Model pengelolaan perikanan melalui penentuan efektivitas dan zonasi berbasis ekosistem di kawasan konservasi Aru Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru
KABUPATEN KEPULAUAN ARU
FERNANDO D.W. DANGEUBUN
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2012
(2)
Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi Model Pengelolaan Perikanan Melalui Penentuan Efektivitas dan Zonasi Berbasis ekosistem di kawasan konservasi Aru Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Agustus 2012
Fernando D.W. Dangeubun NRP.C462070044
(3)
FERNANDO D.W. DANGEUBUN. Fisheries Management Model Through Effectiveness and Zoning based on Ecosystem Approach in Southeast Aru Conservation Area, Aru Islands District. Under Supervision of BUDY WIRYAWAN, MUSTARUDDIN and ARI PURBAYANTO
Southeast Aru conservation area with an area of 114 000 ha, has seven small islands that are uninhabited, and they are potential habitats for turtles nesting areas. In addition to a conservation area, geopolitically, this region was a border area between Indonesia and Australia. Therefore the management of the region must come through ecological, social, policy or governance and security approaches. The purpose of the research was to develop a fisheries management model through the determination of effectiveness and zoning based on ecosystem approach in Southeast Aru conservation area. The conclusion of the research include: (1) Management of Southeast Aru conservation area for 20 years, not develop and tends to be left so that the management still on first level, which means the area management have not been able to making a positive impact on sustainability of fisheries resources and increase of community economic, (2) the collaboration model of zoning was found four main zones namely core zone, sustainable fisheries zone, use zone and other zone which are expected to give their best efforts to manage the Southeast Aru conservation area, to answer the problems of fisheries resources management, and to increase the social welfare.
Key words: Fisheries management, effectiveness, zoning model, conservation area, Aru Islands.
(4)
1.1 Latar Belakang
Laut dan pesisir merupakan ekosistem yang sangat produktif dan menyediakan beragam barang dan layanan yang mendukung masyarakat dan kegiatan ekonomi, mencakup ketahanan pangan, air laut yang bersih, peluang berekreasi serta beragam manfaat lainnya. Seyogianya sumber daya laut yang sehat membutuhkan ekosistem yang sehat dan utuh. Sayangnya, ekosistem-ekosistem laut dan pesisir di seluruh dunia sedang mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Penurunan produktivitas, keanekaragaman hayati sumber daya dan ekosistem, disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk dan ketergantungan terhadap layanan yang diberikan oleh laut, sehingga mendorong perlunya meningkatkan perhatian dan upaya untuk mengelola sumber daya hayati dan ekosistemnya secara efektif.
Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan sumber daya ikan pada waktu sekarang dan yang akan datang (Adams et al., 2004). Konservasi ekosistem dilakukan melalui perlindungan habitat dan populasi ikan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, serta monitoring dan evaluasi.
Pelaku utama dalam mengimplementasikan perlindungan (konservasi) adalah lembaga pemerintah dan didukung oleh para pihak (lembaga non-pemerintah) yang pengembangannya saat ini telah menjadi paradigma baru bagi kegiatan konservasi di seluruh dunia (Browder 2002; Gjertsen 2005). Namun ada kompleksitas permasalahan yang cukup besar dalam memastikan apakah suatu kawasan konservasi dapat mencapai tujuan yang diharapkan, karena berhubungan erat dengan tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia (Jackson and Sala, 2001; Stachowitsch, 2003; Halpern et al., 2008). Sumber daya manusia memiliki pengaruh yang besar dalam merubah keberadaan ekosistem pesisir, dalam hal ini, kegiatan manusia yang bertentangan, menghasilkan berbagai tekanan yang secara simultan mengeksploitasi sumber daya alam pesisir
(5)
dengan tidak lestari (Crain et al., 2008; Darling and Côté, 2008; Doak et al., 2008).
Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan, yang terdiri atas perairan terbuka, padang lamun, terumbu karang, mangrove, estuaria, pantai, rawa, sungai, danau, waduk, embung, dan ekosistem perairan buatan. Satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan. Konservasi sebagai salah satu instrumen yang didesain untuk mengendalikan sekaligus memulihkan sumber daya ikan dan lingkungannya dan instrumen ini sangat praktis diterapkan pada perikanan tangkap dan budidaya laut di kawasan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil (Halpern et al., 2008).
Penetapan kawasan konservasi perairan merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua tipe ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, sosial budaya dan ekonomis. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Secara rinci mengenai tata cara pencadangan kawasan konservasi, telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02/Men/2009, tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17/Men/2008, sebagai peraturan turunan dari UU 27 Tahun 2007.
Kawasan Konservasi Perairan (KKP) didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 31/2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU 45/2009) dan PP 60/2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Terdapat 4 (empat) pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi
(6)
pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990 dan PP 68/1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat (BKSDA, Balai TN). Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 02 Tahun 2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.
Melalui pengaturan zonasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak-hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi (zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya), misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu (sentralistis) hal ini belum banyak dilakukan.
Sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD), sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai Kawasan Konservasi Laut (KKL). Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut KKLD.
(7)
Dalam Undang-Undang telah dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, namun terkadang hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kepentingan antara pemerintah pusat tidak sinergis dengan kepentingan di daerah. Kepentingan daerah cenderung mengeksploitasi sumber daya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan tidak banyak memperhatikan kelestarian lingkungan dan sumber dayanya. Hal ini yang menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, sehingga dibutuhkan suatu manajemen kolaborasi dalam mengimplementasi pengelolaan di kawasan.
Prospek pengelolaan kolaboratif di Indonesia cenderung hanya terlihat dengan banyaknya peran pemerintah yang lebih menonjol di dalam berbagai usaha-usaha yang bersifat pengelolaan sumber daya alam seperti pengelolaan migas, hutan, lingkungan dan termasuk saat ini adalah sumber daya hayati laut, karena bagaimanapun usaha pengelolaan sumber daya alam tersebut merupakan pemasukan bagi pemerintah pusat. Menurut Nikijuluw (2002), terdapat tiga hal yang menentukan variasi bentuk pengelolaan kolaboratif (co-management) serta hirarkinya yaitu: (1) Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. (2) Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan di antara kedua belah pihak. (3) Tahapan proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan dapat terwujud. Arah kebijakan yang diinginkan dalam makna otonomi daerah ini adalah porsi ko-manajemen kooperatif mungkin lebih besar dimana menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Setiap kegiatan mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama-sama oleh para pihak (Wiryawan, 2010).
Co-management menurut Pomeroy dan Berkes (1997) digambarkan
sebagai perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat, dimana didalamnya terdapat sedikitnya sepuluh jenis hirarkhi bentuk manajemen yang menjadi bagian prinsip-prinsip
(8)
information exchange, advisory role, joint action, partnership, community control, interarea coordination.
Prospek pengelolaan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, sangat terbuka lebar dan diatur jelas dalam PP 60/2007 pasal 18, yang menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Pola kemitraan (partnership) dalam pengelolaan kawasan konservasi ini juga dinyatakan dalam salah satu asas dari 8 (delapan) asas konservasi sumber daya ikan (pasal 2 huruf c, PP 60/2007) Asas kemitraan, dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerjasama antar pemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya ikan.
Pelindungan berbasis luasan melalui KKL ini dapat membantu memelihara kesehatan dan produktivitas ekosistem, disamping menjamin keberlanjutan pembangunan sosial dan ekonomi. Keberadaan KKL juga dapat membantu memelihara kisaran penuh variasi genetik yang sangat penting untuk mengamankan populasi-populasi spesies kunci, memberlanjutkan proses-proses evolusi dan menjamin daya-pulih (resilience) mereka dalam menghadapi gangguan alami dan pemanfaatan oleh manusia (IUCN, 1999; NRC, 2001; Agardy & Wolfe, 2002; Agardy & Staub, 2006; Mora et al., 2006; Parks et al.,
2006; IUCN-WCPA, 2008).
Bila dirancang dengan benar dan dikelola secara efektif, KKP/KKL memainkan peranan penting dalam melindungi ekosistem dan, pada beberapa kasus, dalam peningkatan atau perbaikan perikanan pesisir dan laut (IUCN-WCPA, 2008). Karena peran ini, beragam lembaga dan badan pemerintah dan publik meletakkan harapan yang tinggi kepada KKP/KKL dalam memelihara atau memulihkan fungsi-fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati laut, disamping untuk meningkatkan kondisi sosio-ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan (Parks
(9)
masyarakat tentang apa yang bisa diberikan oleh KKL tidak realistis, dikarenakan banyak laporan sensasional tentang manfaat KKL yang tidak sesuai dengan realitasnya di lapangan (Agardy & Wolfe, 2002; Parks et al., 2006).
Kawasan Konservasi Perairan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 (dan penjelasan) dikategorikan menjadi 4, yaitu : (a) Taman Nasional Perairan, (b), Suaka Alam Perairan, (c) Taman Wisata Perairan, (d) Suaka Perikanan. Berdasarkan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2009 dalam ketentuan umum bahwa:
1. Kawasan Konservasi Perairan (KKP) adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan.
2. Taman Nasional Perairan (TNP) adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian dan ilmu pengetahuan, kegiatan pendidikan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan dan rekreasi.
3. Suaka Alam Perairan (SAP) adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistimnya.
4. Taman Wisata Perairan (TWP) adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. 5. Suaka Perikanan (SP) adalah kawasan perairan tertentu baik air tawar, payau,
maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu sebagai daerah perlindungan.
Permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius terhadap sektor perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian sumber daya hayati laut sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi perairan antara lain: (1) pemanfaatan berlebih (over exploitation) terhadap sumber daya hayati, (2) penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, (3) perubahan dan degradasi fisik habitat, (4) pencemaran, (5) introduksi spesies asing, (6) konversi kawasan lindung menjadi peruntukkan pembangunan lainnya dan (7) perubahan iklim global serta bencana alam. Ada
(10)
berbagai altematif untuk menurunkan permintaan terhadap sumber daya apabila motivasi untuk menggunakan sumber daya tersebut adalah untuk menambah pendapatan. Pengembangan masyarakat melalui peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, akan menurunkan keinginan masyarakat untuk mengganggu kawasan konservasi (Clark, 1991).
Kebijakan dalam menentukan adanya suatu kawasan lindung biasanya ditentukan oleh hanya sedikit orang dan kebanyakan merupakan mereka yang berpendidikan cukup baik. Hal yang demikian dapat menimbulkan masalah di kemudian hari apabila kurang melibatkan masyarakat sekitar yang kebanyakan hidupnya bergantung pada kawasan tersebut. Untuk memperkecil masalah yang dihadapi, maka kerjasama dan komitmen oleh beberapa badan termasuk juga pengguna sumber daya tersebut adalah amat penting. Pengguna secara tradisional, komersial dan rekreasional harus berpartisipasi secara aktif pada semua tingkat dalam proses pengambilan keputusan terhadap program konservasi dan perlindungan yang terpadu sangat dibutuhkan (Medley dan Gaudian, 1993).
Kawasan konservasi Aru Tenggara merupakan salah satu kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 27/Kpts-II/1991 dengan status sebagai Cagar Alam Laut Aru Tenggara, selanjutnya dikembalikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2009 dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63/Men/2009, dengan perubahan status sebagai Suaka Alam Perairan (SAP) Aru Tenggara. Kawasan konservasi Aru Tenggara ditetapkan berdasarkan hasil survei potensi biofisik maupun sosial ekonomi yang mengisyaratkan bahwa kawasan ini harus dipertahankan keberadaannya karena memiliki potensi sumber daya endemik yang harus dilindungi yakni penyu dan dugong serta buaya, yang didukung dengan keragaman ekosistem yang cukup kompleks.
Kawasan Cagar Alam Laut Aru Tenggara memiliki tingkat keaneka-ragaman flora dan fauna yang tinggi, baik di darat maupun di laut, dengan ciri khas khusus serta tinggi populasinya. Salah satu, jenis potensial dan terancam punah adalah penyu. Pada kawasan tersebut khususnya Pulau Enu, merupakan habitat bagi penyu dari jenis Chelonia mydas (penyu hijau), Nalator depressa
(11)
(penyu pipih), Lepidochelys olivacea (penyu lekang) dan Eretmochelys imbricala
(penyu sisik), di samping itu terdapat satwa lainnya seperti siput mutiara
(Pinctada maxima) dan duyung (Dugong dugong). Jenis-jenis penyu dimaksud merupakan jenis yang telah dilindungi oleh pemerintah, sehingga untuk menjamin keseimbangan di alam serta habitatnya, kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi.
Tujuan utama pengukuhan cagar alam adalah untuk melindungi populasi penyu hijau (Chelonia mydas) dan juga penyu sisik (Erelmochelys imbricala),
yang sudah diketahui memanfaatkan pantai berpasir di Pulau Enu dan Pulau Karang sebagai tempat hidup dan tempat bertelur serta memiliki habitat pakan pada padang lamun yang luas. Di samping itu, tujuan globalnya adalah untuk menciptakan zona inti (sanctuary) untuk berbagai spesies hewan laut dan habitatnya seperti, penyu, dugong, siput mutiara dan spesies lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, sehingga daerah cagar alam dapat berfungsi sebagai daerah reservoar.
Sejak ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan cagar alam, sampai saat ini masih terjadi perburuan penyu dan pengumpulan telur (Sahertian dan Noija, 1994) dan juga eksploitasi sumber daya alam lainnya. Diperkirakan sekitar 4000 ekor penyu dewasa tertangkap setiap tahun di pantai Pulau Enu dan umumnya dipasarkan di Pulau Bali, Surabaya dan Ujung Pandang (Far-Far, 2005). Memahami hubungan antara tekanan manusia dan status ekosistem di kawasan, maka sangat penting untuk mengembangkan rencana tata ruang dan zonasi (Douvere, 2008). Namun, sulit memahami hubungan antara aktivitas manusia dan status ekosistem karena: (1) tingkat tekanan pada ekosistem (Shears dan Ross, 2010) dan (2) keterbatasan informasi dasar pada ekosistem baik status dan potensi dampak (Halpern et al., 2008; Fraschetti et al., 2009).
1.2 Perumusan Masalah
Sejarah tentang kawasan konservasi di Aru Tenggara dimulai kira-kira 20 tahun yang lalu. Secara ringkas penelitian-penelitian yang mendasari ditetapkannya cagar alam laut yang kini dirubah menjadi Suaka Alam Perairan (SAP) dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63/Men/2009, serta penelitian-penelitian dan tulisan-tulisan lain yang membahas
(12)
tentang diadakannya kawasan konservasi Aru Tenggara dan keberadaannya sampai dengan saat ini adalah sebagai berikut :
a. Laporan survey PUSDI-PSL Unpatti, 1993.
1 Populasi penyu hijau masih tetap dieksploitasi baik dalam batas cagar alam laut maupun di luar daerah tersebut. Jumlah telur dan penyu dewasa, yang diambil cukup banyak jumlahnya. Ijin untuk menangkap penyu masih tetap dikeluarkan baik oleh Kepala Desa maupun Camat di Dobo. Untuk mencegah hal ini petugas PHPA harus dibekali dengan dana maupun logistik yang cukup untuk melaksanakan tugas mereka yang cukup sulit. Perlu diberlakukannya hukuman yang tegas tentang masalah konservasi.
2 Adanya motivasi yang kurang dari beberapa petugas PHPA di Dobo. 3 Hasil tangkapan hiu yang menunjukan gejala penurunan seperti yang
ditunjukkan oleh ukuran tubuh ikan hiu yang kecil pada saat ditangkap. 4 Kebanyakan karang yang dijumpai di sekitar daerah cagar alam laut
sudah mati atau dalam kondisi rusak. Hal ini kemungkinan besar diakibatkan oleh peningkatan sedimentasi sebagai akibat kegiatan kapal-kapal trawl.
5 Tingkat kesadaran masyarakat tentang penting dan manfaat dari konservasi masih rendah sehingga perlu diadakannya usaha peningkatan kesadaran lewat pendidikan dan penyuluhan.
b. Wenno, Person dan de Jongh, 1993
1 Kawasan yang dilindungi hanya 114.000 ha tidak sesuai dengan apa yang diusulkan oleh Smiet dan Siallapan (1981) yang mengusulkan area sebesar 250.000 ha, mencakup berbagai habitat termasuk padang lamun, daerah lumpur, terumbu karang dan membentuk hubungan antara pulau-pulau penyu (Enu, Jeh, Mar, Karang dan pulau cagar alam Baun). Daerah konservasi saat ini hanya terbatas untuk penyu dan tidak memperhatikan daerah untuk dugong dan buaya.
2 Sampai sejauh ini masih sangat sedikit perhatian yang diberikan pada manajemen yang sebenarnya dari kawasan tersebut. Walaupun sudah
(13)
berkali-kali dikemukakan tentang peran serta masyarakat sekitar dalam manajemen kawasan tetapi perhatian untuk masalah tersebut masih sangat sedikit.
c. Hitipeuw et al., 1994
1 Cagar alam laut Aru Tenggara walaupun telah ditetapkan sejak tahun 1991, kebanyakan masyarakat tidak mengetahui batas cagar alam laut tersebut juga status hukum daerah tersebut yaitu tidak diperbolehkan untuk kegiatan manusia. Kebanyakan baik masyarakat sekitar daerah tersebut maupun pemerintah lokal memahami bahwa daerah lindungan hanya terbatas pada daerah darat Pulau Enu, Karang, Jeh, dan Mar. 2 Fungsi dan manfaat daerah cagar alam laut Aru Tenggara belum
dimengerti oleh kebanyakan masyarakat. Mereka memang mengetahui bahwa telah dilarang untuk menangkap penyu di sekitar maupun di dalam kawasan. Selain itu, ijin penangkapan penyu juga tidak diperjualbelikan.
3 Masyarakat menjadi kecewa dan merasa rugi mengetahui bahwa, sumber mata pencaharian mereka mengalami penurunan akibat status cagar alam tersebut. Pada kondisi yang demikian sukar mengajak penduduk untuk menghentikan perburuan penyu.
d. Maitimu, PUSDI-PSL Unpatti, (1995)
1 Masyarakat Kepulauan Aru umumnya dan masyarakat kawasan khususnya 90% bergantung pada potensi sumber daya laut. Masih ada kegiatan penangkapan karena keyakinan mereka bahwa daerah itu merupakan hak petuanan mereka. Berkurangnya hasil tangkapan sebagai akibat adanya kawasan lindung sehingga membatasi daerah penangkapan mereka.
2 Kegiatan perikanan di kawasan 90 % dilakukan oleh masyarakat dari luar (contohnya masyarakat Bali, Buton, Madura) kegiatannya termasuk eksploitasi terhadap hewan-hewan yang sudah dilindungi; by catch yang cukup besar oleh kapal-kapal trawl.
(14)
3. Tingkat kesadaran masyarakat tentang arti cagar alam laut pada umumnya masih rendah, hal ini ditunjukkan oleh masih adanya penangkapan di dalam dan di sekitar kawasan lindung. Hal ini sebagian mungkin disebabkan karena tingkat pendidikan yang masih rendah serta kurangnya sosialisasi tentang arti dan pentingnya kawasan lindung. 4. Masyarakat belum memikirkan untuk memanfaatkan sumber daya yang
lain yang juga potensial untuk diusahakan akan tetapi harus dibarengi dengan pengetahuan kelestarian sumber daya.
e. Djohani R.H.dan Alwi T (1996)
1 Perlu dilakukan pengkajian ekologi dari ekosistem darat, laut dan pantai sehingga diketahui/ditentukan daerah kritis, spesies yang akan dilindungi dan besar dari pengaruh (negatif) trawl yang beroperasi. Masalah hak adat (petuanan) juga harus diselesaikan dengan baik agar tidak menimbulkan permasalahan. Informasi sosial dan ekologi harus secara terpadu dan potensi konflik yang bisa muncul sebagai akibat adanya proteksi dan manajemen terhadap sumber daya harus didiskusikan dan diberi kompensasi.
2 Direkomendasikan agar melakukan rehabilitasi padang lamun dan terumbu karang di pantai Timur yang rusak berat sebagai akibat operasi kapal trawl yang cukup intensif dan ilegal.
f. Yayasan Hualopu (1997)
1. Kawasan konservasi Aru Tenggara ditetapkan menjadi kawasan cagar alam laut berdasarkan SK Menteri RI No. 72/Kpts-II/1991, namun penetapan tersebut tidak mendapat dukungan yang besar dari masyarakat setempat yang secara tradisional merupakan pemilik hak ulayat kawasan tersebut. Hal ini terjadi karena dalam perencanaan penentuan kawasan dengan batas-batasnya tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di wilayah tersebut. Sebagai akibatnya masih terjadi pelanggaran di kawasan tersebut sampai saat ini, misalnya pembantaian penyu, pengambilan karang untuk bahan bangunan dan lain-lain.
(15)
2. Pemberian status kawasan menjadi Cagar Alam Laut menjadikan kawasan tersebut tertutup untuk semua kegiatan eksploitasi dan hal ini sangat memberatkan masyarakat yang sebagian besar hidupnya bergantung pada sumber daya laut.
3. Batas-batas sebagai kawasan cagar alam laut tidak diketahui secara jelas oleh masyarakat karena memang tidak ada rambu-rambu atau patok-patoknya sehingga masih saja terjadi eksploitasi di dalam kawasan. 4. Status kawasan sebagai cagar alam laut kurang disosialisasikan kepada masyarakat, pengusaha dan instansi-instansi pemerintah lainnya sehingga, aturan-aturan tentang penggunaan kawasan cagar alam laut tidak diketahui dengan jelas. Akibatnya masih ada eksploitasi baik oleh masyarakat maupun pengusaha di kawasan tersebut.
5. Pengawasan terhadap pengelolaan kawasan ini masih sangat kurang yang antara lain diakibatkan olah kurangnya biaya operasional pengawasan, tidak terlibatnya masyarakat dalam upaya pengawasan, belum berjalannya penegakan dan kepastian hukum.
6. Masih kurangnya pengetahuan masyarakat tentang maksud dan tujuan perlindungan terhadap suatu biota sehingga ada opini upaya melindungi biota merugikan mereka. Dampaknya adalah masyarakat masih tetap mengeksploitasi biota yang dilindungi. Masyarakat juga kurang mengetahui tentang biota apa saja yang sudah dilindungi.
7. Banyak kegiatan perikanan di Kabupaten Kepulauan Aru tidak memperhatikan aspek kelestarian sumber daya sehingga cenderung merusak lingkungan (penggunaan tuba, membalik atau menghancurkan karang dan lain-lain).
8. Sejak ditetapkan sebagai cagar alam laut tahun 1991 sampai kini ternyata tidak ada kawasan peruntukan, sehingga masih ada pelanggaran batas-batas kawasan di samping pengawasan yang tidak berjalan dengan baik.
(16)
g. Far-Far (2005)
1. Terjadi tumpang tindih status kawasan antara batas daerah konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 72/Kpts-II/1991 dengan batas petuanan masyarakat adat Aru Tenggara, sehingga perlu ditinjau kembali status kawasan konservasi Cagar Alam Laut Aru Tenggara.
2. Aktivitas pemanfaatan sumber daya hayati Pulau Enu dilakukan oleh masyarakat lokal dan masyarakat dari luar kawasan. Ditemukan sebanyak 7 (tujuh) kegiatan utama masyarakat lokal yang memanfaatkan sumber daya hayati laut di Pulau Enu, masing-masing penangkapan ikan (ikan hiu), udang, pengambilan lola, siput mutiara, teripang dan bia mata tujuh serta penangkapan penyu. Sedangkan aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat dari luar kawasan meliputi penangkapan penyu dan penangkapan udang dengan trawl.
Dari berbagai hasil penelitian maka beberapa masalah yang perlu untuk dikemukakan adalah Status Kawasan; (1) Batas kawasan yang tidak jelas; (2) Belum adalanya sosialisasi status kawasan; (3) Kurangnya pengawasan di kawasan; (4) Penangkapan biota yg dilindungi; (5) Kegiatan pengrusakan masih terus dilaksanakan pada seluruh ekosistem; (6) belum adanya rencana zonasi dan rencana pengelolaan kawasan serta (7) kegiatan pemberdayaan terhadap masyarakat belum banyak dilaksanakan.
Opsi yang ditawarkan oleh para peneliti dimaksud untuk mengantisipasi permasalahan yang telah disebutkan adalah (1) Evaluasi status kawasan; (2) Pembuatan batas kawasan; (3) Sosialisasi status kawasan; (4) Pengawasan yang kontinyu dan berkelanjutan; (5) Pelarangan dan perlindungan terhadap biota yang dilindungi; (6) Pengawasan dan pelarangan terhadap aktivitas pengrusakan kawasan dan (7) penetapan rencana zonasi dan rencana pengelolaan kawasan.
Berdasarkan penelitian-penelitian di atas dan temuan-temuan yang diperoleh, maka beberapa permasalahan yang perlu dijawab adalah (1) bagaimana karakteristik sumber daya perikanan kawasan?; (2) bagaimana karakteristik sosial, ekonomi dan budaya masyarakat perikanan kawasan?; (3) bagaimana kebijakan pembangunan perikanan di kawasan?; (4) sudah sejauh mana efektivitas
(17)
pengelolaan di kawasan?; serta (5) adakah konsep perencanaan dan pengelolaan perikanan yang ditetapkan berdasarkan fungsi ruang (zonasi) dengan tetap mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal kawasan?
1.3 Tujuan
Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan model pengelolaan perikanan melalui penentuan efektivitas dan zonasi berbasis ekosistem pada kawasan konservasi Aru Tenggara. Tujuan umum ini dapat terjawab melalui serangkaian implementasi dari beberapa tujuan khusus diantaranya:
1. Mengkaji karakteristik sumber daya perikanan kawasan konservasi; 2. Mengkaji karakteristik masyarakat perikanan kawasan konservasi;
3. Menganalisis kebijakan pembangunan perikanan di kawasan konservasi Aru Tenggara.
1.4 Manfaat
Manfaat yang diharapkan dapat dicapai dari penelitian ini antara lain: 1 Menjadi informasi dasar bagi pengembangan kajian-kajian kawasan
konservasi perairan berbasis ekosistem dan kearifan lokal;
2 Sebagai model dalam pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan konservasi Aru Tenggara;
3 Sebagai informasi dasar bagi upaya perumusan kebijakan yang berhubungan dengan pengembangan kawasan konservasi perairan;
4 Terakomodasinya kepentingan masyarakat kawasan konservasi dalam pemanfaatan sumber daya perikanan yang berkelanjutan.
1.5 Kerangka Pemikiran
Kawasan konservasi Aru Tenggara berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka ada 3 masalah utama yang perlu dikaji yakni pertama; permasalahan sumber daya perikanan yang semakin mengalami penurunan; kedua; permasalahan masyarakat kawasan yang sangat terisolir karena jauh dari akses, sehingga membutuhkan biaya yang cukup besar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, sehingga akibatnya lahan pemanfaatan (terutama
(18)
kawasan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil) menjadi daerah yang menjadi pilihan dan berdampak pada tingkat penekanan ekosistem dan sumber dayanya; Ketiga;
permasalahan perhatian pemerintah terhadap pengembangan kawasan baik sebagai kawasan konservasi, kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil maupun status kawasan sebagai daerah perbatasan antara Indonesia dan Australia.
Status kawasan sebagai daerah konservasi nasional, maka pengembangan diarahkan bagi kepentingan ekologi, sosial, dan ekonomi serta tata kelola; sedangkan untuk kawasan pulau kecil terluar perbatasan, karena menyangkut kedaulatan negara, maka ditambahkan lagi satu komponen yakni pertahanan dan keamanan (Gambar 1).
Selain 3 komponen yang telah dikemukakan, maka hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam pengelolaan kawasan adalah kebutuhan masyarakat dan aktivitasnya dalam pembangunan kawasan, karena komponen ini akan berdampak positif maupun negatif bagi kawasan.
Perubahan terhadap kawasan baik sumber daya perikanan serta ekosistemnya, akan dilakukan melalui analisis data citra serta survei langsung di lapang. Hasilnya akan digunakan untuk mengevaluasi status sumber daya dan ekosistem bagi kepentingan pengelolaan, juga digunakan dalam penentuan efektivitas pengelolaan serta penyusunan kriteria zonasi yang akan dijadikan model dalam penelitian ini.
Dalam upaya pengelolaan perlu ditetapkan kriteria-kriteria yang bertujuan untuk menganalisis dan menentukan tingkat efektivitas pengelolaan dan dampak konservasi serta mengarahkan kegiatan pembangunan kawasan sesuai dengan kapasitas ruang dan sumber daya yang ada. Selain menentukan tingkat efektivitas pengelolaan, maka pengembangan zonasi menjadi tahapan berikutnya untuk memetakan kesesuaian ruang pemanfaatan. Untuk keseluruhan tujuan yang ada maka diperlukan kajian dan penelaahan yang bersifat saling terkait dalam mencapai tujuan penelitian ini, yaitu:
1) menganalisis karakteristik masyarakat perikanan yang dikaitkan dengan persepsi atau sikap dan keinginan masyarakat berkaitan dengan kawasan dan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat;
(19)
(20)
2) Identifikasi potensi dan menganalisis karakteristik sumber daya perikanan dengan 3 skala peninjauan, yaitu: skala peninjauan ekosistem (dimensi ekosistem), skala peninjauan setiap pulau (dimensi pulau) dan skala peninjauan kawasan (dimensi kawasan) yang akan dijadikan dasar di dalam penilaian dari ekosistem penyusun kawasan;
3) Analisis terhadap kebijakan (tata kelola) perikanan kawasan, melalui penelaahan kebijakan secara nasional, regional (Provinsi Maluku dan Kabupaten Kepulauan Aru) serta kebijakan lokal.
4) Analisis efektivitas pengelolaan dan dampak konservasi terhadap sumber daya perikanan, dan masyarakat kawasan melalui pendekatan ekologi, sosial dan tata kelola.
5) Hasil analisis sumber daya perikanan, karakteristik masyarakat dan kebijakan pembangunan serta tingkat efektivitas pengelolaan akan dipakai untuk mendukung analisis model pengelolaan perikanan berbasis ekosistem di kawasan konservasi Aru Tenggara.
Setelah status tingkat pengelolaan diketahui dan zonasi kawasan dikembangkan, maka implikasi pengelolaan menjadi sangat penting untuk merumuskan berbagai kebijakan pengelolaan kawasan.
1.6 Kebaruan Penelitian
Kebaruan atau novelti adalah kemampuan untuk menemukan hubungan-hubungan baru, untuk melihat suatu subjek dari perspektif baru, dan untuk membentuk kombinasi baru dari dua atau lebih konsep yang sudah ada dalam pikiran (Evans, 1991). Selanjutnya Haylock, (1997), menyatakan bahwa agar dikatakan novelti, suatu produk atau respon harus berbeda dari yang ada sebelumnya dan juga harus layak, benar, berguna, bernilai atau berarti. Ciri-ciri keterampilan berpikir originil adalah mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik, memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri, mampu membuat kombinasi yang tidak lazim dari bagian atau unsur-unsur (Pehkonen, 1997). Baru tidak berarti dulu atau sebelumnya tidak ada, tetapi dapat berupa sesuatu yang belum dikenal sebelumnya atau kombinasi sesuatu yang sudah dikenal sebelumnya yang memenuhi kriteria tujuan dan nilai tertentu.
(21)
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka penelitian ini memiliki kebaruan (novelti) yakni pada tujuan penelitian penentuan efektivitas pengelolaan kawasan. Nilai kebaruannya antara lain:
1. Metode/konsep, baru pertama kali digunakan untuk mengevaluasi kawasan konservasi Aru Tenggara. Metode yang dimaksudkan adalah berupa penetapan Indeks Efektivitas Ekologi (IEE); Indeks Efektivitas Sosial (IES) dan Indeks Evektivitas Tata Kelola (IETK) yang akan menghasilkan Indeks Efektivitas Kawasan Konservasi Perairan (IEKKP)
2. Memiliki nilai sosial, karena berhubungan dengan evaluasi terhadap pengelolaan kawasan baik kondisi sumberdaya perikanan, masyarakat perikanan maupun kebijakan perikanan yang dimaksudkan untuk memperbaiki peengelola kawasan demi kesejahteraan masyarakat kawasan 3. Layak dilakukan, karena dalam penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi,
perlu dilakukan upaya evaluasi terhadap kondisi pengelolaan sebelumnya (khusus bagi kawasan yang telah lama ditetapkan).
4. Benar, karena berbasis pada data dan informasi valid, terpercaya, dan melalui tahapan analisis ilmiah yang diyakini kebenarannya.
5. Berguna, karena akan memberikan nilai manfaat bagi keberlangsungan kelestarian sumber daya dan lingkungan juga bagi kepentingan kehidupan masyarakat.
6. Bernilai, karena mengandung nilai ilmiah dan memiliki arti bagi
kelangsungan hidup masyarakat dan sumber dayanya.
Selanjutnya kebaruan ke dua dari disertasi ini adalah pada tujuan pengembangan model zonasi berbasis ekosistem dengan pendekatan kolaborasi antara zona tradisional masyarakat dan zona hasil analisis kriteria berbasis ekosistem. Adapun kebaruannya adalah :
1. Metode yang digunakan adalah baru karena dirancang berdasarkan kriteria penetapan zonasi yakni Kepmen KKP No. 60 Tahun 2010 tentang tata cara penetapan kawasan konservasi perairan, yang selanjutnya diperbaharui dan dikembangkan lebih rinci berbasis eksositem pulau, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang dan ekosistem perairan terbuka.
(22)
2. Memiliki nilai sosial, karena berhubungan dengan upaya untuk mengelola kawasan demi kemaslahatan masyarakat banyak.
3. Layak, dilakukan, karena kawasan belum memiliki konsep zonasi, sehingga dapat digunakan sebagai model dalam penyusunan rencana zonasi pada kawasan.
4. Benar, karena berbasis pada data dan informasi valid, terpercaya, dan melalui tahapan analisis ilmiah yang diyakini kebenarannya.
5. Berguna, karena akan memberikan nilai manfaat bagi keberlangsungan kelestarian sumber daya dan lingkungan serta kesejahteraan masyarakat. 6. Bernilai, karena mengandung nilai ilmiah, sosial, ekonomi dan ekologi bagi
kelangsungan hidup masyarakat dan sumber dayanya
(23)
(24)
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kawasan Konservasi Aru Tenggara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pasal 1 ayat (8) mendefinisikan kawasan adalah bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Sedangkan pada ayat 19 mengartikan konservasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai keanekaragamannya.
Kawasan konservasi Aru Tenggara ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 27/Kpts-II/1991 dengan status sebagai Cagar Alam Laut Aru Tenggara dengan luas 114.000 ha. Kawasan ini ditetapkan karena memiliki potensi sumber daya endemik yang harus dilindungi. Selain pertimbangan biofisik yang telah dijelaskan di atas, maka pertimbangan lain yang juga dipakai dalam menentukan kawasan ini sebagai kawasan konservasi yakni:
(1) Kawasan ini merupakan kawasan yang didalamnya terdapat 7 pulau, dimana 3 pulau diantaranya adalah pulau terluar perbatasan antara pemerintah Indonesia dan Australia. Tiga pulau yang dimaksudkan ialah Pulau Enu, Pulau Karang dan Pulau Kultubai Selatan.
(2) Kawasan yang terdiri dari 7 pulau ini merupakan pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil dan tidak berpenghuni.
(3) Di antara ketujuh pulau ini, 2 diantaranya yakni Pulau Enu dan Pulau Karang merupakan pulau sejarah bagi seluruh masyarakat Aru karena merupakan tempat asal mereka dahulu (ceritera sejarah masyarakat Aru) sedangkan 5 pulau lainnya merupakan pulau sejarah bagi beberapa desa sekitar yakni Desa Longgar, Desa Apara Dan Desa Bemun.
(25)
Kawasan konservasi Aru Tenggara pada saat ditetapkan sebagai Cagar Alam Laut (CAL) dikelola sepenuhnya oleh Departemen Kehutanan, selanjutnya dikembalikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2009 dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63/Men/2009 dengan perubahan status sebagai Suaka Alam Perairan (SAP) Aru Tenggara.
2.1.1 Pengertian, maksud dan tujuan kawasan konservasi
Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, pengertian konservasi adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Dalam UU No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan dijelaskan bahwa konservasi sumber daya ikan adalah upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan. Konservasi ekosistem sebagai bagian dari konservasi sumber daya ikan merupakan upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan akan datang.
Kawasan Konservasi Laut (KKL) atau Marine Protected Area (MPA) adalah wilayah perairan yang termasuk pesisir dan pulau-pulau kecil yang mencakup tumbuhan dan hewan didalamnya, serta/atau termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial-budaya dibawahnya, yang melindungi secara hukum atau cara lain yang efektif baik dengan melindungi seluruh atau sebagian wilayah tersebut. Sementara itu dalam hal pengelolaan pesisir dan laut serta perikanan, lahirnya UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (PWP3K) yang sedikit bersinggungan dengan pengaturan pengelolaan kawasan konservasi laut.
(26)
2.1.2 Strategi konservasi
Camp dan Dougherty (1991), mengatakan bahwa konservasi
diimplementasikan dalam pengelolaan sumber daya alam, sehingga tujuan pembangunan berwawasan lingkungan dapat dicapai. Di Indonesia, konservasi pertama kali diterima sebagai suatu dasar kebijakan setelah dideklarasikan di Bali pada tahun 1982 yaitu pada saat Kongres Taman Nasional (KTN) sedunia ke-3 sebagai strategi konservasi dunia, yang telah disesuaikan di tingkat nasional sebagai Strategi Konservasi Nasional (Alikodra, 1990). Selanjutnya strategi ini menjadi dasar acuan bagi kegiatan konservasi di Indonesia khususnya dalam pengelolaan kawasan konservasi.
Pengelolaan sumber daya alam adalah suatu upaya berencana untuk memanfaatkannya bagi kepentingan manusia (Owen, 1980). Mengingat pertumbuhan manusia yang terus meningkat yang sampai saat ini mencapai sekitar 8 milyar orang di dunia yang membutuhkan pangan dan energi serta ruang untuk permukimannya, maka dirasakan dampaknya terhadap sumber daya alam dan lingkungannya semakin negatif. Dubos dan Barbara (1972), menyatakan bahwa diperlukan upaya-upaya untuk menyelamatkan bumi beserta isinya dari bahaya kehancuran akibat kegiatan pengelolaan sumber daya alam.
Berdasarkan hal itu dan mengingat makin meningkatnya keinginan manusia untuk menyelamatkan sumber daya alam dan lingkungannya, maka IUCN (1986), menyusun strategi konservasi yang disesuaikan dengan kondisi alam di Indonesia meliputi:
1. Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan ekosistemnya. 2. Pengawetan keanekaragaman sumber plasma nutfah yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia.
3. Pelestarian di dalam cara-cara pemanfaatan baik jenis maupun ekosistemnya yaitu dengan mengatur dan mengendalikan cara pemanfaatan, sehingga diharapkan dapat diperoleh manfaat yang optimal dan berkesinambungan.
(27)
Dalam rangka mengimplementasikan strategi konservasi dan memudahkan pemahamannya, maka Alikodra (1990), mengembangkan konservasi melalui tiga prinsip:
1. Mengamankan (save it), yaitu mengamankan ekosistem yang berarti melindungi genetik, spesies dan ekosistem dengan cara: menjaga penurunan kualitas dari komponen-komponen utama ekosistem, mengembangkan upaya mengelola dan melindungi secara efektif, mengembalikan spesies-spesies yang telah hilang kepada habitat aslinya dan memeliharanya di bank genetik seperti kebun raya dan fasilitas ex-situ lainnya.
2. Mempelajari (study it), artinya melakukan inventarisasi dan identifikasi mengenai karakteristik sifat biologis, ekologis dan sosial ekonomi masyarakat. Hal ini berarti sekaligus membina kesadaran akan nilai-nilai sumber daya alam, memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menghargai keanekaragaman alam serta memasukkan isu-isu tentang sumber daya dan ekosistemnya ke dalam bagian kurikulum pendidikan.
3. Memanfaatkan (use it), artinya melakukan pemanfaatan sumber daya alam secara lestari dan seimbang, agar terus dapat dikembangkan dengan teknik-teknik pemanfaatan yang dapat mempertahankan keberadaan sumber daya alam. Pemanfaatan sumber daya alam hanya untuk memperbaiki kehidupan umat manusia dan memberikan jaminan bahwa sumber-sumber ini dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat secara adil dan bijaksana.
Camp dan Dougherty (1991), menyatakan bahwa dalam pengelolaan sumber daya alam perlu dikembangkan prinsip konservasi meliputi:
1. Melakukan kegiatan atas dasar kesamaan persepsi di dalam ekologi termasuk suksesi ekologi serta adanya tatanan rantai makanan dan jaringan makanan di alam.
2. Mengembangkan disiplin ilmu ekosistem di dalam memecahkan berbagai permasalahan sumber daya alam dan lingkungan.
3. Menerapkan azas keseimbangan di alam, dan
4. Memahami bahwa ada batas-batas kemampuan sumber daya alam dan lingkungan untuk mendukung kebutuhan manusia.
(28)
2.1.3 Pengelolaan kawasan konservasi
Suatu kawasan yang dilindungi harus dijamin keberadaannya dari pemanfaatan sumber daya secara tidak terbatas. Prinsip dasar untuk tujuan perlindungan adalah konservasi, dimana konservasi dapat didefinisikan sebagai pengelolaan dari penggunaan manusia terhadap biosphere untuk mendapatkan keuntungan yang berkelanjutan bagi generasi sekarang dengan tetap memelihara potensinya untuk kebutuhan dan cita-cita generasi yang akan datang (IUCN, 1980
dalam Salm 1982; McNeely, et al., 1990 dalam Carter, 1994).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengatur semua aspek yang berkaitan dengan konservasi, baik ruang maupun sumber daya alamnya, sebagaimana ditegaskan dalam bagian penjelasannya, bahwa Undang-Undang ini bertujuan untuk mengatur perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya agar dapat menjamin pemanfaatannya bagi kesejahteraan masyarakat dan peningkatan mutu kehidupan manusia. Pengertian konservasi menurut undang-undang ini adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. Konservasi dilakukan melalui kegiatan: (a) perlindungan sistem penyangga kehidupan; (b) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; dan (c) pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, mengatur penetapan status hukum kawasan lautnya. Secara khusus undang-undang ini memberikan wewenang kepada Menteri untuk menetapkan status suatu bagian laut tertentu sebagai kawasan Suaka Alam Perairan, Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, atau Suaka Perikanan. Penetapan status kawasan-kawasan laut tersebut bertujuan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber kekayaan alam hayati dan ekosistemnya.
(29)
Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan menyatakan bahwa dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumber daya ikan, Menteri menetapkan jenis ikan dan kawasan perairan yang masing-masing dilindungi, termasuk taman nasional laut, untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Penjelasan Pasal 7 ayat (5), yang dimaksud dengan jenis ikan adalah Pisces (ikan bersirip); Crustacea (udang, rajungan, kepiting, dan sebangsanya); Mollusca (kerang, tiram, cumi-cumi, gurita, siput, dan sebangsanya); Coelenterata (ubur-ubur dan sebangsanya); Echinodermata
(teripang, bulu babi dan sebangsanya); Amphibia (kodok dan sebangsanya); (buaya, penyu, kura-kura, biawak, ular air dan sebangsanya); Mamalia (paus, lumba-lumba, pesut, duyung dan sebangsanya); Algae (rumput laut dan tumbuhan lain yang hidupnya di dalam air); dan biota perairan lainnya yang ada kaitannya dengan jenis-jenis tersebut di atas, semuanya termasuk bagian ikan yang dilindungi.
Selanjutnya Pasal 13 ayat (1) menyatakan bahwa dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Sedangkan kewajiban pemerintah maupun masyarakat untuk melestarikan sumber daya ikan diatur pada Pasal 14 ayat (1 dan 2) bahwa pemerintah dan masyarakat mengatur dan atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan.
Alternatif pengelolaan perikanan sebagai pelengkap dari pendekatan MSY yang banyak diterapkan akhir-akhir ini adalah pengelolaan berbasis ekosistem melalui pembentukan suatu jejaring KKP (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Ward, Heinemann & Evans, 2001). Definisi IUCN tentang KKP adalah suatu wilayah perairan pasang surut bersama badan air dibawahnya dan terkait dengan flora, fauna, dan penampakan sejarah serta budaya, dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, untuk melindungi sebagian atau seluruh lingkungan disekitarnya. Selain fungsinya sebagai alat untuk konservasi keanekaragaman hayati, KKP juga banyak dinyatakan sebagai alat pengelolaan perikanan tangkap yang diintegrasikan ke
(30)
dalam perencanaan pengelolaan pesisir terpadu (Gell & Roberts, 2002; National Research Council, 2001; Roberts & Hawkins, 2000; Heinemann & Evans, 2001).
Sebagai sarana pengelolaan perikanan, kawasan konservasi laut memiliki dua fungsi: (1) limpahan ikan komoditi pasar dari wilayah perlindungan ke dalam wilayah penangkapan. (2) ekspor telur dan larva ikan dari wilayah perlindungan ke wilayah penangkapan yang dapat meningkatkan kuantitas penangkapan di wilayah penangkapan. Selain itu, sebagai sarana pengelolaan, kawasan konservasi laut memberikan manfaat tidak langsung untuk melindungi habitat yang sangat penting bagi perkembangbiakan jenis ikan komersial, dan memberikan tempat berlindung ikan yang tidak dapat diberikan oleh sarana pengelolaan lainnya sehingga dapat mencegah penurunan secara drastis persediaan ikan komersial.
Kawasan konservasi perairan yang terlindungi dengan baik, secara ekologis akan mengakibatkan beberapa hal berikut terkait dengan perikanan antara lain: (1) habitat yang lebih cocok dan tidak terganggu untuk pemijahan induk; (2) meningkatnya jumlah stok induk; (3) ukuran (body size) dari stok induk yang lebih besar; (4) larva dan recruit hasil reproduksi lebih banyak. Sebagai akibatnya, terjadi kepastian dan keberhasilan pemijahan pada wilayah kawasan konservasi. Keberhasilan pemijahan di dalam wilayah kawasan konservasi perairan dibuktikan memberikan dampak langsung pada perbaikan stok sumber daya perikanan di luar wilayah kawasan konservasi laut (Gell & Robert, 2002; Pisco, 2002).
Peran Kawasan Konservasi perairan adalah melalui: (1) ekspor telur dan larva ke luar wilayah KKP yang menjadi daerah penangkapan (fishing ground) nelayan; (2) kelompok recruit; (3) penambahan stok yang siap ambil di dalam wilayah penangkapan. Indikator keberhasilan yang bisa dilihat adalah peningkatan hasil tangkapan nelayan di luar kawasan konservasi beberapa saat setelah dilakukan penerapan KKP secara konsisten. Seberapa jauh efektivitas kawasan konservasi perairan mampu memenuhi fungsi tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya, model, bentuk maupun posisi/letak wilayahnya, khususnya ukuran zona/wilayah yang dijadikan perlindungan (no take area) dibandingkan dengan zona pemanfaatan (penangkapan). Seberapa jauh efektivitas kawasan konservasi
(31)
laut dapat memenuhi keempat fungsi tersebut akan sangat tergantung pada pembatasan yang diterapkan pada kegiatan perikanan dan jenis pemanfaatan lainnya maupun bentuk dan posisinya, khususnya ukuran wilayah yang dilindungi bila dibandingkan dengan wilayah penangkapan.
2.1.4 Efektivitas dan dampak pengelolaan kawasan konservasi
Pengertian efektivitas secara umum menunjukkan sampai seberapa jauh tercapainya suatu tujuan yang terlebih dahulu ditentukan. Hal tersebut sesuai dengan pengertian efektivitas menurut Hidayat (1986) yang menjelaskan bahwa efektivitas adalah suatu ukuran yang menyatakan seberapa jauh target (kuantitas, kualitas dan waktu) telah tercapai, dimana makin besar presentase target yang dicapai, makin tinggi efektivitasnya.
Pelindungan berbasis luasan melalui KKL ini dapat membantu memelihara kesehatan dan produktivitas ekosistem, di samping menjamin keberlanjutan pembangunan sosial dan ekonomi. Keberadaan KKL juga dapat membantu memelihara kisaran penuh variasi genetik yang sangat penting untuk mengamankan populasi-populasi spesies kunci, keberlanjutkan proses-proses evolusi dan menjamin daya-pulih (resilience) mereka dalam menghadapi gangguan alami dan pemanfaatan oleh manusia (IUCN, 1999; NRC, 2001; Agardy & Wolfe, 2002; Agardy & Staub, 2006; Mora et al., 2006; Parks et al.,
2006; IUCN-WCPA, 2008).
Kawasan konservasi bila dirancang dengan benar dan dikelola secara efektif, maka kawasan tersebut akan berperan penting dalam melindungi ekosistem dan sumber dayanya (IUCN-WCPA, 2008). Karena peran ini, beragam lembaga dan badan pemerintah dan publik meletakkan harapan yang tinggi kepada KKL dalam memelihara atau memulihkan fungsi-fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati laut, di samping untuk meningkatkan kondisi sosio-ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan (Parks et al., 2006). Meskipun demikian, seringkali harapan badan-badan pemerintah dan publik tentang apa yang bisa diberikan oleh KKL tidak realistis, dikarenakan oleh pemberitaan sensasional tentang manfaat KKL bagi masyarakat pesisir (Agardy & Wolfe, 2002; Parks et al., 2006).
(32)
Efektivitas pengelolaan adalah “tingkat sejauh mana kegiatan pengelolaan
mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan oleh suatu KKL (Hockings et al., 2000, 2006). Pada setiap KKL, ada beragam hal seperti faktor-faktor biofisik, tata-kelola dan sosio-ekonomi, yang dapat secara langsung maupun tidak-langsung mempengaruhi kinerja pengelolaan secara menyeluruh, dan tingkat sejauh mana KKL yang sedang dikelola, dapat mempengaruhi perubahan pada beberapa atau semua faktor terkait (Parks et al., 2006). Jadi, proses untuk mengevaluasi efektivitas pengelolaan melibatkan tinjauan terhadap tiga faktor (biofisik, sosio-ekonomi dan tata-kelola) yang mempengaruhi pengelolaan kawasan (Gambar 2).
Gambar 2. Kerangka kerja konseptual efektivitas pengelolaan kawasan konservasi laut (EPKKL)
Tinjauan berulang terhadap efektivitas pengelolaan juga dapat membantu para pengelola untuk mendokumentasikan kinerja upaya-upaya pengelolaan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan KKL dan memberikan gambaran tentang kemajuannya kepada para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan (Pomeroy et al., 2004). Lebih jauh lagi, pelibatan masyarakat dalam proses tinjauan, juga akan memperkuat dukungan publik dan membangun rasa saling percaya. Suatu tinjauan yang baik adalah tinjauan yang secara maksimum mengidentifikasi semua kendala untuk melakukan pengelolaan secara efektif dimana badan pengelola dapat menggunakannya untuk menjawab tantangan atau kendala yang dihadapinya.
(33)
Tinjauan juga memfasilitasi peningkatan pengelolaan KKL melalui pembelajaran, penerapan strategi adaptif, dan identifikasi tantangan-tantangan spesifik yang mempengaruhi apakah tujuan-tujuan KKL sedang dicapai. Pengelolaan KKL secara efektif memerlukan tinjauan periodik terhadap kemajuan proyek dibandingkan dengan tujuan-tujuan yang telah dinyatakan, selain juga penggunaan secara aktif untuk melaksanakan pengelolaan secara adaptif. Konsep pengelolaan adaptif melibatkan suatu proses daur interaktif dimana para pengelola dapat meninjau kembali asumsi-asumsi pengelolaan mereka, membangun pembelajaran dan pengetahuan baru dari hasil-hasil yang diperoleh melalui proses tinjauan (Hockings et al., 2000, 2006; Pomeroy et al., 2004; White et al., 2006). Pembelajaran dapat diterapkan untuk merevisi dan meningkatkan praktek dan upaya pengelolaan yang sedang dilakukan.
Lembar tinjauan efektivitas pengelolaan terdiri dari dua bagian yakni (1) informasi latar KKL yang akan merekam data dan informasi penting yang tidak muncul pada daftar kartu skor pengelolaan KKL, dan (2) Kartu skor pengelolaan KKL (keduanya diberikan dalam bentuk berkas MS-Word, dan dalam bentuk berkas salinan-lunak MS-Excel). Kartu Skor merupakan sebuah sistem penilaian (scoring) sederhana mirip dengan yang sudah digunakan pada proses tinjauan efektivitas lainnya (Staub & Hatziolos, 2004; Pomeroy et al., 2004; White et al.,
2006; Germano et al., 2007; Wells & Mangubhai, 2007) tetapi sudah dimodifikasi dan disesuaikan dengan konteks di Indonesia.
Tingkat pengelolaan KKL ditentukan berdasarkan persentase skor manapun yang sama atau lebih dari 75 persen. Tingkat ambang 75% ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa bila suatu KKL sudah mencapai (atau lebih dari) tingkatan ini maka KKL tersebut dianggap telah mencapai hasil-hasil positif yang diinginkan atau layak untuk disebut memiliki efektivitas pengelolaan setingkat tersebut (Carter F.,at al, 2011).
2.1.5 Sistem zonasi kawasan konservasi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, pasal 1 ayat (11) mendefinisikan Zona adalah ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya.
(34)
Selanjutnya pada ayat (12) dinyatakan bahwa Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir. Sedangkan Rencana Zonasi adalah rencana yang menentukan arah penggunaan sumber daya tiap-tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah memperoleh izin (ayat 13).
Perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007, terdiri atas:
a) Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RSWP3K;
b) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RZWP3K;
c) Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RPWP3K; dan
d) Rencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang selanjutnya disebut RAPWP3K.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.02/Men/2009 Tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan pasal 1 ayat (1) mendefinisikan kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Selanjutnya pada pasal 2 ayat (1), dimana pelaksanaan penetapan kawasan konservasi perairan dilaksanakan dengan tujuan:
a) Melindungi dan melestarikan sumber daya ikan serta tipe-tipe ekosistem penting di perairan untuk menjamin keberlanjutan fungsi ekologisnya; b) Mewujudkan pemanfaatan sumber daya ikan dan ekosistem serta jasa
(35)
c) Melestarikan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya ikan di dalam dan/atau di sekitar kawasan konservasi perairan dan
d) Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi perairan.
Sedangkan sasaran kawasan konservasi sendiri pada ayat (2) adalah pemanfaatan berkelanjutan sumber daya ikan dan ekosistemnya, serta jasa lingkungan yang ada didalamnya, dengan tetap menjaga kearifan lokal yang ada, sehingga dapat menjamin ketersediaan, kesinambungan dan peningkatan kualitas nilai serta keanekaragamannya, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya di sekitar kawasan konservasi perairan. Penataan zonasi kawasan merupakan pembagian kawasan (zona) yang mencerminkan adanya suatu perlakuan tertentu di masing-masing zona tersebut. Penataan zonasi bertujuan untuk optimalisasi fungsi dan peruntukkan potensi sumber daya alam hayati dan ekosistem pada setiap bagian kawasan (Sriyanto A, 1998).
Aspek negatif dari suatu perencanaan zonasi yaitu kelihatan sangat kaku dalam menyederhanakan kompleksnya masalah konservasi. Hal yang tidak mudah dalam perencanaan zonasi adalah menentukan batas-batas di laut tetapi hal ini dapat ditunjukkan oleh titik terluar dari setiap kegiatan yang diatur dan dibatasi secara jelas untuk menegaskan batasnya (Laffoley, 1995). Untuk memahami peranan zonasi dalam pengelolaan kawasan konservasi adalah dengan memahami fungsinya. Suatu kawasan yang dilindungi harus dapat menggambarkan tiga fungsi dasar yang biasanya dijelaskan ke dalam tiga peran (Laffoley, 1995), yaitu peran konservasi (konservasi terhadap genetik dan ekosistem), peran logistik (partisipasi dalam penelitian dan monitoring), dan peran pembangunan (kerjasama dengan masyarakat lokal di sekitar kawasan konservasi untuk mempromosikan bentuk pembangunan berkelanjutan yang cocok dengan tujuan konservasi). Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem zonasi yang digunakan dalam kawasan konservasi harus mengandung ketiga peranan tersebut, yang dijelaskan sebagai: zona inti (core area), yaitu wilayah dengan tujuan utama konservasi; zona penyangga (buffer zone), yaitu wilayah yang membatasi maksud dari pengelolaan; dan zona transisi (transition area), yaitu wilayah kerjasama dengan masyarakat sekitar (Gambar 3).
(36)
Gambar 3 Zonasi kawasan konservasi (Laffoley, 1995)
Sedangkan sistem zonasi yang dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1990, terdiri dari zona inti dan zona pemanfaatan serta zona lain sesuai dengan keperluan. Zona lain yang sesuai dengan keperluan adalah zona rimba atau perlindungan, zona pemulihan, zona rehabilitasi, zona budaya, dan lain-lain, meliputi (DEPHUT, 1995):
1. Zona Inti adalah kawasan dimana keadaan flora dan fauna atau keindahan khaliknya dan ekosistem mutlak untuk dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia.
2. Zona Perlindungan adalah kawasan yang berfungsi sebagai peralihan, dimana dalam batas-batas tertentu proses alami tetap menjadi prioritas perlindungan dan pelestarian.
3. Zona Pemanfaatan adalah kawasan yang memiliki keanekaragaman dan keindahan flora dan fauna laut, maupun keindahan alamnya mempunyai corak khas untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam.
4. Zona Penyangga merupakan kawasan pemanfaatan sumber daya alam secara tradisional untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat setempat dan merupakan daerah penahan gangguan dari luar terhadap kawasan taman nasional.
(37)
5. Zona Lainnya adalah kawasan yang ditetapkan sesuai dengan kepentingannya, seperti: zona pemulihan adalah kawasan untuk kepentingan pemulihan habitat atau ekosistem dan populasi hidupan liar, zona rehabilitasi adalah kawasan yang pernah rusak akibat sesuatu hal dan dapat dilakukan kegiatan pemulihan untuk dikembalikan ke zona yang sesuai dengan peruntukkannya, dan zona kultural-budaya merupakan suatu wilayah yang di dalamnya terdapat tempat perkembangan sejarah budaya manusia.
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor Per.30/Men/2010 Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan Pasal 9 ayat (1) menetapkan zonasi dalam kawasan konservasi perairan terdiri dari:
a) Zona Inti;
b) Zona Perikanan Berkelanjutan; c) Zona Pemanfaatan; dan/atau d) Zona Lainnya.
Zona kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penataan berdasarkan fungsi dengan mempertimbangkan potensi sumber daya, daya dukung, dan proses-proses ekologis. Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a harus dimiliki setiap kawasan konservasi perairan dengan luasan paling sedikit 2% (dua persen) dari luas kawasan. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap kawasan konservasi perairan dapat memiliki satu atau lebih zona sesuai dengan luasan karakter fisik, bio-ekologis, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya.
Zona Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a ditetapkan dengan kriteria:
a) Merupakan daerah pemijahan, pengasuhan dan/atau alur ruaya ikan;
b) Merupakan habitat biota perairan tertentu yang prioritas dan khas/endemik, langka dan/atau kharismatik;
c) Mempunyai keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya; d) Mempunyai ciri khas ekosistem alami, dan mewakili keberadaan biota
(38)
e) Mempunyai kondisi perairan yang relatif masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;
f) Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis-jenis ikan tertentu untuk menunjang pengelolaan perikanan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses bio-ekologis secara alami; dan
g) Mempunyai ciri khas sebagai sumber plasma nutfah bagi Kawasan Konservasi Perairan.
Zona Perikanan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b ditetapkan dengan kriteria:
a) Memiliki nilai konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan budidaya ramah lingkungan dan penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan;
b) Mempunyai karakteristik ekosistem yang memungkinkan untuk berbagai pemanfaatan ramah lingkungan dan mendukung perikanan berkelanjutan; c) Mempunyai keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya; d) Mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk mendukung
kegiatan multifungsi dengan tidak merusak ekosistem aslinya;
e) Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin pengelolaan budidaya ramah lingkungan, perikanan tangkap berkelanjutan, dan kegiatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat; dan
f) Mempunyai karakteristik potensi dan keterwakilan biota perairan bernilai ekonomi.
Zona Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c ditetapkan dengan kriteria:
a) Mempunyai daya tarik pariwisata alam berupa biota perairan beserta ekosistem perairan yang indah dan unik;
b) Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensial dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi;
c) Mempunyai karakter objek penelitian dan pendidikan yang mendukung kepentingan konservasi; dan
d) Mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk berbagai kegiatan pemanfaatan dengan tidak merusak ekosistem aslinya.
(39)
Zona lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d merupakan zona di luar Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, dan Zona Pemanfaatan yang karena fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai zona tertentu. Zona tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa antara lain zona perlindungan dan zona rehabilitasi.
Pada pasal 14 dijelaskan bahwa Zona Inti dalam kawasan konservasi perairan diperuntukkan bagi:
a) Perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan; b) Penelitian; dan
c) Pendidikan.
Zona Perikanan Berkelanjutan dalam kawasan konservasi perairan diperuntukkan bagi:
a) Perlindungan habitat dan populasi ikan;
b) Penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan; c) Budidaya ramah lingkungan;
d) Pariwisata dan rekreasi;
e) Penelitian dan pengembangan; dan f) Pendidikan.
Zona Pemanfaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c diperuntukkan bagi:
a) Perlindungan dan pelestarian habitat dan populasi ikan; b) Pariwisata dan rekreasi;
c) Penelitian dan pengembangan; dan d) Pendidikan.
2.2 Pulau Kecil
Pulau-pulau kecil atau gugusan pulau kecil adalah kumpulan pulau-pulau yang secara fungsional saling berinteraksi. Dari sisi ekologis sumber daya pulau-pulau kecil adalah bagian dari sumber daya nasional yang meliputi seluruh sumber daya alam yang terdiri dari semua jenis sumber daya alam dapat pulih maupun tidak dapat pulih serta jasa lingkungan yang membentuk ekosistem pulau-pulau dan gugusan pulau-pulau kecil.
(1)
X Y
1 16 943 70 Marjinjin 134° 41' 44.73" E 6° 49' 29.63" S 2 17 944 40 Marjinjin 134° 42' 10.38" E 6° 49' 29.10" S 3 28 968 80 Marjinjin 134° 41' 14.42" E 6° 49' 26.90" S 4 34 986 70 Marjinjin 134° 41' 40.09" E 6° 49' 32.76" S 5 37 1010 50 Marjinjin 134° 42' 19.91" E 6° 49' 39.13" S 6 40 1024 60 Marjinjin 134° 42' 21.21" E 6° 49' 44.90" S 7 43 1042 70 Marjinjin 134° 41' 12.07" E 6° 49' 45.15" S 8 47 1064 70 Marjinjin 134° 41' 37.61" E 6° 49' 42.34" S 9 48 1077 40 Marjinjin 134° 41' 17.97" E 6° 49' 51.85" S 10 62 1157 50 Marjinjin 134° 42' 30.35" E 6° 50' 5.84" S 11 69 1177 50 Marjinjin 134° 41' 15.52" E 6° 50' 9.09" S 12 72 1201 50 Marjinjin 134° 42' 27.46" E 6° 50' 11.99" S 13 98 1284 50 Marjinjin 134° 42' 22.96" E 6° 50' 18.48" S 14 131 1373 70 Marjinjin 134° 42' 3.16" E 6° 50' 27.50" S 15 132 1374 40 Marjinjin 134° 42' 10.60" E 6° 50' 31.61" S 16 133 1375 60 Marjinjin 134° 42' 17.19" E 6° 50' 31.34" S 17 139 1395 50 Marjinjin 134° 42' 8.05" E 6° 50' 31.12" S 18 155 1437 90 Marjinjin 134° 41' 18.73" E 6° 50' 37.10" S 19 156 1438 20 Marjinjin 134° 42' 21.46" E 6° 50' 38.50" S 20 169 1461 30 Marjinjin 134° 42' 23.13" E 6° 50' 36.58" S 21 170 1462 40 Marjinjin 134° 42' 19.51" E 6° 50' 37.03" S 22 183 1489 80 Marjinjin 134° 42' 3.53" E 6° 50' 41.43" S 23 191 1503 80 Marjinjin 134° 41' 58.28" E 6° 50' 48.01" S 24 192 1504 80 Marjinjin 134° 42' 6.09" E 6° 50' 47.29" S 25 193 1505 70 Marjinjin 134° 42' 22.20" E 6° 50' 48.20" S 26 194 1506 70 Marjinjin 134° 42' 26.19" E 6° 50' 47.21" S 27 195 1507 50 Marjinjin 134° 42' 31.55" E 6° 50' 44.63" S 28 196 1508 60 Marjinjin 134° 42' 31.49" E 6° 50' 43.14" S 29 222 1585 40 Marjinjin 134° 42' 6.99" E 6° 50' 54.70" S 30 223 1586 50 Marjinjin 134° 42' 6.08" E 6° 50' 53.99" S 31 235 1613 20 Marjinjin 134° 42' 19.62" E 6° 50' 54.61" S 32 250 1655 50 Marjinjin 134° 41' 12.62" E 6° 50' 59.37" S 33 251 1656 40 Marjinjin 134° 41' 12.45" E 6° 51' 0.04" S 34 252 1657 30 Marjinjin 134° 41' 12.29" E 6° 51' 0.72" S 35 253 1658 20 Marjinjin 134° 41' 12.13" E 6° 51' 1.39" S 36 255 1660 80 Marjinjin 134° 41' 37.52" E 6° 51' 0.80" S 37 256 1661 20 Marjinjin 134° 42' 35.62" E 6° 51' 0.76" S 38 257 1662 10 Marjinjin 134° 42' 36.77" E 6° 51' 1.48" S 39 258 1663 80 Marjinjin 134° 42' 44.12" E 6° 51' 0.83" S 40 270 1691 80 Marjinjin 134° 41' 57.29" E 6° 51' 3.59" S 41 271 1692 10 Marjinjin 134° 42' 25.36" E 6° 51' 4.39" S 42 272 1693 20 Marjinjin 134° 42' 25.96" E 6° 51' 2.68" S 43 273 1694 30 Marjinjin 134° 42' 20.22" E 6° 50' 52.46" S 44 282 1723 90 Marjinjin 134° 41' 44.00" E 6° 51' 4.46" S 45 283 1724 80 Marjinjin 134° 42' 13.33" E 6° 51' 4.64" S
(2)
Lanjutan
X Y
46 284 1725 40 Marjinjin 134° 42' 23.05" E 6° 50' 53.51" S 47 285 1726 50 Marjinjin 134° 42' 27.86" E 6° 50' 33.00" S 48 286 1727 60 Marjinjin 134° 42' 28.09" E 6° 50' 1.67" S 49 295 1755 60 Marjinjin 134° 41' 52.65" E 6° 51' 10.74" S 50 296 1756 70 Marjinjin 134° 41' 51.36" E 6° 51' 9.23" S 51 303 1779 70 Marjinjin 134° 42' 36.02" E 6° 51' 9.43" S 52 304 1779 70 Marjinjin 134° 44' 26.39" E 6° 50' 5.21" S 53 311 1801 90 Marjinjin 134° 41' 24.96" E 6° 51' 3.45" S 54 312 1802 90 Marjinjin 134° 41' 47.55" E 6° 51' 16.08" S 55 313 1803 70 Marjinjin 134° 42' 1.98" E 6° 51' 10.09" S 56 320 1820 90 Marjinjin 134° 41' 41.81" E 6° 51' 20.20" S 57 321 1821 80 Marjinjin 134° 43' 34.91" E 6° 51' 17.49" S 58 324 1839 80 Marjinjin 134° 43' 26.11" E 6° 51' 23.08" S 59 329 1861 90 Marjinjin 134° 41' 28.49" E 6° 51' 25.74" S 60 330 1862 60 Marjinjin 134° 41' 41.29" E 6° 51' 25.81" S 61 331 1863 80 Marjinjin 134° 43' 19.05" E 6° 51' 25.66" S 62 335 1891 80 Marjinjin 134° 41' 45.29" E 6° 51' 29.75" S 63 336 1892 40 Marjinjin 134° 42' 6.40" E 6° 51' 29.67" S 64 337 1893 30 Marjinjin 134° 42' 7.06" E 6° 51' 30.36" S 65 338 1894 50 Marjinjin 134° 42' 5.66" E 6° 51' 29.02" S 66 340 1918 50 Marjinjin 134° 41' 42.67" E 6° 51' 33.15" S 67 341 1919 40 Marjinjin 134° 41' 41.51" E 6° 51' 33.35" S 68 342 1920 60 Marjinjin 134° 42' 5.06" E 6° 51' 28.24" S 69 348 1940 50 Marjinjin 134° 41' 31.68" E 6° 51' 37.24" S 70 349 1941 70 Marjinjin 134° 41' 41.70" E 6° 51' 37.59" S 71 350 1942 50 Marjinjin 134° 41' 44.36" E 6° 51' 36.81" S 72 351 1943 60 Marjinjin 134° 41' 45.05" E 6° 51' 34.70" S 73 356 1964 10 Marjinjin 134° 41' 32.79" E 6° 51' 40.46" S 74 357 1965 40 Marjinjin 134° 41' 56.98" E 6° 51' 40.34" S 75 358 1966 30 Marjinjin 134° 41' 57.91" E 6° 51' 40.36" S 76 359 1967 50 Marjinjin 134° 41' 56.78" E 6° 51' 39.62" S 77 360 1968 80 Marjinjin 134° 42' 11.28" E 6° 51' 39.35" S 78 365 1985 20 Marjinjin 134° 41' 34.45" E 6° 51' 40.54" S 79 366 1986 30 Marjinjin 134° 41' 36.02" E 6° 51' 42.42" S 80 367 1986 30 Marjinjin 134° 41' 33.46" E 6° 51' 38.92" S 81 368 1987 40 Marjinjin 134° 41' 36.81" E 6° 51' 43.59" S 82 369 1987 40 Marjinjin 134° 41' 32.80" E 6° 51' 37.86" S 83 370 1988 80 Marjinjin 134° 41' 20.60" E 6° 50' 59.58" S 84 371 1989 50 Marjinjin 134° 42' 23.87" E 6° 51' 42.53" S 85 372 1990 60 Marjinjin 134° 42' 24.17" E 6° 51' 40.05" S 86 378 2007 60 Marjinjin 134° 41' 12.02" E 6° 51' 45.47" S 87 379 2008 50 Marjinjin 134° 41' 12.05" E 6° 51' 46.31" S 88 380 2009 50 Marjinjin 134° 41' 38.06" E 6° 51' 44.93" S 89 381 2009 50 Marjinjin 134° 41' 31.40" E 6° 51' 33.70" S 90 382 2009 50 Marjinjin 134° 41' 28.23" E 6° 51' 34.04" S
(3)
X Y
91 383 2010 60 Marjinjin 134° 41' 39.78" E 6° 51' 47.03" S
92 384 2010 60 Marjinjin 134° 41' 29.58" E 6° 51' 32.06" S
93 385 2010 60 Marjinjin 134° 41' 24.63" E 6° 51' 34.25" S
94 386 2012 50 Marjinjin 134° 42' 3.62" E 6° 51' 42.70" S
95 387 2012 50 Marjinjin 134° 42' 2.00" E 6° 51' 45.50" S
96 388 2013 60 Marjinjin 134° 41' 56.15" E 6° 51' 40.66" S
97 394 2036 70 Marjinjin 134° 41' 44.67" E 6° 51' 49.12" S
98 395 2036 70 Marjinjin 134° 41' 43.57" E 6° 51' 28.40" S
99 396 2036 70 Marjinjin 134° 41' 26.73" E 6° 51' 30.84" S
100 397 2037 90 Marjinjin 134° 44' 41.27" E 6° 51' 49.50" S 101 404 2058 80 Marjinjin 134° 41' 21.57" E 6° 51' 56.08" S 102 405 2059 60 Marjinjin 134° 42' 24.41" E 6° 51' 51.38" S 103 408 2075 90 Marjinjin 134° 41' 27.03" E 6° 51' 57.72" S 104 409 2076 70 Marjinjin 134° 42' 27.43" E 6° 51' 39.99" S
105 416 2123 70 Marjinjin 134° 41' 31.58" E 6° 52' 1.40" S
106 417 2124 60 Marjinjin 134° 41' 31.73" E 6° 52' 2.14" S
107 418 2125 50 Marjinjin 134° 41' 31.66" E 6° 52' 2.89" S
108 419 2126 80 Marjinjin 134° 43' 29.17" E 6° 52' 3.09" S
109 420 2127 90 Marjinjin 134° 44' 34.89" E 6° 52' 1.61" S
110 425 2149 80 Marjinjin 134° 41' 42.68" E 6° 52' 5.59" S
111 426 2150 30 Marjinjin 134° 43' 22.79" E 6° 52' 6.36" S
112 427 2151 80 Marjinjin 134° 43' 32.26" E 6° 52' 5.03" S
113 428 2152 70 Marjinjin 134° 43' 34.77" E 6° 52' 1.24" S
114 429 2153 80 Marjinjin 134° 44' 37.98" E 6° 52' 6.19" S
115 435 2167 30 Marjinjin 134° 42' 8.10" E 6° 52' 9.66" S
116 436 2168 20 Marjinjin 134° 42' 7.59" E 6° 52' 9.85" S
117 437 2169 70 Marjinjin 134° 42' 11.58" E 6° 52' 8.51" S
118 438 2170 30 Marjinjin 134° 43' 26.73" E 6° 52' 9.91" S
119 439 2171 40 Marjinjin 134° 43' 26.79" E 6° 52' 8.82" S
120 440 2172 40 Marjinjin 134° 43' 38.84" E 6° 52' 9.06" S
121 449 2185 80 Marjinjin 134° 42' 26.23" E 6° 52' 7.18" S
122 450 2186 80 Marjinjin 134° 44' 33.99" E 6° 52' 8.56" S
123 453 2198 80 Marjinjin 134° 41' 12.06" E 6° 52' 17.31" S 124 471 2215 90 Marjinjin 134° 41' 45.96" E 6° 52' 18.81" S 125 472 2216 30 Marjinjin 134° 42' 15.17" E 6° 52' 15.92" S 126 473 2217 40 Marjinjin 134° 42' 16.23" E 6° 52' 14.60" S 127 474 2218 50 Marjinjin 134° 42' 16.87" E 6° 52' 20.92" S 128 475 2218 50 Marjinjin 134° 42' 13.53" E 6° 52' 13.14" S 129 476 2219 50 Marjinjin 134° 43' 40.17" E 6° 52' 15.22" S
130 477 2219 50 Marjinjin 134° 43' 37.94" E 6° 52' 8.75" S
131 478 2219 50 Marjinjin 134° 43' 26.57" E 6° 52' 7.50" S
132 488 2245 60 Marjinjin 134° 42' 15.84" E 6° 52' 22.95" S 133 489 2245 60 Marjinjin 134° 42' 15.15" E 6° 52' 12.01" S
134 490 2246 70 Marjinjin 134° 42' 11.61" E 6° 52' 3.36" S
(4)
Lanjutan
X Y
136 492 2247 60 Marjinjin 134° 43' 41.36" E 6° 52' 20.01" S
137 493 2247 60 Marjinjin 134° 43' 34.41" E 6° 52' 8.98" S
138 494 2248 70 Marjinjin 134° 43' 28.17" E 6° 51' 47.36" S 139 509 2277 90 Marjinjin 134° 41' 50.58" E 6° 52' 26.32" S 140 519 2293 90 Marjinjin 134° 42' 15.57" E 6° 52' 29.96" S 141 529 2306 80 Marjinjin 134° 42' 37.80" E 6° 52' 34.52" S 142 530 2307 90 Marjinjin 134° 44' 58.92" E 6° 52' 32.07" S 143 534 2319 80 Marjinjin 134° 42' 42.20" E 6° 52' 34.45" S 144 535 2320 90 Marjinjin 134° 42' 48.82" E 6° 52' 37.49" S 145 536 2321 60 Marjinjin 134° 43' 12.62" E 6° 52' 38.49" S 146 537 2322 50 Marjinjin 134° 43' 12.62" E 6° 52' 36.67" S 147 538 2325 70 Marjinjin 134° 43' 35.52" E 6° 52' 38.54" S 148 539 2326 80 Marjinjin 134° 43' 47.05" E 6° 52' 37.03" S 149 540 2327 90 Marjinjin 134° 44' 36.69" E 6° 52' 36.55" S 150 541 2327 90 Marjinjin 134° 44' 25.13" E 6° 52' 38.31" S 151 542 2328 80 Marjinjin 134° 44' 59.69" E 6° 52' 36.47" S
152 549 2337 40 Marjinjin 134° 45' 3.02" E 6° 52' 38.80" S
153 550 2338 60 Marjinjin 134° 45' 1.81" E 6° 52' 37.03" S
154 551 2339 50 Marjinjin 134° 45' 2.33" E 6° 52' 37.93" S
155 554 2345 80 Marjinjin 134° 41' 31.38" E 6° 52' 40.84" S 156 555 2346 70 Marjinjin 134° 43' 12.29" E 6° 52' 43.06" S 157 556 2347 80 Marjinjin 134° 44' 31.20" E 6° 52' 38.45" S
158 557 2348 60 Marjinjin 134° 45' 9.77" E 6° 52' 41.61" S
159 567 2365 80 Marjinjin 134° 43' 25.28" E 6° 52' 53.05" S
160 568 2369 70 Marjinjin 134° 43' 9.38" E 6° 52' 44.18" S
161 618 2434 80 Marjinjin 134° 44' 8.81" E 6° 52' 35.34" S
162 619 2434 80 Marjinjin 134° 44' 22.44" E 6° 52' 7.81" S
163 738 2583 80 Marjinjin 134° 42' 1.06" E 6° 52' 46.69" S
164 739 2583 80 Marjinjin 134° 42' 23.58" E 6° 52' 34.15" S 60,06
No FID ID % Cover Pulau Posisi
(5)
X Y I
1 3 Polygon 0 ZPTp01 0 - 0.05 323,758 134° 39' 10.38" E 7° 0' 12.18" S
2 4 Polygon 0 ZPTp02 0 - 0.05 8,70536 134° 34' 56.67" E 6° 52' 16.81" S
3 5 Polygon 0 ZPTp03 0 - 0.05 7,38646 134° 29' 38.74" E 6° 57' 36.29" S
4 6 Polygon 0 ZPTp04 0 - 0.05 1,72888 134° 31' 48.96" E 6° 57' 12.10" S
5 22 Polygon 0 ZPTp05 0 - 0.05 0,216736 134° 43' 52.81" E 6° 54' 49.03" S
6 0 Polygon 0 ZPTp06 0.05 - 0.10 490,073 134° 36' 55.04" E 6° 56' 42.78" S
7 1 Polygon 0 ZPTp07 0.05 - 0.10 1,16829 134° 41' 3.89" E 7° 1' 50.85" S
8 2 Polygon 0 ZPTp08 0.05 - 0.10 1,16607 134° 38' 53.39" E 6° 59' 47.08" S
9 7 Polygon 0 ZPTp09 0.10 - 0.15 43,8787 134° 33' 1.70" E 6° 54' 59.17" S
10 8 Polygon 0 ZPTp10 0.10 - 0.15 167,63 134° 26' 15.81" E 7° 4' 28.17" S
11 9 Polygon 0 ZPTp11 0.10 - 0.15 0,596017 134° 30' 36.04" E 7° 6' 17.47" S
12 12 Polygon 0 ZPTp12 0.10 - 0.15 3,91476 134° 31' 34.24" E 6° 58' 36.07" S
13 21 Polygon 0 ZPTp13 0.10 - 0.15 19,3046 134° 46' 9.85" E 6° 54' 36.80" S
14 23 Polygon 0 ZPTp14 0.10 - 0.15 0,70053 134° 36' 2.65" E 7° 2' 29.92" S
15 10 Polygon 0 ZPTp15 0.15 - 0.20 2,00416 134° 29' 17.23" E 7° 3' 21.86" S
16 11 Polygon 0 ZPTp16 0.15 - 0.20 2,83574 134° 29' 11.73" E 7° 6' 5.56" S
17 13 Polygon 0 ZPTp17 0.15 - 0.20 8,27561 134° 33' 15.90" E 6° 55' 35.49" S
18 20 Polygon 0 ZPTp18 0.15 - 0.20 1,34968 134° 46' 6.05" E 6° 54' 38.29" S
19 26 Polygon 0 ZPTp19 0.15 - 0.20 0,066225 134° 34' 58.97" E 6° 54' 33.69" S
20 14 Polygon 0 ZPTp20 0.20 - 0.25 4,26277 134° 33' 3.86" E 6° 55' 39.08" S
21 24 Polygon 0 ZPTp21 0.20 - 0.25 0,697002 134° 29' 24.96" E 7° 3' 33.35" S
22 25 Polygon 0 ZPTp22 0.20 - 0.25 0,185794 134° 29' 25.28" E 7° 6' 7.37" S
23 15 Polygon 0 ZPTp23 0.25 - 0.30 2,58752 134° 32' 59.70" E 6° 55' 44.78" S
24 16 Polygon 0 ZPTp24 0.30 - 0.35 1,59755 134° 32' 55.53" E 6° 55' 47.28" S
25 17 Polygon 0 ZPTp25 0.35 - 0.40 0,233736 134° 32' 54.59" E 6° 55' 47.77" S
26 18 Polygon 0 ZPTp26 0.35 - 0.40 0,271803 134° 32' 53.79" E 6° 55' 48.17" S
27 19 Polygon 0 ZPTp27 0.35 - 0.40 0,068166 134° 32' 50.29" E 6° 55' 52.10" S
II
1 0 Polygon 0 ZPTpd01 0 - 0.1 733,159 134° 36' 40.29" E 6° 57' 18.85" S
2 7 Polygon 0 ZPTpd02 0 - 0.1 0,462766 134° 41' 2.49" E 7° 1' 47.68" S
3 1 Polygon 0 ZPTpd03 0.1 - 0.2 172,20599 134° 26' 0.88" E 7° 3' 48.48" S
4 2 Polygon 0 ZPTpd04 0.1 - 0.2 7,55848 134° 30' 58.75" E 6° 59' 56.36" S
5 3 Polygon 0 ZPTpd05 0.1 - 0.2 1,12732 134° 32' 2.64" E 6° 56' 39.00" S
6 4 Polygon 0 ZPTpd06 0.1 - 0.2 3,04255 134° 35' 16.00" E 6° 54' 19.78" S
7 8 Polygon 0 ZPTpd07 0.1 - 0.2 141,936 134° 42' 22.83" E 7° 0' 23.51" S
8 9 Polygon 0 ZPTpd08 0.1 - 0.2 0,486687 134° 30' 12.85" E 7° 3' 42.33" S
9 5 Polygon 0 ZPTpd09 0.2 - 0.3 28,1849 134° 41' 32.31" E 6° 59' 42.74" S
10 6 Polygon 0 ZPTpd10 0.2 - 0.3 0,182572 134° 39' 35.26" E 7° 1' 34.40" S
11 11 Polygon 0 ZPTpd11 0.2 - 0.3 3,54687 134° 28' 12.23" E 7° 4' 28.36" S
12 12 Polygon 0 ZPTpd12 0.3 - 0.4 1,35543 134° 40' 33.64" E 7° 0' 0.68" S
13 10 Polygon 0 ZPTpd13 0.4 - 0.5 0,988187 134° 28' 26.66" E 7° 4' 39.24" S
14 14 Polygon 0 ZPTpd14 0.4 - 0.5 0,310381 134° 40' 25.68" E 7° 0' 13.04" S
15 13 Polygon 0 ZPTpd15 0.5 - 0.6 0,11189 134° 40' 24.46" E 7° 0' 15.63" S
FID No
Ikan Pelagis
Ikan Demersal
Posisi Luas (Km2)
Sebaran (m3) Kode
Id Shape
(6)