Peringkat pengelolaan berbasis indeks efektivitas

menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi Aru Tenggara sejak ditetapkan pada bulan Maret 1991 dengan status Cagar Alam Laut CAL, hingga pada tahu 2010 dimana penelitian ini dilakukan, sama sekali dibiarkan terlantar atau tidak terkelola dengan baik sebagaimana lasimnya pengelolaan suatu kawasan konservasi sesuai dengan amanat Undang-undang. Kawasan konservasi Aru Tenggara secara administratif terletak di Indonesia Bagian Timur, tepatnya Provinsi Maluku, Kabupaten paling Timur yakni Kepulauan Aru, dan di bagian Timur Kecamatan Aru Selatan. Karena seluruhnya adalah bagian Timur yang berbatasan langsung dengan Australia, menunjukkan bahwa kawasan ini adalah kawasan konservasi yang sangat jauh, sehingga mudah terlupakan, sulit untuk diingat dalam berbagai implementasi program atau kegiatan dan mudah untuk diucapkan dan dituliskan di atas kertas laporan perkembangan kawasan setiap tahun oleh instansi pemerintah baik pusat, provinsi maupun kabupaten. Sebagai suatu kawasan yang memiliki nilai strategis yakni merupakan salah satu kawasan konservasi dengan luasan yang cukup besar yaitu 114.000 ha; terdiri atas 3 pulau terluar perbatasan dengan Australia, merupakan kawasan yang memberikan sumbangan produktivitas primer bagi daerah penangkapan udang dan ikan di WPP laut Arafura, seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah demi dan untuk pengembangan kawasan ini. Namun yang terjadi justru sebaliknya, sehingga praktek-praktek ilegal oleh kapal ikan maupun masyarakat sekitar terhadap sumber daya yang dilindungi kian marak dan cenderung mengalami peningkatan. Olehnya itu diharapkan semua komponen pengguna kawasan termasuk pemerintah dan masyarakat kawasan, berupaya untuk tetap menjaga kelestarian kawasan. 7.3.5 Dampak konservasi Selain penghitungan Tingkat Pengelolaan di atas, Kartu skor juga memungkinkan untuk menghitung peringkat Efek Konservasi EK. Peringkat ini bertujuan untuk memberi informasi kepada badan pengelola KKL tentang dampak positif konservasi terukur dari KKL yang dikelolanya. EK hanya terfokus pada pertanyaan-pertanyaan yang secara spesifik terhubung dengan hasil-hasil kegiatan terkait konservasi yang terukur pada suatu KKL, dan memberikan skor peringkat yang sangat berguna bagi para pengelola KKL untuk mengkaji kerja-kerja yang dilaksanakan oleh badan pengelola, proses prioritisasi, dan keberhasilan akhir. Berdasarkan hasil analisis ternyata kawasan konservasi Aru Tenggara baru berada pada tingkat pengelolaan 1, yang mengindikasikan bahwa kawasan ini baru dimulai. Suatu kawasan yang baru dimulai biasanya kegiatan-kegiatan yang dilakukan berkisar pada kegiatan implementasi, sementara efek konservasi akan terjadi jika hasil kegiatan implementasi telah mencapai hasil dan keluaran sehingga dapat memberikan dampak positif bagi lingkungan maupun masyarakat kawasan. Efektivitas pengelolaan di kawasan konservasi jika dilihat dari elemen evaluasi menurut Hockings dan Dudley, 2006 dalam Dewantama M.I., et al, 2007, yakni sebuah pengelolaan kawasan konservasi dikatakan efektif atau tidak, dapat diketahui pada elemen keluaran output dan capaian outcome dari proses pengelolaan. Ketika keluaran dan capaian sesuai dengan perencanaan untuk mencapai tujuan konservasi maka pengelolaan kolaboratif dapat dikatakan efektif. Berdasarkan pandangan tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengelolaan kawasan konservasi Aru Tenggara belum dilakukan secara efektif dan masih jauh dari harapan untuk pencapaian tujuan konservasi itu sendiri. Rentang waktu penetapan kawasan konservasi Aru Tenggara pada tahun 1991, merupakan suatu akumulasi waktu yang boleh dikata cukup lama dan jika proses implementasi pengelolaan berjalan dengan baik, maka paling tidak telah menunjukkan bukti dan dampak yang signifikan bagi kawasan baik terhadap sumber daya dan ekosistem maupun bagi masyarakat kawasan. Ternyata upaya konservasi yang dilakukan selama ini adalah suatu upaya konservasi di atas kertas sehingga tidak ada suatu proses pembelajaran ataupun jaminan kepercayaan bagi masyarakat untuk betul-betul serius menjaga dan melestarikan sumber daya kawasan, justru sebaliknya menimbulkan rasa curiga akan pembatasan hak-hak kepemilikan trandisional yang selama ini mereka kelola dan manfaatkan bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Sejalan dengan hal tersebut berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat setempat menyatakan bahwa sebelum kawasan konservasi ditetapkan, belum ada nelayan dari luar yang datang dan menangkap penyu di kawasan ini, justru setelah penetapan kawasan sebagai daerah perlindungan penyu, maka mulailah kegiatan perburuan penyu terjadi. Itu artinya dengan menetapkan kawasan sebagai perlindungan penyu memberikan informasi kepada para pemburu penyu tentang keberadaan atau potensi penyu di wilayah tersebut, sehingga nelayan-nelayan pemburu penyu itu berupaya untuk melakukan kegiatan pencurian dikawasan. Hasil evaluasi dari WWF yang memperkirakan ± 75 dari kawasan perlindungan laut mengalami pengelolaan yang terbatas atau tidak ada pengelolaan sama sekali WWF, 2000. Hasil penelitian ini benar-benar terjadi di kawasan konservasi Aru Tenggara, dimana dengan melihat realitas kegiatan yang ada di kawasan menunjukkan bahwa pengelolaan kawasan konservasi Aru Tenggara sama sekali tidak dilaksanakan. Itulah sebabnya tidak heran jika hasil evaluasi menunjukkan bahwa kawasan konservasi ini baru mencapai tingkat 1 baru dimulai, yang artinya pemerintah telah melakukan pembiaran kawasan ini selama 19 tahun hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa telah ada 114.000 hektar kawasan perlindungan bagi penyu dan ekosistemnya tanpa ada aksi-aksi pengelolaan yang nyata. Upaya untuk pengembalian fungsi dan peran pengelolaan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2009, merupakan langkah baru yang harus disikapi dengan sungguh-sungguh agar tidak memberikan persepsi yang sama kepada masyarakat bahwa kawasan ini ditetapkan hanya sebagai slogan tetapi benar-benar untuk suatu tujuan perlindungan dan pengelolaan sumber daya dan eksositem beserta masyarakat kawasan. Untuk itulah maka hasil evaluasi efektivitas pengelolaan ini hendaknya menjadi acuan bagi badan pengelola untuk merancang strategi, program maupun kegiatan pengelolaan terhadap perlindungan kawasan. Pomeroy et al. 2004., menyatakan bahwa tujuan dari evaluasi efektivitas pengelolaan adalah suatu upaya manajemen untuk mencapai tujuan dan sasaran dari kawasan perlindungan. Hal ini dimaksudkan untuk memungkinkan perbaikan manajemen perlindungan kawasan melalui pembelajaran, adaptasi, dan diagnosa masalah spesifik yang mempengaruhi baik tujuan maupun sasaran yang telah dicapai. Selain itu juga memberikan jalan untuk menunjukkan akuntabilitas dari pengelolaan sebuah Kawasan Perlindungan Laut KPL. Selanjutnya dikatakan bahwa melakukan evaluasi pengelolaan akan menawarkan jalan yang terstruktur untuk mempelajari keberhasilan dan kegagalan pengelolaan, serta membantu untuk mengerti bagaimana dan mengapa latihan-latihan dilakukan dan diperbaiki selalu sepanjang waktu. Selain itu evaluasi pengelolaan juga untuk identifikasi langkah dan aktivitas yang jelas, membangun dukungan peraturan baru atau menegakkan peraturan lama, menata agenda konservasi dan skala waktu yang realistis, serta membuka peluang untuk mengikat para pemakai kawasan dalam proses pembuatan keputusan. Evaluasi tingkat efektivitas pengelolaan juga merupakan suatu proses monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan kawasan Pomeroy et al. 2004. Monitoring yang dilakukan di dalam dan di sekitar DPL memiliki tiga dasar manfaat yang saling terkait, yakni 1 pemahaman yang lebih baik tentang DPL yakni bagaimana DPL dirancang dan memberikan biaya-manfaat secara ekologi dan sosial ekonomi, 2 pengetahuan yang lebih dalam tentang ekosistem laut dan aktivitas manusia yang dapat mempengaruhi ekositem, dan 3 mengembangkan dan menerapkan metode pengelolaan kelautan yang efektif dalam mencapai tujuan tertentu. Monitoring merupakan komponen integral dari pengelolaan kawasan laut, dengan monitoring dapat memberikan data yang diperlukan untuk mengevaluasi perubahan dalam ekosistem laut sebagai akibat dari pelaksanaan program konservasi, terutama daerah dikategorikan sebagai daerah perlindungan laut. Evaluasi sangat penting dilakukan untuk mengetahui tingkat efektivitas, meningkatkan desain, dan memberikan informasi tentang kemajuan kepada para pemangku kepentingan. Monitoring didasarkan pada evaluasi atribut spesifik ekosistem secara periodik dan kondisi sosial ekonomi saat ini atau relevan pada DPL Houde et al. 2001. Monitoring dan evaluasi merupakan suatu proses untuk menentukan relevansi, efisiensi, efektivitas dan dampak program kegiatan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai secara sistematik dan obyektif. Evaluasi ini bertujuan untuk menerangkan “apakah” output, efek maupun dampak programkegiatan tercapai atau tidak. Kegiatan utama evaluasi adalah untuk melihat secara menyeluruh pelaksanaan dan dampak dari suatu programkegiatan sebagai landasan bagi penyusunan kebijaksanaan dan rancangan programkegiatan yang akan datang DKP 2009. Hal yang sama dinyatakan oleh Adrianto 2007, tujuan dari evaluasi adalah analisis mendalam terhadap hasil dan keluaran dari program serta menentukan tingkat keberhasilan pencapaian tujuan program, hasil dari evaluasi ini digunakan untuk perencanaan dan pengelolaan kawasan ke depan. 7.4 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis tingkat efektivitas dan dampak pengelolaan, maka dapatlah disimpulkan sebagai berikut: 1. Pengelolaan kawasan konservasi Aru Tenggara sejak tahun 1991 dengan status CAL Aru Tenggara hingga perubahan status menjadi Suaka Alam Perairan SAP Aru Tenggara tahun 2009, masih jauh dari yang diharapkan yakni berada pada peringkat pengelolaan 1 yang artinya pengelolaan kawasan konservasi baru dimulai. 2. Indeks efektivitas berdasarkan kategori biofisik, sosial-ekonomi dan tata kelola, menunjukkan bahwa implementasi program dan kegiatan pada tiga kategori dimaksud kurang efektif. 3. Efek atau dampak yang ditimbulkan dari kegiatan konservasi selama 21 tahun lamanya, sama sekali tidak memberikan perubahan yang signifikan baik bagi masyarakat maupun sumber daya yang ada di kawasan Berdasarkan hasil penelitian ini, maka disarankan agar badan pengelola kawasan konservasi memenuhi dan atau menyelesaikan seluruh komponen biofisik, sosial-ekonomi maupun tata kelola dengan baik, agar pengelolaan kawasan konservasi Aru Tenggara semakin berhasil-guna dan berkelanjutan. 8 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN DI KAWASAN KONSERVASI ARU TENGGARA BERBASIS ZONASI

8.1 Pendahuluan

Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan sumber daya ikan pada waktu sekarang dan yang akan datang Adams et al., 2004; Wittmayer Buscher, 2010. Konservasi ekosistem dilakukan melalui perlindungan habitat dan populasi ikan, penelitian dan pengembangan, pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan pengembangan sosial ekonomi masyarakat, pengawasan dan pengendalian, dan atau monitoring serta evaluasi. Konservasi berbasis masyarakat dan pengembangannya telah menjadi paradigma baru saat ini baik bagi pemerintah maupun lembaga non-pemerintah yang bekerja bagi kegiatan konservasi Browder 2002; Gjertsen 2005. Namun ada kompleksitas yang cukup besar dalam memastikan apakah konservasi mencapai tujuan yang diharapkan, karena berhubungan erat dengan tingkat pemanfaatan yang dilakukan oleh manusia Jackson and Sala, 2001; Stachowitsch, 2003; Halpern et al., 2008. Sumber daya manusia memiliki pengaruh yang sangat besar dalam ekosistem pesisir dalam hal ini, kegiatan manusia yang bertentangan, menghasilkan berbagai tekanan yang secara simultan mengeksploitasi sumber daya alam pesisir dengan tidak lestari Crain et al., 2008; Darling and Côté, 2008; Doak et al., 2008; Halpern et al., 2008. Konservasi ekosistem dilakukan pada semua tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan, yang terdiri atas laut, padang lamun, terumbu karang, mangrove, estuaria, pantai, rawa, sungai, danau, waduk, embung, dan ekosistem perairan buatan. Satu atau beberapa tipe ekosistem yang terkait dengan sumber daya ikan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan konservasi perairan. Konservasi sebagai salah satu instrumen yang didesain untuk mengendalikan sakaligus memulihkan sumber daya ikan dan lingkungannya dan instrumen ini sangat praktis diterapkan pada perikanan tangkap dan budidaya laut di kawasan laut, pesisir dan pulau-pulau kecil Halpern et al., 2008. Salah satu alat pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang efektif adalah dengan mengembangkan Kawasan Konservasi Perairan KKP, yaitu mengalokasikan sebagian wilayah pesisir dan laut sebagai tempat perlindungan bagi ikan-ikan ekonomis penting untuk memijah dan berkembang biak dengan baik. Definisi Kawasan Konservasi Perairan menurut Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007 dijelaskan bahwa Kawasan Konservasi Perairan KKP adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumber daya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan terdiri atas Taman Nasional Perairan TNP, Taman Wisata Perairan TWP, Suaka Alam Perairan SAP, dan Suaka Perikanan SP. Rencana zonasi Kawasan Konservasi Perairan mengacu pada Undang- Undang No. 31 Tahun 2004 sebagaimana yang telah direvisi dengan Undang- Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perikanan dan Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2007, tentang konservasi sumber daya ikan. Di dalam peraturan perundangan tersebut maka zonasi KKP terdiri dari zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya. Untuk kasus-kasus yang spesifik, maka akan ada sub-sub zona sebagai bagian dari keempat zona utama yang penentuannya disesuaikan dengan potensi, karakteristik dan pertimbangan sosial ekonomi masyarakat sekitar. Kawasan konservasi Aru Tenggara merupakan salah satu kawasan konservasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 27Kpts-II1991 dengan status sebagai Cagar Alam Laut Aru Tenggara, selanjutnya dikembalikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan pada Tahun 2009 dengan Surat Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 63Men2009, dengan perubahan status sebagai Suaka Alam Perairan SAP Aru Tenggara. Kawasan konservasi Aru Tenggara ditetapkan berdasarkan hasil survei potensi biofisik maupun sosial ekonomi yang mengisyaratkan bahwa kawasan ini harus dipertahankan keberadaannya karena memiliki potensi sumber daya endemik yang harus dilindungi yakni penyu dan dugong serta buaya, yang didukung dengan keragaman ekosistem yang cukup kompleks. Memahami hubungan antara tekanan manusia dan status ekosistem di kawasan, maka sangat penting untuk mengembangkan rencana tata ruang dan zonasi Douvere, 2008. Namun, sulit memahami hubungan antara aktivitas manusia dan status ekosistem karena: 1 tingkat tekanan pada ekosistem Shears dan Ross, 2010 dan 2 keterbatasan informasi dasar pada ekosistem baik status dan potensi dampak Halpern et al., 2008; Fraschetti et al., 2009. Hasil analisis tingkat efektivitas dan dampak pengelolaan kawasan pada bab-7 menyimpulkan bahwa; 1 pengelolaan kawasan konservasi Aru Tenggara sejak tahun 1991 dengan status CAL Aru Tenggara hingga perubahan status menjadi Suaka Alam Perairan SAP Aru Tenggara tahun 2009 masih jauh dari yang diharapkan yakni berada pada peringkat pengelolaan 1 satu yang artinya pengelolaan kawasan konservasi baru dimulai; 2 berdasarkan indeks efektivitas berdasarkan kategori biofisik, sosial-ekonomi dan tata kelola, maka implementasi program dan kegiatan pada tiga kategori tersebut kurang efektif dan 3 efek atau dampak yang ditimbulkan dari kegiatan konservasi selama 21 tahun lamanya, sama sekali tidak memberikan perubahan yang signifikan baik bagi masyarakat maupun sumber daya yang ada di kawasan. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak kategori baik biofisik, sosial-ekonomi maupun tata kelola yang belum dilaksanakan, dan salah satu komponen kunci dari pengelolaan kawasan ini seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 yakni penyusunan rencana zonasi kawasan konservasi belum dilaksanakan, untuk itu tujuan yang ditetapkan dalam bab ini adalah menyusun model zonasi yang mengakomodir kearifan dan kepentingan masyarakat kawasan. 8.2 Metode Penelitian

8.2.1 Metode pengambilan data

1 Pemetaan partisipatif Salah satu sumber informasi dan bahan perencanaan pembangunan yang umum dikenal adalah peta. Peta memuat berbagai informasi yang sifatnya spasial artinya komponen-komponen data ditampilkan dalam bentuk keruangan. Untuk mengetahui model zonasi yang dimiliki oleh masyarakat kawasan konservasi Aru Tenggara, maka metode pemetaan partisipatif ini dilakukan. Salah satu teknik pemetaan partisipatif yang dilakukan adalah dengan metode Participatory Rural Appraisal PRA yakni suatu teknik yang digunakan untuk memfasilitasi diskusi mengenai keadaan wilayah desa tersebut beserta lingkungannya Mascarenhas,1991. Dalam penelitian ini digunakan untuk mendiskusikan zona-zona masyarakat yang selama ini dipakai sebagai acuan masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya perikanan di kawasan. Batas-batas ruang peruntukan zona tersebut digambarkan ke dalam peta atau sketsa kawasan mencakup gambarandiskripsi tentang keadaan sumber daya jenis dan habitat pada setiap ekosistem, substrat, kedalaman, jarak, aktivitas yang berlangsung didalamnya, teknologi yang digunakan, komponen masyarakat yang dapat mengakses, alur pelayaran masyarakat serta ruang sakral atau keramat yang tidak boleh diakses, dan hanya dimasuki untuk kepentingan tertentu saja. Pemetaan partisipatif dilakukan dengan cara menggambarkan ruang-ruang tersebut di atas kertas. Untuk mempermudah masyarakat maupun peneliti dalam memahami ruang di kawasan, maka kertas yang dipakai untuk menggambarkan peta telah diisi dengan peta dasar kawasan, sehingga ruang-ruang peruntukan dengan mudah ditentukan dan dipetakan. Pemetaan mulai dilakukan terhadap keadaan umum desa atau pulau di kawasan pulau dengan maksud untuk mengetahui ruang-ruang yang ditetapkan pada areal yang ada permukiman maupun pulau yang tidak berpenghuni. Untuk lingkungan desa informasi yang dihimpun berupa sumber daya dan saranaprasarana yang ada di desa, keadaan fisik lingkungan desa seperti kondisi topografi, eksistem pesisir desa, luas dan tata letak kebun, penyebaran daerah permukiman, daerah berhutan, lahan-lahan kritis, mata air, sungai atau aliran air, koperasi, pasar, sekolah, posyandu, puskesmas, jalan raya dan sebagainya. Sedangkan untuk pulau yang tidak berpenghuni seperti pulau-pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara, maka informasi yang dihimpun atau dipetakan adalah ekosistem yang ada di daratan pulau, sumber daya jenis flora dan fauna, tempat bertelur penyu, ekosistem pembentuk pulau, kawasan pemanfaatan ruang darat, tempat-tempat sakralkeramat di pulau, dan jenis aktivitas yang berlangsung beserta teknologi yang digunakan. Pemetaan selanjutnya diarahkan pada ekosistem utama seperti ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang serta perairan terbuka. Informasi yang dihimpun atau dipetakan adalah jenis sumber daya, substrat dasar, kedalaman, bentuk aktivitas pemanfaatan dan teknologi yang digunakan, komponen masyarakat yang dapat mengakses, alur pelayaran, tempat sakral serta kegiatan- kegiatan yang boleh atau tidak dilakukan di ruang. Tujuan dari pemetaan zonasi ini adalah agar selain dapat dipakai dalam menetapkan zonasi pemanfaatan ruang, juga dimaksudkan untuk di ketahui oleh seluruh masyarakat desa tentang jenis dan sumber daya yang mereka miliki serta berupaya untuk menghindari dari kegiatan-kegiatan yang dapat merusak sumber daya yang mereka miliki. Selain itu juga menjadi informasi bagi masyarakat di luar kawasan untuk dapat mengetahui keadaan suatu wilayah, termasuk berbagai kejadian, hambatan, masalah dan sumber daya yang ada di masyarakat. Selain itu orang luar dapat menyelami cara berpikir masyarakat desa, prioritas-perioritas mereka, alasan-alasan untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, cara mengatasi masalah dan sebagainya. 2 Penelusuran desapulau Selain teknik pemetaan, dilakukan pula teknik penelusuran desa transek, dengan tujuan untuk memastikan informasi yang diperoleh dari hasil pemetaan dengan kondisi realitas yang terjadi. Transek adalah gambaran irisan muka bumi. Pada awalnya transek dipergunakan oleh para ahli lingkungan untuk mengenali dan mengamati wilayah-wilayah ekologi. Teknik penelusuran lokasi Transek adalah suatu metode PRA untuk melakukan pengamatan langsung lingkungan dan sumber daya masyarakat, dengan cara berjalan menelusuri wilayah desa mengikuti suatu lintasan tertentu yang diamati. Hasil pengamatan dan lintasan tersebut, kemudian dituangkan ke dalam bagan atau gambar irisan muka bumi untuk didiskusikan lebih lanjut. Teknik penelusuran desa adalah pengamatan sambil berjalan melalui daerah pemukiman desa atau pulau guna mengamati dan mendiskusikan berbagai keadaan. Keadaan-keadaan yang diamati yaitu pengaturan letak perumahan dan kondisinya, pengaturan halaman rumah, pengaturan air bersih untuk keluarga,