Metode Berpikir Serba Sistem ( systems thinking) dalam Paradigma Kualitatif

2. Metode Berpikir Serba Sistem ( systems thinking) dalam Paradigma Kualitatif

Berpikir serba sistem (systems thinking) dan ringkasan berbagai mazhab systems thinking dapat ditemukan dalam Checkland (1981). Selain itu, ditulis juga oleh Richardson (1991), Maani dan Cavana (2000), serta Reynold dan Holwell (2010). Awalnya, para ahli biologi memandang bahwa organisme hidup merupakan suatu keseluruhan dan sifat-sifatnya tidak dapat dipisahkan atau direduksi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Pionirnya adalah Ludwig von Bertalanffy dengan General Systems Theory-nya. Bagi Bertalanffy, Boulding, dan yang lainnya, pendekatan-pendekatan klasik, berdasarkan atas konsep reduksionis Descartes dan determinisme Newton, tidaklah cukup untuk menjelaskan kompleksitas, terutama di dalam organisasi dan sistem hidup. Ide mengenai Berpikir serba sistem (systems thinking) dan ringkasan berbagai mazhab systems thinking dapat ditemukan dalam Checkland (1981). Selain itu, ditulis juga oleh Richardson (1991), Maani dan Cavana (2000), serta Reynold dan Holwell (2010). Awalnya, para ahli biologi memandang bahwa organisme hidup merupakan suatu keseluruhan dan sifat-sifatnya tidak dapat dipisahkan atau direduksi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Pionirnya adalah Ludwig von Bertalanffy dengan General Systems Theory-nya. Bagi Bertalanffy, Boulding, dan yang lainnya, pendekatan-pendekatan klasik, berdasarkan atas konsep reduksionis Descartes dan determinisme Newton, tidaklah cukup untuk menjelaskan kompleksitas, terutama di dalam organisasi dan sistem hidup. Ide mengenai

Kontributor selanjutnya adalah para ahli ekologi yang memusatkan perhatian pada studi komunitas hidup (ekosistem). Mereka menolak melakukan reduksi suatu keseluruhan. Pendekatan systems thinking juga muncul dari para ahli fisika kuatum. Salah satunya adalah Werner Heisenberg, yang mempertanyakan kebenaran teori mekanika Newton dengan memformulasikan „prinsip ketidakpastian‟ pada tahun 1923 (Maani, 2000). Dalam teori fisika kuantum, para ahli fisika menemukan bahwa mereka tidak dapat membagi dunia ini ke dalam unit-unit bagian yang berdiri sendiri. Kalau kita mengalihkan perhatian dari objek makro ke dalam partikel atom dan subatom, alam tidak memperlihatkan kepada kita adanya suatu blok bangunan pembatas, akan tetapi ia muncul sebagai suatu lingkungan yang kompleks antarberbagai bagian dari keseluruhan unit (Capra, 1994).

Sejalan dengan perkembangan teori systems thinking, pada tahun 1947, Norbert Weiner dan John von Neumann mengembangkan kibernetika (cybernetics), sains yang menjelaskan hubungan antara manusia-mesin (Maani, 2000). Mereka mengembangkan suatu konsep penting tentang umpan balik dan pengaturan-diri (self-regulation) dalam bidang rekayasa dan memperluas konsep studi pada pola-pola, yang secara cepat mendorong pada perkembangan teori pengorganisasian-diri (self-organization) (Haraldsson, 2000).

Jay W. Forrester dari Massachusetss Institute of Technology (MIT), pada 1950-an mulai diperkenalkan dan didemonstrasikan penerapan teori pengendalian umpan balik (feedback control theory) dalam bentuk simulasi model organisasi. Forrester selanjutnya mengembangkan suatu bidang yang kemudian dikenal dengan system dynamics, yang merupakan aplikasi teori-teori sistem pada bidang ekonomi dan organisasi.

Gambar 1 Feedback Control and Self-Regulation

Sumber: Daelenbach, 1994

Berpikir kesisteman (system thinking) dapat dikatakan sebagai disiplin yang muncul untuk memahami situasi kompleks dan perubahan. Kompleksitas inilah yang mendasari sistem bisnis, sistem ekonomi, sistem pengetahuan dan sosial pada saat ini. Transformasi yang menjadi bagian penting sebuah sistem umpan balik dapat bersifat alami (nature) maupun diintervensi (nourture) baik menjadi system tertutup, setengah terbuka, maupun terbuka sepenuhnya. Hasilnya adalah sebuah sistem baru atau subsistem-subsistem baru.

Penelitian dengan pendekatan system thinking memandang organisasi sebagai keseluruhan dan fokusnya pada kesaling-ketergantungan dan keterkaitan antara berbagai departeman, fungsi, dan divisi dan bagaimana mereka berpengaruh pada masing-masing dan keseluruhan organisasi. Untuk dapat memahami apa itu system thinking, Maani membagi systems thinking tersebut ke dalam tiga dimensi, yaitu: (1) sebagai paradigma, (2) bahasa, dan (3) metodologi (Maani, 2000).

Sebagai suatu paradigma, system thinking merupakan suatu cara berpikir dan cara menjelaskan hubungan dinamik yang memengaruhi perilaku sistem. Paling tidak diperlukan tujuh keahlian cara berpikir untuk dapat memahaminya sebagai suatu paradigma, yaitu: (1) berpikir dinamik, (2) berpikir kausalitas, (3) berpikir generik, (4) berpikir struktural, (5) berpikir operasional, (6) berpikir Sebagai suatu paradigma, system thinking merupakan suatu cara berpikir dan cara menjelaskan hubungan dinamik yang memengaruhi perilaku sistem. Paling tidak diperlukan tujuh keahlian cara berpikir untuk dapat memahaminya sebagai suatu paradigma, yaitu: (1) berpikir dinamik, (2) berpikir kausalitas, (3) berpikir generik, (4) berpikir struktural, (5) berpikir operasional, (6) berpikir

a) prinsip melihat gambar besar

b) solusi jangka pendek dan jangka panjang

c) indikator-indikator yang soft

d) sistem sebagai sebab/alasan

e) ruang dan waktu

f) sistem lawan gejala

g) „dan‟ lawan „atau‟ Pendekatan berpikir kesisteman (system thinking) yang berkembang pesat antara lain sejak Peter Senge (1990) menjelaskan tentang berpikir serba sistem (systems thinking) sebagai salah satu dari lima disiplin belajar (learning disciplines ), yaitu: 1) personal mastery, 2) mental model, 3) team learning, 4) shared vision, dan 5) systems thinking. Namun demikian, baik kiranya bila pengelompokkan dan tradisi berpikir serba sistem dikenalkan.