Ekosistem perairan terbuka Hasil dan Pembahasan

Kegiatan perikanan tangkap lain yang dilakukan, terutama oleh masyarakat lokal di perairan sekitar kawasan adalah menyelam untuk mengambil atau mengumpul biota laut yang ekonomis penting yaitu jenis-jenis teripang, kerang mutiara, siput lola, batu laga, dan udang barong. Kegiatan menyelam masyarakat lokal ini dilakukan pada musim barat yaitu antara bulan Nopember – Maret, dimana perairan sekitar kawasan konservasi Aru Tenggara umumnya relatif tenang. Salah satu kegiatan pemanfaatan penangkapan sumber daya laut yang tergolong illegal dan masih berlangsung di kawasan ini adalah penangkapan penyu. Kegiatan penangkapan dilakukan dengan cara menunggu penyu naik ke pulau untuk bertelur, serta menggunakan jaring insang yang dirancang khusus untuk menangkap penyu. Penangkapan penyu dengan cara tersebut dilakukan oleh nelayan-nelayan dari luar daerah maupun masyarakat lokal bekerjasama dengan nelayan pengumpul untuk kemudian diperdagangkan di Bali. Selain penangkapan untuk tujuan perdagangan, nelayan dari luar maupun masyarakat nelayan lokal yang menangkap hiu atau menyelam di perairan sekitar kawasan dan berlabu atau tinggal selama waktu tangkap, juga memburu penyu yang naik bertelur di pesisir pulau untuk dikonsumsi. Bahkan telur-telur penyu yang telah diletakan disarangnya, ikut dimanfaatkan oleh nelayan-nelayan tersebut untuk dikonsumsi. Tiap hari sekitar 5 –17 kapal motor penangkap ikan menyinggahi pulau-pulau di kawasan konservasi Aru Tenggara yang menjadikan penyu dan telur penyu sebagai makanan tambahan mereka. Kegiatan penangkapan ilegal lainnya yang masih dilakukan oleh masyarakat lokal di perairan kawasan Konservasi laut Aru Tenggara adalah memburu dugong untuk dikonsumsi dan diambil taringnya. Perairan sekitar kawasan lebih sering dimanfaatkan oleh nelayan dari Desa Longgar, Apara, Bemun, Karei sebagai daerah penangkapan. Walaupun demikian, nelayan lokal dari desa-desa sekitarnya juga memanfaatkan perairan ini sebagai daerah penangkapan. Pada Perairan ini juga beroperasi kapal-kapal penangkap udang penaeid dengan menggunakan pukat udang shrimp trawl karena perairan ini baik sebagai daerah penangkapannya. Nelayan lokal dari Desa Longgar dan Apara serta desa-desa di sekitarnya menangkap ikan dengan menggunakan pancing tangan hand line untuk menangkap ikan pelagis kecil, ikan demersal dan ikan karang. Rawai hanyut drift long line juga digunakan terutama untuk menangkap ikan hiu Carcharhinus spp supaya diambil siripnya, tapi kadangkala ikan tenggiri Scomberomorus sp juga ikut tertangkap. Alat tangkap bubu trap net dioperasikan oleh mereka dengan menempatkannya di antara karang untuk menangkap ikan demersal dan ikan karang. Jaring insang hanyut drift gill net digunakan untuk menangkap ikan hiu Carcharhinus spp dan tenggiri Scomberomorus sp. Alat tangkap yang paling sering digunakan adalah jaring insang dasar bottom gill net yang ditempatkan di pesisir untuk menangkap penyu hijau Chelonia mydas dan penyu sisik Eretmochelys imbricata. Jumlah pancing tangan hand line yang dioperasikan oleh nelayan di perairan sekitar kawasan sebanyak 8-10 unit. Rata-rata frekuensi penangkapan dengan alat tangkap ini adalah 5 tripbulan atau 40 triptahun, menghasilkan tangkapan sebanyak  800 kg ikan demersal dan ikan karang. Ikan hiu yang ditangkap oleh nelayan dengan menggunakan rawai hanyut drift long line mampu menghasilkan sirip kering sebanyak 1 – 3 kgtripunit. Trip penangkapan dengan rawai hanyut membutuhkan 3 – 5 hari sehingga dalam setahun 1 unit alat tangkap ini mampu menghasilkan sirip ikan hiu kering sebanyak  120 kg. Ikan demersal dan ikan karang yang ditangkap dengan bubu trap net mampu menghasilkan 0,5 – 3 kgtripunit. Tiap trip penangkapan dengan bubu trap net membutuhkan 1 - 2 hari, dan dalam selang waktu 1 bulan nelayan melakukan aktivitas penangkapan sebanyak 10 trip atau dalam setahun 60 trip. Jaring insang hanyut drift gill net yang digunakan oleh nelayan di wilayah ini, terbuat dari bahan monofilament dan multifilament berukuran mata jaring mesh zise 6 inchi. Setiap trip penangkapan dengan alat tangkap ini membutuhkan waktu 3 - 5 hari dan dalam 1 bulan mereka dapat melakukan kegiatan penangkapan sebanyak 4 - 5 trip. Hasil tangkapan ikan tenggiri Scomberomorus sp dengan 1 unit jaring insang hanyut pada perairan sebanyak 120 – 400 kgtrip atau sebanyak 5.440 kgtahun. Jaring insang dasar bottom gill net dipasang secara tetap di perairan pantai yang pesisirnya menjadi tempat penyu bertelur. Dengan metode ini, mereka menjerat penyu sebelum penyu tersebut mencapai daratan untuk bertelur. Kondisi ini bertentangan dengan UU No. 5 tahun 1990 dan SK Menhut No. 72Kpts.II1991 bahwa daerah pulau Enu, Karang, Jeh, Mar, Jeudin, Marjinjin dan Kultubai Selatan dinyatakan terlarang untuk pengambilan penyu. Nelayan lokal yang memanfaatkan sumber daya perikanan pada musim menyelam, penangkapan hiu, penangkapan ikan dan penyu di kawasan ini umumnya berasal dari 6 Desa sekitar kawasan konservasi laut Aru Tenggara, yairu Longgar, Apara, Batu Goyang, Karey, Bemun dan Desa Gomu-Gomu. Daerah peruntukan perikanan tangkap dari tiap desa dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di sekeliling pesisir dan laut di kawasan konservasi Aru Tenggara tersebar tidak merata. 1 Perikanan pelagis Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih renewable resources dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Ikan pelagis adalah kelompok ikan yang berada pada lapisan permukaan hingga kolom air dan mempunyai ciri khas utama, yaitu dalam beraktivitas selalu membentuk gerombolan schooling dan melakukan migrasi untuk berbagai kebutuhan hidupnya. Ikan pelagis berdasarkan ukurannya dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu ikan pelagis besar, misalnya jenis ikan tuna, cakalang, tongkol, dan lain-lain, serta ikan pelagis kecil, misalnya ikan layang, teri, kembung, dan lain-lain. Masyarakat kawasan konservasi Aru Tenggara sangat bergantung pada sumber daya produksi perikanan tangkap dan budidaya guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun ruang pemanfaatannya dibatasi karena kawasan pemanfaatan sumber daya tersebut telah ditetapkan peruntukannya bagi kepentingan yang lebih besar dan tujuan untuk kelestarian sumber daya. Untuk itu diperlukan kajian yang baik dan terukur untuk selanjunya menetapkan ruang-ruang tertentu yang dapat dimanfaatkan masyarakat bagi kepentingan pemanfaatan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Keberlanjutan pemanfaatan sumber daya ikan dapat terlaksana apabila dilakukan pengelolaan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan. Saat ini pertumbuhan masyarakat kawasan dan kemajuan teknologi penangkapan ikan menyebabkan tingkat eksploitasi yang semakin meningkat. Pada sisi lain daya dukung lingkungan termasuk sumber daya ikan mempunyai keterbatasan. Keterbatasan inilah sehingga dibutuhkan adanya pengelolaan pemanfaatan sumber daya ikan agar ketersediaan sumber daya ikan dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sesuai dengan daya dukung lingkungan. Berdasarkan hasil pengamatan ikan pelagis pada 47 titik di kawasan konservasi Aru Tenggara, maka potensi tertinggi ditemukan pada titik tracking nomor 26, 27, dan 30 sedangkan pada kategori sedang dijumpai pada nomor tracking 2, 7, 11, 28, 29, 32, dan 43, sisanya 39 titik dikelompokan dalam kategori rendah Gambar 44. Posisi dan potensi sumber dari titik-titik tracking ini secara jelas dapat dilihat pada Lampiran 9. Dari informasi yang ada maka dapat diusulkan kepada masyarakat nelayan di kawasan agar aktivitas penangkapan pada bulan Oktober - Nopember khusus bagi ikan pelagis dapat dilakukan pada titik dengan kategori sedang dan tinggi. Keterangan : Tinggi = Warna biru = 0,20 - 0,29 indm 3 ; Sedang = Warna Kuning = 0,10 - 0,19 indm 3 ; Sedang = Warna Merah = 0 - 0,09 indm 3 Gambar 44 Sebaran potensi perikanan pelagis pada 47 titik pengamatan di kawasan konservasi Aru Tenggara Operasi penangkapan ikan pelagis selalu dilakukan di daerah penangkapan sekitar kawasan konservasi oleh para nelayan setempat. Produksi ikan pelagis Sed an g T in g g i R en d ah Ke pa da tan ikan I ndm 3 Kedalaman meter yang terdata untuk jenis ikan kembung Rastrelliger sp., terbang Chypsilurus sp., tembang Sardinella sp., julung Hemirahmpus sp. dan beberapa jenis lainnya hasil perhitungan data Cruise Biosonic pada tingkatan kedalaman 0 - 22 m di kawasan ini mencapai 57.818 ton atau berdasarkan jumlah individu sebanyak 788.373.980 individu. Berdasarkan peta batimetri, maka kawasan konservasi Aru Tenggara memiliki variasi kedalaman yang berbeda-beda antara 0 - 22 meter, yang mana kegiatan penangkapan berlangsung pada seluruh tingkatan kedalaman dimaksud dengan teknologi yang tentunya berbeda pula. Jika dicermati dari hasil analisis berdasarkan tingkat kedalaman, terlihat bahwa potensi terbesar ditemukan pada kedalaman 16 - 20 meter dengan total potensi sumber sebesar 316.542.550 22.969 ton, sedangkan terendah pada kedalaman 21 - 22 meter Tabel 18. Tabel 18 Potensi sumber Py, ikan pelagis pada kedalaman 0 – 5 m; 6 – 10 m; 11 – 15 m; 16 – 20 m; 21 - 22 m. No Kedalaman m Individu Kg Ton 1 0-5 56.895.770 4.133.390 4.133 2 6-10 206.859.190 15.417.290 15.417 3 11-15 201.160.830 14.784.920 14.785 4 16-20 316.542.550 22.968.870 22.969 5 21-22 6.915.640 513.730 514 Dengan mencermati potensi sumber daya perikanan yang terdistribusi paling banyak pada kedalaman 16 - 22 meter, memberikan jastifikasi kuat bahwa upaya pemanfaatan sumber daya perikanan pelagis seharusnya tidak diarahkan penekanannya pada kawasan ekosistem lamun dan terumbu karang yang relatif dangkal, namun diharapkan arah pemanfaatannya diupayakan lebih pada kawasan dengan kedalaman di atasnya. Berdasarkan peta distribusi ikan pelagis dari hasil analisis data Cruise Biosonic yang ditranformasikan ke dalam peta GIS pada kawasan konservasi Aru Tenggara, maka potensi ikan pelagis menyebar merata diseluruh perairan kawasan, namun demikian potensi terbesar terkonsentrasi pada bagian Utara dan Timur Pulau Kultubai Selatan dan bagian Selatan dan Barat Pulau Enu serta bagian Timur dan barat Pulau Mar Gambar 45. Gambar Dengan demikian diharapkan ke depan, jika kawasan ini telah menetapkan sistem zonasi yang memberikan ruang bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di kawasan, maka pengawasan yang melekat terhadap berbagai aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh kapal-kapal trawl supaya dihentikan dan diberikan ruang bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya tersebut bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka. Dengan memperhatikan pola distribusi potensi ikan pelagis disandingkan dengan distribusi alat tangkap, maka boleh dikatakan bahwa kegiatan penangkapan oleh masyarakat sudah memasuki areal fishing ground yang potensial terutama disekitar Pulau Mar, namun belum banyak menjangkau potensi yang ada di bagian Utara pulau Kultubai Selatan dan bagian Selatan Pulau Enu. Umumnya kawasan ini yang sering dimanfaatkan oleh kapal-kapal luar untuk melakukan aktivitas tangkapan, bahkan kegiatan trawl sering berlangsung di kawasan tersebut. 2 Perikanan demersal Ikan-ikan demersal yang umumnya tertangkap di kawasan konservasi Aru Tenggara berdasarkan pengamatan dan hasil wawancara dengan masyarakat kawasan antara lain bubara Caranx sp; Carangoides sp, kerapu Epinephelus sp, baronang Siganus sp, kakap Lutjanus sp, Sikuda Lethrinus sp, biji nangka Upeneus tragula, bawal Parastromateus niger, gulama Argyrosomus amoyensis , sebelah Synoglosus spp, beloso Saulida sp, pari Dasyatis sp, lencam Lethrinus sp, belanak Mugil sp, raja bau Plectorhynchus sp dan sebagainya. Berdasarkan hasil pengamatan ikan demersal pada 45 titik di kawasan konservasi Aru Tenggara, maka potensi tertinggi ditemukan pada titik tracking nomor 15, 19, 21, dan 31 sedangkan pada kategori sedang dijumpai pada nomor tracking 18, 30, 33, 41, dan 44, sisanya 36 titik dikelompokan dalam kategori rendah Gambar 46. Posisi dan potensi sumber dari titik-titik tracking ini secara jelas dapat dilihat pada Lampiran 10. Dari informasi yang ada maka dapat diusulkan kepada masyarakat nelayan di kawasan agar aktivitas penangkapan ikan demersal dapat dilakukan pada titik dengan kategori sedang dan tinggi. an g T in g g i Keterangan : Tinggi = Warna biru = 0,20 - 0,29 indm 3 ; Sedang = Warna Kuning = 0,10 - 0,19 indm 3 ; Sedang = Warna Merah = 0 - 0,09 indm 3 Gambar 46 Sebaran potensi perikanan demersal pada 45 titik pengamatan di kawasan konservasi Aru Tenggara Umumnya ikan-ikan demersal ini tertangkap dengan pancing, jaring dasar, bubu, dan panah. Kawasan yang menjadi target jenis-jenis ikan demersal ini adalah kawasan perairan ekosistem lamun dan ekosistem terumbu karang. Potensi sumber daya ikan demersal di kawasan Konservasi Aru Tenggara berdasarkan hasil perhitungan Biosonic pada kedalaman 0 - 22 meter adalah sebesar 982.027.880 individu 241.522 ton, dengan potensi tertinggi tersebar pada kedalaman 16 - 20 meter sebesar 506.127.820 individu 58.082 ton Tabel 19. Tabel 19 Potensi sumber Py, ikan demersal pada kedalaman 0 – 5 m; 6 – 10 m; 11 – 15 m; 16 – 20 m; 21 - 22 m. No Kedalaman m Individu ind Kg Ton 1 0-5 50.339.070 12.445.480 12.445 2 6-10 180.991.490 44.617.840 44.618 3 11-15 236.302.050 58.082.490 58.082 4 16-20 506.127.750 124.332.550 124.333 5 21-22 8.267.520 2.043.700 2.044 Potensi ikan demersal berdasarkan hasil peta distribusi ikan demersal dari hasil analisis data Cruise Biosonic yang ditransformasikan ke dalam peta GIS pada kawasan konservasi Aru Tenggara, memperlihatkan bahwa konsentrasi ikan K ep ad at an i k an I n d m 3 Kedalaman meter demersal tertinggi ditemukan pada seluruh perairan Pulau Karang, sebelah Selatan Pulau Enu dan bagian Selatan P. Jeh dan Jeudin Gambar 47. Konsentrasi potensi ikan demersal yang tertinggi pada kawasan perairan P. Enu dan P. Karang didasarkan atas beberapa fakta analisis bahwa pada kedua perairan ini masih sangat sedikit masyarakat yang melakukan aktivitas penangkapan karena jaraknya yang cukup jauh dengan permukiman atau desa, sehingga tingkat pemanfaatan juga terbatas. Faktor lain yang menjadi pertimbangan adalah bahwa pada ke dua pulau ini sering mengalami pengaruh musim Timur maupun Barat, sehingga juga menjadi faktor penghambat bagi masyarakat kawasan untuk memanfaatkan sumber daya pada perairan dimaksud, terutama bagi masyarakat yang hanya melakukan kegiatan penangkapan dengan menggunakan perahu tanpa motor atau dengan perahu yang dilengkapi dengan mesin ketinting. Konsentrasi utama ikan demersal adalah daerah pinggiran pulau atau dengan kata lain kawasan terumbu karang dan lamun. 3 Perikanan budidaya Perikanan budidaya menduduki posisi penting dalam menunjang ketahanan pangan, menciptakan lapangan kerja dan pendukung pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pengembangan perikanan saat ini menjadi sangan urgent karena ada kecenderungan terjadi peningkatan permintaan ikan konsumsi oleh masyarakat. Di samping itu, perikanan budidaya juga dapat menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang mungkin ditimbulkan akibat peningkatan intensitas perikanan tangkap. Gambar 47 Berdasarkan parameter kualitas air dan ketersediaan bibit di alam memungkinkan kawasan ini dapat dikembangkan kegiatan budidaya, sehingga dapat dikatakan bahwa perairan kawasan konservasi memiliki potensi untuk pengembangan dimaksud. Potensi budidaya perikanan yang dapat dikembangkan di perairan pesisir kawasan antara lain budidaya ikan kerapu, ikan beronang, rumput laut, dan teripang Gambar 48. Gambar 48 Dokumentasi kegiatan budidaya rumput laut dan teripang di desa Longgar dan Apara Namun ada satu hal yang menjadi kendala pengembangan kegiatan perikanan budidaya pada kawasan, yakni kondisi laut pada Musim Timur yang mengalami gelombang yang cukup besar sehingga tidak memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan budidaya. Tetapi kondisi akan berbeda di Musim Barat karena kondisi perairan menjadi tenang dan tidak berombak yang memungkinkan dilakukan pengembangan budidaya perikanan. Pengembangan kegiatan perikanan budidaya pada Musim Barat ini menjadi sangat penting sehingga dapat mengurangi tekanan eksploitasi sumber daya hayati laut oleh masyarakat. 4 Kompleksitas permasalahan sumber daya perikanan pada ekosistem perairan terbuka Potensi sumber daya perikanan pada ekosistem perairan terbuka baik ikan pelagis maupun demersal cukup tersedia di kawasan ini, itulah sebabnya banyak sekali kegiatan penangkapan baik itu dari masyarakat maupun kapal-kapal penangkap yang menggunakan trawl beroperasi di kawasan. Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh masyarakat kawasan sebenarnya tidak terlalu memberikan dampak bagi kerusakan ekosistem maupun penurunan populasi sumber daya, akan tetapi karena adanya operasi trawl yang tingkat selektivitasnya rendah menyebabkan terjadinya penurunan sumber daya. Banyak dari hasil tangkapan dengan trawl yang tidak menjadi target penangkapan mereka, dibuang ke laut, sehingga mencemari lingkungan laut sekitar. Penangkapan dengan trawl juga memberikan dampak yang buruk bagi sumber daya endemik di kawasan terutama untuk penyu dan dugong, dimana kegiatan penangkapan dengan trawl juga menjerat spesies-spesies endemik yang dijelaskan di atas Gambar 49. Gambar 49 Kerangka masalah sumberdaya perikanan pada ekosistem perairan terbuka Rendahnya tingkat pengawasan terhadap aktivitas pemanfaatan di kawasan menyebabkan aksi-aksi penangkapan yang merusak terus dilaksanakan. Proses pembiaran terhadap kawasan, menjadikan kecemburuan antara masyarakat lokal dengan kapal-kapal penangkap tersebut, yang mana disatu sisi kawasan yang mereka manfaatkan telah diproteksi untuk areal perlindungan, sedangkan kegiatan Kondisi eksisting perairan terbuka HubunganPengaruh penangkapan trawl tetap dibiarkan berlangsung di kawasan. Inilah bukti dari kegiatan maladaptif yang menjadikan lahan tradisional sebagai areal konservasi, tetapi pembiaran terhadap aktivitas kapal-kapal penangkap yang diberi izin penangkapan dari pemerintah pusat tetap berlangsung di kawasan. Setidaknya terdapat empat jenis organisme yang dilindungi terdiri dari tiga jenis mamalia laut dan satu jenis reptilia yang ditemukan pada perairan pesisir dan laut sekitar kawasan. Mamalia laut seperti lumba-lumba, dugong duyung dan paus, sering terlihat berenang pada perairan kawasan yang agak dalam sebagai jalur migrasinya untuk berbagai tujuan hidup, terutama untuk mencari makan. Hampir seluruh pulau di kawasan merupakan tempat bertelur yang ideal bagi penyu-penyu tersebut. Ironisnya, hampir di sepanjang pantai P. Enu dan P. Karang ditemukan bangkai-bangkai penyu yang berserakan. Hasil wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, ternyata bahwa banyak anggota masyarakat kawasan, yang karena ketidaktahuan dan tuntutan ekonominya membuat mereka memburu dan membantai reptilia ini. Perilaku menyimpang masyarakat ini kemudian semakin mewabah karena muncul pihak-pihak ketiga yang siap membeli dengan harga yang mahal Gambar 50. Gambar 50 Kegiatan penangkapan penyu ilegal di Pulau Karang dan Pulau Enu, kawasan konservasi Aru Tenggara. Kenyataan-kenyataan di atas ini semakin mengukuhkan pentingnya dilakukan pengembangan dan pengelolaan kegiatan konservasi di kawasan. Namun hal tersebut harus dimulai dengan kegiatan penyadaran masyarakat melalui pendekatan dengan tokoh-tokoh masyarakat, meningkatkan intensitas penyuluhan-penyuluhan perikanan dan kelautan serta sejumlah kegiatan pemberdayaan masyarakat melalui pelatihan-pelatihan di bidang perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Selain itu diperlukan adanya sosialisasi peraturan-peraturan perikanan, penguatan kapasitas kelembagaan dan peningkatan kapabilitas fungsi pengawasan terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi. Untuk itulah maka dalam merancang dan menetapkan rencana pengelolaan kawasan, hendaknya memperhatikan jenis alat tangkap yang selektif untuk tidak menangkap spesies-spesies lindung. Kegiatan atau aktivitas penangkapan yang sifatnya ilegal ini dapat terjadi di kawasan, menunjukan bahwa efektivitas pengelolaan kawasan belum sepenuhnya dilakukan dengaan benar. Upaya pengelolaan yang efektif sudah seharusnya dimulai pada kawasan konservasi Aru Tenggara, mengingat tingkat pemanfaatan yang cenderung meningkat serta kegiatan-kegiatan ilegal yang terus-menerus dilakukan oleh individu, kelompok atau organisasi yang hanya mencari keuntungan tanpa memperhatikan keberlanjutan sumber daya dan ekosistemnya. Diharapkan ke depan akan terjadi terjadi peningkatan atau perbaikan perikanan pesisir dan laut IUCN-WCPA, 2008, sehingga akan memulihkan fungsi-fungsi ekosistem dan keanekaragaman hayati laut, disamping untuk meningkatkan kondisi sosio-ekonomi sebagai hasil dari peningkatan produksi perikanan yang meningkatkan pendapatan dan ketahanan pangan Parks et al., 2006.

4.3.8 Implikasi pengelolaan sumber daya perikanan di kawasan konservasi Aru Tenggara

Keragaan sumber daya perikanan beserta permasalahan yang terjadi di kawasan konservasi Aru Tenggara, telah menunjukkan bahwa upaya pengelolaan koservasi selama 21 tahun lamanya sejak ditetapkannya kawasan sebagai Cagar Alam Laut belum berjalan secara efektif. Berbagai persoalan pada ekosistem pulau, mangrove, lamun, terumbu karang dan perairan terbuka, bermuara dari pengelolaan yang tidak memberikan ruang kepada masyarakat kawasan untuk memanfaatkan sumber daya yang ada. Paradigma yang dibangun pada saat itu tahun1993, adalah wujud dari sistem kebijakan dari atas ke bawah, sehingga tidak mengakomudir kepentingan masyarakat. Kawasan ditetapkan secara langsung oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan masyarakat, akhirnya pengelolaan kawasan dibiarkan terbengkalai, masyarakat tidak merasa ada nilai penting dari keberadaan kawasan, kegiatan ilegal tetap berlangsung, masyarakat tidak diberdayakan untuk mencari alternatif mata pencaharian dan lain-lain persoalan, sehingga akhirnya aktivitas pemanfaatan baik secara legal maupun ilegal tetap berlangsung di kawasan, dan memberikan dampak terhadap kerusakan ekosistem, penurunan sumber daya baik jenis maupun jumlah, sehingga menimbulkan keresahan dalam masyarakat karena masyarakat hanya sebagai penonton bagi perlombaan pemanfaatan sumber daya di kawasan oleh kapal-kapal penangkap dengan trawl yang beroperasi di kawasan ini. Mekanisme pengelolaan yang dipraktekan ini yang disebutkan dalam Fazey at al. 2011 sebagai maladaptif yakni suatu bentuk pengelolaan yang dimaksudkan untuk pencapaian tujuan tertentu akan tetapi memberikan dampak buruk bagi tujuan lainnya. Kondisi ini sesuai dengan model pengelolaan pada tahun 1993 yang bertujuan untuk melindung penyu dan ekosistem, tetapi tidak memberikan ruang bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya berdasarkan hak kepemilikan tradisionalnya, sehingga praktek ilegal tetap berlangsung di kawasan. Kawasan konservasi Aru Tenggara dengan status Suaka Alam Perairan SAP yang ditetapkan keberadaannya tahun 2009, menjadi titik tolak perubahan pengelolaan yang diharapkan memberikan paradigma baru dalam pengelolaan kawasan konservasi yakni melibatkan semua komponen pengguna dalam merancang, menetapkan, mengimplementasi dan mengevaluasi keberadaan kawasan, sehingga tujuan dan kepentingan bersama dapat berlangsung. Salah satu paradigma baru dari pengelolaan SAP, adalah memberikan ruang bagi masyarakat tradisional untuk memanfaatkan kawasan dengan menetapkan zonasi peruntukkan pada setiap ruang di kawasan. Kawasan peruntukan yang dimaksudkan adalah seperti yang diamanatkan dalam undang-undang perikanan maupun peraturan pemerintah serta keputusan menteri tentang penetapan zonasi yakni meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Berdasarkan hasil analisis keberadaan ekosistem beserta sumber daya perikanan di kawasan konservasi Aru Tenggara, maka ditemukan 14 komponen utama kawasan yang mengalami perubahan baik perubahan yang memberikan dampak terhadap sumber daya manusia maupun sumber daya perikanan kawasan. Teridentifikasi sebanyak 4 komponen mengalami peningkatan yakni pertumbuhan penduduk yang menyebabkan penambahan nelayan, sehingga berdampak terhadap peningkatan pemanfaatan sumber daya perikanan di kawasan, serta tekanan dalam masyarakat yang dipicu akibat berbagai persoalan kebutuhan hidup yang tidak terjangkau karena keterbatasan pendapatan yang diperoleh Tabel 20. Tabel 20 Arah perubahan, nilai dan persentase komponen perubahan pada sumber daya kawasan konservasi Aru Tenggara Selain komponen yang mengalami peningkatan, maka ada 10 komponen yang mengami perubahan kearah penurunan yakni ketersediaan bahan bangunan seperti kayu, pasir, batu yang semakin mengalami penurunan, ketersediaan sumber daya perikanan yang juga kian menurun populasi dan keanekaragamannya, menurunnya tingkat pendapatan, berkurangnya daerah penangkapan sebagai akibat dari kerusakan ekosistem dan kawasan pemanfaatan tradisional yang ditetapkan sebagai daerah konservasi, degradasi ekosistem serta perubahan luasan, sumber Arah Nilai 1 Pertumbuhan Penduduk  4,5 2,8 2 Penambahan jlh Nelayan  4,5 2,8 3 Pemanfaatan Sumberdaya  24,4 14,9 4 Ketersediaan Bahan Bangunan  6,0 3,7 5 Ketersediaan SD Perikanan pada 5 ekosistem  18,4 11,2 6 Tekanan dalam masyarakat  11,1 6,8 7 Tingkat Pendapatan  2,7 1,6 8 Ketersediaan Daerah Penangkapan  9,8 6,0 9 Degradasi Ekosistem  10,2 6,3 10 Perubahan Ekosistem Pulau  15,1 9,3 11 Perubahan Ekosistem Mangrove  11,9 7,3 12 Perubahan Ekosistem lamun  18,0 11,0 13 Perubahan Ekosistem Terumbu Karang  16,8 10,3 14 Perubahan Ekosistem Perairan Terbuka  9,8 6,0 Total 163,2 100,0 Komponen Perubahan Perubahan No