Latar Belakang Model pengelolaan perikanan melalui penentuan efektivitas dan zonasi berbasis ekosistem di kawasan konservasi Aru Tenggara, Kabupaten Kepulauan Aru

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Laut dan pesisir merupakan ekosistem yang sangat produktif dan menyediakan beragam barang dan layanan yang mendukung masyarakat dan kegiatan ekonomi, mencakup ketahanan pangan, air laut yang bersih, peluang berekreasi serta beragam manfaat lainnya. Seyogianya sumber daya laut yang sehat membutuhkan ekosistem yang sehat dan utuh. Sayangnya, ekosistem- ekosistem laut dan pesisir di seluruh dunia sedang mengalami penurunan kualitas dan kuantitas. Penurunan produktivitas, keanekaragaman hayati sumber daya dan ekosistem, disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk dan ketergantungan terhadap layanan yang diberikan oleh laut, sehingga mendorong perlunya meningkatkan perhatian dan upaya untuk mengelola sumber daya hayati dan ekosistemnya secara efektif. Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan sumber daya ikan pada waktu sekarang dan yang akan datang Adams et al., 2004. Konservasi ekosistem dilakukan melalui perlindungan habitat dan populasi ikan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan, pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, serta monitoring dan evaluasi. Pelaku utama dalam mengimplementasikan perlindungan konservasi adalah lembaga pemerintah dan didukung oleh para pihak lembaga non- pemerintah yang pengembangannya saat ini telah menjadi paradigma baru bagi kegiatan konservasi di seluruh dunia Browder 2002; Gjertsen 2005. Namun ada kompleksitas permasalahan yang cukup besar dalam memastikan apakah suatu kawasan konservasi dapat mencapai tujuan yang diharapkan, karena berhubungan erat dengan tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia Jackson and Sala, 2001; Stachowitsch, 2003; Halpern et al., 2008. Sumber daya manusia memiliki pengaruh yang besar dalam merubah keberadaan ekosistem pesisir, dalam hal ini, kegiatan manusia yang bertentangan, menghasilkan berbagai tekanan yang secara simultan mengeksploitasi sumber daya alam pesisir dengan tidak lestari Crain et al., 2008; Darling and Côté, 2008; Doak et al., 2008. Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan, yang terdiri atas perairan terbuka, padang lamun, terumbu karang, mangrove, estuaria, pantai, rawa, sungai, danau, waduk, embung, dan ekosistem perairan buatan. Satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan. Konservasi sebagai salah satu instrumen yang didesain untuk mengendalikan sekaligus memulihkan sumber daya ikan dan lingkungannya dan instrumen ini sangat praktis diterapkan pada perikanan tangkap dan budidaya laut di kawasan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil Halpern et al., 2008. Penetapan kawasan konservasi perairan merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua tipe ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, sosial budaya dan ekonomis. Hal ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan. Secara rinci mengenai tata cara pencadangan kawasan konservasi, telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 02Men2009, tentang Tata Cara penetapan kawasan konservasi perairan. Lebih lanjut, pengaturan mengenai kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau- pulau kecil juga telah diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17Men2008, sebagai peraturan turunan dari UU 27 Tahun 2007. Kawasan Konservasi Perairan KKP didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut UU 312004 tentang Perikanan beserta perubahannya UU 452009 dan PP 602007 tentang Konservasi Sumber daya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Terdapat 4 empat pembagian zona yang dapat dikembangkan di dalam KKP yakni: zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang No.5 Tahun 1990 dan PP 681998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat BKSDA, Balai TN. Berdasarkan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 02 Tahun 2009, Pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Melalui pengaturan zonasi serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, jelas hal ini merupakan pemenuhan hak-hak bagi masyarakat khususnya nelayan. Kekhawatiran akan mengurangi akses nelayan yang disinyalir banyak pihak dirasakan sangat tidak mungkin. Justru hak- hak tradisional masyarakat sangat diakui dalam pengelolaan kawasan konservasi. Masyarakat diberikan ruang pemanfaatan untuk perikanan di dalam kawasan konservasi zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan maupun zona lainnya, misalnya untuk budidaya dan penangkapan ramah lingkungan maupun pariwisata bahari dan lain sebagainya. Pola-pola seperti ini dalam konteks pemahaman konservasi terdahulu sentralistis hal ini belum banyak dilakukan. Sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang telah dikemukakan, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Dalam hal ini, fungsi Departemen Kelautan dan Perikanan DKP hanya mendorong daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya sesuai dengan peraturan perundangan yang ada. Dalam konteks pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah KKLD, sebenarnya pemerintah pusat hanya memfasilitasi dan menetapkan kawasan konservasi. Proses identifikasi, pencadangan maupun pengelolaannya secara keseluruhan dilakukan oleh pemerintah daerah. Istilah yang dikenal perundang-undangan adalah kawasan konservasi perairan dan kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Lebih lanjut, kawasan konservasi perairan laut dikenal sebagai Kawasan Konservasi Laut KKL. Sedangkan KKL yang pengelolaannya dilaksanakan oleh pemerintah daerah sering disebut KKLD. Dalam Undang-Undang telah dijelaskan bahwa kewenangan pengelolaan kawasan konservasi, namun terkadang hal tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, karena kepentingan antara pemerintah pusat tidak sinergis dengan kepentingan di daerah. Kepentingan daerah cenderung mengeksploitasi sumber daya bagi peningkatan Pendapatan Asli Daerah PAD dan tidak banyak memperhatikan kelestarian lingkungan dan sumber dayanya. Hal ini yang menyebabkan ketidaksesuaian antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah, sehingga dibutuhkan suatu manajemen kolaborasi dalam mengimplementasi pengelolaan di kawasan. Prospek pengelolaan kolaboratif di Indonesia cenderung hanya terlihat dengan banyaknya peran pemerintah yang lebih menonjol di dalam berbagai usaha-usaha yang bersifat pengelolaan sumber daya alam seperti pengelolaan migas, hutan, lingkungan dan termasuk saat ini adalah sumber daya hayati laut, karena bagaimanapun usaha pengelolaan sumber daya alam tersebut merupakan pemasukan bagi pemerintah pusat. Menurut Nikijuluw 2002, terdapat tiga hal yang menentukan variasi bentuk pengelolaan kolaboratif co-management serta hirarkinya yaitu: 1 Peranan pemerintah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan. 2 Bentuk tugas dan fungsi manajemen yang dapat atau akan dikelola bersama oleh pemerintah dan masyarakat atau didistribusikan di antara kedua belah pihak. 3 Tahapan proses manajemen ketika secara aktual kerjasama pengelolaan dapat terwujud. Arah kebijakan yang diinginkan dalam makna otonomi daerah ini adalah porsi ko-manajemen kooperatif mungkin lebih besar dimana menempatkan masyarakat dan pemerintah pada posisi yang sama atau sederajat. Setiap kegiatan mulai dari perencanaan, implementasi hingga monitoring dan evaluasi dilakukan secara bersama-sama oleh para pihak Wiryawan, 2010. Co-management menurut Pomeroy dan Berkes 1997 digambarkan sebagai perpaduan antara pengelolaan yang berbasis pemerintah dengan pengelolaan yang berbasis masyarakat, dimana didalamnya terdapat sedikitnya sepuluh jenis hirarkhi bentuk manajemen yang menjadi bagian prinsip-prinsip co- management yaitu: informing, consultation, cooperation, communication, information exchange, advisory role, joint action, partnership, community control, interarea coordination . Prospek pengelolaan kolaborasi dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan, sangat terbuka lebar dan diatur jelas dalam PP 602007 pasal 18, yang menyatakan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam mengelola kawasan konservasi perairan dapat melibatkan masyarakat melalui kemitraan antara unit organisasi pengelola dengan kelompok masyarakat danatau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Pola kemitraan partnership dalam pengelolaan kawasan konservasi ini juga dinyatakan dalam salah satu asas dari 8 delapan asas konservasi sumber daya ikan pasal 2 huruf c, PP 602007 Asas kemitraan, dimaksudkan agar pelaksanaan konservasi sumber daya ikan dilakukan berdasarkan kesepakatan kerjasama antar pemangku kepentingan yang berkaitan dengan konservasi sumber daya ikan. Pelindungan berbasis luasan melalui KKL ini dapat membantu memelihara kesehatan dan produktivitas ekosistem, disamping menjamin keberlanjutan pembangunan sosial dan ekonomi. Keberadaan KKL juga dapat membantu memelihara kisaran penuh variasi genetik yang sangat penting untuk mengamankan populasi-populasi spesies kunci, memberlanjutkan proses-proses evolusi dan menjamin daya-pulih resilience mereka dalam menghadapi gangguan alami dan pemanfaatan oleh manusia IUCN, 1999; NRC, 2001; Agardy Wolfe, 2002; Agardy Staub, 2006; Mora et al., 2006; Parks et al., 2006; IUCN-WCPA, 2008. Bila dirancang dengan benar dan dikelola secara efektif, KKPKKL memainkan peranan penting dalam melindungi ekosistem dan, pada beberapa kasus, dalam peningkatan atau perbaikan perikanan pesisir dan laut IUCN- WCPA, 2008. Karena peran ini, beragam lembaga dan badan pemerintah dan publik meletakkan harapan yang tinggi kepada KKPKKL dalam memelihara atau memulihkan fungsi-fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati laut, disamping untuk meningkatkan kondisi sosio-ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan Parks et al ., 2006. Meskipun demikian, seringkali harapan badan-badan pemerintah dan masyarakat tentang apa yang bisa diberikan oleh KKL tidak realistis, dikarenakan banyak laporan sensasional tentang manfaat KKL yang tidak sesuai dengan realitasnya di lapangan Agardy Wolfe, 2002; Parks et al., 2006. Kawasan Konservasi Perairan di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Pasal 13 ayat 1 dan penjelasan dikategorikan menjadi 4, yaitu : a Taman Nasional Perairan, b, Suaka Alam Perairan, c Taman Wisata Perairan, d Suaka Perikanan. Berdasarkan Peraturan Kementerian Kelautan dan Perikanan No. 2 Tahun 2009 dalam ketentuan umum bahwa: 1. Kawasan Konservasi Perairan KKP adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungan secara berkelanjutan. 2. Taman Nasional Perairan TNP adalah kawasan konservasi perairan yang mempunyai ekosistem asli yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian dan ilmu pengetahuan, kegiatan pendidikan yang menunjang perikanan yang berkelanjutan, wisata perairan dan rekreasi. 3. Suaka Alam Perairan SAP adalah kawasan konservasi perairan dengan ciri khas tertentu untuk tujuan perlindungan keanekaragaman jenis ikan dan ekosistimnya. 4. Taman Wisata Perairan TWP adalah kawasan konservasi perairan dengan tujuan untuk dimanfaatkan bagi kepentingan wisata perairan dan rekreasi. 5. Suaka Perikanan SP adalah kawasan perairan tertentu baik air tawar, payau, maupun laut dengan kondisi dan ciri tertentu sebagai tempat berlindung berkembang biak jenis sumber daya ikan tertentu sebagai daerah perlindungan. Permasalahan dan bentuk ancaman yang sangat serius terhadap sektor perikanan dan kelautan, yang terkait dengan kelestarian sumber daya hayati laut sebagai masalah utama dalam pengelolaan dan pengembangan konservasi perairan antara lain: 1 pemanfaatan berlebih over exploitation terhadap sumber daya hayati, 2 penggunaan teknik dan peralatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan, 3 perubahan dan degradasi fisik habitat, 4 pencemaran, 5 introduksi spesies asing, 6 konversi kawasan lindung menjadi peruntukkan pembangunan lainnya dan 7 perubahan iklim global serta bencana alam. Ada berbagai altematif untuk menurunkan permintaan terhadap sumber daya apabila motivasi untuk menggunakan sumber daya tersebut adalah untuk menambah pendapatan. Pengembangan masyarakat melalui peningkatan pendapatan dan kesejahteraan, akan menurunkan keinginan masyarakat untuk mengganggu kawasan konservasi Clark, 1991. Kebijakan dalam menentukan adanya suatu kawasan lindung biasanya ditentukan oleh hanya sedikit orang dan kebanyakan merupakan mereka yang berpendidikan cukup baik. Hal yang demikian dapat menimbulkan masalah di kemudian hari apabila kurang melibatkan masyarakat sekitar yang kebanyakan hidupnya bergantung pada kawasan tersebut. Untuk memperkecil masalah yang dihadapi, maka kerjasama dan komitmen oleh beberapa badan termasuk juga pengguna sumber daya tersebut adalah amat penting. Pengguna secara tradisional, komersial dan rekreasional harus berpartisipasi secara aktif pada semua tingkat dalam proses pengambilan keputusan terhadap program konservasi dan perlindungan yang terpadu sangat dibutuhkan Medley dan Gaudian, 1993. Kawasan konservasi Aru Tenggara merupakan salah satu kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 27Kpts-II1991 dengan status sebagai Cagar Alam Laut Aru Tenggara, selanjutnya dikembalikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2009 dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63Men2009, dengan perubahan status sebagai Suaka Alam Perairan SAP Aru Tenggara. Kawasan konservasi Aru Tenggara ditetapkan berdasarkan hasil survei potensi biofisik maupun sosial ekonomi yang mengisyaratkan bahwa kawasan ini harus dipertahankan keberadaannya karena memiliki potensi sumber daya endemik yang harus dilindungi yakni penyu dan dugong serta buaya, yang didukung dengan keragaman ekosistem yang cukup kompleks. Kawasan Cagar Alam Laut Aru Tenggara memiliki tingkat keaneka- ragaman flora dan fauna yang tinggi, baik di darat maupun di laut, dengan ciri khas khusus serta tinggi populasinya. Salah satu, jenis potensial dan terancam punah adalah penyu. Pada kawasan tersebut khususnya Pulau Enu, merupakan habitat bagi penyu dari jenis Chelonia mydas penyu hijau, Nalator depressa penyu pipih, Lepidochelys olivacea penyu lekang dan Eretmochelys imbricala penyu sisik, di samping itu terdapat satwa lainnya seperti siput mutiara Pinctada maxima dan duyung Dugong dugong. Jenis-jenis penyu dimaksud merupakan jenis yang telah dilindungi oleh pemerintah, sehingga untuk menjamin keseimbangan di alam serta habitatnya, kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan yang dilindungi. Tujuan utama pengukuhan cagar alam adalah untuk melindungi populasi penyu hijau Chelonia mydas dan juga penyu sisik Erelmochelys imbricala, yang sudah diketahui memanfaatkan pantai berpasir di Pulau Enu dan Pulau Karang sebagai tempat hidup dan tempat bertelur serta memiliki habitat pakan pada padang lamun yang luas. Di samping itu, tujuan globalnya adalah untuk menciptakan zona inti sanctuary untuk berbagai spesies hewan laut dan habitatnya seperti, penyu, dugong, siput mutiara dan spesies lainnya yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan komersial, sehingga daerah cagar alam dapat berfungsi sebagai daerah reservoar. Sejak ditetapkannya kawasan tersebut sebagai kawasan cagar alam, sampai saat ini masih terjadi perburuan penyu dan pengumpulan telur Sahertian dan Noija, 1994 dan juga eksploitasi sumber daya alam lainnya. Diperkirakan sekitar 4000 ekor penyu dewasa tertangkap setiap tahun di pantai Pulau Enu dan umumnya dipasarkan di Pulau Bali, Surabaya dan Ujung Pandang Far-Far, 2005. Memahami hubungan antara tekanan manusia dan status ekosistem di kawasan, maka sangat penting untuk mengembangkan rencana tata ruang dan zonasi Douvere, 2008. Namun, sulit memahami hubungan antara aktivitas manusia dan status ekosistem karena: 1 tingkat tekanan pada ekosistem Shears dan Ross, 2010 dan 2 keterbatasan informasi dasar pada ekosistem baik status dan potensi dampak Halpern et al., 2008; Fraschetti et al., 2009.

1.2 Perumusan Masalah