Ekosistem Pulau Hasil dan Pembahasan

secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumber dayanya. Sesuai pedoman itu, batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Pulau yang secara operasional ukuran luasnya kurang atau sama dengan 2.000 km 2 . Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pulau-pulau di kawasan ini adalah pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil karena luasan pulau terbesar di kawasan ini adalah Pulau Jeudin yakni sebesar 16,18 km 2 atau 0,81 dari besaran luas dari defenisi pulau kecil. 2 Secara ekologis pulau-pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara terpisah dari pulau induknya mainland island, memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular. 3 Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi yakni penyu, dugong, buaya, kus-kus berkantong, kima dan berbagai jenis hewan endemik lainnya. 4 Daerah tangkapan air catchment area relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut. 5 Karena pulau-pulau di kawasan ini tidak berpenghuni, sedangkan masyarakat yang mengakses sumber daya ini berada pada pulau induk, sehingga memiliki karakter yang relatif sama dengan masyarakat sekitarnya. Hal ini sejalan dengan pandangan menurut Bengen, 2002, yang secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol yakni: 1 Terpisah dari habitat pulau induk mailand island, sehingga bersifat insular. 2 Memiliki sumber daya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut. 3 Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran. a 4 Memiliki jumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi. Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan utamanya benua atau pulau besar. 5 Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Persebaran dari pulau-pulau ini sangat berdekatan satu dengan yang lainnya, kecuali Pulau Enu dan Karang yang relatif jauh dari permukiman penduduk. Letak geografis, luas pulau dan panjang garis pantai secara rinci dapat diperlihatkan pada Tabel 8. Secara keseluruhan luas ke-7 pulau di kawasan ini adalah sebesar 48,94 km 2 dengan panjang garis pantai sejauh 138,37 km 2 , yang mana pulau dengan luasan terbesar adalah Pulau Jeudin dengan luas 16,18 km 2 dengan panjang garis pantai ada sejauh 42,28 km 2 , sedangkan luasan pulau terkecil dijumpai pada Pulau Kultubai Selatan sebesar 0,82 km 2 dengan panjang garis pantai sejauh 6,67 km 2 . Tabel 8 Letak geografis, luas pulau dan panjang pantai dari 7 pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara Pulau Posisi Luas Pulau Km 2 Panjang Garis Pantai Km 2 Lintang Bujur P. Enu 07º 06 ’14“ LS 134º 11’ 38“ BT 14,38 26,39 P. Karang 07 o 01’ 08” LS 134 o 41’ 26” BT 3,30 7,78 P. K.Selatan 06 o 49’ 54” LS 134 o 47’ 14” BT 0,82 6,61 P. Jeh 06 o 51 ’ 16” LS 134 o 45 ’ 18” BT 6,77 18,67 P. Mar 06 o 55 ’ 19” LS 134 o 33 ’ 50” BT 1,79 10,97 P. Jeudin 06 o 49’ 56” LS 134 o 47’ 16” BT 16,18 42,28 P.Marjinjin 06 o 49’ 55” LS 134 o 47’ 15” BT 5,69 25,68 Total 48,94 138,37 Berdasarkan sejarah kepemilikan pulau maka Pulau Enu Gambar 28 dan Pulau Karang Gambar 29 dianggap sebagai pulau sejarah bagi seluruh masyarakat asli Kepulauan Aru, sedangkan ke-5 pulau lainnya merupakan pulau- pulau yang status kepemilikannya tidak jelas. Ketidak jelasan kepemilikan pulau ini menyebabkan sering terjadi perselisihan dan atau perkelahian antar desa-desa sekitar terutama untuk desa Karei dan Longgar Apara, dan desa Bemun serta desa Longgar dan Apara. Sebagi konsekwensi dari keberadaan pulau-pulau ini yang tidak berpenghuni serta status kepemilikian yang tidak jelas, menyebabkan akses pemanfaatan sumber daya pada pulau-pulau dimaksud sulit untuk dihindari, bahkan justru menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat kawasan karena sering terjadi perkelahian, juga terhadap sumber daya dan lingkungan sebagai akibat dari pemanfaatan sumber daya yang merusak. Aktivitas masyarakat yang berlangsung di ekosistem pulau ini bermacam- macam mulai dari aktivitas pertanian khusus untuk Pulau Jeh, pemanfaatan lahan hutan baik untuk pembangunan rumah maupun kayu api serta penangkapan fauna darat seperti kus-kus dan burung pada Pulau Kultubai Selatan, Pulau Jeudin dan Pulau Marjinjin, kegiatan pengambilan pasir pantai dan batu karang untuk pembangunan pada Pulau Jeh, Mar, Jeudin, Marjinjin dan Kultubai Selatan. Aktivitas lainnya adalah penangkapan dan pengambilan telur penyu pada saat musim bertelur terutama pada Pulau Enu dan Karang Tabel 9 Terdapat 6 jenis aktivitas pemanfaatan pada pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara, 3 aktivitas diantaranya selalu dilaksanakan pada seluruh pulau diantaranya aktivitas penangkapan penyu, pengambilan telur penyu dan penangkapan fauna darat, sedangkan aktivitas perkebunanpertanian hanya berlangsung di Pulau Jeh, karena pada pulau ini memiliki kesuburan tanah yang cocok untuk kegiatan pertanian. Pada pulau ini juga ditemukan sumber air bersih yang selalui dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan. Tabel 9 Aktivitas pemanfaatan pada ekosistem pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara. 1 2 3 4 5 6 7 1 PertanianPerkebunan  1 14,29 2 Penebangan Kayu        5 71,43 3 Pengambilan Pasir      5 71,43 4 Penangkapan penyu        7 100,00 5 Pengambilan telur penyu        7 100,00 6 Penangkapan fauna darat        7 100,00 Total 4 4 4 6 5 4 5 6 Persentase 66,67 66,67 66,67 100,00 83,33 66,67 83,33 7 76,19 Pulau Aktivitas Pemanfaatan No Total Keterangan : 1 = P. Enu 3 = P. K. Selatan 5 = P. Mar 7 = P. Marjinjin 2 = P. Karang 4 = P. Jeh 6 = P. Jeudin Pulau Jeh merupakan satu-satunya pulau dengan aktivitas pemanfaatan tertinggi yakni sebanyak 6 aktivitas 100, sedangkan aktivitas tersedikit ditemukan pada Pulau Enu dan Pulau karang dengan jumlah aktivitas sebanyak 4 aktivitas 66,67. Pulau-pulau kecil lainnya di kawasan konservasi Aru Tenggara memiliki beberapa sub-sistem seperti sub sistem ekonomi, masyarakat, demografi, budaya, dan sub-sistem ekologi Lin, 2005. Sub-sistem tersebut saling berinteraktif, yang mendefinisikan perilaku dan keberlanjutan sebuah pulau dalam menghadapi pengaruh eksternal dan penyesuaian internal. Sebuah keseimbangan yang berkelanjutan dapat dicapai jika setiap sub-sistem dapat diterima, serta dapat memberikan peningkatan pendapatan masyarakat, kesehatan sumber daya, keanekaragaman hayati, dan memelihara kehidupan ekologis Bass dan Dalal- Clayton, 1995. 2 Lingkungan biofisik 1 Geomorfologi pulau Penggunaan lahan darat di pulau-pulau kecil pada kawasan konservasi Aru Tenggara terdiri dari 8 delapan komponen pembentuk, yang didominasi oleh hutan lahan kering sebesar 22,37 km 2 46,72, selanjutnya diikuti oleh ekosistem mangrove sebesar 19,24 km 2 39,30 dan paling kecil adalah lahan terbuka luasan sebesar 0,06 km 2 0,12. Secara rinci komponen pembentuk tutupan vegetasi pada pulau-pulau kecil dapat diperlihatkan pada Tabel 10. Tabel 10 Penutupan lahan pada pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara Keterangan : 1 = P. Enu 3 = P. K. Selatan 5 = P. Mar 7 = P. Marjinjin 2 = P. Karang 4 = P. Jeh 6 = P.Jeudin Namun, setelah tekanan dari luar, ekosistem, ekonomi, atau masyarakat, melebihi kapasitas pulau maka reaksi sub-sistem akan rusak. Ekosistem pulau kecil sangat rentan sehingga diperlukan penanganan yang baik sehingga terpelihara secara berkesinambungan Bengen, 2002. 1 2 3 4 5 6 7 1 Hutan Mangrove 10,01 2,10 0,06 2,84 1,04 1,20 1,98 19,24 39,30 2 Tubuh air 0,24 - - 0,08 - - - 0,32 0,65 3 SemakBelukar 2,05 0,06 0,00 0,72 0,01 - 0,36 3,20 6,53 4 Rawa 0,02 - - 0,03 - - 0,06 0,11 0,23 5 Pasir Pantai 0,01 0,21 0,13 0,25 0,45 0,69 0,32 2,07 4,23 6 Lahan Terbuka 0,05 - - 0,01 - - - 0,06 0,12 7 Hutan Lahan Kering 1,68 - 0,59 2,74 0,27 14,17 2,92 22,37 45,72 8 Tempat Bertelur Penyu 0,31 0,94 0,04 0,10 0,03 0,12 0,06 1,58 3,23 Total 14,38 3,30 0,82 6,77 1,79 16,18 5,69 48,94 100,00 Total Tutupan No Komponen Pulau Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa luasan lahan terbuka adalah kawasan dengan luasan terkecil dari seluruh komponen pembentuk penutupan vegetasi di kawasan, yang memberikan indikasi bahwa pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini sangatlah dimengerti, mengingat lahan darat dengan berbagai sumber daya berupa kayu masih sangat tersedia. Komponen lain yang dapat dikaji dari Tabel 10 adalah kawasan tempat bertelur penyu memiliki lahan cukup tersedia yakni seluas 1,58 km 2 3,23 dari luas total kawasan Gambar 30. Gambar 30 Grafik presentasi tutupan vegetasi pada pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara Pulau-pulau di kawasan ini memiliki potensial besar untuk disinggahi oleh penyu-penyu untuk bertelur dan berkembang biak. Namun sayangnya berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat, bahwa saat ini kawasan tempat bertelur penyu sudah banyak ditinggalkan oleh penyu terutama pada 5 pulau lain yang berdekatan dengan pulau induk, atau dengan kata lain kawasan pulau-pulau tersebut banyak diakses oleh masyarakat sekitar. Pulau Enu dan Pulau Karang adalah kawasan yang saat ini sangat baik untuk disinggahi oleh penyu-penyu terutama untuk kepentingan bertelur, walaupun masih juga terjadi pembantaian penyu di dua pulau ini. Hal ini sejalan dengan pandangan beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa aktivitas pembangunan sering menyebabkan kerusakan L u asan h a Komponen Pentupan Lahan Darat eksositem maupun degradasi sumber daya hewan endemik di pulau kecil baik itu aktivitas pembangunan di darat maupun di wilayah perairan akibat pemanfaatan dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan Gutzwiller dan Barrow,2003; Kuitunen at al., 1998; Reijnen at al., 1995. Untuk itulah diperlukan suatu pengawasan yang kontinyu terhadap kedua pulau serta upaya untuk mengembalikan fungsi tempat bertelur penyu yang telah ditinggalkan agar dapat dimanfaatkan kembali oleh penyu-penyu tersebut bagi kepentingan perkembangbiakannya. Untuk menjaga dan mempertahankan keberadaan pulau, maka perlu dilakukan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya pulau-pulau kecil di kawasan baik untuk kepentingan ekologi, sosial, ekonomi serta pertahanan dan keamanan negara. Pada dasarnya topografi pulau-pulau kecil dikawasan relatif sama dengan pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Aru, khususnya Aru Tenggara, yaitu berdataran rendah. Pulaunya terbentuk dari jenis batuan Aluvium dengan jenis tanah berupa Aluvial, Podzolik merah kuning, Renzina dan Hidromorfik kelabu. Pulau-pulau di kawasan memiliki topografi yang datar tanpa adanya bukit dan gunung. Sebaran komponen penyusun substrat dasar zona pantai kering hingga zona pasang surut tergolong variatif. Zona pantai kering di bagian Barat, Timur, Selatan, dan beberapa bagian tertentu di bagian utara pulau-pulau kecil di kawasan adalah berpasir kasar, serta pasir kasar bercampur patahan karang. Zona pantai kering dengan kondisi substrat dasar pada bagian-bagian pulau tersebut sangat ideal sebagai tempat bertelur atau peletakan telur nesting area dari penyu, khususnya penyu hijau Gambar 31. asu t d i P u lau E n u Di antara zona pantai kering yang berpasir, terdapat areal dengan substrat dasar yang tersusun oleh batuan pasir dan batu cadas. Sementara sebagian besar areal pantai kering di bagian utara pulau memiliki substrat dasar yang terdiri dari pasir halus dan berlumpur. Sebagian zona pasang surut ke arah pantai kering umumnya bersubstrat lunak, tersusun dari komponen pasir kasar hingga pasir halus. Sementara pertengahan zona pasut hingga berbatasan dengan zona sub- pasut memiliki substrat yang tersusun oleh komponen batuan koral yang dominan. 2 Vegetasi teresterial Sebagian besar daratan pulau-pulau kecil di kawasan ditumbuhi dengan vegetasi hutan lahan kering, hutan mangrove dan selanjutnya vegetasi semak belukar dan sisanya adalah vegetasi tumbuhan air. Hutan mangrove mendominasi bagian tengah pulau, sementara semak belukar mengelilingi pesisir pantai. Jenis- jenis vegetasi pantai yang terdapat di pulau ini antara lain kangkung laut Ipomea pescapre , Kasuari Casuarina sp, Ketapang Terminalia catapa, Bintanggor Canophyllum inophyllum, serta berbagai jenis mangrove ikutan lainnya. Kerapatan total vegetasi teresterial pulau ini mencapai 0,964 tegakanm 2 atau sekitar 9.640 tegakanha. Kerapatan vegetasi untuk kategori pohon sebesar 0,265 tegakanm 2 2.653 tegakanha, sementara untuk kategori sapihan adalah 0,145 tegakanm 2 1.453 tegakanha dan untuk kategori anakan mencapai 0,553 tegakanm 2 atau mencapai 5.533 tegakanha Tabel 11. Tabel 11 Kerapatan vegetasi dan kisaran diameter pohon Kategori Kerapatan per m 2 Tegakan per Ha Kisaran Diameter cm Diameter Rata-rata cm Pohon 0,265 2653 4,01 – 85,59 18,8 Sapihan 0,145 1453 0,95 – 3,98 2,5 Anakan 0,553 5533 - - Total 0,964 9640 - - Jenis vegetasi yang memiliki diameter pohon rerata terkecil adalah Madawal dan terbesar adalah Kasuari. Sedangkan jenis yang memiliki diameter sapihan rerata terkecil adalah Jin dan terbesar adalah Kayu Susu. Data vegetasi teresterial memberikan indikasi bahwa bila ada gangguan yang cukup berarti terhadap ekosistem teresterial, dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk pemulihan karena jumlah tegakan dari kategori sapihan 15,06 dari jumlah tegakan untuk kategori pohon 27,52 sedangkan kategori anakan jauh lebih besar dari tegakan untuk kategori pohon dan sapihan 57,40. Untuk kategori pohon, pemulihan jenis Madawal akan berlangsung cepat karena jumlah tegakan sapihannya 4,82 kali lebih banyak dari jumlah tegakan untuk pohon. Selain itu pemulihan vegetasi yang agak cepat adalah jenis Semarah, dimana jumlah tegakan sapihannya sebesar 72,55 dari jumlah tegakan untuk kategori pohon. Didasarkan pada jumlah tegakan vegetasi untuk kategori anakan yang demikian besar, dapat dikatakan komunitas teresterial pulau memiliki kecenderungan untuk berkembang bila dikelola secara baik. Jenis fauna dimaksud adalah beberapa jenis burung termasuk burung laut, serta salah satu reptilia yang termasuk kategori dilindungi yaitu biawak endemik Maluku Varanus indicus. 3 Kompleksitas permasalahan sumber daya perikanan pada ekosistem pulau Pengelolaan kawasan Aru Tenggara telah dimulai sejak ditetapkannya kawasan dimaksud sebagai Cagar Alam Laut Aru Tenggara pada tahun 1993 dengan luas 114.000 ha. Tujuan utamanya adalah perlindungan sumber daya penyu serta ekosistemnya. Paradigma pengelolaan pada saat itu didasarkan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan lingkungan hidup. Konsep utama pengelolaan Cagar Alam Laut adalah tidak diperkenankannya kegiatan ekstraktif di kawasan, kecuali untuk kepentingan penelitian dan pengembangan kawasan. Paradigma ini tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat kawasan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di kawasan, sementara lahan tersebut merupakan lahan produktif bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dominan adalah nelayan. Kebijakan yang diambil bersifat top down sehingga belum banyak mengelaborasi kepentingan masyarakat dalam pengelolaan, akibatnya timbul perbagai permasalahan yang diistilahkan sebagai maladaptif di kawasan, baik terhadap kondisi sumber daya penyu maupun ekosistemnya. Strategi adaptif sangat penting untuk mengurangi tingkat kerentanan masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan global Butzer, 1980; MEA, 2005. Namun demikian, berbagai konsep dirancang dan diimplementasikan untuk mengubah tingkat kerentanan masyarakat hendaknya memberikan manfaat dan menghindari hasil yang tidak diinginkan. Banyak konsep yang dapat dipakai tetapi tidak dapat membantu orang untuk mengatasi perubahan Caballero, 2009, dapat justru memperburuk masalah yang ada Barnett and O Neill, 2010; Fazey et al., 2011, atau dapat mengurangi kapasitas untuk mengantisipasi peristiwa masa depan Fazey et al., 2011. Ada 8 komponen utama unsur pembentuk pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara yakni a luas pulau; b lahan terbuka; c pasir pantai; d keanekaragaman pulau; e tubuh air; f rawa; g hutan lahan kering; dan h tempat bertelur penyu. Komponen-komponen utama dimaksud berdasarkan keberadaanya di pulau telah mengalami perubahan baik berupa jumlah jenis, luasan areal, persen tutupan yang bermuara pada kerusakan ekosistem. Kondisi yang sama juga berlaku untuk sumber daya flora dan fauna yang banyak mengalami gangguan sehingga menyebabkan berkurang atau hilangnya sumber daya tersebut di pulau. Kegiatan-kegiatan dimaksud adalah pengambilan telur dan induk penyu, penambangan pasir, penangkapan satwa lindung darat seperti kus- kus berkantong, maupun penebangan pohon untuk kepentingan pembangunan perumahan, yang kesemuanya itu menyebabkan pengurangan luasan ekosistem, rendahnya keragaman sumberdaya serta rusaknya ekosistem pulau Gambar 32. Jika dianalisis lebih jauh maka kegiatan-kegiatan dimaksud bermuara dari pembatasan aktivitas masyarakat di ruang penghidupannya, sedangkan upaya manajemen terhadap alternatif pemecahan masalah berupa alih teknologi atau mata pencaharian alteratif tidak pernah dilakukan, sehingga munculah problematik yang disebut sebagai maladaptif. Realitas yang terjadi pada ekosistem pulau juga terjadi pada ekosistem lain di kawasan ini, sehingga yang muncul dari proses mengantisipasi perubahan pada masyarakat kawasan adalah bukan merupakan pemenang tetapi yang terjadi ialah pencurian pecundang oleh individu-individu yang mengupayakan pemenuhan dengan pola-pola pemanfaatan yang tidak berkelanjutan Adger, 2006; O Brien and Leichenko, 2000. Gambar 32 Kerangka masalah sumber daya perikanan pada ekosistem pulau Permasalahan ini jika dibiarkan terus terjadi maka ditakutkan akan melebihi ambang batas kemampuan secara sosial, ekonomi maupun ekologi pada ekosistem pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara Folke et al, 2004; Kinzig et al , 2006; Reyers et al, 2009, sehingga masyarakat terperangkap dalam kemiskinan dan kekakuan karena kapasitas untuk mempertahankan mata pencaharian demi kesejahteraan mereka terbatas Allison and Hobbs, 2004; Anderies et al, 2006 atau runtuhnya aspek kehidupan masyarakat kawasan Hegmon et al, 2008. Salah satu cara untuk dapat mewujudkan kondisi yang lebih baik adalah melalui proses dinamis yang memperbaiki tingkat kerentanan terhadap perubahan masa depan dari waktu ke waktu. Strategi adaptif banyak dikembangkan melalui proses di mana dinamika internal dari suatu sistem diasumsikan relatif stabil, itu berarti upaya untuk menjadikan kawasan menjadi daerah perlindungan harus juga memperhatikan potensi dan permasalahan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat sehingga pembaharuan terhadap kelestarian lingkungan tidak harus meninggalkan kebutuhan masyarakat atau sebaliknya, sehingga langkah perubahan Kondisi eksisting pulau HubunganPengaruh harus stabil pada seluruh aspek baik ekologi, sosial, dan ekonomi. Manajemen adaptif adalah suatu solusi yang dinamis, di mana respon berubah mengakibatkan perubahan lebih lanjut Smit dan Wandel, 2006; Marshall et al, 2010. Sehingga proses terhadap evaluasi kawasan harus berlangsung secara terus-menerus sehingga akan teridentifikasi komponen-komponen yang menyebabkan ketidakstabilan dalam proses manajemen adaptif yang dilakukan, sehingga membutuhan tambahan sentuhan manajemen baru.

4.3.4 Ekosistem mangrove

1 Keragaan potensi Hutan mangrove terjadi di sepanjang garis pantai laut di daerah tropis dan subtropis, dan merupakan habitat yang potensial dalam mendukung jasa pemanfaatan ekosistem seperti lahan budidaya dan pemijahan ikan komersial dan ekologis penting, udang dan kerang, sarang burung dan habitat mencari makan dari spesies langkah Alongi, 2011. Mangrove mendukung berbagai jasa ekosistem Barbier, 2007, yang dapat diklasifikasikan menjadi pendukung, pengadaan, mengatur dan layanan budaya. Memberikan dukungan atau suplai energi bagi ekosistem lainnya termasuk pembentukan tanah, fotosintesis, produktivitas primer. Jasa ekosistem mangrove memberikan manfaat bagi pengaturan proses ekosistem seperti ketahanan, penyerbukan, kontrol biologis, siklus hara, sirkulasi kualitas udara, dan pemeliharaan keanekaragaman hayati Bosire et al, 2008; Cannicci et al, 2008; Gilman et al, 2008; Kristensen et al, 2008. Selain itu ekosistem mangrove dapat mengatur pemeliharaan kualitas air, pencegahan gangguan lingkungan badai, banjir dan pengendalian erosi dan pengaturan iklim. Seluruh pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara memiliki ekosistem hutan mangrove, dengan luas, jumlah jenis, genus, famili serta kerapatan individu yang berbeda antara satu pulau dengan pulau lainnya. Total luasan ekosistem mangrove di kawasan konservasi Aru Tenggara adalah sebesar 19,24 km 2 , dimana luasan ekosistem hutan mangrove terbesar dijumpai di Pulau Enu yakni sebesar 10,01 km 2 , sedangkan luasan terkecil dijumpai pada Pulau Kultubai Selatan yakni sebesar 0,06 km 2 Gambar 33 dan 34. Gambar 33 Luas, jumlah jenis, genus, famili serta kerapatan individu mangrove di kawasan konservasi Aru Tenggara Gambar 34 Dengan luas ekosistem tersebut dapat memberikan sumbangsi besar bagi produktivitas primer di kawasan, terutama bagi kepentingan sumber daya perikanan sebagai tempat makan dan memijah serta lindung bagi hewan-hewan