Model zonasi berbasis ekosistem

tinggi dibanding dengan ekosistem hutan daratannya. Pulau Kultubai Selatan adalah salah satu yang memiliki karakteristik ekosistem mangrove yang berbeda dengan ke-6 pulau lainnya dengan tingkat ketebalan yang rendah. Ekosistem mangrove di P. Kultubai Selatan memiliki luas sebesar 0,06 km 2 dan menyebar di pesisir sebelah Barat pulau. Luasan keseluruhan ekosistem mangrove pada kawasan konservasi Aru Tenggara adalah sebesar 19, 24 km 2 1,69 dari luas total kawasan. Ekosistem mangrove bagi masyarakat kawasan memiliki arti yang penting terutama pada saat musim gelombang dimana nelayan takut untuk melaut, maka kawasan ini dijadikan sebagai tempat mencari kerang-kerangan, ikan kecil, udang atau kepiting untuk pemenuhan konsumsi protein mereka. Tabel 47. Tabel 47 Jenis satwa liar di ekosistem mangrove pada kawasan konservasi Aru Tenggara No. Nama lokal Nama ilmiah Status

A. MAMALIA

1. Kusu putih totol hitam Phalanger maculatus Dilindungi 2. Kusu putih totol hitam, kuning Phalanger spp Dilindungi 3. Kusu kelabu Phalanger dendrolagus Dilindugi 4. Kusu tanah Phalanger spp Dilindungi 5. Kusu hitam kecil Phalanger spp Dilindungi 6. Tikus berkantung Echymipera refescens Belum terdata 7. Kelelawar berkantung Pteropus spp Belum terdata 8. Kelelawar Pteropus occularis Tidak dilindungi

B. REPTILIA

1. Biawak Maluku Varanus indiacus Dilindungi 2. Soa-soa Hydrozaurus amboinensis Dilindungi 3. Kadal Mabouya spp Tidak dilindungi 4. Ular Phyton reticulatus Tidak dilindungi C. AVES 1. Raja udang Halcyon chloris Dilindungi 2. Mata merah Aplonia metalica Tidak dilindungi 3. Sri gunting Dicrurus macrocercus Tidak dilindungi 4. Sesap madu Anttreptes malacensis Dilindungi 5. Elang Haliastur indus Dilindungi 6. Pombo hutan kelabu Ducula concina Tidak dilindungi 7. Burung siang Philemon subcorniculatus Tidak dilindungi 8. Lawa-lawa Colocalia esculenta Tidak dilindungi D. AMFIBIA 1. Katak Rana sp. Tidak dilindungi Sumber : RTRW Kabupaten Kepulauan Aru, 2010. Hutan mangrove terjadi di sepanjang garis pantai laut di daerah tropis dan subtropis, dan mereka mendukung berbagai jasa ekosistem seperti lahan pembibitan ikan komersial dan ekologis penting, udang dan kerang, sarang burung dan habitat mencari makan, Alongi, 2011. Produksi primer bersih ekosistem mangrove telah diperkirakan 218 ± 72 Tg C tahun Bouillon et al, 2008, sebagai salah satu bioma yang paling produktif di bumi Eong, 1993. Aktivitas pemanfaatan sumber daya di ekosistem mangrove bukan hanya sebatas pemanfaatan sumbe daya ikan, kerang-kerangan, kepiting maupun udang namun juga kegiatan pemanfaatan hutan sebagai bahan kayu bagi pembangunan perumahan maupun sarana dan prasarana umum lainnya di desa, sehingga selalu terjadi kegiatan penebangan kayu mangrove untuk keperluan dimaksud. Hal ini didukung dengan beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa penyebab utama gangguan ekologi ekosistem mangrove adalah manusia Walters, 2005b; Dahdouh Guebas et al, 2006a; Lopez-Hoffman et al, 2006. Hasil penelitian lain juga menunjukkan tekanan penduduk biasanya terbesar sepanjang pantai, sehingga sedikit mengejutkan bahwa pengaruh manusia terhadap hutan mangrove di dunia adalah sangat signifikan dalam mempengaruhi pertumbuhan mangrove, bahkan ekosistem ini cenderung mengalami degradasi dalam skala mengkhawatir-kan selama empat dekade terakhir Valiela et al, 2001; Wilkie dan Fortuna, 2003; Duke et al, 2007, karena menjadi sumber penting bagi produksi bahan bangunan kayu juga bahan makanan dan jasa lingkungan sehingga sangat penting bagi masyarakat pesisir di daerah tropis Balmford et al, 2002. Hasil penilaian kawasan lindung mangrove berdasarkan nilai ekologi NE, didapatkan bahwa tingkat keanekaragaman, kekhasankeunikan, kelangkaan dan keperwakilan serta keaslian atau keutuhan memiliki nilai yang sama yaitu berada pada kategor tinggi skor 5, sedangkan pada nilai tingkat kerentanan NK memiliki skor yang sedang skor 3 untuk P. Kultubai Selatan Tabel 48. Perbedaan nilai ini disebabkan karena ekosistem mangrove di P. Kultubai Selatan banyak diakses oleh masyarakat baik dari Desa Longgar, Desa Apara maupun Desa Bemun. Tingkat kerentanan yang rendah juga diakibatkan karena kawasan mangrove di P. Kultubai Selatan tidak dapat berkembang dengan baik karena substrat untuk tumbuh dan berkembang ekosistem ini sangat terbatas. Tabel 48 Hasil analisis zonasi ekosistem mangrove berdasarkan kriteria kawasan lindung dengan nilai ekologi NE, nilai tingkat kerentanan NTK dan nilai sosial NS. Nilai Kriteria I II III IV V VI VII NE Keanekaragaman 5 5 5 5 5 5 5 Kekhasankeunikan 5 5 5 5 5 5 5 Kelangkaan 5 5 5 5 5 5 5 Keperwakilan 5 5 5 5 5 5 5 KeaslianKeutuhan 5 5 5 5 5 5 5 NK Kerentanan 5 5 3 5 5 5 5 NS Perlindungan terhadap ekosistem dan spesies 3 3 3 3 3 3 3 Pelestarian terhadap ekosistem dan spesies 3 3 3 3 3 3 3 Pemanfaatan sumber daya ekosistem mangrove secara lestari 5 5 3 3 3 3 3 Total 41 41 37 39 39 39 39 Kawasan Lindung 91 91 82 87 87 87 87 Keterangan : I = P. Enu III = P. Kultubai Selatan V = P. Mar II = P. Karang IV = P. Jeh VI = P. Jeudin VII = P. Marjinjin Hasil penilaian kawasan lindung mangrove pulau dengan pendekatan nilai sosial NS, terlihat bahwa perbedaan nilai hanya terjadi untuk kriteria pemanfaatan sumber daya ekosistem mangrove secara lestari dimana skor 3 hanya berlaku untuk P. Kultubai Selatan, sedangkan ke-6 pulau lainnya berada pada skor tertinggi yakni nilai 5. Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka jika nilai kriteria kawasan lindung mangrove NKKLM 80, maka kawasan cocok sebagai kawasan lindung pulau, maka seluruh ekosistem mangrove pada kawasan konservasi Aru Tenggara layak untuk ditetapkan menjadi kawasan lindung mangrove Gambar 67. Dengan melihat betapa pentingnya ekosistem mangrove bagi masyarakat kawasan, maka sudah semestinya ekosistem mangrove pada kawasan ini dilindungi keberadaannya. Salah satu bentuk perlindungan adalah dengan menetapkan kawasan sebagai daerah perlindungan, dengan batasan-batasan akses oleh masyarakat, sehingga nantinya tidak berdampak pada kerusakan ekosistem. Gambar 67 Pe ta z on 3 Ekosistem lamun Perairan pesisir di kawasan konservasi Aru Tenggara memiliki 11 jenis lamun, 7 genus dan 2 famili, dengan luas total daerah persebarannya mencapai 73,34 km 2 Tabel 49. Terdapat 4 jenis lamun yang dijumpai pada seluruh pulau yakni Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata dan Thalassia hemprichii , dengan frekwensi kehadiran 100, sedangkan jenis dengan frekwensi kehadirannya sangat rendah ditemukan sebanyak 3 jenis, diantaranya adalah Halophila minor , Halophila spinulosa dan Thalassodendrom ciliatum dengan nilai frekwensi kehadiran relatifnya sebesar 57,14. Ekosistem lamun di pulau- pulau ini umumnya menyebar baik di seluruh pesisir pulau dan memiliki persen tutupan yang tinggi. Lamun di Pulau Enu memiliki luasan yang rendah jika dibandingkan dengan ke-6 pulau lainnya. Namun demikian seluruh ekosistem lamun di pulau-pulau ini memiliki tingkat keragaman jenis dan kerapatan serta persen tutupan yang tinggi. Kehadiran ekosistem ini pada semua pulau mengindikasikan bahwa kawasan pulau-pulau memiliki habitat yang cukup baik untuk hidup dan berkembang jenis-jenis hewan langka seperti penyu dan dugong. Tabel 49 Jensi-jenis lamun yang ditemukan pada setiap pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara Keterangan : 1 = P. Enu 3 = P. K. Selatan 5 = P. Mar 7 = P. Marjinjin 2 = P. Karang 4 = P. Jeh 6 = P. Jeudin Luasan keseluruhan ekosistem lamun pada kawasan konservasi Aru Tenggara adalah sebesar 73,34 km 2 6,43 dari luas total kawasan. Ekosistem lamun bagi masyarakat kawasan memiliki arti yang penting karena pada ekosistem ini terdapat sumber daya yang memiliki nilai ekonomis penting seperti teripang, ikan dan udang serta siput mutiara. Budidaya teripang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar terutama di P. Jeh, Mar, Jeudin, dan Marjinjin, hal yang sama 1 2 3 4 5 6 7 1 Enhalus acoroides        7 100,00 2 Halodule uninervis      5 71,43 3 Halodule pinifolia       6 85,71 4 Halophila ovalis        7 100,00 5 Halophila minor     4 57,14 6 Halophila spinulosa     4 57,14 7 Syringodium isoetifolium       6 85,71 8 Thalassodendrom ciliatum     4 57,14 9 Cymodocea serrulata        7 100,00 10 Cymodocea rotundata       6 85,71 11 Thalassia hemprichii        7 100,00 Total 9 11 8 10 10 5 10 7 Presentase 81,82 100,00 72,73 90,91 90,91 45,45 90,91 11 No Jenis Lamun Pulau Total juga terjadi untuk aktivitas penyelaman siput mutiara. Penangkapan ikan terutama pada ekosistem ini adalah untuk jenis ikan pelagis kecil jenis Dermogenys pusilla julungbalobo , dan menjadi andalan produk olahan masyarakat setempat untuk dipasarkan di kawasan sekitar maupun di kota kabupaten. Untuk kawasan P. Enu dan P. Karang, pemanfaatan sumber daya pada ekosistem ini sangat jarang dilakukan. Biasanya aktivitas penangkapan dilakukan oleh kapal-kapal penangkap dari luar dengan memasang jaring penyu di sekitar ekosistem ini untuk menjerat penyu, sehingga aktivitas pembantaian penyu di kawasan konservasi Aru Tenggara saat ini terkonsentrasi pada Pulau Enu dan Pulau karang. Menurut Adams et al., 2004; Parravicini at al., 2010, konservasi dan pengentasan kemiskinan perlu ditangani bersama-sama untuk mendapatkan hasil terbaik sehingga dapat mencapai kerjasama dan dukungan masyarakat lokal tanpa membahayakan tujuan konservasi. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir tekanan yang tinggi antara kebutuhan untuk menjaga kawasan lindung dan kebutuhan akan pemanfaatan sumber daya perikanan dari masyarakat maupun orang di luar daerah DeFries at al., 2007. Hasil penilaian kawasan lindung lamun berdasarkan nilai ekologi NE, didapatkan bahwa tingkat keanekaragaman, kekhasankeunikan, kelengkapan dan keperwakilan serta keaslian atau keutuhan memiliki nilai yang sama yaitu berada pada kategor tinggi skor 5 sedangkan pada nilai tingkat kerentanan NK adalah sedang skor 3 untuk semua pulau. Hasil penilaian kawasan lindung lamun dengan pendekatan nilai sosial NS, terlihat bahwa perbedaaan nilai hanya terjadi untuk kriteria pemanfaatan sumber daya ekosistem lamun secara lestari dimana skor 5 hanya berlaku untuk P. Enu dan P. Karang Gambar 68. aya, z o n a p er ik an an t an gk ap d i k awasan Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka jika nilai kriteria kawasan lindung lamun NKKLL 80, maka kawasan cocok sebagai kawasan lindung lamun. Berdasarkan nilai keputusan tersebut maka kawasan yang cocok untuk menjadi kawasan lindung lamun adalah P. Enu dan P. Karang, sedangkan ke-5 pulau lainnya tidak dapat dijadikan sebagai kawasan lindung. Untuk itulah maka analisis lanjut harus dilakukan untuk ekosistem lamun pada ke-5 pulau lainnya agar mendapatkan kesesuaian zona peruntukannya. Hasil analisis lanjut untuk kesesuaian ekosistem lamun bagi peruntukan zona wisata ternyata berdasarkan kriteria keputusan kawasan, maka seluruh ekosistem lamun untuk ke-5 pulau yang ada tidak cocok dikembangkan karena nilai yang diperoleh adalah sebesar 70, itu artinya nilai yang diperoleh berada di bawah ambang batas yang telah ditetapkan Gambar 68. Permasalahan tidak dapat ditetapkannya ekosistem lamun pada ke-5 pulau ini ditinjau dari aspek hukum dan legalitas dengan nilai sedang 3, dimana ekosistem ini belum memiliki aturan yang jelas mengatur tentang wisata ekosistem lamun, disamping itu kawasan ini bisanya dikontrakan kepada orang atau kelompok untuk mengusahakan sumber daya yang ada didalamnya. Ditinjau dari aksesibilitas dan sarana serta prasarana yang tersedia belum dapat dikatakan layak untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata. Hal lain yang juga menjadi pertimbangan adalah kriteria permintaan wisata yang masih sangat rendah, karena kunjungan ke kawasan ini hanyalah masyarakat sekitar kawasan untuk tujuan pemanfaatan. Mengingat ke-5 pulau dimaksud tidak dapat ditetapkan sebagai kawasan wisata, maka analisis perlu dilanjutkan kembali untuk mengetahui apakah kawasan dimaksud cocok untuk kegiatan perikanan budidaya dan perikanan tangkap. Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka seluruh ekosistem lamun untuk ke-5 pulau yang ada cocok dikembangkan atau ditetapkan sebagai kawasan budidaya lamun, karena memiliki nilai lebih 80. Namun demikian jenis dan teknologi budidaya yang akan diterapkan haruslah sesuai dengan pengetahuan dan atau pengalaman masyarakat di kawasan. Kegiatan budidaya oleh masyarakat kawasan telah banyak dilakukan terutama untuk budidaya teripang dan rumput laut. Mengingat kawasan ini memiliki kualitas air yang cocok serta ketersediaan bibit untuk kegiatan budidaya teripang dan rumput laut. Masyarakat kawasan memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengembangkan komuditas yang telah dijelaskan di atas, namun demikian pengembangan budidaya untuk kedua lokasi ini tentu memiliki faktor pembatas, baik faktor fisik-kimia laut maupun faktor musim yang cukup menjadi kendala untuk mengembangkan kegiatan budidaya yang dimaksudkan. Berdasarkan RTRW Kabupaten Kepulauan Aru, 2010, kegiatan budidaya yang telah ditetapkan untuk kawasan ini adalah budidaya rumput laut dan teripang. Penelitian lanjut terhadap ekosistem lamun juga perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan usaha dari kegiatan budidaya dimaksud, sehingga upaya tersebut tidak memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Walaupun telah didapatkan hasil analisis kawasan ekosistem lamun untuk ke-5 pulau sebagai kawasan budidaya perikanan, namun demikian karena kegiatan tersebut harus mempertimbangkan faktor-faktor pembatas lainnya, maka analisis lanjut tetap dilakukan untuk mengetahui apakah kawasan dimaksud juga sesuai untuk kegiatan perikanan tangkap. Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka seluruh ekosistem lamun untuk ke-5 pulau yang ada cocok ditetapkan sebagai kawasan perikanan tangkap lamun, karena memiliki nilai lebih besar dari nilai ambang batas yang ditetapkan Gambar 69. Sumber daya perikanan dan kelautan yang dimanfaatkan secara intensif di perairan pesisir dan laut kawasan konservasi Aru Tenggara adalah ikan hiu, dengan tujuan mengambil siripnya yang bernilai ekonomi tinggi. Alat tangkap yang digunakan adalah pancing dan jaring yang dikonstruksi secara khusus untuk menangkap sumber daya perikanan ini. Selain itu penangkapan sumber daya ikan, termasuk ikan kerapu yang bernilai ekonomis tinggi dilakukan oleh masyarakat lokal di perairan kawasan dengan hanya menggunakan peralatan sederhana seperti pancing dan jaring insang. Kegiatan perikanan tangkap lain yang dilakukan, terutama oleh masyarakat lokal di perairan sekitar kawasan adalah menyelam untuk mengambil atau mengumpul biota laut yang ekonomis penting yaitu jenis-jenis teripang, kerang mutiara, siput lola, batu laga, dan udang barong. Salah satu kegiatan pemanfaatan sumber daya laut yang tergolong ilegal dan masih berlangsung di kawasan ini adalah penangkapan penyu. Kegiatan penangkapan dilakukan dengan cara menunggu penyu naik ke pulau untuk bertelur, serta menggunakan jaring insang yang dirancang khusus untuk menangkap penyu. Berdasarkan peta batimetri, maka kawasan konservasi Aru Tenggara memiliki variasi kedalaman yang berbeda-beda antara 0 - 22 meter, dimana kegiatan penangkapan berlangsung pada seluruh tingkatan kedalaman dimaksud dengan teknologi yang tentunya berbeda pula. Jika dicermati dari hasil analisis berdasarkan tingkat kedalaman, terlihat bahwa potensi terbesar ditemukan pada kedalaman 16-20 meter dengan total potensi sumber sebesar 316.542.550 individu 22.969 ton. Distribusi ikan pelagis kawasan konservasi Aru Tenggara, menyebar merata diseluruh perairan kawasan, namun demikian potensi terbesar terkonsentrasi pada bagian Utara dan Timur Pulau Kultubai Selatan dan bagian Selatan dan Barat Pulau Enu serta bagian Timur dan Barat Pulau Mar. Ikan-ikan demersal yang umumnya tertangkap di kawasan konservasi Aru Tenggara berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan masyarakat kawasan antara lain bubara Caranx sp; Carangoides sp, kerapu Epinephelus sp, baronang Siganus sp, kakap Lutjanus sp, Sikuda Lethrinus sp, biji nangka Upeneus tragula, bawal Parastromateus niger, gulama Argyrosomus amoyensis , sebelah Synoglosus spp, beloso Saulida sp, pari Dasyatis sp, lencam Lethrinus sp, belanak Mugil sp, raja bau Plectorhynchus sp dan sebagainya. Umumnya ikan-ikan demersal ini tertangkap dengan pancing, jaring dasar, bubu, dan panah. Kawasan yang menjadi target jenis-jenis ikan demersal ini adalah kawasan perairan ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Potensi sumber daya ikan demersal pada kedalaman 0-22 meter adalah sebesar 982.027.880 individu atau 241.522 ton. Potensi ikan demersal berdasarkan hasil peta distribusi ikan demersal dari hasil analisis data Cruise Biosonic, memperlihatkan bahwa konsentrasi ikan demersal tertinggi ditemukan pada seluruh perairan Pulau Karang, Selatan Pulau Enu dan sebagian pada perairan bagian Selatan P. Jeh dan Jeudin. Ar u T en ggar a 4 Ekosistem terumbu karang Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling produktif dan beragam secara hayati di Bumi Odum, 1955; Connell, 1978. Ekosistem ini menyediakan sejumlah barang dan jasa seperti makanan laut, kemungkinan rekreasi, perlindungan pantai serta manfaat estetika dan budaya Finish et al, 1996; Peterson dan Lubchenco, 1997. Hampir sepertiga dari spesies laut dunia ikan ditemukan di terumbu karang McAllister, 1991 dan hasil tangkapan dari daerah terumbu karang menghasilkan sekitar 10 sumber daya ikan yang dikonsumsi oleh manusia Smith, 1978. Sebagai contoh, Jennings dan Polunin 1996 menghitung bahwa 1 km 2 terumbu karang yang tumbuh secara aktif dapat mendukung lebih dari 300 orang jika tidak ada sumber protein lain yang tersedia. Ekosistem terumbu karang menyebar di seluruh pesisir ke-7 pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara dengan total luasan sebesar 28,92 km 2 2,54 dari total luas kawasan. Ekosistem terumbu karang di kawasan ini memiliki tingkat keragaman jenis yang tinggi serta didukung dengan persen tutupan karang hidup yang masuk dalam kategori baik dan sangat baik. Karena itulah maka kawasan ini dilimpahi berbagai sumber daya ikan karang dengan keragaman serta potensi yang tinggi pula. Selain ikan karang potensi lain yang juga ditemukan di ekosistem ini meliputi teripang, kerang-kerangan, udang, lola Trochus sp, abalone , bia mata bulan Turbo sp dan sumber daya yang dilindungi seperti kima Tridacna sp dan penyu. Aktivitas pemanfaatan oleh masyarakat pada ekosistem ini umumnya masih bersifat tradisional yakni penangkapan dengan pancing, bubu, jaring atau menyelam. Namun demikian aktivitas ini bukan berarti tidak merusak ekosistem yang ada, karena beberapa aktivitas seperti bubu yang dapat merusak terumbu karang juga kegiatan menyelam untuk mengambil kima Tridacna sp. Aktivitas penangkapan yang berlebihan pada ekosistem terumbu karang terkait dengan sumber daya ikan adalah masalah utama kerusakan ekosistem ini Roberts, 1995; Jennings dan Polunin, 1996; Jackson, 1997. Pemanfaatan lain yang sangat merusak ekosistem terumbu karang adalah pengambilan karang untuk pembangunan. Aktivitas pengambilan karang bukan hanya terjadi di kawasan konservasi Aru Tenggara, namun hampir terjadi di seluruh kawasan di Kabupaten Kepulauan Aru. Hal ini dikarenakan potensi batu di Kepulauan Aru sangat terbatas, sehingga kebanyakan pembangunan yang ada di Kabupaten ini diperoleh dari hasil memecahkan batu karang yang ada di laut. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Dulvy et al., 1995, dimana penggunaan untuk bahan bangunan dan produksi kapur, serta semen. Di Maladewa, karang blok, pecahan karang dan pasir berfungsi sebagai bahan bangunan utama, sehingga sekitar 20.000 m 3 terumbu karang ditambang setiap tahun untuk keperluan dimaksud Cesar, 1996. Kapur juga digunakan sebagai pengatur pH pada lahan pertanian Cesar, 1996, dan patahan karang juga dikumpulkan dan dihancurkan untuk digunakan sebagai pupuk Ku ¨ hlmann, 1988. Memperhatikan realitas pemanfaatan karang sebagai bahan bangunan, maka berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah setempat untuk mengambil batu dari Kabupaten Maluku Tenggara, sedangkan usulan lain adalah dengan membuat konstruksi bangunan dengan menggunakan bahan dasar kayu, karena potensi kayu di Kabupaten ini sangat tersedia, apalagi konstruksi kayu memberikan daya tahan terhadap gangguan gempa. Kampanye tentang pelestarian eksosistem terumbu karang harus gencar digalakan baik kepada pemerintah setempat maupun masyarakat kawasan konservasi Aru Tenggara, mengingat saat ini setelah terjadi pemekaran Kecamatan, maka Desa Longgar dan Apara dijadikan sebagai pusat Kecamatan. Dengan demikian infrastruktur pendukung kawasan akan dibangun dan hal ini membutuhkan banyak sekali bahan dasar batu untuk kepentingan pembangunan infrastruktur Kecamatan yang akan dibangun. Hasil informasi yang sempat diperoleh dari masyarakat bahwa telah terjadi pengambilan batu karang di P. Jeh, Mar dan Jeudin untuk pembangunan infrastruktur Kecamatan, hal ini pertanda akan terjadi kerusakan yang cukup tinggi dan berdampak luas terhadap keberadaan ekosistem dan sumber daya yang ada didalamnya. Hasil penilaian kawasan lindung terumbu karang berdasarkan nilai ekologi NE, didapatkan bahwa keanekaragaman, kekhasankeunikan, kelengkapan dan keperwakilan memiliki nilai yang sama yaitu berada pada kategor tinggi skor 5, sedangkan kriteria keaslian atau keutuhan dan tingkat kerentanan NK memiliki nilai tinggi skor 5 untuk P. Enu dan P. Karang, nilai sedang skor 3 untuk ke-5 pulau lainnya Tabel 50. Tabel 50 Hasil analisis zonasi ekosistem terumbu karang berdasarkan kriteria kawasan lindung. Nilai Kriteria I II III IV V VI VII NE Keanekaragaman 5 5 5 5 5 5 5 Kekhasankeunikan 5 5 5 5 5 5 5 Kelangkaan 5 5 5 5 5 5 5 Keperwakilan 5 5 5 5 5 5 5 KeaslianKeutuhan 5 5 5 5 5 5 5 NK Kerentanan 5 5 3 3 3 3 3 NS Perlindungan terhadap ekosistem dan spesies 3 3 3 3 3 3 3 Pelestarian terhadap ekosistem dan spesies 3 3 3 3 3 3 3 Pemanfaatan sumber daya ekosistem secara lestari 5 5 3 3 3 3 3 Total 41 41 37 37 37 37 37 Kawasan Lindung 91 91 82 82 82 82 82 Keterangan : I = P. Enu III = P. Kultubai Selatan V = P. Mar II = P. Karang IV = P. Jeh VI = P. Jeudin VII = P. Marjinjin Hasil penilaian kawasan lindung terumbu karang dengan pendekatan nilai sosial NS, terlihat bahwa pada kriteria perlindungan terhadap ekosistem dan spesies dan pelestarian terhadap ekosistem dan spesies memiliki nilai sedang skor 3, sedangkan kriteria pemanfaatan sumberdaya ekosistem secara lestari, P. Enu dan P. Karang memiliki nilai tinggi skor 5, sedangkan pulau lainnya memiliki nilai sedang skor 3. Perbedaaan nilai ini terjadi karena tingkat pemanfaatan eksosistem terumbu karang banyak terjadi di-5 pulau tersebut karena akses yang dekat dengan eksositem. Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka jika nilai kriteria kawasan lindung terumbu karang NKKLTK 80, maka kawasan cocok sebagai kawasan lindung terumbu karang, dengan demikian seluruh eksositem terumbu karang yang menyebar pada pesisir ke-7 pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara cocok untuk dijadikan kawasan lindung Gambar 70. vasi Ar u T en ggar a 5 Ekosistem perairan terbuka Ekosistem perairan terbuka yang dimaksudkan adalah perairan setelah terlewatinya ekosistem terumbu karang dan atau eksositem lamun. Secara keseluruhan ekosistem perairan terbuka memiliki luasan yang lebih besar dari ke-4 ekosistem yang ditetapkan di dalam kriteria penulisan ini. Pada eksositem ini dominansi aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat kawasan hanya pada kegiatan penangkapan ikan dengan teknologi tradisional seperti jaring insang pelagis, pancing, panah serta penyelaman teripang dan siput mutiara. Kegiatan aktivitas dengan teknologi penangkapan yang moderen dilakukan oleh kapal-kapal trwal yang sering memasuki kawasan untuk melakukan penangkapan. Hasil penilaian kawasan lindung ekosistem perairan terbuka berdasarkan nilai ekologi NE, didapatkan bahwa tingkat keanekaragaman, kekhasan keunikan, kelengkapan dan keperwakilan, keaslian serta tingkat kerentanan NK memiliki nilai yang sama yaitu berada pada kategori sedang skor 3. Nilai sosial NS memiliki nilai sedang skor 3 pada kriteria perlindungan terhadap ekosistem dan spesies serta pelestarian terhadap ekosistem dan spesies, sedangkan miliki nilai rendah skor 1 pada kriteria pemanfaatan sumberdaya Tabel 51. Tabel 51 Hasil analisis zonasi ekosistem perairan terbuka Berdasarkan Kriteria Kawasan Lindung. Nilai Kriteria I II III IV V VI VII NE Keanekaragaman 5 5 5 5 5 5 5 Kekhasankeunikan 3 3 3 3 3 3 3 Kelangkaan 3 3 3 3 3 3 3 Keperwakilan 4 4 4 4 4 4 4 KeaslianKeutuhan 3 3 3 3 3 3 3 NK Kerentanan 3 3 5 5 5 5 5 NS Perlindungan terhadap ekosistem dan spesies 3 3 3 3 3 3 3 Pelestarian terhadap ekosistem dan spesies 3 3 3 3 3 3 3 Pemanfaatan sumberdaya ekosistem pulau secara lestari 1 1 1 1 1 1 1 Total 30 30 32 32 32 32 32 Kawasan Lindung 61 61 66 66 66 66 66 Keterangan : I = P. Enu III = P. Kultubai Selatan V = P. Mar II = P. Karang IV = P. Jeh VI = P. Jeudin VII = P. Marjinjin Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka jika nilai kriteria kawasan lindung perairan terbuka NKKLPT 80, maka kawasan cocok sebagai kawasan lindung perairan terbuka, dengan demikian seluruh eksositem perairan terbuka di kawasan konservasi Aru Tenggara tidak cocok untuk dijadikan kawasan lindung perairan terbuka. Olehnya itu maka analisis lanjutan perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan pada ekosistem perairan terbuka. Hasil analisis lanjut dilakukan dengan menentukan apakah ekosistem perairan terbuka cocok dikembangkan untuk kegiatan wisata. Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka jika nilai kriteria kawasan wisata perairan terbuka NKKWPT 80, maka kawasan cocok sebagai kawasan wisata perairan terbuka. Dengan demikian berdasarkan kriteria keputusan kawasan, maka seluruh ekosistem perairan terbuka tidak cocok dikembangkan atau ditetapkan sebagai kawasan wisata perairan terbuka, karena memiliki nilai 80 Tabel 52. Tabel 52 Hasil analisis zonasi ekosistem perairan terbuka berdasarkan kriteria kawasan wisata. No. Kriteria I II III IV V VI VII 1 Hukum dan Legalitas 3 3 3 3 3 3 3 2 Karakteristik Kawasan 3 3 3 3 3 3 3 3 Aksesibilitassarana-prasarana 3 3 3 3 3 3 3 4 Permintaan Wisata 1 1 1 1 1 1 1 Total 10 10 10 10 10 10 10 Kawasan Wisata 50 50 50 50 50 50 50 Keterangan : I = P. Enu III = P. Kultubai Selatan V = P. Mar II = P. Karang IV = P. Jeh VI = P. Jeudin VII = P. Marjinjin Kondisi ekosistem perairan terbuka di kawasan konservasi Aru Tenggara selalu mengalami gangguan gelombang besar baik pada musim timur maupun musim barat dan dalam Rencana Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil Kabupaten Kepulauan Aru telah menetapkan beberapa titik di kawasan dimaksud sebagai daerah rawan bencana gelombang musim barat, gelombang musim timur dan arus pusar, sehingga sangat berpengaruh terhadap kegiatan wisata Gambar 71. Gambar 71 Pe Karena seluruh ekosistem perairan terbuka tidak cocok dikembangkan untuk wisata maka analisis lanjut perlu dilakukan agar dapat menentukan apakah perairan terbuka cocok dikembangkan untuk zona kegiatan budidaya perairan atau zona kegiatan perikanan tangkap. Dari hasil analisis lanjut memperlihatkan bahwa kisaran nilai untuk zona budidaya pada ekosistem perairan terbuka berada pada 42 dan 72, sehingga tidak mencapai ambang batas yang ditentukan dalam penilaian kriteria keputusan untuk ditetapkannya kawasan ini sebagai zona budidaya Tabel 53. Tabel 53 Hasil analisis zonasi ekosistem perairan terbuka berdasarkan kriteria kawasan budidaya. No. Kriteria I II III IV V VI VII 1 Ekologi 3 3 3 3 3 3 3 2 Sosial Ekonomi 3 3 5 5 5 5 5 3 Kemanan 3 3 3 3 3 3 3 Total 9 9 11 11 11 11 11 Kawasan Budidaya 60 60 73 73 73 73 73 Keterangan : I = P. Enu III = P. Kultubai Selatan V = P. Mar II = P. Karang IV = P. Jeh VI = P. Jeudin VII = P. Marjinjin Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka jika nilai kriteria kawasan perikanan budidaya di ekosistem perairan terbuka NKKPbPT 80, maka kawasan cocok sebagai kawasan budidaya perairan terbuka, dengan demikian karena seluruh nilai berada di bahwa nilai keputusan maka eksositem perairan terbuka di kawasan konservasi Aru Tenggara tidak cocok untuk dijadikan kawasan budidaya perairan terbuka. Olehnya itu maka lanjutan analisis perlu dilakukan untuk mengetahui kesesuaian pemanfaatan ekosistem perairan terbuka terhadap kegiatan perikanan tangkap. Potensi perikanan pelagis maupun demersal di perairan Aru Tenggara tergolong cukup baik, karena dari hasil kajian pada bab-4 penulisan ini menunjukkan bahwa potensi ikan pelagis sebesar 788.373.980 individu atau setara dengan 57.818 ton sedangkan ikan demersal sebesar 982.027.880 individu atau setara dengan 241.522 ton. Itulah sebabnya kawasan Aru Tenggara ditetapkan sebagai kawasan sentra produksi perikanan tangkap Gambar 72. Gambar 72 Pe ta Kaw asan Hasil analisis zonasi ekosistem perairan terbuka berdasarkan kriteria perikanan tangkap maka terlihat jelas bahwa seluruh kawasan perairan di kawasan konservasi Aru Tenggara layak untuk dijadikan sebagai daerah penangkapan baik untuk ikan pelagis maupun ikan demersal karena nilai yang diperoleh melewati ambang batas yakni berkisar antara 82-91 Tabel 54. Tabel 54 Hasil analisis zonasi ekosistem perairan terbuka berdasarkan kriteria perikanan tangkap. No. Kriteria I II III IV V VI VII 1 Mempunyai selektifitas yang tinggi 3 3 5 5 5 5 5 2 Alat tangkap yang digunakan tidak merusak habitat 3 3 5 5 5 5 5 3 Tidak membahayakan nelayan penangkap ikan 5 5 5 5 5 5 5 4 Menghasilkan ikan yang bermutu baik 3 3 3 3 3 3 3 5 Produk tidak membahayakan kesehatan konsumen 5 5 5 5 5 5 5 6 Hasil tangkapan yang terbuang minimum 5 5 3 3 3 3 3 7 Alat tangkap yang digunakan harus memberikan dampak minimum terhadap keanekaragaman sumberdaya hayati biodiversity 5 5 5 5 5 5 5 8 Alat tangkap tidak menangkap spesies yang dilindungi 3 3 5 5 5 5 5 9 Teknologi yang digunakan dapat diterima secara sosial 5 5 5 5 5 5 5 Total 37 37 41 41 41 41 41 Kawasan Perikanan Tangkap 82 82 91 91 91 91 91 Keterangan : I = P. Enu III = P. Kultubai Selatan V = P. Mar II = P. Karang IV = P. Jeh VI = P. Jeudin VII = P. Marjinjin Nilai terndah 82 adalah kawasan perairan dekat Pulau Enu dan Pulau Karang, hal ini disebabkan karena aktivitas penangkapan yang terjadi di dua pulau didominasi oleh kegiatan tangkap oleh kapal-kapal penangkap dari luar dengan menggunakan jaring trawl maupun jaring insang dasar dengan tujuan penangkapan selain udang juga untuk menangkap penyu sebagi target buruan mereka. Perairan ke-dua pulau ini jarang diakses oleh masyarakat kawasan karena keterbatasan sarana tangkap yakni perahu tanpa motor dan atau dengan motor dengan mesin ketinting, sehingga tidak mampu menjangkau lebih jauh menuju perairan dekat Pulau Enu dan P. Karang, terutama pada saat musim timur dengan kondisi perairan yang sangat bergelombang. Berdasarkan kriteria keputusan analisis zonasi yang digunakan, maka jika nilai kriteria kawasan perikanan tangkap di ekosistem perairan terbuka NKKPtPT 80, maka kawasan cocok sebagai kawasan perikanan tangkap, dengan demikian karena seluruh nilai berada di atas nilai keputusan maka eksositem perairan terbuka di kawasan konservasi Aru Tenggara cocok untuk dijadikan kawasan perikanan tangkap perairan terbuka Gambar 73. Walaupun seluruh perairan berdasarkan kriteria yang ditetapkan cocok untuk kegiatan perikanan tangkap, namun demikian berbagai pertimbangan perlu ditetapkan untuk menghindari aktivtas pemanfaatan yang dapat merusak sumberdaya maupun ekosistem kawasan. Olehnya itu maka penentuan zona perikanan tangkap perlu ditetapkan. Ada beberapa hal yang menjadi petimbangan dalam penetapan zona perikan tangkap adalah : 1 Mengingat seluruh ekosistem pesisir di Pulau Enu dan Pulau karang ditetapkan sebagai kawasan lindung, maka perlu pula menetapkan sebagian dari zona perairan terbuka pada ke-dua pulau ini menjadi kawasan lindung. 2 Mengingat hasil uji kriteria pada ekosisten perairan terbuka dimana beberapa kegiatan penangkapan di wilayah ini lebih banyak dimanfaatkan oleh bukan masyarakat kawasan dengan alat tangkap trawl maupun jaring insang dasar untuk tujuan penangkapan penyu, maka wilayah penangkapan tradisional berdasarkan pembagian jalur tangkap 1-2 mil untuk masyarakat ditetapkan sebagai zona lindung perairan terbuka pada perairan ke-dua pulau. 3 Berdasarkan hasil wawancara serta pengamatan di kedua pulau, maka saat ini potensi terbesar penyu berada di sekitar perairan ke-dua pulau sehingga paling tidak pulau ini beserta perairan sejauh 2 mil laut harus diproteksi dari berbagai kegiatan pemanfaatan. 4 Dengan berlandaskan kepada status Pulau Enu dan Pulau Karang sebagai pulau terluar perbatasan, serta menjadi pulau sejarah bagi seluruh masyarakat Kepulauan Aru, maka sudah selayaknya keberadaan kedua pulau ini dijaga dan dihindari dari kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya yang dapat secara langsung maupun tidak langsung mengganggu dan atau merusak sumberdaya serta ekosistem. airan te rb u k a

8.3.3 Penentuan zona

Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor per.30Men2010 Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan, Pasal 9 ayat 1 menetapkan zonasi dalam kawasan konservasi perairan terdiri dari: a Zona Inti; b Zona Perikanan Berkelanjutan; c Zona Pemanfaatan; danatau d Zona Lainnya. Zona kawasan konservasi perairan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilakukan penataan berdasarkan fungsi dengan mempertimbangkan potensi sumber daya, daya dukung, dan proses-proses ekologis. Zona Inti sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf a harus dimiliki setiap kawasan konservasi perairan dengan luasan paling sedikit 2 dua persen dari luas kawasan. Selanjutnya dikatakan bahwa Setiap kawasan konservasi perairan dapat memiliki satu atau lebih zona sesuai dengan luasan karakter fisik, bio-ekologis, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya. 1 Zona inti Zona Inti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 huruf a ditetapkan dengan kriteria: a Merupakan daerah pemijahan, pengasuhan danatau alur ruaya ikan; b Merupakan habitat biota perairan tertentu yang prioritas dan khasendemik, langka danatau kharismatik; c Mempunyai keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya; d Mempunyai ciri khas ekosistem alami, dan mewakili keberadaan biota tertentu yang masih asli; e Mempunyai kondisi perairan yang relatif masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; f Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelangsungan hidup jenis- jenis ikan tertentu untuk menunjang pengelolaan perikanan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses bio-ekologis secara alami; g Mempunyai ciri khas sebagai sumber plasma nutfah bagi Kawasan Konservasi Perairan. Berdasarkan hasil keputusan penetapan zona pada seluruh ekosistem baik ekosistem pulau, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang dan ekosistem perairan terbuka, maka telah ditemukan peruntukan sesuai dengan keberadaannya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan pasal 9 ayat 1 point a, maka tidak seluruh kawasan ekosistem yang ditetapkan memenuhi syarat sebagai kawasan lindung dapat ditetapkan sebagai zona inti. dengan demikian kawasan yang ditetapkan sebagai zona inti Gambar 74. a Zona inti ekosistem pulau; yakni Pulau Enu dan Pulau Karang di kawasan konservasi Aru Tenggara dapat dijadikan sebagai zona inti dengan luas total 17, 68 km 2 atau 1.768,39 ha. b Zona inti ekosistem mangrove; yakni seluruh ekosistem hutan mangrove yang ada di Pulau Enu dan Pulau Karang, ditetapkan sebagai zona inti, dengan total luas mangrove sebesar 12,11 km 2 atau 1.210,89 ha. c Zona inti ekosistem lamun; yakni seluruh ekosistem lamun yang terdapat di Pulau Enu dan Pulau Karang, ditetapkan sebagai zona inti dengan luas total 3,66 km 2 atau 365, 83 ha. d Zona Inti ekosistem terumbu karang; yakni seluruh ekosistem terumbu karang yang terdapat di Pulau Enu dan Pulau Karang, ditetapkan sebagai zona inti, dengan total luas ekosistem terumbu karang sebesar 8,36 km 2 atau 835,65 ha. e Zona inti ekosistem perairan terbuka; yakni zona yang ditetapkan secara khusus bagi Pulau Enu dan Pulau Karang sejauh 2 mil sebagai zona inti, dengan luas total perairan terbuka untuk ke dua pulau sebesar 167,59 km 2 atau 16.759,25 ha. f Berdasarkan penetapan zona inti point 1 sampai dengan point 5, maka total luas perairan zona inti sebesar 209, 40 km 2 atau 20.940,01 ha. Dengan demikian berdasarkan ketentuan Zona Inti sebagaimana dimaksud pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor per.30Men2010, Tentang Rencana Pengelolaan dan Zonasi Kawasan Konservasi Perairan pada ayat 1 huruf a, harus dimiliki setiap kawasan konservasi perairan dengan luasan paling sedikit 2 dua persen dari luas kawasan, maka kawasan konservasi Aru Tenggara dengan ditetapkannya zona inti yang ada, maka luas total zona inti telah mencapai 18,37 dari total luas kawasan konservasi Aru Tenggara yang luasnya mencapai 114.000 ha. Mengingat betapa pentingnya zona inti sebagai kawasan yang akan memberikan suport sistem kepada kawasan lainnya, maka perlu mendapatkan perhatian yang serius dari badan pengelola maupun masyarakat kawasan, terutama masalah pengawasan terhadap pemanfaatan di kawasan zona inti. Aturan tentang jenis kegiatan apa saja dan apa yang harus dilakukan pada zona inti dengan tingkatan dan skala perioritas 5 tahun ke depan akan dijebarkan secara rinci dalam tabel pernyataan maksud pengelolaan pada pokok bahasan berikutnya yakni model pengelolaan zonasi yang mengkombinasikan zonasi masyarakat dan zonasi hasil analisis kriteria berbasis ekosistem. 2 Zona perikanan berkelanjutan Zona Perikanan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 huruf b, ditetapkan dengan kriteria sebagai berikut: a Memiliki nilai konservasi, tetapi dapat bertoleransi dengan pemanfaatan budidaya ramah lingkungan dan penangkapan ikan dengan alat dan cara yang ramah lingkungan; b Mempunyai karakteristik ekosistem yang memungkinkan untuk berbagai pemanfaatan ramah lingkungan dan mendukung perikanan berkelanjutan; c Mempunyai keanekaragaman jenis biota perairan beserta ekosistemnya; d Mempunyai kondisi perairan yang relatif masih baik untuk mendukung kegiatan multifungsi dengan tidak merusak ekosistem aslinya; e Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin pengelolaan budidaya ramah lingkungan, perikanan tangkap berkelanjutan, dan kegiatan sosial ekonomi dan budaya masyarakat; dan f Mempunyai karakteristik potensi dan keterwakilan biota perairan bernilai ekonomis penting. G ambar 74 Pe Berdasarkan hasil keputusan penetapan zona pada seluruh ekosistem baik ekosistem pulau, ekosistem mangrove, ekosistem lamun, ekosistem terumbu karang dan ekosistem perairan terbuka, maka telah ditemukan peruntukan sesuai dengan keberadaannya berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Berdasarkan pasal 9 ayat 1 point b, maka zona yang cocok untuk perikanan berkelanjutan adalah zona pada ekosistem lamun khusus 5 lima pulau yakni Pulau Jeh, Pulau