Paradigma Penelitian

1. Paradigma Penelitian

Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga disebut paradigma penelitian yang merupakan arus utama (main stream) adalah paradigma penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pengertian paradigma menurut Patton, 1978 (dalam Lincoln dan Guba ,1985) ini adalah :

A paradigm is a world view, a general perspective , a way of breaking down the complexity of the real world. As such, paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners: paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable.

Peneliti menggarisbawahi kata “a way of breaking down the complexity of the real world ”. Berpikir yang menekankan keseluruhan rangkaian bagian secara terpadu itu disebut berpikir sistemik. Syarat awal untuk memulai berpikir sistemik adalah adanya kesadaran untuk menghormati dan memikirkan suatu kejadian sebagai sebuah sistem. Pengertian sistem adalah keseluruhan saling-pengaruh antara unsur dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan.

Pendekatan Berpikir Serba Sistem Lunak (Soft Systems Methodology) yang digunakan dalam penelitian ini mengakui real world dari berbagai aktor yang terlibat. Pendekatan ini dapat juga dianggap tersendiri yang disebut sebagai serba sistem (systems thinking). Untuk memahaminya berikut diuraikan latar belakang dan usaha mengembangkannya. Untuk menjelaskan paradigma berpikir Serba Sistem Lunak, Checkland memulai dengan mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule ) yang melakukan penelitian multidisipliner dengan memakai pendekatan-pendekatan kritis dari berbagai aliran filsafat, seperti fenomenologi, hermeneutik, analisis-bahasa, vitalisme, dan seterusnya, juga psikoanalisis Freud. Semua pendekatan itu diintegrasikan dalam ke dalam analisis epistemologis yang kritis dari Marx yang dikenal dengan sebutan “Teori Kritis” .

Dalam Knowledge and Human Interest, Juergen Habermas menjelaskan secara panjang lebar adanya keterkaitan teori dengan praktis. Dimensi manusia menurut Habermas terbagi menjadi tiga, yaitu: dimensi materi, dimensi sosial, dan dimensi personal. Dimensi materi berada di luar diri manusia dan bebas dari Dalam Knowledge and Human Interest, Juergen Habermas menjelaskan secara panjang lebar adanya keterkaitan teori dengan praktis. Dimensi manusia menurut Habermas terbagi menjadi tiga, yaitu: dimensi materi, dimensi sosial, dan dimensi personal. Dimensi materi berada di luar diri manusia dan bebas dari

Tabel 1 Dimensi Manusia dan Kepentingan Metodologisnya

Medium kerja dimensi

Medium bahasa dimensi

Medium kekuasaan

kerja

komunikasi

dimensi kekuasaan

Kepentingan Teknis

Praktis

Emansipatoris

Pengetahuan Informasi

Interpretasi

Analisis

Tindakan Tindakan rasional-

Tindakan revolusioner- bertujuan

Tindakan komunikasi

emansipatoris

Ungkapan Proposisi deduktif

Bahasa sehari-hari,

Pembicaraan

lingustik nomologis (monologal)

language game, ungkapan

emansipatoris

dialogal

Metodologi Emipiris-analitis

Historis-hermeneutis

Refleksi-diri

Sistematika Ilmu-ilmu empiris-analitis Ilmu-ilmu historis- Ilmu-ilmu kritis (Teori Metodis

(ilmu-ilmu pengetahuan

hermeneutis (ilmu-ilmu

Kritis)

alam)

pengetahuan budaya)

Sumber: Apel & Habermas dalam Hardiman (2009, 212)

Karakter ilmu pengetahuan dalam dimensi personal adalah ilmu-ilmu kritis (Teori Kritis). Ilmu pengetahuan dalam dimensi ini tidak memiliki obyek seperti kedua tipe lainnya, kecuali merefleksikan epistemologi, metodologi, proses dan hasil kedua tipe ilmu pengetahuan lainya sebagai obyeknya. Tujuannya adalah mendeskripsikan struktur sosial dan memberikan pencerahan untuk proses pembentukan diri masyarakat.

Ilmu-ilmu kritis, sebagai ilmu yang mempromosikan emansipatoris, menguak watak ideologis hasil kedua tipe ilmu lainnya. Watak ideologis tersebut muncul seperti diungkapkan oleh Adorno dan Horkheimer, bahwa perbedaan antara mitos dan ilmu pengetahuan hanyalah perbedaan di dalam cara memahami kenyataan, dan bukan perbedaan dalam hakikat (Budiman, 2009).

Tabel 2 Penelitian dan Praktis

Penelitian dalam ilmu-ilmu Alam

Penelitian dalam ilmu-ilmu Sosial

Kepentingan Teknis

Praktis

Praktis Kerja

Komunikasi

Orientasi Sukses

Pemahaman timbal-balik

Hirarki Keilmuan Sains

Knowledge

Sumber: diolah dari Hardiman (2003, 29) 1

1 Hardiman, Fransisco Budi, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Kanisius, 2003

Penelitian ilmu-ilmu sosial bertujuan untuk menggambarkan aspek-aspek tertentu dari sebuah fenomena, dengan maksud untuk menjelaskan subjek (Cormack, 1991). Metodologi itu sendiri juga disebut sebagai fenomenologi (Duffy, 1985), atau sebagai pendekatan humanistik dan idealis (Leach, 1990), dengan dasar itulah asal-usul dalam disiplin sejarah, filsafat, antropologi, sosiologi dan psikologi (Cormack, 1991) berbeda dari domain ilmu fisik yang dianggap sebagai salah satu kelemahan besar riset kualitatif.

Baiklah kiranya kalau pembicaraan metodologis metode berpikir serba sistem (systems thinking), khususnya metodologi serba sistem lunak (Soft systems methodology ) tetap dalam kerangka penelitian dalam ilmu sosial dengan metode kualitatif alternatif. Penggunaan metode kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan mengarahkan fenomena serta mempertahankan keutuhan (wholeness) dari obyek sehingga data yang dikumpulkan dan dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi (Vredenbregt, 1978). Penggunaan metode penelitian kualitatif dipandang tepat karena kesesuaian antara karakteristik penelitian kualitatif dengan fenomena kompetensi SDM yang dikaji. Berikut pembahasannya