau bertukar pengalaman yang disebabkan oleh hubungan kekerabatan. Seperti Pembawa pesan penerima pesan Perwakilan Perwakilan Penerima pesan Pembawa pesan Pembawa pesan penerima pesan Perwakilan manusia Penerima pesan Pembawa pesan Universitas Sumatera Utara 86 yang telah diuraikan sebelumnya bahwa dalam suku Karo menantu laki-laki tidak dapat berbicara langsung dengan mertua perempuan dan sebaliknya mertua laki-laki tidak dapat berbicara secara langsung dengan menantu perempuan. Istri tidak dapat berbicara langsung dengan suami dari adik perempuan suami ipar beripar dan sebaliknya. Komunikasi hanya dapat dilakukan dengan perantara. Komunikasi ini digambarkan seperti pada Figura 2.10. Jika antara partisipan tersebut tidak ada perwakilan dan komunikasi terpaksa dilakukan, maka perwakilan yang digunakan adalah benda tidak bernyawa atau partisipan menyampaikan pesannya dengan menyebutkan seseorang yang tidak berada di tempat komunikasi . Komunikasi seperti ini dapat digambarklan dalam figura berikut. Figura 2.11: Komunikasi yang Menggunakan Perwakilan Non Manusia

2.1.12 Budaya Karo dan Bahasa Karo