22 Penelitian Kompetensi SDM Malaysia

Tabel 2.22 Penelitian Kompetensi SDM Malaysia

Sumber: Choi Sang Long dkk., 2011

Temuan dari riset di atas, membuktikan korelasi antar kompetensi serta membuktikan bahwa HR professional di Malaysia kurang dalam human resource competencies. Namun juga tidak tergali kebutuhan apa yang kurang dan bagaimana mengatasinya.

This is one of the main barriers to be surmounted if local HR professional are to become strategic partners in their organizations, lacking in their capacity to play an important role as a strategic partner and agent for change….It is clearly seen in this study that business related competencies (strategic contribution & business knowledge) are significantly related to strategic partner and change agent role. HR related competencies (personal credibility and HR delivery) are also significantly related to administrative

expert and employee champion role. 141

Agenda perubahan fungsi MSDM mengimplementasi HR Champion di perusahaan-perusahaan Indonesia menunjukkan hal yang menggembirakan. 142

Namun tidak demikian halnya dengan upaya di bidang penyediaan SDM di perguruan tinggi yang selalu tertinggal dari tantangan dunia praktik. Meskipun

140 Choi Sang Long dan Wan Khairuszzaman Wan Ismail, 2011, ―An Analysis of the Relationship between HR Professionals‘ Competencies and Firms‘ Performance in Malaysia‖, the

International Journal of Human Resource Management, Vol 22, No 5, March 2011, 1045-1068

141 ___ibid 142 Budi W. Soetjipto, 2008, HR Excellence 2007: Kisah Sukses Para Kampiun SDM,

LMFEUI

banyak tulisan ilmiah (tesis, skripsi, jurnal) membahas kompetensi SDM, namun sejauh ini berupa tulisan yang menguji secara korelasional atau pengaruh satu fungsi SDM terhadap fungsi lain. Asumsinya faktor manusia diperlakukan seperti sebuah sistem yang simpel dan tertutup sehingga bisa dibuat permodelannya. Tidak banyak upaya penelitian secara lokal menghasilkan temuan model yang unik sesuai dengan kondisi lokal.

Upaya mengelola dan mengembangkan Kompetensi SDM perlu terus menerus seperti dilakukan juga Rejas-Muslera. 143 Salah satunya adalah Penelitian

Abdullah 145 di Malaysia berupaya meringkas sebelas kompetensi umum Spencer yang sifatknya kompetensi SDM yang individual menjadi empat kategori

kompetensi generik/perilaku kompetensi MSDM, yaitu ―leadership,‖ ―building work relationship,‖ ―personal credibility and attributes,‖ dan ―self-development.‖

Untuk dunia bisnis Abdullah mengelompokkan dalam empat kategori kompetensi adalah ―entrepreneurial and business acumen,‖ ―strategic orientation,‖ ―customer orientation,‖ dan ―essential performance enablers.‖ Selanjutnya kompetensi teknis SDM meliputi empat kategori yaitu ―resourcing and talent management,‖ ―learning and development,‖ ―rewards and performance management,‖ dan ―employee relations and compliance.‖ Keseluruhan kompetensi ini disebutnya ―HR Practitioner Competency Model‖.

Pada penelitian tersebut HR Practitioner Competency Model dibagi menjadi: generic/behavioural competency category, business competency category, dan technical HR competency category. Di dalam kategori generic/behavioural competency dimaksukkan 30 competency factor. Untuk kategori technical HR competencies didukung 25 competency factors. Selanjutnya 25 competency factors mewakili business competencies category.

143 Rejas-Muslera, Ricardo, Alfonso Urquiza, dan Isabel Cepeda, Competency-Based Model Through It: An Action, dalam Syst Pract Action Res (2012) 144 Abdul Hamid Abdullah dkk., (2011), “The Development of Human Resource Practitioner Competency Model Perceived by Malaysian Human Resource Practitioners and Consultants: A

Structural Equation Modeling (SEM) Approach‖, International Journal of Business and Management Vol. 6, No. 11; November 2011.

145 Lyle M Spencer dan Singe M. Spencer S.M., 1993, Competence at Work, Canada: John Wiley and Sons Inc.

2.4.1 Pengembangan Kompetensi MSDM dan Pengukuran Hasil Pelatihan

Pengelolaan kompetensi SDM maupun kompetensi MSDM erat kaitannya dengan pelatihan dan pengembangan. Keduanya memerlukan pengukuran untuk dapat mengetahui kontibusi atau dampaknya terhadap bisnis seperti yang diberikan manajemen human capital. Pengukuran artinya: menemukan kaitan, korelasi, dan idelanya, sebab akibat, antara berbagai rangkaian data, dengan menggunakan teknik statistik. Pengukuran ini berhubungan dengan analisis “pengalaman aktual dari karyawan, bukan dengan pernyataan program dan kebijakan S 146 DM”. Pengukuran

hasil merupakan pendekatan HCM yang mendasari keyakinan bahwa manusia adalah aset sehingga berinvestasi pada manusia akan menciptakan nilai tambah. 147

Oleh karena itu, untuk menerapkan HCM pertama-tama diperlukan kesadaran dan apresiasi terhadap pengembangan manusia. Selanjutnya, perusahaan harus menyediakan data yang memadai untuk melaksanakan pengembangan secara tepat. Pengembangan keahlian, pengetahuan, dan sikap mempersiapkan manusia untuk memikul tanggung jawab yang lebih besar di masa depan.

Pengembangan kompetensi MSDM erat kaitannya dengan pengukuran pelatihan dan pengembangan. Ada lima tahap dalam proses pelatihan: 1) analisis kebutuhan training (need analysis), 2) desain pelatihan (instructional design), 3) validasi (validation), pelaksanaan training (implementation), dan 5) evaluasi dan tindak lanjut (evaluation and follow up). Dalam kaitannya dengan kompetensi SDM dan HCM adalah evaluasi keberhasilan pelatihan.

Tiga metode untuk mengukur hasil pelatihan adalah: evaluasi pelatihan, pengembalian investasi (ROI-return on investment), dan data kuantitatif. Evaluasi

pelatihan ada empat tingkat. Pertama, Kirkpatrick 148 membuat piramida evaluasi hasil pelatihan dengan reaksi (reaction) pada dasar piramida, pembelajaran

(learning), perilaku (behavior), dan hasil (result) bisnis di puncaknya.

146 Angela Baron & Michael Arsmtrong, 2013, Human capitalManagement, Jakarta: Penerbit PPM, p. 48

147 Ibid, 148 Ibid, 2013

Gambar 2. 23 Piramida Evaluasi Hasil Pelatihan Kirkpatrick

Sumber: Baron, 2013

Tingkat 1, yaitu reaksi – ukuran kepuasan pelanggan yang segera. Tingkat 2, mengevaluasi pembelajaran untuk mengetahui seberapa banyak pengetahuan yang sudah diperoleh, keahlian apa yang dikembangkan atau ditingkatkan, tes tertulis atau kinerja. Tingkat 3, mengevaluasi perilaku dengan melihat besarnya perubahan perilaku setelah seseorang mengikuti pelatihan. Tingkat 4, mengevaluasi hasil dengan mengukur seberapa jauh tujuan dasar telah diperoleh dalam bidang seperti kenaikan penjualan, kenaikan produktifitas, penurunan kecelakaan atau kenaikan kepuasan konsumen.

Gambar 2.24 Model Evaluasi Pelatihan The New World Kirkpatrick

Sumber: Baron, 2013

Pengembalian investasi atau return on investment (ROI) pelatihan adalah alat terbaik untuk menilai dampak pelatihan terhadap kinerja organisasi. ROI dihitung dengan menggunakan rumus :

Manfaat Pelatihan (Rp) – Biaya Pelatihan (Rp) X 100

Biaya Pelatihan (Rp)

Hasil pelatihan harus diukur melalui efek kejadian (eventual) berupa besarnya belanja pelanggan, kepuasan pelanggan, dan jumlah pelanggan. Ukuran finansial inilah yang membuat ROI semakin diminati. Dengan demikian, akuntan dapat menghitung biaya amortisasi atau direktur pemasaran dapat menebak market share.

Mayo 149 mengatakan bahwa ada dua jenis „pengembalian‟ yang terkait, yang dapat digunakan untuk menilai fungsi SDM , yaitu „nilai tambah masa depan‟ untuk

stakeholder dan „pengembalian investasi‟ dari proyek dan program tertentu. Data kuantitatif juga dapat dijadikan ukuran efektivitas pelatihan. Hal tersebut mencangkup: persentase karyawan yang dikembangkan dari keseluruhan karyawan, jumlah jam pelatihan per karyawan, dan persentase manajer yang ikut berpartisipasi. Hasil pelatihan dan pengembangan menurut Kirkpatrick yang digambarkan dalam piramida tersebut digali maknanya melalui obervasi dan wawancara mendalam dalam SSM sehingga diperoleh evaluasi hasil pelatihan yang holistik dan berbasis sistem.

2.4.2 Dampak Talent Management, Positive Psychology, dan Neuro Linguistic Programming terhadap Desain Ulang Kompetensi MSDM

Penelitian kompetensi MSDM dalam ilmu administrasi bersifat interdisipliner: manajemen, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Sikap ini memberikan perspektif baru dalam manajemen talenta, psikologi positif dan neuro linguistic programming. Pengembangan human capital adalah jantung manajemen

talenta (talent management). Kearns 150 mendefinisikan talent sebagai, “karyawan yang sangat kompeten, memiliki informasi, dan dapat membuat keputusan penting

Mayo (2004) dalam Angela Baron & Michael Arsmtrong, 2013, Human capitalManagement, Jakarta: Penerbit PPM 150 Paul Kearns, 2010, HR Strategy Creating Business Strategy with Human Capital, Oxford

United Kingdom: Butterworth-Heinemann.

dalam organisasi yang fleksibel tetapi terkendali. ” Tujuan talent management

adalah memastikan aliran talent yang tepat. Artinya perusahaan dapat memiliki talent yang tepat, sesuai dengan strategi bisnis. Untuk itu, perusahaan harus mendapatkan dan mengembangkan talent untuk memastikan pergantian

kepemimpinan berjalan mulus.

Manajemen talenta (talent management) juga dapat digambarkan sebagai rangkaian aktivitas menyeluruh dengan terintegrasi untuk memastikan bahwa organisasi menarik, mempertahankan, memotivasi, dan mengembangkan orang-

orang berbakat yang dibutuhkan sekarang dan di masa depan. Manajemen talenta

sering diasumsikan hanya terkait dengan orang-orang kunci. Namun sebenarnya setiap orang dalam organisasi mempunyai talenta (talent), meskipun bidangnya berbeda-beda serta ada yang lebih bertalenta dibanding yang lain. Oleh karena itu, sebaiknya manajemen talenta tidak dibatasi untuk mengelola sejumlah kecil orang pilihan saja.

Dalam kaitannya dengan pengembangan kompetensi SDM, peranan organisasi, departemen dan individu SDM adalah memberikan penyadaran, mengelola, dan mengembangkan talenta. Untuk itulah sumbangan berbagai disiplin ilmu sangat membantu memahami upaya pengembangan talenta. Salah satu yang

cukup berkembang adalah pengetahuan psikologi.

Cara melihat kompetensi sebagai talenta (talent) dengan pendekatan positive psychology 151 dikembangkan oleh Seligman. Pendekatan ini mempelajari

pengalaman individu di masa lalu, kini, pengembangan kognisi, dan imajinasi di masa depan. Kemampuan melakukan refleksi pengalaman subjektif di masa lalu, emosi cerdas saat ini, dan mengaitkan dengan kemampuan kognisi membangun masa depan makin penting.

The field of positive psychology at the subjective level is about positive subjective experience: wellbeing and satisfaction (past); flow, joy, the sensual pleasures, and happiness (present); and constructive cognitions

about the future 152 —optimism, hope, and faith.

151 Martin Seligman, 2000, Positive Psychology an Introduction, American Psychologist Ascociation Vol 55 p.5-54 menjelaskan tiga tingkatan konseptual: the pleasant life, the engaged

life, dan the meaningful life beserta pengukurannya yaitu: subjective wellbeing, strength of character, engagement, dan meaning.

152 Ibid

Dengan pendekatan tersebut, individu menyadari subjective experience bermanfaat untuk pengembangan talenta individu menjadi kontrbusi bagi organisasi. Untuk itu diperlukan alat untuk memahami dan menyadari peran penting talenta atau disebut oleh Seligman positive personal trait tersebut.

At the individual level it is about positive personal traits —the capacity for love and vocation, courage, interpersonal skill, aesthetic sensibility, perseverance, forgiveness, originality, futuremindedness, high talent, and wisdom. At the group level it is about the civic virtues and the institutions that move individuals toward better citizenship: responsibility, nurturance,

altruism, civility, moderation, tolerance, and work ethic. 153

Alat tersebut digunakan sebagai dukungan untuk memahami sejarah pemikiran individu (historical thinking). Alat tersebut berperan dalam menciptakan memori jangka panjang (long term memory) dan memori otot reflektif (muscle memory). Hal ini juga berperan sangat penting dalam upaya memanajemeni perubahan diri sehingga mampu menjadi agen perubahan (change agent).