2 Tujuh Tahap Siklus Baku Soft System Methodology

Gambar 3.2 Tujuh Tahap Siklus Baku Soft System Methodology

Sumber: Checkland, 1999, p.163

6 Peter Checkland & John Poulter, 2006, Learning for Action: A Short Definitive Account of Soft Systems Methodology and its use for Practitioners, Teachers, and Students . England: John

Wiley & Sons Ltd. 7 Peter Checkland, 1993, 163; Checkland & Scholes, 1998, 7 dan 28 dan Checkland,

1999, A9

Dalam konteks inilah SSM dikatagorikan sejalan dengan Habermas, meskipun Habermas tidak mengakuinya seperti terlihat dari kutipan di bawah ini: Soft systems methodology implies, rather, a model of social reality such as

is found in the alternative (phenomenological) tradition deriving sociologically from Weber and philosophically from Husserl. Ironically, the methodology is also highly compatible with the ideas of the ‗Critical Sociology‘ of the Frankfurt School, although Habermas—its leading theorist —regards himself as opposes to systems theory. Another way to describe the methodology, in fact, is a formal means of achieving the ‗communicative competence‘ in unrestricted discussion which Habermas seeks. 8

Tentang hal ini, Habermas mempostulasi keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga kepentingan ini adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan emansipatoris (emancipatory). Secara berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yang membentuk pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan dalam membebaskan diri

dari struktur-struktur dominasi. 9 Karakter ilmu pengetahuan dalam dimensi personal adalah ilmu-ilmu

kritis (Teori Kritis). Ilmu pengetahuan dalam dimensi ini tidak memiliki obyek seperti kedua tipe lainnya, kecuali merefleksikan epistemologi, metodologi, proses dan hasil kedua tipe ilmu pengetahuan lainya sebagai subjeknya. Tujuannya adalah mendeskripsikan struktur sosial dan memberikan pencerahan untuk proses pembentukan diri masyarakat.

Ilmu-ilmu kritis, sebagai ilmu yang mempromosikan emansipatoris, menguak watak ideologis hasil kedua tipe ilmu lainnya. Watak ideologis tersebut adalah perbedaan antara mitos dan ilmu pengetahuan hanyalah perbedaan di

dalam cara memahami kenyataan, dan bukan perbedaan dalam hakikat. 10 Dalam konteks ini pendekatan kesisteman (systems thinking) dapat dikategorikan sebagai

ilmu kritis 11 berbasis pembelajaran tindakan.

8 Peter Checkland, 1999, Systems Thinking Systems Practice, England: John Wiley & Sons Ltd., 19-20

9 Fransisco Budi Hardiman, 2009, Op.Cit., p. 10 Ibid., p. 11 Peter Checkland, 1981, Systems Thinking, Systems Practice, Chichester:

Wiley.Checkland,

3.1.1Paradigma Penelitian Soft Systems Methodology

Soft System Methodology dimasukan ke dalam paradigma action research dalam berbagai literatur. Penelitian tindakan ini, berciri penelitian untuk menyelesaikan sebuah masalah (problem solving research). Ini berdampak pada siklus tunggal yang dilakukan dalam jenis riset ini yaitu problem solving yang memberikan kesan tidak pada tatanan teoritis. Penyataan penggunaannya yang

luas dijelaskan oleh Reynold dan Holwell 12 dalam bukunya tentang pendekatan kesisteman dalam manajemen perubahan:

The application area for SSM is very broad. … One of these is to create a process of learning your way through problematical situations to ‗action to improve‘ – a very general concept indeed. The other is the idea that you can make sure this learning is organized and structured by using, as a source of questions to ask in the real situation, models (systems models) of

purposeful activity. 13 (Garis bawah oleh peneliti).

14 Mengacu pada pengelompokan paradigma menurut Neuman , penelitian ini termasuk paradigm critical social science. Sedangkan menurut Creswell 15 termasuk paradigma participatory. Hougton dan Ledington 16 mengelompokkan sebagai paradigma interpretive. Sementara Mingers 17 memasukkan dalam critical

theory dan menganggap SSM sebagai paradigma humanist dan interpretive. Dengan memperhatikan telaah ini dan sifat SSM sebagai human activity systems,

Rose 18 menekankan pemahaman paradigma dan sudut pandang ontologi dan epsitemologinya sehingga penelitian ini dapat juga dikategorikan sebagai

paradigm interpretivism dan realism.

12 Martin Reynold dan Sue Holwell, 2010, Systems Appraches to Managing Change: A Practical Guide , London: Springer.Reynold dan Holwell 13 Ibid., p 193 14 Laurence W. Neuman, 2000, Social Research Methods Qualitative and Quantitative

Approaches 4th edition. Needham Height 15 John C. Creswell, 1994, Research Design Qualitative & Quantitative Approaches,

London: Sage Publications 16 Houghton,L., & Ledington,P.W.J. (2002). The Evolution of Confusion : Soft Systems

Methodology and Social Theory Revisited . Faculty of Business The University of the Sunchine Coast.

17 Mingers, J. 1984, Subjectivisme and Soft Systems Methodology a Critique, Journal of Applied Systems Analysis Vol. 11 pp.85-103. 18 Rose, G (1982). Deciphering Social Research. London: Macmillan.

Penyataan penggunaan SSM yang luas dijelaskan oleh Reynold dan Holwell 19 dalam bukunya tentang pendekatan kesisteman dalam manajemen

perubahan: The application area for SSM is very broad. This is not due to

megalomania on the authors‘ part. Rather it stems from the wide applicability of two key ideas behind SSM. One of these is to create a process of learning your way through problematical situati ons to ‗action to improve‘ – a very general concept indeed. The other is the idea that you can make sure this learning is organized and structured by using, as a source of questions to ask in the real situation, models (systems models) of purposeful activity. (Garis bawah oleh peneliti).

Proses penelitian terkait dengan penentuan paradigma penelitian. 20 Pernyataan tersebut agaknya dapat dikaitkan dengan perkembangan yang cukup

pesat atas paradigma penelitian yang merupakan kerangka umum atas teori, asumsi-asumsi, isu-isu utama, model dan metode penelitian. 21

3.1.2 Model Dual Imperactive untuk Riset dan Pemecahan Masalah

Penelitian SSM digunakan untuk tujuan problem solving dan research interest sekaligus disebut juga dual imperative. Pada awal perkembangannya SSM memang merupakan problem solving tools yang menghasilkan knowledge- based experience. Selanjutnya, berdasarkan persepsi atas real world dibangun konstruksi pemikiran (knowledge) sekaligus solusi masalah (problem solution)

berdasarkan pemahaman atas riset terdahulu. 22 As an AR practice, this research is a research interest, instead of a

problem solving interest in AR 23 ; it is also a theoretical research practice, instead of a business change practice/empirical research practice and

regular business practice and it is an interpretative actions and theory development actions. 24

19 Martin Reynold & Sue Holwell. Op.Cit. p 193 20 Guba, E., G. 1990, The Paradigm Dialog, London: Sage Publications. 21 Laurence W. Neuman, 2000, Social Research Methods Qualitative and Quantitative

Approaches 4th edition. Needham Heights. 22 khususnya John Stephens et al, 2009, “Action Research: Its Foundations in Open Systems Thinking and Relationship to the Scientific Method ,‖ System Practice Action Research , Volume 22, page 475 –488;

23 Judy McKay dan Peter Marshall, (2001), “The Dual Imperatives of Action Research.‖, Information Technology & People, Vol. 14 No. 1, 2001, pp. 46-59. 24 Stefan Cronholm & Göran Goldkuhl, 2003, Loc. Cit., p

Dengan mengacu hal tersebut, penelitian disertasi ini pun bertujuan dual imperative . Meskipun penelitian ini menggunakan pendekatan Soft Systems Metodhology (SSM), sehingga tidak dilihat dari sudut pandang (mainstream) social science methodologies, namun kiranya SSM sebagai bagian dari soft systems thinking. Systems thinking paradigm sebagai metode penelitian sebagai metode alternatif melengkapi kedua paradigma terdahulu: kualitatif dan kuantitatif. Kekhususan SSM bermula dari konsep typology systems, yaitu human

activity systems. 25 Human activity systems berangkat dari human intentions yang berakar dari human free choice, to attribute meaning, dan segala aplikasinya

dalam wujud holon(s). SSM adalah metodologi untuk experience based knowledge yang bergerak antara reality dan actuality.

Pemikiran tersebut dapat ditelusuri pada gambar pemikiran Cronholm pada gambar 3.3.