Ekosistem Pulau Hasil dan Pembahasan
secara individual maupun secara sinergis dapat meningkatkan skala ekonomi dari pengelolaan sumber dayanya.
Sesuai pedoman itu, batasan dan karakteristik pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara dapat dijelaskan sebagai berikut:
1 Pulau yang secara operasional ukuran luasnya kurang atau sama dengan 2.000 km
2
. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pulau-pulau di kawasan ini adalah pulau-pulau dengan ukuran sangat kecil karena luasan
pulau terbesar di kawasan ini adalah Pulau Jeudin yakni sebesar 16,18 km
2
atau 0,81 dari besaran luas dari defenisi pulau kecil. 2 Secara ekologis pulau-pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara terpisah
dari pulau induknya mainland island, memiliki batas fisik yang jelas, dan terpencil dari habitat pulau induk sehingga bersifat insular.
3 Mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman yang tipikal dan bernilai tinggi yakni penyu, dugong, buaya, kus-kus berkantong, kima
dan berbagai jenis hewan endemik lainnya. 4 Daerah tangkapan air catchment area relatif kecil sehingga sebagian besar
aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut. 5 Karena pulau-pulau di kawasan ini tidak berpenghuni, sedangkan
masyarakat yang mengakses sumber daya ini berada pada pulau induk, sehingga memiliki karakter yang relatif sama dengan masyarakat sekitarnya.
Hal ini sejalan dengan pandangan menurut Bengen, 2002, yang secara umum pulau kecil memiliki karakteristik biogeofisik yang menonjol yakni:
1 Terpisah dari habitat pulau induk mailand island, sehingga bersifat insular. 2 Memiliki sumber daya air tawar yang terbatas baik air permukaan maupun
air tanah, dengan daerah tangkapan airnya relatif kecil sehingga sebagian besar aliran air permukaan dan sedimen masuk ke laut.
3 Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar, serta pencemaran.
a
4 Memiliki jumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi. Area perairannya lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi dari daratan
utamanya benua atau pulau besar.
5 Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai. Persebaran dari pulau-pulau ini sangat berdekatan satu dengan yang
lainnya, kecuali Pulau Enu dan Karang yang relatif jauh dari permukiman penduduk. Letak geografis, luas pulau dan panjang garis pantai secara rinci dapat
diperlihatkan pada Tabel 8. Secara keseluruhan luas ke-7 pulau di kawasan ini
adalah sebesar 48,94 km
2
dengan panjang garis pantai sejauh 138,37 km
2
, yang mana pulau dengan luasan terbesar adalah Pulau Jeudin dengan luas 16,18 km
2
dengan panjang garis pantai ada sejauh 42,28 km
2
, sedangkan luasan pulau terkecil dijumpai pada Pulau Kultubai Selatan sebesar 0,82 km
2
dengan panjang garis pantai sejauh 6,67 km
2
. Tabel 8 Letak geografis, luas pulau dan panjang pantai dari 7 pulau di
kawasan konservasi Aru Tenggara
Pulau Posisi
Luas Pulau Km
2
Panjang Garis Pantai Km
2
Lintang Bujur
P. Enu 07º 06 ’14“ LS
134º 11’ 38“ BT 14,38
26,39 P. Karang
07
o
01’ 08” LS 134
o
41’ 26” BT 3,30
7,78 P. K.Selatan
06
o
49’ 54” LS 134
o
47’ 14” BT 0,82
6,61 P. Jeh
06
o
51 ’ 16” LS
134
o
45 ’ 18” BT
6,77 18,67
P. Mar 06
o
55 ’ 19” LS
134
o
33 ’ 50” BT
1,79 10,97
P. Jeudin 06
o
49’ 56” LS 134
o
47’ 16” BT 16,18
42,28 P.Marjinjin
06
o
49’ 55” LS 134
o
47’ 15” BT 5,69
25,68 Total
48,94 138,37
Berdasarkan sejarah kepemilikan pulau maka Pulau Enu Gambar 28 dan Pulau Karang Gambar 29 dianggap sebagai pulau sejarah bagi seluruh
masyarakat asli Kepulauan Aru, sedangkan ke-5 pulau lainnya merupakan pulau- pulau yang status kepemilikannya tidak jelas. Ketidak jelasan kepemilikan pulau
ini menyebabkan sering terjadi perselisihan dan atau perkelahian antar desa-desa sekitar terutama untuk desa Karei dan Longgar Apara, dan desa Bemun serta desa
Longgar dan Apara.
Sebagi konsekwensi dari keberadaan pulau-pulau ini yang tidak berpenghuni serta status kepemilikian yang tidak jelas, menyebabkan akses
pemanfaatan sumber daya pada pulau-pulau dimaksud sulit untuk dihindari,
bahkan justru menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat kawasan karena sering terjadi perkelahian, juga terhadap sumber daya dan lingkungan sebagai
akibat dari pemanfaatan sumber daya yang merusak. Aktivitas masyarakat yang berlangsung di ekosistem pulau ini bermacam-
macam mulai dari aktivitas pertanian khusus untuk Pulau Jeh, pemanfaatan lahan hutan baik untuk pembangunan rumah maupun kayu api serta penangkapan fauna
darat seperti kus-kus dan burung pada Pulau Kultubai Selatan, Pulau Jeudin dan Pulau Marjinjin, kegiatan pengambilan pasir pantai dan batu karang untuk
pembangunan pada Pulau Jeh, Mar, Jeudin, Marjinjin dan Kultubai Selatan. Aktivitas lainnya adalah penangkapan dan pengambilan telur penyu pada saat
musim bertelur terutama pada Pulau Enu dan Karang Tabel 9 Terdapat 6 jenis aktivitas pemanfaatan pada pulau-pulau kecil di kawasan
konservasi Aru Tenggara, 3 aktivitas diantaranya selalu dilaksanakan pada seluruh pulau diantaranya aktivitas penangkapan penyu, pengambilan telur penyu dan
penangkapan fauna darat, sedangkan aktivitas perkebunanpertanian hanya berlangsung di Pulau Jeh, karena pada pulau ini memiliki kesuburan tanah yang
cocok untuk kegiatan pertanian. Pada pulau ini juga ditemukan sumber air bersih yang selalui dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar kawasan.
Tabel 9 Aktivitas pemanfaatan pada ekosistem pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara.
1 2
3 4
5 6
7 1
PertanianPerkebunan
1 14,29
2 Penebangan Kayu
5
71,43 3
Pengambilan Pasir
5 71,43
4 Penangkapan penyu
7
100,00 5
Pengambilan telur penyu
7 100,00
6 Penangkapan fauna darat
7
100,00 Total
4 4
4 6
5 4
5 6
Persentase 66,67
66,67 66,67
100,00 83,33
66,67 83,33
7 76,19
Pulau Aktivitas Pemanfaatan
No Total
Keterangan : 1 =
P. Enu 3 =
P. K. Selatan 5 =
P. Mar 7 =
P. Marjinjin 2 =
P. Karang 4 =
P. Jeh 6 =
P. Jeudin
Pulau Jeh merupakan satu-satunya pulau dengan aktivitas pemanfaatan tertinggi yakni sebanyak 6 aktivitas 100, sedangkan aktivitas tersedikit
ditemukan pada Pulau Enu dan Pulau karang dengan jumlah aktivitas sebanyak 4
aktivitas 66,67. Pulau-pulau kecil lainnya di kawasan konservasi Aru Tenggara memiliki beberapa sub-sistem seperti sub sistem ekonomi, masyarakat, demografi,
budaya, dan sub-sistem ekologi Lin, 2005. Sub-sistem tersebut saling berinteraktif, yang mendefinisikan perilaku dan keberlanjutan sebuah pulau dalam
menghadapi pengaruh eksternal dan penyesuaian internal. Sebuah keseimbangan yang berkelanjutan dapat dicapai jika setiap sub-sistem dapat diterima, serta dapat
memberikan peningkatan pendapatan masyarakat, kesehatan sumber daya, keanekaragaman hayati, dan memelihara kehidupan ekologis Bass dan Dalal-
Clayton, 1995.
2 Lingkungan biofisik
1 Geomorfologi pulau Penggunaan lahan darat di pulau-pulau kecil pada kawasan konservasi Aru
Tenggara terdiri dari 8 delapan komponen pembentuk, yang didominasi oleh hutan lahan kering sebesar 22,37 km
2
46,72, selanjutnya diikuti oleh ekosistem mangrove sebesar 19,24 km
2
39,30 dan paling kecil adalah lahan terbuka luasan sebesar 0,06 km
2
0,12. Secara rinci komponen pembentuk tutupan vegetasi pada pulau-pulau kecil dapat diperlihatkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Penutupan lahan pada pulau-pulau kecil di kawasan konservasi
Aru Tenggara
Keterangan : 1 =
P. Enu 3 =
P. K. Selatan 5 =
P. Mar 7 =
P. Marjinjin 2 =
P. Karang 4 =
P. Jeh 6 =
P.Jeudin
Namun, setelah tekanan dari luar, ekosistem, ekonomi, atau masyarakat, melebihi kapasitas pulau maka reaksi sub-sistem akan rusak. Ekosistem pulau
kecil sangat rentan sehingga diperlukan penanganan yang baik sehingga terpelihara secara berkesinambungan Bengen, 2002.
1 2
3 4
5 6
7 1
Hutan Mangrove 10,01 2,10 0,06 2,84 1,04 1,20 1,98 19,24 39,30
2 Tubuh air
0,24 - - 0,08 - - - 0,32 0,65 3
SemakBelukar 2,05 0,06 0,00 0,72 0,01 - 0,36 3,20 6,53
4 Rawa
0,02 - - 0,03 - - 0,06 0,11 0,23 5
Pasir Pantai 0,01 0,21 0,13 0,25 0,45 0,69 0,32 2,07 4,23
6 Lahan Terbuka
0,05 - - 0,01 - - - 0,06 0,12 7
Hutan Lahan Kering 1,68 - 0,59 2,74 0,27 14,17 2,92 22,37 45,72
8 Tempat Bertelur Penyu
0,31 0,94 0,04 0,10 0,03 0,12 0,06 1,58 3,23 Total
14,38 3,30 0,82 6,77 1,79 16,18 5,69 48,94 100,00 Total
Tutupan No
Komponen Pulau
Berdasarkan Tabel 10, terlihat bahwa luasan lahan terbuka adalah kawasan dengan luasan terkecil dari seluruh komponen pembentuk penutupan vegetasi di
kawasan, yang memberikan indikasi bahwa pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara belum banyak dimanfaatkan oleh masyarakat. Hal ini
sangatlah dimengerti, mengingat lahan darat dengan berbagai sumber daya berupa kayu masih sangat tersedia. Komponen lain yang dapat dikaji dari Tabel 10 adalah
kawasan tempat bertelur penyu memiliki lahan cukup tersedia yakni seluas 1,58 km
2
3,23 dari luas total kawasan Gambar 30.
Gambar 30 Grafik presentasi tutupan vegetasi pada pulau-pulau kecil di kawasan konservasi Aru Tenggara
Pulau-pulau di kawasan ini memiliki potensial besar untuk disinggahi oleh penyu-penyu untuk bertelur dan berkembang biak. Namun sayangnya berdasarkan
hasil wawancara dengan masyarakat setempat, bahwa saat ini kawasan tempat bertelur penyu sudah banyak ditinggalkan oleh penyu terutama pada 5 pulau lain
yang berdekatan dengan pulau induk, atau dengan kata lain kawasan pulau-pulau tersebut banyak diakses oleh masyarakat sekitar. Pulau Enu dan Pulau Karang
adalah kawasan yang saat ini sangat baik untuk disinggahi oleh penyu-penyu terutama untuk kepentingan bertelur, walaupun masih juga terjadi pembantaian
penyu di dua pulau ini. Hal ini sejalan dengan pandangan beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa aktivitas pembangunan sering menyebabkan kerusakan
L u
asan h
a
Komponen Pentupan Lahan Darat
eksositem maupun degradasi sumber daya hewan endemik di pulau kecil baik itu aktivitas pembangunan di darat maupun di wilayah perairan akibat pemanfaatan
dengan teknologi yang tidak ramah lingkungan Gutzwiller dan Barrow,2003; Kuitunen at al., 1998; Reijnen at al., 1995.
Untuk itulah diperlukan suatu pengawasan yang kontinyu terhadap kedua pulau serta upaya untuk mengembalikan fungsi tempat bertelur penyu yang telah
ditinggalkan agar dapat dimanfaatkan kembali oleh penyu-penyu tersebut bagi kepentingan perkembangbiakannya. Untuk menjaga dan mempertahankan
keberadaan pulau, maka perlu dilakukan penyadaran kepada masyarakat akan pentingnya pulau-pulau kecil di kawasan baik untuk kepentingan ekologi, sosial,
ekonomi serta pertahanan dan keamanan negara. Pada dasarnya topografi pulau-pulau kecil dikawasan relatif sama dengan
pulau-pulau yang terdapat di Kabupaten Kepulauan Aru, khususnya Aru Tenggara, yaitu berdataran rendah. Pulaunya terbentuk dari jenis batuan Aluvium dengan
jenis tanah berupa Aluvial, Podzolik merah kuning, Renzina dan Hidromorfik kelabu. Pulau-pulau di kawasan memiliki topografi yang datar tanpa adanya bukit
dan gunung. Sebaran komponen penyusun substrat dasar zona pantai kering hingga
zona pasang surut tergolong variatif. Zona pantai kering di bagian Barat, Timur, Selatan, dan beberapa bagian tertentu di bagian utara pulau-pulau kecil di kawasan
adalah berpasir kasar, serta pasir kasar bercampur patahan karang. Zona pantai kering dengan kondisi substrat dasar pada bagian-bagian pulau tersebut sangat
ideal sebagai tempat bertelur atau peletakan telur nesting area dari penyu, khususnya penyu hijau Gambar 31.
asu t
d i
P u
lau E
n u
Di antara zona pantai kering yang berpasir, terdapat areal dengan substrat dasar yang tersusun oleh batuan pasir dan batu cadas. Sementara sebagian besar
areal pantai kering di bagian utara pulau memiliki substrat dasar yang terdiri dari pasir halus dan berlumpur. Sebagian zona pasang surut ke arah pantai kering
umumnya bersubstrat lunak, tersusun dari komponen pasir kasar hingga pasir halus. Sementara pertengahan zona pasut hingga berbatasan dengan zona sub-
pasut memiliki substrat yang tersusun oleh komponen batuan koral yang dominan. 2 Vegetasi teresterial
Sebagian besar daratan pulau-pulau kecil di kawasan ditumbuhi dengan vegetasi hutan lahan kering, hutan mangrove dan selanjutnya vegetasi semak
belukar dan sisanya adalah vegetasi tumbuhan air. Hutan mangrove mendominasi bagian tengah pulau, sementara semak belukar mengelilingi pesisir pantai. Jenis-
jenis vegetasi pantai yang terdapat di pulau ini antara lain kangkung laut Ipomea pescapre
, Kasuari Casuarina sp, Ketapang Terminalia catapa, Bintanggor Canophyllum inophyllum, serta berbagai jenis mangrove ikutan lainnya.
Kerapatan total vegetasi teresterial pulau ini mencapai 0,964 tegakanm
2
atau sekitar 9.640 tegakanha. Kerapatan vegetasi untuk kategori pohon sebesar 0,265 tegakanm
2
2.653 tegakanha, sementara untuk kategori sapihan adalah 0,145 tegakanm
2
1.453 tegakanha dan untuk kategori anakan mencapai 0,553 tegakanm
2
atau mencapai 5.533 tegakanha Tabel 11.
Tabel 11 Kerapatan vegetasi dan kisaran diameter pohon
Kategori Kerapatan
per m
2
Tegakan per Ha
Kisaran Diameter cm
Diameter Rata-rata cm
Pohon 0,265
2653 4,01
– 85,59 18,8
Sapihan 0,145
1453 0,95
– 3,98 2,5
Anakan 0,553
5533 -
- Total
0,964 9640
- -
Jenis vegetasi yang memiliki diameter pohon rerata terkecil adalah Madawal
dan terbesar adalah Kasuari. Sedangkan jenis yang memiliki diameter sapihan rerata terkecil adalah Jin dan terbesar adalah Kayu Susu. Data vegetasi
teresterial memberikan indikasi bahwa bila ada gangguan yang cukup berarti terhadap ekosistem teresterial, dibutuhkan waktu yang relatif lama untuk
pemulihan karena jumlah tegakan dari kategori sapihan 15,06 dari jumlah tegakan untuk kategori pohon 27,52 sedangkan kategori anakan jauh lebih
besar dari tegakan untuk kategori pohon dan sapihan 57,40.
Untuk kategori pohon, pemulihan jenis Madawal akan berlangsung cepat karena jumlah tegakan sapihannya 4,82 kali lebih banyak dari jumlah tegakan
untuk pohon. Selain itu pemulihan vegetasi yang agak cepat adalah jenis Semarah,
dimana jumlah tegakan sapihannya sebesar 72,55 dari jumlah tegakan untuk kategori pohon. Didasarkan pada jumlah tegakan vegetasi untuk kategori anakan
yang demikian besar, dapat dikatakan komunitas teresterial pulau memiliki kecenderungan untuk berkembang bila dikelola secara baik. Jenis fauna dimaksud
adalah beberapa jenis burung termasuk burung laut, serta salah satu reptilia yang termasuk kategori dilindungi yaitu biawak endemik Maluku Varanus indicus.
3 Kompleksitas permasalahan sumber daya perikanan pada ekosistem pulau Pengelolaan kawasan Aru Tenggara telah dimulai sejak ditetapkannya
kawasan dimaksud sebagai Cagar Alam Laut Aru Tenggara pada tahun 1993 dengan luas 114.000 ha. Tujuan utamanya adalah perlindungan sumber daya
penyu serta ekosistemnya. Paradigma pengelolaan pada saat itu didasarkan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam dan lingkungan
hidup. Konsep utama pengelolaan Cagar Alam Laut adalah tidak diperkenankannya kegiatan ekstraktif di kawasan, kecuali untuk kepentingan
penelitian dan pengembangan kawasan. Paradigma ini tidak memberikan kesempatan kepada masyarakat kawasan untuk memanfaatkan sumber daya yang
ada di kawasan, sementara lahan tersebut merupakan lahan produktif bagi kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat yang dominan adalah nelayan.
Kebijakan yang diambil bersifat top down sehingga belum banyak mengelaborasi kepentingan masyarakat dalam pengelolaan, akibatnya timbul perbagai
permasalahan yang diistilahkan sebagai maladaptif di kawasan, baik terhadap kondisi sumber daya penyu maupun ekosistemnya.
Strategi adaptif sangat penting untuk mengurangi tingkat kerentanan masyarakat lokal dalam menghadapi perubahan global Butzer, 1980; MEA,
2005. Namun demikian, berbagai konsep dirancang dan diimplementasikan untuk mengubah tingkat kerentanan masyarakat hendaknya memberikan manfaat dan
menghindari hasil yang tidak diinginkan. Banyak konsep yang dapat dipakai tetapi tidak dapat membantu orang untuk mengatasi perubahan Caballero, 2009, dapat
justru memperburuk masalah yang ada Barnett and O Neill, 2010; Fazey et al., 2011, atau dapat mengurangi kapasitas untuk mengantisipasi peristiwa masa
depan Fazey et al., 2011. Ada 8 komponen utama unsur pembentuk pulau-pulau kecil di kawasan
konservasi Aru Tenggara yakni a luas pulau; b lahan terbuka; c pasir pantai; d keanekaragaman pulau; e tubuh air; f rawa; g hutan lahan kering; dan
h tempat bertelur penyu. Komponen-komponen utama dimaksud berdasarkan keberadaanya di pulau telah mengalami perubahan baik berupa jumlah jenis,
luasan areal, persen tutupan yang bermuara pada kerusakan ekosistem. Kondisi yang sama juga berlaku untuk sumber daya flora dan fauna yang banyak
mengalami gangguan sehingga menyebabkan berkurang atau hilangnya sumber daya tersebut di pulau. Kegiatan-kegiatan dimaksud adalah pengambilan telur dan
induk penyu, penambangan pasir, penangkapan satwa lindung darat seperti kus- kus berkantong, maupun penebangan pohon untuk kepentingan pembangunan
perumahan, yang kesemuanya itu menyebabkan pengurangan luasan ekosistem, rendahnya keragaman sumberdaya serta rusaknya ekosistem pulau Gambar 32.
Jika dianalisis lebih jauh maka kegiatan-kegiatan dimaksud bermuara dari pembatasan aktivitas masyarakat di ruang penghidupannya, sedangkan upaya
manajemen terhadap alternatif pemecahan masalah berupa alih teknologi atau mata pencaharian alteratif tidak pernah dilakukan, sehingga munculah problematik
yang disebut sebagai maladaptif. Realitas yang terjadi pada ekosistem pulau juga terjadi pada ekosistem lain di kawasan ini, sehingga yang muncul dari proses
mengantisipasi perubahan pada masyarakat kawasan adalah bukan merupakan pemenang tetapi yang terjadi ialah pencurian pecundang oleh individu-individu
yang mengupayakan pemenuhan dengan pola-pola pemanfaatan yang tidak berkelanjutan Adger, 2006; O Brien and Leichenko, 2000.
Gambar 32 Kerangka masalah sumber daya perikanan pada ekosistem
pulau
Permasalahan ini jika dibiarkan terus terjadi maka ditakutkan akan melebihi ambang batas kemampuan secara sosial, ekonomi maupun ekologi pada
ekosistem pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara Folke et al, 2004; Kinzig et al
, 2006; Reyers et al, 2009, sehingga masyarakat terperangkap dalam kemiskinan dan kekakuan karena kapasitas untuk mempertahankan mata
pencaharian demi kesejahteraan mereka terbatas Allison and Hobbs, 2004; Anderies et al, 2006 atau runtuhnya aspek kehidupan masyarakat kawasan
Hegmon et al, 2008. Salah satu cara untuk dapat mewujudkan kondisi yang lebih baik adalah
melalui proses dinamis yang memperbaiki tingkat kerentanan terhadap perubahan masa depan dari waktu ke waktu. Strategi adaptif banyak dikembangkan melalui
proses di mana dinamika internal dari suatu sistem diasumsikan relatif stabil, itu berarti upaya untuk menjadikan kawasan menjadi daerah perlindungan harus juga
memperhatikan potensi dan permasalahan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat setempat sehingga pembaharuan terhadap kelestarian lingkungan tidak harus
meninggalkan kebutuhan masyarakat atau sebaliknya, sehingga langkah perubahan
Kondisi eksisting pulau HubunganPengaruh
harus stabil pada seluruh aspek baik ekologi, sosial, dan ekonomi. Manajemen adaptif adalah suatu solusi yang dinamis, di mana respon berubah mengakibatkan
perubahan lebih lanjut Smit dan Wandel, 2006; Marshall et al, 2010. Sehingga proses terhadap evaluasi kawasan harus berlangsung secara terus-menerus
sehingga akan teridentifikasi komponen-komponen yang menyebabkan ketidakstabilan dalam proses manajemen adaptif yang dilakukan, sehingga
membutuhan tambahan sentuhan manajemen baru.