4 Proses Dual Impercative

Gambar 3.4 Proses Dual Impercative

Sumber: MacKay & Marshall, 2001

29 Ibid., pp 30 Robert Flood & Michael C. Jackson, 1993, Creative Problem Solving : Total System

Intervention, England : Biddles Ltd, Guildford and King’s Lynn., p. 171

Penelitian ini, berfokus pada research interest-cycle mengingat kebutuhan ilmiah yang lebih besar bobotnya untuk penulisan disertasi. Walau demikian situasi problematik akan ditelusuri sebagai informasi awal untuk penelusuran

situasi yang problem. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.4. Desain penelitian ini bersifat dual imperative: theoretical interest dan problem interest. Model dual imperative merupakan perkembangan SSM yang pada awalnya problem solving tools yang menghasilkan knowledge-based experience. Lebih lanjut, ditekankan bahwa berdasarkan persepsi atas real world dibangun konstruksi pemikiran (knowledge) sekaligus solusi masalah (problem solution).

Pembenaran pandangan ini sesuai dengan pemahaman atas riset terdahulu 31 , yang merumuskan dalam karakteristik praktik penelitian, praktik perubahan, dan

praktik bisnis.

32 Peneliti setuju dan ingin menindaklanjuti temuan Uchiyama yang menulis, “SSM is the Western model of purposeful thinking. This is not always

available to the Japanese way of thinking, which is closer to my propose C-SSM than the Western-orientated SSM. ‖ Apa yang dilakukan oleh Uchiyama dengan mengritisi ―what we do anyway‖ dan ―natural‖ yang berbeda antara Barat dan Jepang menjadi inspirasi untuk menggali praktik kompetensi MSDM menggunakan SSM di perbankan Indonesia. Bagi peneliti, apa yang sudah

dilakukan Hardjosoekarto 33 adalah awal yang sangat penting untuk melihat model baru metode SSM yang lebih sesuai dengan lingkungan Indonesia.

Dalam hal ini, peneliti cenderung menggunakan C-SSM yang terbuka terhadap domain ilmu lain, misalnya psikologi positif (positive psychology) 34 dan

31 Judy McKay & Peter Marshall, 2001, “The Dual Imperatives of Action Research.‖, Information Technology & People, Vol. 14 No. 1, 2001, pp. 46-59. dan Stefan Cronholm & &

Göran, Goldkuhl, 2003, “Understanding The Practices of Action Research”, Accepted to the (2nd) European Conference on Research Methods in Business and Management (ECRM 2003), Reading, UK, 20-21 March, 2003

32 Uchiyama, Kenichi, 1999, “Reinterpreting Soft Systems Methodology (SSM): Introducing Actuality into the Field of Management and Information Systems Studies‖, disertasi pada London School of economics and Political Science.

33 Hardjosoekarto, Sudarsono, 2012, ―Construction of Social Development Index as a Theroritical Research Practice in Action Research by Using Soft Systems Methodology‖ Systemic

Practice Action Research, Springer Science + Business Media. 34 Psikologi Positif (Positive Psychology) muncul sebagai cabang psikologi (terbaru) pada

neuro linguistic programming. Sebagai upaya memahami paradigma penelitian, penulis merangkum gambaran berikut dengan tetap meyakini bahwa SSM sebagai satu metodologi alternatif.

SSM sebagai salah satu contoh pendekatan metodologi soft systems terbukti efektif memecahkan persoalan berkaitan dengan perilaku manusia yang irasional, kompleks dan tidak beraturan (messy). Metode SSM cocok untuk menganalisis sistem informasi dengan memfokuskan pada kegiatan pengambilan keputusan. Dalam penjelasan sebelumnya Uchiyama mengutip pendapat Checkland sebagai berikut:

Checkland developed SSM with a focus on actual transformations, since it was born out of a criticism of the "hard" paradigm. Nevertheless, SSM can beunderstood as the duality of the real and actual transformations. However, as will be explained in detail in Parts I and II, this duality is a relationship of mutual concealment. We cannot recognize both of them at the same time. When we focus on the real transformation, we cannot see the actual transformation, and vice versa. SSM is a methodology which

can be seen to bridge between these dual transformations. 35

Penjelasan tentang posisi SSM menurut Flood, masih menyisakan kegamangan antara action research dengan positivisme seperti digambarkan

berikut oleh Uchiyama. 36 Dalam penelitian tersebut dijelaskan perbedaan mendasar antara ‖actuality‖ dan ‖reality‖. Dikaitkan dengan hal tersebut,

penelitian ini dapat dikatakan SSM berbasis action research (AR). Hal ini, sesuai dengan pengelompokan tiga paradigma oleh Neuman 37 dalam ilmu sosial yaitu

positivist social science, interpretive social science, dan critical sosial scince;

tahun 1998. Martin Seligman – Presiden APA (American Psychological Association), adalah tokoh utama cabang psikologi ini. Psikologi Positif mempelajari tentang kekuatan dan kebajikan yang bisa membuat seseorang atau sekelompok orang menjadi berhasil (dalam hidup atau meraih tujuan hidupnya), dan oleh karenanya ia menjadi bahagia. Salah satu pusat perhatian utama dari cabang psikologi ini adalah pencarian, pengembangan kemampuan, bakat individu atau kelompok masyarakat , dan kemudian membantunya untuk mencapai peningkatan kualitas hidup dari normal menjadi lebih baik, lebih berarti, lebih bahagia. http://forum.psikologi.ugm.ac.id/psikologi- klinis/positive-psychology /

35 Kenichi Uchiyama., 1999, “Reinterpreting Soft Systems Methodology (SSM): Introducing Actuality into the Field of Management and Information Systems Studies‖, disertasi

pada London School of economics and Political Science. 36 Uchiyama, K., A Concise Theoretical Grounding of Action Research: Based on

Checkland's Soft Systems Methodology And Kimura's Phenomenological Psychiatry, (2009) 37 Laurence W. Neuman, 2000, Social Research Methods Qualitative and Quantitative

Approaches 4th edition. Needham Heights.

maupun pandangan Creswell 38 yang membedakan empat paradigma, yaitu: post positivism, constructivism, participatory, dan pragmatism.

Dengan menggunakan SSM, lebih khusus lagi C-SSM, interaksi dinamis ―real world‖ dan ―actual world‖ menjadi lebih nyata. Jika menggunakan

kuantitatif real world dipahami sebatas permasalahan yang dikonstruksikan. Pada paradigma kualitatif sebagian dari “kedalaman” masalah mulai tergali, namun

refleksi pengalaman para aktor tidak dirumuskan kembali secara sistemik sehingga tidak pula muncul model, debating, dan perubahan yang dilaksanakan.