penyu pipih, Lepidochelys olivacea penyu lekang dan Eretmochelys imbricala penyu sisik, di samping itu terdapat satwa lainnya seperti siput mutiara
Pinctada maxima dan duyung Dugong dugong. Jenis-jenis penyu dimaksud
merupakan jenis yang telah dilindungi oleh pemerintah, sehingga untuk menjamin keseimbangan di alam serta habitatnya, kawasan tersebut ditetapkan sebagai
kawasan yang dilindungi. Tujuan utama pengukuhan cagar alam adalah untuk melindungi populasi
penyu hijau Chelonia mydas dan juga penyu sisik Erelmochelys imbricala, yang sudah diketahui memanfaatkan pantai berpasir di Pulau Enu dan Pulau
Karang sebagai tempat hidup dan tempat bertelur serta memiliki habitat pakan pada padang lamun yang luas. Di samping itu, tujuan globalnya adalah untuk
menciptakan zona inti sanctuary untuk berbagai spesies hewan laut dan habitatnya seperti, penyu, dugong, siput mutiara dan spesies lainnya yang dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, sehingga daerah cagar alam dapat berfungsi sebagai daerah reservoar.
Sejak ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan cagar alam, sampai saat ini masih terjadi perburuan penyu dan pengumpulan telur Sahertian dan
Noija, 1994 dan juga eksploitasi sumber daya alam lainnya. Diperkirakan sekitar 4000 ekor penyu dewasa tertangkap setiap tahun di pantai Pulau Enu dan
umumnya dipasarkan di Pulau Bali, Surabaya dan Ujung Pandang Far-Far, 2005. Memahami hubungan antara tekanan manusia dan status ekosistem di
kawasan, maka sangat penting untuk mengembangkan rencana tata ruang dan zonasi Douvere, 2008. Namun, sulit memahami hubungan antara aktivitas
manusia dan status ekosistem karena: 1 tingkat tekanan pada ekosistem Shears dan Ross, 2010 dan 2 keterbatasan informasi dasar pada ekosistem baik status
dan potensi dampak Halpern et al., 2008; Fraschetti et al., 2009.
1.2 Perumusan Masalah
Sejarah tentang kawasan konservasi di Aru Tenggara dimulai kira-kira 20 tahun yang lalu. Secara ringkas penelitian-penelitian yang mendasari
ditetapkannya cagar alam laut yang kini dirubah menjadi Suaka Alam Perairan SAP dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
63Men2009, serta penelitian-penelitian dan tulisan-tulisan lain yang membahas
tentang diadakannya kawasan konservasi Aru Tenggara dan keberadaannya sampai dengan saat ini adalah sebagai berikut :
a. Laporan survey PUSDI-PSL Unpatti, 1993 .
1 Populasi penyu hijau masih tetap dieksploitasi baik dalam batas cagar
alam laut maupun di luar daerah tersebut. Jumlah telur dan penyu dewasa, yang diambil cukup banyak jumlahnya. Ijin untuk menangkap
penyu masih tetap dikeluarkan baik oleh Kepala Desa maupun Camat di Dobo. Untuk mencegah hal ini petugas PHPA harus dibekali dengan
dana maupun logistik yang cukup untuk melaksanakan tugas mereka yang cukup sulit. Perlu diberlakukannya hukuman yang tegas tentang
masalah konservasi. 2
Adanya motivasi yang kurang dari beberapa petugas PHPA di Dobo. 3
Hasil tangkapan hiu yang menunjukan gejala penurunan seperti yang ditunjukkan oleh ukuran tubuh ikan hiu yang kecil pada saat ditangkap.
4 Kebanyakan karang yang dijumpai di sekitar daerah cagar alam laut
sudah mati atau dalam kondisi rusak. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh peningkatan sedimentasi sebagai akibat kegiatan
kapal-kapal trawl. 5
Tingkat kesadaran masyarakat tentang penting dan manfaat dari konservasi masih rendah sehingga perlu diadakannya usaha peningkatan
kesadaran lewat pendidikan dan penyuluhan. b. Wenno, Person dan de Jongh, 1993
1 Kawasan yang dilindungi hanya 114.000 ha tidak sesuai dengan apa yang
diusulkan oleh Smiet dan Siallapan 1981 yang mengusulkan area sebesar 250.000 ha, mencakup berbagai habitat termasuk padang lamun,
daerah lumpur, terumbu karang dan membentuk hubungan antara pulau-pulau penyu Enu, Jeh, Mar, Karang dan pulau cagar alam Baun.
Daerah konservasi saat ini hanya terbatas untuk penyu dan tidak memperhatikan daerah untuk dugong dan buaya.
2 Sampai sejauh ini masih sangat sedikit perhatian yang diberikan pada
manajemen yang sebenarnya dari kawasan tersebut. Walaupun sudah
berkali-kali dikemukakan tentang peran serta masyarakat sekitar dalam manajemen kawasan tetapi perhatian untuk masalah tersebut masih
sangat sedikit. c. Hitipeuw et al., 1994
1 Cagar alam laut Aru Tenggara walaupun telah ditetapkan sejak tahun
1991, kebanyakan masyarakat tidak mengetahui batas cagar alam laut tersebut juga status hukum daerah tersebut yaitu tidak diperbolehkan
untuk kegiatan manusia. Kebanyakan baik masyarakat sekitar daerah tersebut maupun pemerintah lokal memahami bahwa daerah lindungan
hanya terbatas pada daerah darat Pulau Enu, Karang, Jeh, dan Mar. 2
Fungsi dan manfaat daerah cagar alam laut Aru Tenggara belum dimengerti oleh kebanyakan masyarakat. Mereka memang mengetahui
bahwa telah dilarang untuk menangkap penyu di sekitar maupun di dalam kawasan. Selain itu, ijin penangkapan penyu juga tidak
diperjualbelikan. 3
Masyarakat menjadi kecewa dan merasa rugi mengetahui bahwa, sumber mata pencaharian mereka mengalami penurunan akibat status cagar alam
tersebut. Pada kondisi yang demikian sukar mengajak penduduk untuk menghentikan perburuan penyu.
d. Maitimu, PUSDI-PSL Unpatti, 1995 1
Masyarakat Kepulauan Aru umumnya dan masyarakat kawasan khususnya 90 bergantung pada potensi sumber daya laut. Masih ada
kegiatan penangkapan karena keyakinan mereka bahwa daerah itu merupakan hak petuanan mereka. Berkurangnya hasil tangkapan sebagai
akibat adanya kawasan lindung sehingga membatasi daerah penangkapan mereka.
2 Kegiatan perikanan di kawasan 90 dilakukan oleh masyarakat dari luar
contohnya masyarakat Bali, Buton, Madura kegiatannya termasuk eksploitasi terhadap hewan-hewan yang sudah dilindungi; by catch yang
cukup besar oleh kapal-kapal trawl.
3. Tingkat kesadaran masyarakat tentang arti cagar alam laut pada umumnya masih rendah, hal ini ditunjukkan oleh masih adanya
penangkapan di dalam dan di sekitar kawasan lindung. Hal ini sebagian mungkin disebabkan karena tingkat pendidikan yang masih rendah serta
kurangnya sosialisasi tentang arti dan pentingnya kawasan lindung. 4. Masyarakat belum memikirkan untuk memanfaatkan sumber daya yang
lain yang juga potensial untuk diusahakan akan tetapi harus dibarengi dengan pengetahuan kelestarian sumber daya.
e. Djohani R.H.dan Alwi T 1996 1
Perlu dilakukan pengkajian ekologi dari ekosistem darat, laut dan pantai sehingga diketahuiditentukan daerah kritis, spesies yang akan dilindungi
dan besar dari pengaruh negatif trawl yang beroperasi. Masalah hak adat petuanan juga harus diselesaikan dengan baik agar tidak
menimbulkan permasalahan. Informasi sosial dan ekologi harus secara terpadu dan potensi konflik yang bisa muncul sebagai akibat adanya
proteksi dan manajemen terhadap sumber daya harus didiskusikan dan diberi kompensasi.
2 Direkomendasikan agar melakukan rehabilitasi padang lamun dan
terumbu karang di pantai Timur yang rusak berat sebagai akibat operasi kapal trawl yang cukup intensif dan ilegal.
f. Yayasan Hualopu 1997 1. Kawasan konservasi Aru Tenggara ditetapkan menjadi kawasan cagar
alam laut berdasarkan SK Menteri RI No. 72Kpts-II1991, namun penetapan tersebut tidak mendapat dukungan yang besar dari masyarakat
setempat yang secara tradisional merupakan pemilik hak ulayat kawasan tersebut. Hal ini terjadi karena dalam perencanaan penentuan kawasan
dengan batas-batasnya tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Sebagai akibatnya masih terjadi pelanggaran di
kawasan tersebut sampai saat ini, misalnya pembantaian penyu, pengambilan karang untuk bahan bangunan dan lain-lain.
2. Pemberian status kawasan menjadi Cagar Alam Laut menjadikan kawasan tersebut tertutup untuk semua kegiatan eksploitasi dan hal ini
sangat memberatkan masyarakat yang sebagian besar hidupnya bergantung pada sumber daya laut.
3. Batas-batas sebagai kawasan cagar alam laut tidak diketahui secara jelas oleh masyarakat karena memang tidak ada rambu-rambu atau
patok-patoknya sehingga masih saja terjadi eksploitasi di dalam kawasan. 4. Status kawasan sebagai cagar alam laut kurang disosialisasikan kepada
masyarakat, pengusaha dan instansi-instansi pemerintah lainnya sehingga, aturan-aturan tentang penggunaan kawasan cagar alam laut
tidak diketahui dengan jelas. Akibatnya masih ada eksploitasi baik oleh masyarakat maupun pengusaha di kawasan tersebut.
5. Pengawasan terhadap pengelolaan kawasan ini masih sangat kurang yang antara lain diakibatkan olah kurangnya biaya operasional pengawasan,
tidak terlibatnya masyarakat dalam upaya pengawasan, belum berjalannya penegakan dan kepastian hukum.
6. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang maksud dan tujuan perlindungan terhadap suatu biota sehingga ada opini upaya melindungi
biota merugikan mereka. Dampaknya adalah masyarakat masih tetap mengeksploitasi biota yang dilindungi. Masyarakat juga kurang
mengetahui tentang biota apa saja yang sudah dilindungi. 7. Banyak kegiatan perikanan di Kabupaten Kepulauan Aru tidak
memperhatikan aspek kelestarian sumber daya sehingga cenderung merusak lingkungan penggunaan tuba, membalik atau menghancurkan
karang dan lain-lain. 8. Sejak ditetapkan sebagai cagar alam laut tahun 1991 sampai kini ternyata
tidak ada kawasan peruntukan, sehingga masih ada pelanggaran batas-batas kawasan di samping pengawasan yang tidak berjalan dengan
baik.
g. Far-Far 2005 1. Terjadi tumpang tindih status kawasan antara batas daerah konservasi
berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 72Kpts-II1991 dengan batas petuanan masyarakat adat Aru Tenggara, sehingga perlu
ditinjau kembali status kawasan konservasi Cagar Alam Laut Aru Tenggara.
2. Aktivitas pemanfaatan sumber daya hayati Pulau Enu dilakukan oleh masyarakat lokal dan masyarakat dari luar kawasan. Ditemukan
sebanyak 7 tujuh kegiatan utama masyarakat lokal yang memanfaatkan sumber daya hayati laut di Pulau Enu, masing-masing penangkapan ikan
ikan hiu, udang, pengambilan lola, siput mutiara, teripang dan bia mata tujuh serta penangkapan penyu. Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh
masyarakat dari luar kawasan meliputi penangkapan penyu dan penangkapan udang dengan trawl.
Dari berbagai hasil penelitian maka beberapa masalah yang perlu untuk dikemukakan adalah Status Kawasan; 1 Batas kawasan yang tidak jelas; 2
Belum adalanya sosialisasi status kawasan; 3 Kurangnya pengawasan di kawasan; 4 Penangkapan biota yg dilindungi; 5 Kegiatan pengrusakan masih
terus dilaksanakan pada seluruh ekosistem; 6 belum adanya rencana zonasi dan rencana pengelolaan kawasan serta 7 kegiatan pemberdayaan terhadap
masyarakat belum banyak dilaksanakan. Opsi yang ditawarkan oleh para peneliti dimaksud untuk mengantisipasi
permasalahan yang telah disebutkan adalah 1 Evaluasi status kawasan; 2 Pembuatan batas kawasan; 3 Sosialisasi status kawasan; 4 Pengawasan yang
kontinyu dan berkelanjutan; 5 Pelarangan dan perlindungan terhadap biota yang dilindungi; 6 Pengawasan dan pelarangan terhadap aktivitas pengrusakan
kawasan dan 7 penetapan rencana zonasi dan rencana pengelolaan kawasan. Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dan temuan-temuan yang
diperoleh, maka beberapa permasalahan yang perlu dijawab adalah 1 bagaimana karakteristik sumber daya perikanan kawasan?; 2 bagaimana karakteristik sosial,
ekonomi dan budaya masyarakat perikanan kawasan?; 3 bagaimana kebijakan pembangunan perikanan di kawasan?; 4 sudah sejauh mana efektivitas
pengelolaan di kawasan?; serta 5 adakah konsep perencanaan dan pengelolaan perikanan yang ditetapkan berdasarkan fungsi ruang zonasi dengan tetap
mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal kawasan? 1.3 Tujuan
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pengelolaan perikanan melalui penentuan efektivitas dan zonasi berbasis
ekosistem pada kawasan konservasi Aru Tenggara. Tujuan umum ini dapat terjawab melalui serangkaian implementasi dari beberapa tujuan khusus
diantaranya: 1. Mengkaji karakteristik sumber daya perikanan kawasan konservasi;
2. Mengkaji karakteristik masyarakat perikanan kawasan konservasi; 3. Menganalisis kebijakan pembangunan perikanan di kawasan konservasi Aru
Tenggara.
1.4 Manfaat