Kebijakan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku
Arahan kegiatan perikanan budidaya lebih banyak ditujukan kepada budidaya rumput laut, kerana selain benih alam yang tersedia, kegiatan ini sangat
mudah untuk diusahakan karena tidak membutuhkan keterampilan dan pengetahuan yang mendalam, dan material untuk usaha rumput laut tidak
membutuhkan biaya yang mahal sehingga dapat dijangkau oleh masyarakat. Kegiatan budidaya lainnya yang telah dikembangkan di Provinsi Maluku adalah
budidaya ikan kerapu dan budidaya udang windu yang berskala industri. Total kebijakan pemerintah Provinsi Maluku bagi kepentingan
pembangunan perikanan dan kelautan pada 11 Kabupaten dan Kota terhitung sebanyak 54 program Gambar 56. Provinsi Maluku berdasarkan hasil evaluasi
Badan Pusat Statistik tentang tingkat kemiskinan, merupakan salah satu Provinsi yang tingkat kemiskinannya tergolong tinggi, hal ini menunjukkan bahwa
kebijakan pemerintah terhadap kualitas kehidupan masyarakat masih tergolong rendah dan cenderung tidak menyelesaikan permasalahan yang sesungguhnya
terjadi.
Gambar 56 Programkegiatan pembangunan perikanan Provinsi Maluku
yang ditetapkan A dan implementasi di kawasan konservasi Aru Tenggara B.
Umumnya, diakui bahwa kemiskinan adalah sebuah realitas yang sistemik karena meliputi berbagai aspek determinan, seperti; keadaan wilayah, sosial
ekonomi masyarakat, diri dan kepribadian manusia, serta kebijakan-kebijakan pembangunan suatu bangsa. Bahwa masing-masing faktor determinan tersebut
memiliki pengaruh serta persentasi secara berbeda-beda pada setiap konteks manusia dan masyarakat yang tergolong miskin, sehingga tidak dapat
Di tetapkan A Di implementasikan B
disamaratakan pola karakter kemiskinan dan pola penanganannya secara riil. Konsekuensinya, tidak bisa dilakukan pemetaan kemiskinan dengan asumsi
kemiskinan secara umum asumsi makro tentang kemiskinan, karena terdapat variabel-variabel lokal yang sangat determinan dimaksud.
Hal mana cukup nampak pada konteks Indonesia, sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan latar belakang alam kewilayahan maupun
lingkungan sosial kemasyarakatannya yang beraneka ragam dan berbasis kepulauan. Diduga kuat bahwa peringkat kemiskinan di negara ini akan
bertambah seiring dengan kenaikan harga BBM, bencana alam serta berbagai bencana sosial yang berakibat rusaknya berbagai infrastruktur sosial ekonomi
yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai sarana pengentasan kemiskinan, serta pengaruh negatif dari pembangunan itu sendiri.
Profil kemiskinan di wilayah kepulauan Maluku terkait pula dengan faktor-faktor determinan di atas, dengan efeknya yang sangat ekstrim, di mana
kemiskinan di wilayah ini tergolong sangat tinggi urutan termiskin kedua nasional, setelah Papua menurut data BPS 2010. Hal itu disebabkan karena,
selain mengalami degradasi sosial budaya dan ekonomi akibat konflik yang cukup parah, juga merupakan sebuah wilayah kepulauan yang luas dengan penduduknya
yang terisolasi dalam cengkeraman teritorial kewilayahan dan kondisi alamnya yang penuh tantangan. Bagi masyarakat kepulauan Maluku, fenomena kemiskinan
menjadi sebuah realitas struktural, potensial, dan aktual yang sungguh realistis. Persentasi kemiskinan di Maluku sangat mencolok di wilayah pedesaan pada
basis-basis kepulauannya yang sangat variatif dan deterministik permasalahannya yang bersifat kewilayahan.
Hasil penelitian Pariela dkk, 2010 menunjukkan bahwa kemiskinan di wilayah kepulauan Maluku berada dalam sebuah determinasi struktur
kewilayahan kepulauan dengan lokus, karakter, dan kontennya yang berbeda-beda yang dapat dikategorikan dalam 4 empat variabel besar kemiskinan kewilayahan
kepulauan, yaitu; Pertama;
keterisolasian dan keterbatasan akses sebagai inti permasalahan yang kemudian telah menyebabkan adanya dua lingkaran permasalahan besar
yang menindih kehidupan masyarakat kepulauan, yang menjadi variabel kedua dan ketiga, kemiskinan wilayah kepulauan yaitu;
Kedua ; munculnya bahaya ekonomi biaya tinggi higt cost economic,
yaitu berupa social cost dan financial cost yang cukup tinggi yang harus ditanggung oleh masyarakat kepulauan dalam membangun kehidupannya;
Ketiga ; lemahnya nilai tukar masyarakat. Artinya, determinan struktur
kewilayahan kepulauan yang segregatif dengan keterbatasan transportasi yang menyulitkan aksesibilitas masyarakat kepulauan, telah mengakibatkan lemahnya
nilai tukar masyarakat kepulauan, di mana harga jasa maupun harga barang produk lokal dari masyarakat kepulauan itu sendiri kurang memiliki nilai tukar
sehingga begitu rendah dan kurang dihargai. rendahnya jasa dan harga barang produk lokal dari masyarakat kepulauan karena jauh dari jangkauan pasar.
Ketiga realitas tersebut begitu menggejala umum di wilayah kepulauan Maluku yang dikenal sebagai wilayah kepulauan, serta cukup kuat determinasinya
dalam menciptakan struktur kemiskinan di wilayah kepulauan Maluku. Bahkan, kondisi kemiskinan tersebut lebih dikuatkan lagi dengan adanya kebijakan
pembangunan yang belum berpihak pada pembangunan berbasis masyarakat kepulauan karena dibebankan dengan asumsi bahwa pembangunan kepulauan itu,
selain membutuhkan biaya tinggi juga terbatasnya areal darat untuk mengakomodasi kegiatan pembangunan serta sumber daya alam dalam
menunjang pembangunan nasional secara makro. Jadi, meskipun kemiskinan masyarakat di kepulauan ini, tampil di
permukaan dengan wajah piluh ekonomi sosial ekonomi, namun sesungguhnya hal tersebut terbungkus dalam sejumlah lapisan lingkaran permasalahan
kewilayahan teritorial kepulauan, yang berbeda-beda pada setiap lokos kepulauan. Persentasi angka kemiskinan yang dideterminansi oleh struktur
tersebut menyebar pada seluruh daerah lokus kepulauan dengan jenisnya yang berbeda-beda. Struktur kemiskinan kewilayahan tersebut membuat masyarakat
kepulauan harus berjuang mengatasi berbagai konstrain lingkaran permasalahan untuk memberdayakan diri dalam mengentaskan kemiskinannya. Karena itu,
dirasa perlu untuk dilakukan pola penanganan secara utuh, efektif dan komprehensif dari struktur kewilayahannya tersebut dengan pendekatan yang
multi sektoral oleh seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPD beserta masyarakat. Konsekuensinya, penanggulangan kemiskinan masyarakat kepulauan
sangat terkait dengan konsep dan kebijakan pembangunan yang berbasis kepulauan dengan melibatkan seluruh Satuan Kerja Pemerintah Daerah SKPD
beserta masyarakat. Dari 54 kebijakan dalam bentuk program yang ditetapkan, hanya 3 yang
diimplementasikan di kawasan konservasi Aru Tenggara, 2 kegiatan diantaranya untuk penanganan permasalahan ekonomi berupa identifikasi potensi sumber daya
pulau-pulau kecil perbatasan serta potensi pengembangan perikanan budidaya. Sedangkan 1 kegiatan untuk mendukung upaya penyadaran masyarakat akan
pentingnya kelestarian ekosistem kawasan. Dengan demikian berdasarkan totalitas kebijakan pembangunan perikanan di Provinsi Maluku maka hanya 5,5 yang
diperuntukan bagi masyarakat di kawasan konservasi Aru Tenggara yang juga disepakati sebagai masyarakat beranda depan perbatasan Indonesia-Australia.
Dari berbagai kajian dan analisis atas pemetaan kemiskinan kepulauan di Maluku, yang dilakukan oleh Jurusan Sosiologi Fisip Unpatti 2009, dapat
ditunjukkan bahwa ada 4 empat kategori karakter klaster kemiskinan di wilayah kepulauan Maluku, yaitu;
a klaster kemiskinan masyarakat kepulauan yang berkarakter masyarakat pulau-pulau besar
; Karakter kemiskinan masyarakat di pulau-pulau besar, yang
umumnya terdiri dari dua kategori, yaitu kategori kemiskinan kepulauan untuk masyarakat pedalaman dan masyarakat pesisir, yang dideterminasi oleh
tiga struktur kemiskinan kewilayahan kepulauan di atas, yaitu; keterisolasian dan keterbatasan akses, ekonomi biaya tinggi yang harus ditanggung oleh
masyarakat kepulauan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, dan rendahnya barang produk lokal serta jasa masyarakat kepulauan, dalam bentuk
penonjolan yang berbeda-beda. b
Klaster kemiskinan masyarakat kepulauan yang berkarakter kemiskinan masyarakat pulau-pulau kecil;
Masyarakat pulau –pulau kecil juga sangat dipengaruhi oleh kedua
struktur kemiskinan yang determinan di atas. Masyarakat pulau-pulau kecil
banyak bermukim di pesisir, terdiri dari kelompok masyarakat asli maupun migran, dengan komposisi kependudukan yang tidak merata. Nampak bahwa
meskipun mereka sudah jauh lebih terbuka bila dibandingkan dangan penduduk pedalaman karena sering disinggahi para pedagang dan pendatang
migran sehingga telah mengalami pola pertukaran sosial maupun perubahan sosial dalam wujud sikap dan perilaku hidup. Meskipun demikian, kendala
cuaca, keadaan fisik alam lokasi pemukiman yang banyak berbukit batu, serta kondisi pulau-pulau kecil yang terbatas wilayah daratan sebagai wilayah
ekonomi dalam menunjang aktivitas perekonomi dan minimnya sarana transportasi membuat minimnya aksesibilitas antara masyarakat di pulau-
pulau kecil dengan pusat –pusat pertumbuhan atau kemajuan, baik ke kota
kecamatan maupun kabupaten, dan provinsi, telah menjadi faktor determinan penyebab kemiskinan.
Alasan berikut adalah kebijakan pembangunan yang belum pro pada pembangunan masyarakat kepulauan, khususnya pulau-pulau kecil karena
dihantui semacam asumsi bahwa pembangunan kepulauan, teristimewa pulau-pulau kecil selain membutuhkan biaya tinggi serta terbatasnya areal
darat untuk mengakomodasi kegiatan pembangunan, juga memiliki jumlah penduduk yang kecil atau terbatas serta sumber daya alam kecil
kandungannya dalam menunjang pembangunan nasional secara makro. c
Klaster kemiskinan masyarakat kepulauan yang berkarakter kemiskinan masyarakat pulau-pulau terluar atau pulau-pulau perbatasan;
Umumnya, pulau-pulau perbatasan di wilayah Maluku adalah tipe pulau-pulau kecil, dengan komposisi sosial sebagai masyarakat pesisir
dengan jumlah populasi yang terbatas serta berjauhan dari pulau lainnya. Sebagai masyarakat pulau-pulau kecil yang tinggal di perbatasan negara
tetangga dan terluar jauh dari pusat kekuasaan negaranya sendiri, membuat mereka, selain tidak nyaman dalam kehidupan karena begitu rentan terhadap
gangguan keamanan dan aktivitas perekonomian, juga tekanan ekonomi biaya tinggi dan terbatas dari akses dengan pusat-pusat pertumbuhan atau
kemajuan, baik ke kota kecamatan maupun kabupaten, dan provinsi di dalam negeri. Sehingga hal mana telah menjadi faktor determinan penyebab
kemiskinan pada masyarakat pulau-pulau terluar atau perbatasan. Kondisi geografis kewilayahan pulau-pulau terluar atau perbatasan serta keterbatasan
akses masyarakatnya, telah menjadi 2 dua lipatan faktor pelemah yang determinan double weakness factors, dalam menentukan nilai tukar
masyarakat pulau-pulau kecil, sehingga begitu kuat menekan masyarakat pulau-pulau kecil. Artinya, kondisi geografis kewilayahan serta keterbatasan
akses itu sendiri, telah memicu ekonomi biaya tinggi high social cost and financial cost
yang harus ditanggung oleh masyarakat pulau-pulau terluar atau perbatasan, sementara di sisi lain, kenyataan tersebut telah pula menjadi
faktor determinan yang melemahkan nilai tukar masyarakat setempat, di mana harga jasa maupun harga barang produk lokal dari masyarakat pulau-
pulau terluar atau perbatasan itu sendiri kurang memiliki nilai tukar sehingga begitu rendah dan kurang dihargai di dalam negerinya sendiri.
Terbatasnya sarana transportasi perhubungan antara pulau-pulau perbatasan membuat mereka terbatas dalam akses komunikasi, modal, jasa,
informasi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Di sisi lain, pengaruh ekonomi negara tetangga begitu menjanjikan bagi sektor perdagangan
masyarakat pulau-pulau terluar atau perbatasan, meskipun hal itu dibayang- bayangi oleh rasa takut karena sering dicap sebagai kegiatan ilegal dan tidak
nasionalis. d
Klaster kemiskinan masyarakat kepulauan yang berkarakter kemiskinan perkotaan dan pedesaan.
Umumnya mereka yang tergolong miskin di wilayah perkotaan adalah para migran yang kurang memiliki akses terhadap sumber daya alam dan
kekuasaan publik. Wajah kemiskinan ketiga ini banyak dijumpai di desa pinggiran kota dan pesisir. umumnya, mereka tidak memiliki hak terhadap
sumber daya alam namun siap menjadi penggarap-penggarap yang tangguh dan ulet. Mereka ini umumnya memiliki keterampilan dan keuletan berusaha
serta banyak mengandalkan jasa untuk membangun kehidupan dengan bertani, berlayar, maupun mencari di laut sebagai nelayan. Nampak pula
bahwa, meskipun terdapat perbedaan antara kemiskinan wilayah perkotaan dan pedesaan, baik di pulau-pulau besar maupun kecil di kepulauan Maluku,
namun kenyataan itu sangat terpengaruh secara makro dengan kedua struktur kemiskinan lokal itu.